BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1 Tinjauan
Pustaka
Penelitian
mengenai Undak-usuk bahasa Jawa maupun tingkatan bahasa Jepang telah diteliti
sebelumnya dalam Kaidah-Kaidah Penggunaan Undak-Usuk Bahasa Jawa, Kajian
Undak-Usuk Bahasa Jawa Abdidalem Kraton Surakarta Hadiningrat, dan Undak-Usuk
Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa: Sebuah Perbandingan, dan Sistem Unggah-Ungguh
bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Penulis akan memanfaatkan penelitian terdahulu,
berupa kaidah-kaidah yang sudah ada, yang dijadikan sebagai tolak ukur teori
dalam penulisan skripsi ini.
Seringkali
dipaparkan oleh para peneliti sebelumnya bahwa undak-usuk bahasa Jawa yang berupa unggah-ungguh basa yang meliputi: Ngoko, Madya dan Krama yang terbagi atas 7 atau 9 sub
tingkatan yang diberi nama masing-masing tersebut dapat disejajarkan kedalam
tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan bentuk Keigohoo yang meliputi: Futsuu/Teinei,
Sonkeigo dan Kenjoogo, yang mempunyai kadar hormat yang berbeda tetapi bedanya
dalam bahasa Jepang tidak diberi nama. Umumnya para peneliti sebelumnya membuat
gambaran pengkontrasan nama mengenai pengelompokannya seperti dalam bahasa
Jawa, antara lain:
a.
Ragam Futsuu tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo = Ngoko Lugu
b. Ragam Futsuu dengan
Sonkeigo/Kenjoogo = Ngoko Alus
c. Ragam Teinei
tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo = Krama Lugu
d.
Ragam Teinei dengan Sonkeigo dan Kenjoogo =Krama Alus
2.2 Metode
Penelitian
Metode atau teknik digunakan untuk
menunjukkan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung dengan satu
dengan yang lain. Kata metode dan teknik sama-sama memiliki arti ‘’cara’’ dalam
suatu upaya. Kata metode berasal dari bahasa Sansekerta metodos yang berarti ‘’cara’’. Metode adalah cara yang harus
dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode. (Sudaryanto,
1993:9).
Penelitian ini mengkaji dan
menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan
kemudian dipaparkan secara deskriptif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode distribusional dalam tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap penganalisisan data dan tahap penyajian data
(Sudaryanto, 1993: 5-7).
Metode kajian distribusional
menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribusional
memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti. Metode ini berhubungan erat
dengan paham strukturalisme de Saussure (1916), bahwa setiap unsur bahasa
berhubungan satu sama lain, membentuk satu kesatuan padu (the whole unified). Metode distribusional ini sejalan dengan
penelitian deskriptif dalam membentuk perilaku data penelitian. (Djajasudarma,
2006:69).
Sementara itu, data dalam
penelitian ini dianalisis dengan analisis kontrastif, yaitu metode sinkronis
dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara
bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dijabarkan dalam
masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
2.3 Kerangka
Teori
Teori merupakan seperangkat
hipotesis yang dipergunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik yang bersifat
lahiriah seperti bunyi bahasa, maupun yang bersifat batin seperti makna
(Kridalaksana, 2000:23). Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk
memahami, menjelaskan, dan menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan,
sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan memberi arah dalam penelitian.
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan landasan teori struktural. Teori struktural merupakan pendekatan
bahasa yang mula-mula dikembangkan oleh Bloomfield. Teori ini membahas bahasa
dari segi strukturnya. Aliran strukturalisme sangat mementingkan keobjektifan
dalam bahasa. Karena bahasa merupakan sebuah sistem, maka dengan sejumlah data
dapat diketahui strukturnya.
Pengertian struktural berkaitan
dengan atau memiliki struktur, menggunakan teori atau pendekatan, ataupun
dipandang dari segi struktur. Strukturalisme dapat pula diartikan sebagai
pendekatan analisis bahasa secara eksplisit kepada berbagai unsur bahasa
sebagai struktur dan sistem (Kridalaksana, 2000:203).
Teori struktural dalam linguistik
berhubungan dengan bentuk-bentuk, fungsi-fungsi struktural, dan hubungan antar
komponen tutur yang dapat diamati pula dengan kata lain dalam analisis gramatik
haruslah bersifat formal berdasarkan perilaku yang dapat diamati dalam bahasa.
2.3.1 Linguistik
Kontrastif
Kata
kontrastif berasal dari contrastive
yaitu keadaan yang diturunkan dari kata kerja to contras artinya berbeda atau bertentangan. Dalam The American
Collage Dictionary terdapat penjelasan sebagai berikut, ‘’Contras: to set in
opposition in order to show unlikeness, compare by observing differences’’. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik simpulan bahwa
istilah kontrastif adalah mengemukakan perbedaan dan ketidaksamaan dalam sebuah
komposisi.
Linguistik
kontrastif (taishou-gengogaku) merupakan kajian linguistik yang
bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang
berbeda. Pendeskripsian persamaan dan perbedaan tersebut akan bermanfaat untuk
pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke-2 (bahasa asing). Misalnya, dengan dideskripsikannya persamaan dan perbedaan
bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara jelas dan lengkap,
akan membantu dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang Jepang, atau
pengajaran bahasa Jepang untuk orang Indonesia. Karena, sekurang-kurangnya
kesalahan berbahasa (goyou) akibat pengaruh bahasa ibu (bogo-kanshou)
pada pembelajar kedua bahasa tersebut akan dapat dikurangi, bahkan bisa
dihilangkan (Sutedi, 2003:190).
2.3.2 Karakteristik Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa
Bahasa
Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun, meskipun
sama-sama memiliki ragam hormat, tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Hal-hal
yang menjadi perbedaan mendasar dari kedua bahasa tersebut adalah masalah huruf
dan
susunan kata dalam kalimat (word order). Misalnya, sebagian besar susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P
(Subjek, Objek, Predikat), sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O
(Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD
(Menerangkan-Diterangkan) dalam bahasa Jawa berpola DM
(Diterangkan-Menerangkan).
2.3.3 Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jepang
Berdasarkan
cara pemakaiannya, tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dibagi menjadi tiga
jenis yakni keigo, teineigo, dan futsugo.
Tingkatan keigo dibagi lagi
menjadi sonkeigo dan kenjoogo.
2.3.3.1 Sonkeigo
Sonkeigo
dipakai bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan atasan sebagai orang yang
lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya, yang berhubungan dengan lawan
bicara (termasuk aktifitas dan segala sesuatu yang berkaitannya). Menurut
Yoshisuke dan Yumiko (1988: 14) sonkeigo
adalah
尊敬語というのは、目上の人敬意を表すべき人(親しくない人、「外」の人尊敬するべき人)が状態に関して、それを高めて敬意を表すことばである。
Sonkeigo to iu
no wa, meue no hito keii wo arawasu beki hito (shitashikunai hito, ‘‘soto’’ no hito
sonkei suru beki hito) ga joutai ni kanshite, sore wo takamete keii wo arawasu
kotoba de aru.
Sonkeigo
adalah bahasa untuk mengungkapkan perasaan hormat kepada orang yang statusnya
lebih tinggi (orang yang tidak akrab, orang luar, orang yang memang harus
dihormati).
Sementara itu Oishi Shotaro (dalam
Sudjianto, 2004:199) menjelaskan bahwa sonkeigo
adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang
dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang
berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan.
Menurut Buku Pengantar Linguistik Bahasa Jepang (Sudjianto dan Dahidi:
190-192), ada beberapa cara untuk menyatakan sonkeigo yaitu:
a. Memakai
verba khusus sebagai sonkeigo,
seperti
なさるnasaru
=するsuru
’melakukan’
ごらんになるgoran ni naru =見るmiru‘melihat’
召し上がる,あがるmeshiagaru, agaru=食べるteberu
‘makan’
いらっしゃるIrassharu=いるiru’ada’
いらっしゃる=
行くiku
‘pergi来る,
kuru ’datang’
仰るossharu=言うiu’berkata’
kudasaru 下さる=くれるkureru
b. Memakai
verba bantu –reru setelah verba
golongan satu dan memakai verba bantu rareru
setelah verba golongan dua, seperti:
書かれるkakareru =書くkaku’menulis’
受けられるukerareru
= 受けるukeru
‘menerima’
c. Menyisipkan
verba bentuk ren’youkei pada pola ‘o...ni
naru’ seperti:
お待ちになるomachi ni naru =待つmatsu
‘menunggu’
お立ちになるotachi ni naru =立つtatsu
‘berdiri’
お座りになるosuwari ni naru=座るsuwaru
‘duduk’
お読みになるoyomi ni naru =読むyomu
‘membaca’
お書きになるokaki ni naru = 書くkaku ‘menulis’
d. Memakai
nomina khusus sebagai sonkeigo untuk
memanggil orang. Kata-kata tersebut bisa berdiri sendiri dan ada juga yang
dapat menyertai kata lain sebagai sufiks seperti:
先生 sensei =
bapak/ibu (guru, dokter)
社長 shachou = direktur
課長 kachou = kepala bagian
e. Memakai
prefiks dan/atau sufiks sebagai sonkeigo
seperti
田中様 Tanaka-sama = Tuan Tanaka
鈴木さんSuzuki-san = Saudara Suzuki
娘さんMusume-san =
anak perempuan (orang lain)
ご意見Goiken = pendapat (orang lain)
お考えOkangae = pikiran (orang lain)
お宅 Otaku = rumah (orang lain)
弟さんOtouto-san = adik laki-laki (orang lain)
お医者さんOisha-san = dokter
f. Memakai
verba asobasu, kudasaru dan irrasharu setelah
verba-verba lain, seperti:
お帰りあそばすOkaeri asobasu = 帰るkaeru
‘pulang’
お許しくださるOyurushi kudasaru =許すyurusu
‘memaafkan’
見ていらっしゃるMite irassharu =見るmiru
‘melihat’
喜んでいらっしゃるYorokonde irassharu =喜ぶyorokobu
‘senang’, ‘gembira’
2.3.3.2
Kenjoogo
Menurut Yoshisuke dan Yumiko (1988:
15) kenjoogo adalah:
謙譲語というのは話者や 「内」の人が話題のとき、その人を低めることによて聞き手に敬意を表す丁寧語に近いものである。
Kenjoogo to iu
no wa washa ya ’’uchi’’ no hito ga wadai no toki, sono hito wo hikumeru koto ni
yotte kikite ni keii wo arawasu teinei ni chikai mono de aru.
Kenjoogo adalah merupakan bentuk kata yang mendekati
bentuk sopan (teineigo) untuk
menunjukkan perasaan hormat kepada lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri
dimana yang menjadi topik pembicaraan adalah si pembicara sendiri (orang
dalam).
Ada juga para ahli bahasa Jepang
lain yang menyebut nama kenjougo dengan
istilah kensongo. Kensongo atau kenjoogo dapat
diungkapkan dengan cara:
a. Memakai
verba khusus sebagai kenjoogo,
seperti:
参るmairu
=来るkuru
‘datang’
申すmoosu
=言うiu
‘mengatakan’
頂くitadaku
=もらうmorau
‘menerima’
伺うukagau
=聞くkiku
‘bertanya’, 質問するshitsumon suru ‘bertanya’, 訪問する hoomon suru
‘berkunjung’
お目にかかるomeni
kakaru =会うau ‘bertemu’
あげるageru =やるyaru,
差し上げるsashiageru
‘memberi’
折るoru
=いる
iru
‘ada’
拝見するhaiken
suru
=見る
miru
‘melihat’
b. Memakai
pronomina persona sebagai kenjougo,
seperti:
わたくしwatakushi =
saya
c. Menyisipkan
verba bentuk renyoukei pada pola ‘o...suru’,
seperti:
お会いするoaisuru = au ‘bertemu’
おしらせするoshirase
suru
=知らせるshiraseru’memberitahu’,
‘mengumumkan’
お聞きするOkiki
suru =
聞くkiku
‘mendengar’
お習いするOnarai
suru =習うnarau
‘belajar’
お読みするOyomi
suru =読む ‘yomu membaca’
d. Memakai
verba ageru, mousu, moushiageru, itasu setelah verba lain, seperti:
Oshirase itasuお知らせいたす=shiraseru知らせる ‘memberi tahu’
お知らせ申すOshirase
moosu =知らせるshiraseru
知らせてあげるShirasete
ageru=知らせるshiraseru
知らせて差し上げるShirasete
sashiageru=知らせるshiraseru
2.3.3.3 Teineigo
Menurut Yoshisuke dan Yumiko
(1988:5) teineigo adalah:
丁寧語というのは、聞き手に対する敬意を表す形である。
Teineigo
to iu no wa kikite ni taisuru keii wo arawasu katachi de aru.
‘Teineigo
adalah bentuk untuk mengungkapkan perasaan hormat kepada lawan bicara.’
Ada juga yang menyebut teineigo dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara
(dengan pertimbangan khusus terhadap
lawan bicara).
Pemakaian teichoogo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau
menurunkan derajat orang yang dibicarakan. Berbeda dengan sonkeigo dan kenjoogo, teineigo dinyatakan dengan cara sebagai
berikut:
a. Memakai
verba bantu desu dan masu seperti pada kata:
行きますIkimasu =行くiku
‘pergi’
食べますTabemasu =食べるtaberu’makan’
本ですHon
desu =本だhon
da
‘buku’
きれいですKirei
desu =きれいだkirei da
‘cantik, bersih, indah’
b. Memakai
prefiks go atau o pada kata-kata tertentu, seperti:
お金okane = 金kane
‘uang’
お酒osake = 酒sake
‘arak Jepang’
ご意見goiken = 意見iken
‘pendapat’
ご結婚gokekkon = 結婚kekkon
‘nikah’
c. Memakai
kata-kata tertentu sebagai teineigo seperti
ございますGozaimasu
=ござるgozaruありますarimasu
=あるaru
‘ada’
2.3.3.4
Futsuugo
Menurut Yoshisuke dan Yumiko (1988:207),
futsuugo
adalah
普通語と言うのは、敬意を表せない形で、親しい人(家族や友人など)と話すとき使う。
Futsuugo to iu no wa keii wo arawasenai katachi de,
shitashii hito (kazoku ya yuujin nado) to hanasu toki tsukau.
‘Futsuugo
digunakan pada waktu berbicara dengan
orang yang akrab (keluarga, teman, dll) dan merupakan bentuk yang tidak
menunjukkan perasaan hormat. ’
Ragam Futsuugo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.
berakhiran dengan ~da, atau de aru
Contoh:
1.
これは本だ。
Kore wa hon da.
Ini buku.
2.
初めての外国生活である。
Hajimete no gaikokusekatsu dearu.
Kehidupan luar negeri yang pertama kali.
b. berakhiran
dengan verba bentuk futsuukei,
seperti bentuk ~ru
Contoh:
3.
僕は食べる。
Boku wa taberu.
Saya makan.
4.
私は六時に起きる。
Watashi wa roku
ji ni okiru.
Saya bangun jam enam.
(Ogawa, 1998:23)
Ragam futsuu biasanya digunakan dalam penuturan diantara anggota
keluarga, kawan-kawan yang akrab, orang yang berstatus tinggi terhadap yang
berstatus rendah, dalam bahasa media massa, makalah, roman dan sebagainya.
2.3.4.
Penggunaan
Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jepang
2.3.4.1 Keigo
Keigo dipakai
untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis),
untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang
dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk
orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Nakano Toshio (dalam Sudjianto,
1999:149) menjelaskan bahwa keigo ditentukan
dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau
muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau
bawahan, guru atau murid
3. Keakraban : orang dalam atau
orang luar
4. Gaya
bahasa : bahasa
sehari-hari, ceramah, perkuliahan
5. Pribadi
atau umum : rapat, upacara,
atau kegiatan apa
6.
Pendidikan :berpendidikan
atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo).
Bagi para pembelajar bahasa Jepang
dalam situasi-situasi tertentu memang dituntut untuk menggunakan keigo (bahasa hormat) sehingga menjadi
keharusan dalam mempelajarinya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit peran
pemakaian keigo bagi para penuturnya.
Secara singkat Hinata Shigeo ( dalam Sudjianto 2000:15-17) menyebutkan
keefektifan dan peran konkrit pemakaian keigo
tersebut sebagai berikut:
1. Keigo
ini dapat dikatakan merupakan dasar keefektifan berkomunikasi. Lawan bicara
yang dihormati adalah atasan atau orang yang posisinya tinggi secara sosial,
tetapi sudah tentu didalamnya termasuk orang-orang yang berdasarkan pada
hubungan manusia yang berada dalam bidang perdagangan dan bisnis.
2. Menyatakan
perasaan formal bukan di dalam hubungan atau situasi pribadi, di dalam hubungan
atau situasi resmi dilakukan pemakaian bahasa yang kaku dan formal. Misalnya
didalam sambutan upacara pernikahan, di dalam rapat atau ceramah yang resmi dan
sebagainya dipakai bahasa halus atau bahasa hormat sebagai etika sosial.
Berbicara dengan ragam akrab dalam situasi seperti ini kadang-kadang menjadi
tidak sopan.
3. Menyatakan
jarak diantara pembicara dan lawan bicara yang baru pertama kali bertemu atau
yang perlu berbicara dengan sopan biasanya terdapat jarak secara psikologis.
Dalam situasi seperti itu hubungan akan dijaga dengan menggunalkan bahasa halus
atau bahasa hormat secara wajar. Pemakaian bahasa atau sikap yang terlalu ramah
kadang-kadang akan menjadi kasar atau tidak sopan
4. Menjaga
martabat. Keigo pada dasarnya
menyatakan penghormatan terhadap lawan bicara atau orang yang dibicarakan.
Tetapi dengan dapat menggunakan keigo
secara tepat dapat juga menyatakan pendidikan atau martabat pembicaranya.
5. Menyatakan
rasa kasih sayang. Keigo yang
digunakan para orang tua atau guru taman kanak-kanak kepada anak-anak dapat
dikatakan sebagai bahasa yang menyatakan perasaan kasih sayang atau menyatakan
kebaikan hati penuturnya
6.
Ada kalanya menyatakan sindiran, celaan,
atau olok-olok. Hal ini merupakan ungkapan yang mengambil keefektifan keigo yang sebaliknya, misalnya
mengucapkan: Hontou ni gorippa na otaku
desu koto ‘Rumah yang benar-benar bagus’bagi sebuah apartemen yang murah,
atau mengucapkan kalimat Aitsu mo zuibun
goseichou asobimashita mono da. ‘Dia juga orang yang benar-benar sudah
dewasa’. Kalimat-kalimat itu secara efektif dapat mengungkapkan sindiran,
celaan atau olok-olok.
Dalam tingkat tutur bahasa Jepang dikenal
konsep uchi dalam dan soto luar, artinya orang Jepang akan
memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya
ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan
digunakan bawahan adalah ragam menghormat (sonkeigo)
bahasa menghormat dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika
bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan
adalah tingkatan kenjoogo bahasa
merendah, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri.
Uchi
adalah kelompok orang yang ada dilingkungan sendiri, seperti orang-orang di
lingkungan keluarga, kantor pembicara, sekolah, klub sekolah atau kelompok
masyarakat. Soto adalah kelompok orang yang diluar lingkungan keluarga,
kantor pembicara, sekolah, klub sekolah atau kelompok masyarakat.
Pengelompokan uchi dan soto dikonseptualisasikan
sebagai rangkaian lingkaran yang tumpang tindih. Posisi seseorang dalam
kelompok relatif terhadap kelompok lain tergantung pada konteks situasi dan
umur. Sebagai contoh, seseorang biasanya memiliki keluarga, pekerjaan, dan
kelompok lain atau organisasi yang mereka miliki. Posisi mereka dalam berbagai
kelompok dan dalam hubungan dengan kelompok lain, berubah sesuai dengan keadaan
pada saat tertentu. Misalnya: seorang pegawai kantor yang menduduki jabatan
manager personalia. Orang-orang yang ada dibagian personalia adalah kelompok uchi-nya
sedangkan direktur perusahaan, pegawai dan bagian lain adalah kelompok soto-nya.
Akan tetapi dia dalam berbicara dengan pelanggan atau karyawan dari perusahaan lain,
keseluruhan dari perusahaan tempat dia bekerja menjadi kelompok uchi-nya.
Sedangkan orang-orang diluar perusahaannya adalah soto.
Dewasa ini faktor-faktor berikut
ini dianggap sebagai penentu pilihan bentuk hormat di Jepang Nishida (dalam
Sudjianto 2000: 149).
1. Hadir
atau tidaknya orang yang hendak dibicarakan; Jika hadir di situ juga, dipakai
lebih banyak Sonkeigo dan Kenjoogo.
2. Hubungan
atas bawah; Yang berkedudukan bawah menggunakan bentuk hormat terhadap yang
lebih tinggi kedudukannya. Jika seseorang yang berkedudukan lebih rendah tidak
memakai bentuk hormat, ia akan dianggap tidak tahu sopan santun. Adapun yang
dikelompokkan sebagai hubungan ‘’atas-bawah’’ adalah seperti berikut ini:
·
Hubungan atas-bawah dalam satu
organisasi.
·
Hubungan atas-bawah dalam status sosial
·
Umur
·
Panjangnya pengalaman; misalnya, di
tempat kerja atau yunior-senior di sekolah.
3. Hubungan
pemberi jasa dan penerima jasa; Penerima jasa menunjukkan sikap hormat kepada
pemberi jasa.
·
Dokter dan Pasien
·
Tamu dan Pelayan: Di Jepang terdapat
pemakaian bahasa khusus di hotel, di toko-toko besar, seperti toserba. Para
karyawan atau pelayan
dididik memakai bahasa yang sopan dan halus terhadap para tamu.
·
Guru dan Orang tua murid.
4. Hubungan
akrab jauh: Bentuk hormat ini dipakai terhadap orang yang jauh/tidak akrab dan
tanpa bentuk hormat dengan mereka yang akrab. Sebagaimana di Jawa, di Jepang
antara anggota keluarga, antara kawan yang akrab tidak dipakai bentuk hormat.
Akan tetapi, sebagaimana di Jawa pula, orang Jepang memakai bentuk hormat
terhadap dosennya, tetapi para murid Sekolah Dasar biasanya tidak memakai
bentuk hormat. Baru di SMP, SMA, mereka memperoleh kesadaran untuk memakai
bentuk hormat.
5. Formal
atau tidak formal: Dalam situasi formal, misalnya berpidato dan sebagainya
dipakai bentuk hormat.
6. Hubungan
‘’dalam’’ dan ‘’luar’’
2.3.4.2
Teineigo
Teineigo merupakan bentuk untuk mengungkapkan perasaan hormat kepada lawan
bicara. Teineigo disebut juga dengan
istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan
rasa hormat terhadap lawan bicara.
(dengan pertimbangan khusus terhadap lawan bicara).
2.3.4.3 Futsuugo
Futsuugo merupakan bentuk yang tidak menunjukkan perasaan hormat. Umumnya
dipakai dalam penuturan diantara anggota yang berstatus tinggi terhadap yang
berstatus rendah, orang yang sudah akrab, dalam keluarga, media massa, makalah,
roman, dan sebagainya.
2.3.5 Undak-usuk Bahasa Jawa
Bahasa
Jawa disamping merupakan bahasa daerah yang banyak dipergunakan di daerah Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata juga mempunyai
penutur di daerah Caledonia Baru, Suriname. (Kunardi, 1983:7). Tentang jumlah
penutur bahasa Jawa, dewasa ini tidak kurang dari 60 juta orang
(Poedjosoedarmo, 1979:1). Dengan
jumlah penutur yang melebihi 60 juta orang tersebut bahasa Jawa menduduki
peringkat ke 16 apabila dibandingkan dengan bahasa-bahasa di seluruh dunia.
Bahasa
Jawa mengenal adanya tingkat tutur (speech
levels) atau undak-usuk yang
cukup rapi, yaitu: ngoko lugu, ngoko andhap, antya basa, basa antya, wredha krama, mudha krama, kramantara, madya
ngoko, madya krama, madyantara, krama inggil, dan krama desa. Selain itu
masih ada bahasa kedhaton dan bahasa bagongan yang dipakai dalam ruang
lingkup kraton. Pendapat mengenai undak-usuk tingkat tutur tersebut dikemukakan
oleh Poejosoedarmo (1973:13). Undak-usuk tingkat tutur bahasa Jawa terbagi atas
tiga jenis yaitu: Krama, Madya, Ngoko dengan masing-masing sub tingkat. Berikut ini penjelasan
mengenai undak-usuk tingkat tutur tersebut:
Ø Krama
a.
Mudha Krama:
kata-kata dan imbuhan krama inggil dan krama andhap. Contoh kalimat:
Bapak,
panjenengan mangke dipun aturi mundhutaken buku kangge Mas Kris.
b.
Kramantara:
hanya mengandung bentuk krama. Contoh kalimat:
Pak,
sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas Kris.
c.
Wredha Krama:
bentuk-bentuk afiks ngoko –e dan –ake. Contoh kalimat:
Nak,
sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas Kris.
‘Bapak/Nak, kamu nanti disuruh membelikan buku untuk
Mas Kris’.
Ø Madya
d.
Madya Krama:
kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan
krama inggil. Contoh kalimat:
Njenengan
napa mpun mundhutake rasukan Warti dhek wingi sonten?
e.
Madyantara:
kata-kata tugas madya afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan
krama inggil. Contoh kalimat:
Samang
napa pun numbasake rasukan Warti dhek wingi sore?
f.
Madya Ngoko:
kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk ngoko.
Contoh kalimat:
Samang
napa pun nukokke klambi Warti dhik wingi sore?
‘Kamu apa sudah membelikan baju Warti kemarin
sore?.’
Ø Ngoko
g.
Basa Antya: terdapat
kata-kata krama inggil, krama, ngoko, imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adik arep dipundhutake menda.
h.
Antya Basa:
terdapat kata-kata krama inggil disamping kosakata ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep dipundutake wedhus.
i.
Ngoko Lugu:
terdapat kata-kata dan imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep ditukokake wedhus. Adik akan dibelikan kambing.
2.3.6 Penggunaan
Undak-Usuk Bahasa Jawa
Dalam bahasa Jawa penggunaaan undak-usuk basa tidak akan terlepas
membahas bentuk krama (bahasa hormat)
yang penggunaannya dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si
pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu
hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si
lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai
konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama
(bahasa hormat). Berikut ini gambaran mengenai hubungannya yang berkaitan
dengan status sosial:
1. Hubungan
simetris:
a. antara
orang muda: ngoko, madya
b. antara
orang tua: ngoko, krama
c. antara
priyayi dan tukang sayur :madya
d. antara
orang yang belum saling kenal: krama, madya
2. Hubungan
asimetris:
a. anak
kepada orang tua: krama, dan orang tua kepada anak : ngoko
b.
pembantu rumah tangga (tukang sayur)
kepada tuan rumah: madya, dan tuan rumah kepada pembantu rumah tangga (tukang
sayur): ngoko.
Untuk menyusun kalimat di dalam
bahasa Jawa, sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertimbangan pertama berkenaan
dengan pertanyaan bagaimana jenis hubungan antara si pembicara dan lawan
bicara. Ini untuk menetapkan apakah digunakan konstruksi ngoko, madya, atau krama.
Pada pertimbangan kedua, berdasarkan jenis hubungan antara si pembicara dan
lawan bicara itu ditentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak.
Selain itu untuk menentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak, juga
dipertimbangkan jenis hubungan si
pembicara atau lawan bicara dengan orang lain yang sedang dibicarakan.
Contoh:
1.
Saya sudah makan. Bapak sudah makan atau belum?
·
Ngoko:
Aku wis mangan. Bapak wis dhahar durung?
·
Madya:
Kula mpun nedha. Bapak mpun dhahar
dereng?
·
Krama:
Kulo sampun nedha. Bapak sampun dhahar
dereng?
2. Saya sudah makan. Agus sudah makan belum?
·
Ngoko:
Aku wis mangan. Agus wis mangan durung?
·
Madya:
Kula mpun nedha. Agus mpun nedha dereng?
·
Krama: Kula sampun nedha. Agus sampun nedha
dereng?
(Sudaryanto,
1991: 153-154).
Dua hal yang perlu diperhatikan
dalam sopan santun berbahasa Jawa yaitu pilihan bentuk linguistik atau bentuk
lingual dan sikap andhap asor. Andhap asor berarti merendahkan diri
sendiri dengan kepada setiap orang yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi.
(Geertz, 1981:326). Pernyataan Geertz tersebut telah memperhitungkan tingkat
tutur (faktor lingual) dan faktor non-lingual dalam berbahasa Jawa. Pilihan
bentuk linguistik mengarah kepada relasi atau hubungan penutur dengan lawan
tutur (faktor non-lingual).
Khusus mengenai faktor lingual akan
tercermin di dalam perbedaan bentuk tingkat tutur (ngoko, madya,
krama). Sebagai contoh: misalnya seseorang akan menyapa
orang lain: ‘Hendak
pergi ke mana?’,
maka bentuk tuturannya sebagai berikut:
ü Arep menyang ngendi?
ü Ajeng teng pundi?
ü Badhe tindak dhateng pundi?
Sehubungan
dengan pemilihan suatu tingkat tuturan Soeroso (dalam Sudaryanto, 1991:6-7)
menyatakan bahwa ada empat langkah yang harus selalu diingat dan dilakukan bagi
seorang penutur yang akan berbahasa Jawa. Keempat langkah tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Ø Mawas
diri
Penutur menempatkan dirinya terhadap lawan tuturnya,
dan ada tiga kemungkinan:
·
penutur lebih rendah daripada lawan
tutur
·
penutur sederajat dengan lawan tutur
·
penutur lebih tinggi kedudukannya dengan
lawan tutur
Ø Memilih
bahasa
·
apabila penutur lebih rendah daripada
lawan tutur, penutur menggunakan bahasa krama;
·
apabila penutur sederajat dengan lawan
tutur, penutur menggunakan bahasa madya, ngoko;
·
apabila penutur lebih tinggi daripada
lawan tutur, penutur menggunakan bahasa ngoko.
Ø Memilih
kata
Dalam
menggunakan bahasa seperti tersebut pada langkah yang kedua perlu dipilih kata
yang tepat.
Ø Menetapkan
sikap
Sikap berbicara disesuikan dengan
sikap diri misalnya sikap hormat, sikap santai, dan sebagainya.
Keempat langkah diatas berdasarkan
analisis secara psikologis, yang tentu saja langkah-langkahnya berlangsung
secara ‘’otomatis’’ pada jiwa penutur. Pada langkah pertama (mawas diri) dan
langkah keempat (menetapkan sikap) berkaitan dengan faktor non-lingual dalam
berbahasa yang menyangkut relasi penutur dengan lawan tutur. Langkah kedua
(memilih bahasa) dan langkah langkah ketiga (memilih kata) berkaitan dengan
pemilihan tingkat tutur.
Adanya bentuk tuturan yang dapat
mencerminkan rasa sopan santun berarti pula tingkat tutur berkaitan erat dengan
sopan santun berbahasa. Sopan santun berbahasa itu sendiri merupakan ajaran
yang patut untuk dilaksanakan dalam masyarakat tutur jawa. Sehubungan dengan
hal itu Suwadji (1985:14-15) menyatakan sebagai berikut:
1. Ajaran
sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu budaya Jawa yang masih hidup
dan bertahan sampai sekarang,
2. Sopan
santun berbahasa Jawa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan masyarakat Jawa,
3. Sopan
santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur Jawa menghormati lawan
tuturnya,
4.
Sopan santun berbahasa Jawa lebih
menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.
Keempat pernyataan diatas menunjukkan adanya prinsip
pokok dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Dalam hal
inipemilihan tingkat tutur (sebagai faktor lingual dalam berbahasa) mengiringi
sopan santun berbahasa yang dapat diamatai dalam suatu peristiwa tutur. Prinsip
pokok dan fungsi tersebut apabila dipahami secara benar dapat menumbuhkan rasa
kebanggaan orang Jawa memiliki bahasa Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar