Rabu, 10 Oktober 2012

HASIL AKHIR REVISI BAB III


BAB III
BENTUK DAN PENGGUNAAN  TINGKATAN BAHASA DALAM BAHASA JEPANG DAN UNDAK-USUK BAHASA JAWA


3.1       Bentuk Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jepang
Pada awalnya, pembelajar bahasa Jepang dikenalkan dengan tingkatan teineigo terlebih dulu disamping tingkatan bahasa hormat yang lain seperti sonkeigo dan kenjoogo, sebab tingkatan teineigo dipakai secara luas untuk menghormati kepada mitra wicara.

  3.1.1  Tingkatan Teineigo
Kata teinei berarti sopan, sehingga bentuk teineigo biasa diartikan dengan bentuk sopan. Karena tingkatan teineigo ini kalimatnya berakhiran dengan kopula -desu, atau verba bantu–masu, maka disebut pula ragam desu atau masu. Tingkatan teineigo merupakan salah satu bagian dari keigo (bahasa hormat) bahasa Jepang. Pembicara menggunakan tingkatan ini untuk menyatakan rasa hormat dan biasanya memperindah suatu pokok pembicara secara langsung terhadap mitra wicaranya. Umumnya bentuk tingkatan ini mempunyai ciri-ciri: kalimat akhirnya berakhiran dengan kopula –desu dan verba bantu –masu.


Contoh kalimat:
1.      ミルクを飲みます。
Miruku o nomimasu.
Saya minum susu.

2.      日本料理はおいしいです。
Nihonryouri wa oishii desu.
Masakan Jepang enak.

3.      半年ぐらい習いました。
Hantoshi gurai naraimashita.
Saya telah belajar kira-kira setengah tahun.

4.      この料理はおいしくないです。
Kono ryouri wa oishikunai desu.
Masakan ini tidak enak.

5.      あの家は大きいです。
Ano ie wa ookii desu.
‘Rumah itu besar’.
(Chandra, 2001: 39-41)

Contoh verba nomimasu ‘minum’ diatas merupakan contoh tingkatan teineigo yang berasal dari perubahan verba nomu dan verba naraimashita ‘belajar’(lampau) berasal dari verba narau (futsuu’biasa’). Untuk mengubah verba dalam tingkatan futsuugo menjadi tingkatan teineigo caranya dengan menambahkan verba bantu ~masu dan ~mashita (lampau). Dalam kamus bahasa Jepang apapun, verba-verba dalam bahasa Jepang umumnya hanya dapat dijumpai dalam bentuk futsuugo.
Sedangkan oishii ‘enak’ dan ooki ‘’besar’merupakan contoh kata sifat yang berakhiran ~i (ikeyoushi). Untuk mengubah kata sifat, dan kata benda dalam bahasa Jepang yang masih berbentuk tingkatan futsuugo agar menjadi tingkatan teineigo, maka tinggal menambahkan kopula desu dibelakang kata sifat dan kata benda tersebut. 

3.1.2    Tingkatan Futsuugo
Tingkatan futsuugo dalam bahasa Jepang merupakan tingkatan yang paling dasar, maksudnya tingkatan ini dipakai oleh pembicara kepada lawan bicaranya yang sudah akrab. Tingkatan futsuugo  mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.      berakhiran dengan ~da, atau de aru
b.      berakhiran dengan verba bentuk futsuukei, seperti bentuk ~ru
c.       Kata kerja kelompok I mempunyai ciri-ciri berakhiran –u, -tsu, -ru, -mu, -nu, -bu, -ku, -gu, -su, kata kerja kelompok II mempunyai ciri-ciri berakhiran –eru dan –iru dan kata kerja kelompok III terdiri dari kata kerja khusus karena hanya ada dua kata yaitu kata kuru  dan suru.
Contoh kalimat:

1.      生徒達は文を作る。
Seitotachi wa bun o tsukuru.
Murid-murid membuat kalimat.

2.      この焼き飯はとてもうまい。
Kono yakimeshi wa totemo umai.
Nasi goreng ini enak sekali.

3.      タオルや石鹸などを買った。
Taoru ya sekken nado o katta.
Saya telah membeli handuk, sabun, dan lain-lain.


4.      石田君は怠け者ではない。
Ishida-kun wa namakemono dewa nai.
Ishida bukan pemalas.

5.      これはいものだ
Kore wa yasui mono da.
Ini barang yang murah.
(Chandra, 1999 : 77-78)

Pada contoh-contoh kalimat diatas, tingkatan futsuugo, verba futsuugo tidak mengalami perubahan, sedangkan dalam bentuk lampau mengalami perubahan, seperti: tsukuru ‘membuat’ dan katta (bentuk lampau) dari kau ‘membeli’. Pada contoh kalimat yang memakai kata sifat ikeyoushi tidak mengalami perubahan, hanya saja jika kata sifatnya berubah menjadi bentuk negatif maka cukup menambahkan ~nai atau ~dewa nai (kata sifat berakhiran~ na/kata benda) dibelakangnya. Sedangkan pada kata benda tinggal menambahkan kopula da.


3.1.3    Tingkatan Sonkeigo
Tingkatan sonkeigo adalah bagian tingkatan keigo (bahasa hormat) bahasa Jepang yang dipakai untuk menghormat kepada lawan bicaranya. Umumnya tingkatan ini verbanya mempunyai ciri-ciri mendapat imbuhan verba bantu -o...ni naru, -rareru, serta mempunyai bentuk verba khusus dalam sonkeigo dan nominanya berimbuhan prefiks go/o.

Contoh kalimat:
1.      部長はアメリカへ出張なさいます。
Buchou wa Amerika e shutchou nasaimasu.
Pak Direktur akan dinas ke Amerika.

2.      課長はもう帰られました。
Kachou wa mou kaeraremashita .
Pak Manager sudah pulang.

3.      先生はいらっしゃいますか。
Sensei wa irrashaimasu ka.
Pak Guru ada?

4.      お子さんのお名前は何とおっしゃいますか。
Okosan no namae wa nanto osshaimasu ka?
Siapa nama putra anda?

5.      先生は新しいパソコンを買いになりました。
Sensei wa atarashii pasokon wo kai ni narimashita.
Pak Guru telah membeli computer baru.
(Ogawa, 1998: 194-205)

Pada contoh kalimat diatas, verba nasaimasu ‘melakukan’ berasal dari verba shimasu (teineigo) kemudian verba suru (futsuugo) dan osshaimasu ‘berkata’ berasal dari verba iimasu (teineigo) kemudian verba iu (futsuugo). Contoh perubahan verba songkeigo dari teineigo dan verba teineigo dari futsuugo mengalami perubahan yang cukup dinamis. Aturan tersebut sudah paten ditentukan dalam verba khusus dalam aturan yang ada dalam tingkatan sonkeigo. Kemudian ada juga verba futsuugo yang diubah menjadi tingkatan sonkeigo dengan menambahkan verba bantu ~ni naru dan verba bantu ~reru, contoh: kai ni narimasu berasal dari kau (futsuugo) ‘membeli’ dan kaeraremasu berasal dari verba kaeru (futsuugo) ‘pulang’.
 3.1.4   Tingkatan Kenjoogo
Tingkatan kenjougo merupakan salah satu bagian dari keigo ((bahasa hormat) bahasa Jepang yang dipakai terhadap lawan bicara atau terhadap orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan diri. Umumnya bentuk tingkatan kenjoogo mempunyai ciri-ciri verbanya terdiri dari verba khusus kenjoogo, verba bantu go/o...suru dan nominanya juga ditambahkan dengan prefiks o/go didepannya.
Contoh kalimat:
1.      私はアメリカから、参りました。
Watakushi wa Amerika kara, mairimashita.
Saya datang dari Amerika.

2.      会社の中をご案内します。
Kaisha no naka o goannai shimasu.
Saya akan memandu dalam perusahaan.

3.      ニューヨークにおります。
Nyuyouku ni orimasu.
Berada/di New York.

4.      今、出かけております。
Ima, dekakete orimasu.
Sekarang sedang keluar.

5.      きのう先生のお宅へ伺いました。
Kinou sensei no otaku e ukagaimashita.
Kemarin saya berkunjung ke rumah Pak Guru.
(Ogawa, 1998: 194-205)

Dalam tingkatan kenjoogo kata kerja golongan I, kata kerja golongan II, dan perubahan verba dari bentuk futsuu ke teinei dan verba dari teinei ke kenjoogo juga mengalami perubahan bentuk yang cukup dinamis. Misalnya verba mairimasu (kenjoogo) berasal dari verba kimasu (teineigo), kemudian dari verba kuru ‘datang’ (futsuugo), dan verba ukagaimasu (kenjoogo) berasal dari kata uchi e ikimasu (teineigo) kemudian dari verba uchi e iku (futsuugo) . Aturan tersebut sudah paten ditentukan dalam bentuk verba khusus dalam aturan yang ada dalam bentuk kenjoogo.

3.2       Undak-Usuk Bahasa Jawa
Bahasa Jawa mengenal juga adanya tingkat tutur (speech levels) atau undak-usuk yang cukup rapi, yaitu: ngoko lugu, ngoko andhap, antya basa, basa antya, wredha krama, mudha krama, kramantara, madya ngoko, madya krama, madyantara, krama inggil, krama andhap, dan krama desa. Selain itu masih ada bahasa kedhaton dan bahasa bagongan yang dipakai dalam ruang lingkup kraton.

 3.2.1   Ngoko
Dalam tingkat apapun, kata ngoko digunakan apabila kata tersebut tidak mempunyai padanan pada tingkat kata yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kosakata dalam bentuk ngoko mempunyai jumlah paling besar diantara kosa kata lainnya.
Bentuk basa ngoko merupakan suatu tatanan kalimat yang terdiri dari kumpulan kata-kata ngoko yang seterusnya akan disebut tembung ngoko, termasuk juga afiks-afiks yang melekat pada tembung ngoko itu sendiri adalah  kata-kata yang tidak memiliki atau mengandung suatu nilai halus atau penghormatan.
Contoh kalimat:
1.      Aku mangan roti.
Saya makan roti

2.      Gedhange murah.
Pisangnya murah.

3.      Dhek wingi aku mangan gedhang.
Kemarin saya makan pisang.

4.      Kembang kae ora abang.
Bunga itu tidak merah.

5.      Iki enak.
Ini enak.
(Sudaryanto, 1993:448)

Pada contoh kalimat diatas verba ngoko pada kata mangan ‘makan’ mempunyai bentuk madya yaitu madhang dan dhahar merupakan bentuk krama/krama inggil-nya. Sedangkan kata sifat abang ‘merah’ mempunyai bentuk krama dan krama inggil-nya abrit, murah ‘murah’ bentuk krama dan krama inggil-nya mirah dan enak ‘enak’ mempunyai bentuk krama dan krama inggil-nya eca. Untuk mengetahui kosakata dalam undak-usuk bahasa Jawa dalam ngoko berubah menjadi madya kemudian krama inggil kuncinya adalah menghapal atau mengingatnya.


Adapun sub tingkatan dalam ngoko terdiri dari:
ü  Basa Antya: terdapat kata-kata krama inggil, krama, ngoko, imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adik arep dipundhutake menda.
ü  Antya Basa: terdapat kata-kata krama inggil disamping kosakata ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep dipundutake wedhus.
ü  Ngoko Alus: terdapat kata-kata campuran antara ngoko dan krama. Contoh kalimat: Adhik badhe ditukokke wedhus.
ü  Ngoko Lugu: terdapat kata-kata dan imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep ditukokake wedhus. ‘Adik akan dibelikan kambing.’
Adapun para ahli bahasa Jawa ada yang menggolongkan sub tingkatan dalam ngoko hanya meliputi 2 sub tingkatan saja, yakni basa antya dan antya basa saja, sedangkan ngoko lugu dan ngoko andhap bukan sebuah tingkat tutur, melainkan hanya sekelompok kata yang mewarnai tingkat tutur yang ada, yaitu ngoko, madya dan krama.

3.2.2        Madya
Madya merupakan bagian tengah-tengah dalam undak-usuk bahasa Jawa. Digunakan dalam bertutur kata dengan orang yang tingkat sosialnya rendah, tetapi usianya lebih tua dari penuturnya. Bentuk madya paling sering dipakai oleh orang-orang yang bermukim di pedesaan ataupun di daerah pegunungan, terutama pada saat kegiatan jual-beli di pasar. Adapun sub tingkatan dalam madya meliputi:
ü  Madya Krama: kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan krama inggil. Contoh kalimat:
Njenengan napa mpun mundhutake rasukan Warti dhek wingi sonten?
ü  Madyantara: kata-kata tugas madya afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan krama inggil. Contoh kalimat:
Samang napa pun numbasake rasukan Warti dhek wingi sore?
ü  Madya Ngoko: kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk ngoko. Contoh kalimat:
Samang napa pun nukokke klambi Warti dhik wingi
Kamu apa sudah membelikan baju Warti kemarin sore?.

3.2.3    Krama
Berdasarkan bentuk fonemisnya, kata-kata krama dibagi menjadi dua jenis. Pertama, kata-kata yang mempunyai bentuk menyerupai padanan ngoko. Misalnya: kula (krama) dengan aku (ngoko) ‘saya’ dan griya (krama) dengan omah (ngoko) ‘rumah’. Kedua, kata-kata krama yang mempunyai padanan ngoko.
Dalam bahasa Jawa, perubahan ngoko ke krama lebih variatif, ada yg tidak mengalami perubahaan kata sama sekali, tetapi adapula kata dari ngoko yang berjumlah total dalam ragam krama sehingga terbentuk kata baru.
Contoh kalimat:
1.      Kula nedha roti.
Saya makan roti.

2.      Pisangipun mirah.
Pisangnya murah.

3.      Kala wingi kula nedha pisang.
Kemarin saya makan pisang.

4.      Sekar punika boten abrit.
Bunga itu tidak merah.

5.      Punika eca.
Ini enak.
(Sudaryanto, 1993 : 449)

Dari contoh kalimat diatas dapat diketahui bahwa verba nedha (krama) ‘makan’ berasal dari verba mangan (ngoko) ‘makan’. Kata sifat mirah (krama) ‘murah’ berasal dari kata murah (ngoko) kemudian abrit (krama) dari kata abang (ngoko)  dan eca (krama) berasal dari kata enak (ngoko). Kata ganti orang pertama kula (krama) berasal dari kata aku (ngoko) ‘saya’. Kata keterangan waktu kala wingi (krama) berasal dari kata dhek wingi (ngoko).  Selanjutnya kata tunjuk punika (krama) berasal dari kata iki (ngoko).  

  3.2.3.1  Krama Inggil
Sementara itu kosakata krama inggil sebagian besar merupakan serapan yang berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa kuna, hanya kecil yang merupakan serapan dari bahasa Persia dan Arab. Contoh kosa kata krama inggil serapan adalah sebagai berikut:

Ngoko
Krama
Krama Inggil
Arti
Sumber
tangan
-
asta
tangan
Sansekerta
picak
-
wuta
buta
Jawa kuna
batur
rencang
abdi
pembantu
Arab
iket
udheng
dhestar
ikat pinggang
Persia

Contoh kalimat:
1.      Benjing-enjing kula tuwi rencang kula.
 Besok pagi saya menjemput temanku.

2.      Pak Guru maringake apa?
Pak Guru memberikan apa?

3.      Badhe kepanggih sinten?
Hendak bertemu siapa?

4.      Sliramu diparingi apa?
Dirimu dikasih apa?

5.      Ibu ngendika apa?
Ibu berkata apa?
(Sudaryanto, 1993: 458-459)

Dari contoh kalimat diatas dapat diketahui bahwa verba tuwi (krama inggil) ‘menjemput’ berasal dari kata mapak (madya), methuk (ngoko), kemudian maringake (krama inggil) ‘memberikan’ berasal dari kata wenehake (ngoko) kemudian verba intransitif diparingi (krama inggil) berasal dari kata diwenehi (ngoko) dan verba ngendika (krama inggil) ‘berkata’ berasal dari kata ngucap (ngoko).  Seanjutnya kata ganti orang kedua sliramu (krama inggil) ‘kamu/dirimu’ berasal dari kata kowe (ngoko).
  3.2.3.2   Krama Andhap
Dalam undak-usuk bahasa Jawa, kelompok krama inggil dibagi menjadi dua, yaitu pertama adalah kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan meluhurkan diri dengan yang diacu disebut sebagai kata krama inggil. Kedua, adalah kelompok kata yang menghormat orang yang diacu dengan cara merendahkan diri sendiri yang disebut sebagai krama andhap. Contoh kata krama inggil dan krama andhap adalah sebagai berikut:
Ngoko
Krama
Krama Inggil
Krama Andhap
Arti
kandha
criyos
ngendhika dhawuh
matur
berkata
takon
taken
paring priksa
nyuwun priksa
bertanya

Contoh kalimat:
1.      Benjing punapa kula kapareng sowan?
Pada hari apa saya boleh berkunjunng?

2.      Pak Guru dipun caosi punapa?
Pak Guru diberi apa?

3.      Kula badhe sowan Pak Rektor.
Saya hendak bertemu Pak Rektor.

4.      Kula dipun paringi buku (dening) Pak Guru.
Saya diberi buku oleh Pak Guru.

5.      Kula boten matur punapa-punapa.
Saya tidak berkata apa-apa.
(Sudaryanto, 1993: 458-459)
Dari contoh kalimat diatas dapat diketahui bahwa verba sowan (krama andhap) ‘berkunjung’ berasal dari kata dolan (ngoko), sedang sowan (krama andhap)  ‘bertemu’ berasal dari kata nemoni (ngoko) kemudian verba caosi dan paringi (krama andhap) ‘diberi ’berasal dari kata diwenehi (ngoko) kemudian verba matur (krama andhap) berasal dari kata kandha (ngoko).

3.3       Penggunaan Tingkatan  Bahasa dalam Bahasa Jepang
Pada dasarnya tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang terletak pada bentuk keigo (bahasa hormat) yang dipakai untuk menghaluskan bahasa, umumnya dipakai oleh orang pertama (pembicara atau penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Umumnya keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1.      Usia                                   : tua atau muda, senior atau yunior
2.      Status                                : atasan atau bawahan, guru atau murid
3.      Keakraban                         : orang dalam atau orang luar
4.      Gaya bahasa                      : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan
5.      Pribadi atau umum            : rapat, upacara, atau kegiatan apa
6.      Pendidikan                                    :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo). 



3.3.1    Penggunaan  Tingkatan Teineigo
Tingkatan teineigo adalah cara bertutur kata dengan sopan santun yang dipakai oleh pembicara dengan saling menghormati atau menghargai perasaan masing-masing. Tingkatan teineigo juga biasa disebut dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara). Pemakaian tingkatan teichoogo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau menurunkan derajat orang yang dibicarakan, berbeda dengan sonkeigo dan kenjoogo.
Pemakaian tingkatan teineigo tidak memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun kata kekerabatan pembicara dengan mitra wicara karena inti dari pemakaian ragam bahasa ini agar apa yang dibicarakan oleh pembicara terdengar lebih enak dan lebih halus. Dalam kehidupan sehari-hari tingkatan teineigo ini lebih sering digunakan dibandingkan tingkatan keigo yang lainnya, yaitu sonkeigo dan kenjoogo. Seseorang yang berbicara dalam tingkatan teineigo ini tidak meninggikan seseorang ataupun merendahkan seseorang tetapi hanya memperhalus bahasa yang dipakai. Secara tidak langsung dengan memperhalus bahasa yang digunakan, dapat meninggikan rasa hormat terhadap mitra wicara. Ragam bahasa ini biasa digunakan terhadap orang yang belum dikenal oleh pembicara sebelumnya atau kelompok orang yang berada diluar kelompok pembicara dalam ruang lingkup formal.
Contoh penggunaan tingkatan teineigo dalam percakapan:
Yuki    :すみません、ちょっと教えてください。
             Sumimasen, chotto oshiete kudasai.
            Maaf, mohon informasi sebentar.

Polisi   :いいですよ。何ですか。
             Ii desu yo. Nan desu ka?
            Iya, ada apa?

Yuki    :ビストロというレストランにはどう行けばいいのですか。
             Bisutoro to iu resutoran ni wa dou ikeba ii no desu ka.
Jalan ke Restoran Bistro lewat mana?

Polisi   :ビストロですね。信号のところまでまっすぐ行って、右に曲がってださい。そして、2~3分歩くと右側に見えます。
Bisutoran desu ne. Shingo no tokoro made massugu itte, migi ni magatte   kudasai. Soshite, ni-sanpun aruku to, migi ni miemasu.
(Restoran) Bistro ya.’ ‘Jalan lurus saja sampai di lampu merah, terus belok kanan.’ ‘Setelah itu jalan lurus selama 2-3 menit, restorannya ada di sebelah kanan.

Yuki    :ありがとうございました。
             Arigatou gozaimashita.
            ‘Terima kasih.’

(Kusmaryani, 2010: 71-72)
Pada contoh percakapan diatas, Yuki bertanya kepada seorang polisi dengan menggunakan tingkatan teineigo dalam berkomunikasi. Orang kedua (lawan bicara) si Yuki merupakan orang yang baru dikenal/belum akrab (polisi). Untuk berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal/belum akrab tingkatan teineigo sudah dapat digunakan dalam tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang, sebab  sudah mengandung unsur saling menghormati antara pembicara maupun lawan bicara.


 3.3.2   Penggunaan Tingkatan Futsuugo
Tingkatan futsuugo biasanya digunakan dalam penuturan diantara anggota keluarga: orang tua kepada anaknya begitu juga sebaliknya, kawan-kawan yang akrab, orang yang berstatus tinggi terhadap yang berstatus rendah, dalam bahasa media massa, makalah, roman dan sebagainya.
Contoh penggunaannya dalam percakapan:
Satoru :今日、赤すぎじゃない
             Kyou, aka wo kisugi janai?
            Kamu nggak kebanyakan pakai merah hari ini?

Mira     :別に、いいじゃん!赤が好きだから。
             Betsu ni, ii jan! Aka ga suki dakara.
            Emangnya kenapa? Aku, kan, suka merah.

Satoru :ジャケットもイヤリングも靴も全部赤だよ。
             Jaketto mo iyaringu mo kutsu mo zenbu aka da yo.
            Dari jaket, anting-anting, sampai sepatu merah semua.

Mira     :バッグも赤だよ。
             Baggu mo aka da yo.
            ‘Tasku juga merah.’
Satoru :そうだ。バッグも!
             Sou da. Baggu mo!
            Oh, ya. Tasnya juga!

Mira     :なによ?文句ある?
             Nani yo? Monku  aru?
            Kenapa, sih?’ ‘Ada masalah?

Satoru :俺、赤きらいんだよな。
             Ore, aka kirain da yo na.
            Aku benci warna merah.

Mira     :へ?うそ!赤きらいの?
             He? Uso! Aka kirai no?
            Hah? Yang bener?’ ‘Kamu benci merah?

Satoru :彼女は赤がこんなに好きじゃ、困るな。
             Kanojo wa aka konna ni suki ja, komaru na.
            Kalau pacarku sesuka ini sama merah, gawat juga.

Mira     :じゃあ、どうする?別れたほうがいいっていうの?
             Jaa, dou suru? Wakareta hou ga iitte iu no?
            Terus mau bagaimana? Maksud kamu, lebih baik kita putus?

Satoru :そうは言ってないだろう~。
 Sou wa itte nai darou...
‘Aku kan, nggak bilang begitu…’

(Kusmaryani, 2010:54-56)
Pada contoh percakapan diatas Mira dan Satoru adalah sepasang kekasih. Dalam hal ini, hubungan mereka sudah pasti akrab. Tingkatan futsuugo digunakan dalam kondisi yang sudah akrab (sesama teman, pacar, keluarga, dan lainnya) seperti yang ada pada contoh percakapan diatas.

 3.3.3   Penggunaan Tingkatan Sonkeigo
Tingkatan sonkeigo adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan. Misalnya, ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan tingkatan yang akan digunakan bawahan adalah tingkatan menghormat sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya.
Tingkatan sonkeigo dipakai juga bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan atasan sebagai orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya, yang berhubungan dengan lawan bicara (termasuk aktifitas dan segala sesuatu yang berkaitannya). Tingkatan sonkeigo merupakan cara bertutur kata yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara.
Contoh penggunaannya dalam percakapan:
Sudirno           もしもし、そちらは「ビストロ」ですか。
                        Moshi-moshi, sochira wa ‘Bisutoro’ desu ka.
                        Halo, disitu restoran Bistro?

CS                   :はい、「ビストロ」でございます。
                        Hai, ‘Bisutoro’ de gozaimasu.
                        Benar’. ‘Disini ‘Bistro.

Sudirno           7:302名予約したいのですが。。。
                        Shichijihan ni 2 mei yoyaku shitai no desu ga…
                        Saya ingin reservasi untuk 2 orang di pukul 19.30.

CS                               :申し訳ございません。電話回線の状態が悪いようです。もう一度おっしゃってくださいませんか。
                        Moushiwake gozaimasen. Denwa kaisen no joutai ga warui you desu. Mou ichido osshatte kudasaimasen ka.
                        Maaf’.  ‘Sepertinya koneksi telpon sedang agak buruk’. ‘Bisa tolong ulangi sekali lagi?

Sudirno           :はい、今週金曜日の7:30に2人分の席が取れますか。
Hai. Konshuu kinyoubi no shichijihan ni futari-bun no seki ga toremasu ka?
‘Baik.’ ‘Apakah saya bias res rvasi untuk 2 orang di hari Jum’at pukul 19.30?’

CS                               :お調べします。申し訳ございません。金曜日は混んでおりまして、お席にご案内できるのは一番早くて8:30となっておりますが。。。
                        Oshaberi shimasu. Moushiwake gozaimasen. Kinyoubi wa konde orimashite, oseki ni go annai dekiru no wa ichiban hayakute hachijihan to natte orimasu ga…
                        Saya cek dulu.’ ‘Maaf, Pak.’ ‘Hari Jum’at penuh, saya bisa antar Bapak ke kursi paling cepat pukul 20.30…’

Sudirno           :そうですか。。。
                        Sou desu ka…
                        Begitu, ya…

CS                               :もし早めにお出でになるのでしたら、テーブルが空くまでバーでお飲み物でもいかがでしょうか。
                        Moshi hayame ni oide ni naru no deshitara, teeburu ga aku made baa de onomimono demo ikaga deshou ka.
                        Kalau Bapak bisa datang lebih cepat, bagaimana kalau sambil menunggu kursi kosong, minum dulu di bar?

Sudirno           :ああ、それはいいですね。ありがとう。。。
                        Aa, sore wa ii desu ne. Arigatou…
                        Ah, boleh juga. Terima kasih…

CS                   :ではお二人ですね。お名前は。。。?
                        Dewa, o-futari desu ne. Onamae wa…?
                        Jadi, dua orang ya. Namanya…?

Sudirno           :スデイルノ、S-U-D-I-R-N-O…それと窓側禁煙席でお願いしますか。
                        Sudirno, S-U-D-I-R-N-O…, sore to madogawa wa kin’en seki de onegai dekimasu ka.
                        Sudirno, S-U-D-I-R-N-O…, dan bisa minta kursi non-smoking di sebelah jendela?

CS                               :もちろんです。問題ありません。では、スデイルノ様、金曜日8:30でご予約賜りました。           
Mochiron desu. Mondai arimasen. Dewa Sudirno-sama, kinyoubi hachijihan de go yoyaku tamawarimashita.
Tentu bias.’ ‘Tidak ada masalah.’ ‘Baik, Bapak Sudirno, reservasi untuk jum’at pukul 20.30 ya.

Sudirno           :はい、どうもありがとう。
                        Hai, doumo arigatou.
                        ‘Baik, terima kasih.’

(Kusmaryani, 2010:140-143)

Pada contoh dialog diatas Sudirno dan CS (Customer Service) restoran Bistro kedudukannya merupakan orang yang memakai jasa (Sudirno) dan memberikan jasa (CS). Dalam hal ini tingkatan sonkeigo berperan penting bagi orang yang memberikan jasa yang status kedudukannya wajib menggunakan ragam menghormat karena melayani orang yang memakai jasa. Dalam tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang orang yang memberikan jasa kepada orang yang memakai jasa tertentu merupakan salah satu contoh dari penggunaan tingkatan sonkeigo atau ragam menghormat selain di luar lingkup uchi dan soto.

3.3.4        Penggunaan Tingkatan Kenjoogo
Tingkatan kenjoogo digunakan untuk menyatakan rasa homat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Misalnya, dalam kantor atau perusahaan ketika bawahan berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda tingkatan yang digunakan adalah tingkatan kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Dalam penggunaan tingkatan kenjoogo yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang menjadi subjek/pokok kalimat adalah diri sendiri atau pihak sendiri. Hadir atau tidaknya orang yang hendak dibicarakan; Jika hadir di situ juga, dipakai lebih banyak tingkatan Sonkeigo dan Kenjoogo.
Contoh percakapan dalam kenjoogo:
司会者           :優勝おめでとうございます。
           すばらしいスピーチでした。
Shikaisha       : Yuushou omedetou gozaimasu. Subarashii supiichi deshita.
                         Selamat menjadi juara. Pidato anda bagus sekali.

ミラー           :ありがとうございます。
Mira               : Arigatou gozaimasu.
                         Terima kasih.

司会者           :緊張なさいましたか。
Shikaisha       : Kinchou nasaimashita ka.
                         Apakah anda grogi?

ミラー           :はい、とても緊張いたしました。
Mira                : Hai, totemo kinchou itashimashita.
                        Ya, saya groggi sekali.

司会者           :テレビで放送されることはご存知でしたか。
Shikaisha       : Terebi de housou sareru koto wa gozonji deshita ka.
                         Apakah anda tahu bahwa lomba pidato disiarkan di televise?

ミラー           :はい。ビデオにとって、アメリカの両親にも見せたいと
             思っております。
Mira                : Hai. Bideo ni totte, Amerika no ryoushin ni mo misetai to omotte                             orimasu.
                         Ya, saya tahu. Saya ingin merekam di video dan                                                       memperlihatkannya kepada orang tua saya di Amerika. 

司会者            :賞金は何にお使いになりますか。
Shikaisha         : Shoukin wa nani ni otsukai ni narimasu ka.
                          Hadiah uangnya mau anda gunakan untuk apa?

ミラー            :そうですね。私は動物が好きで、子供のときからアフリカ                         へ行くのが夢でした。       
Mira                 : Sou desu ne. Watashi wa doubutsu ga suki de, kodomo no toki                                  kara  Afurika e iku no ga yume deshita.
                          Apa ya? Saya suka binatang sejak kecil, dan pergi ke Afrika                                    adalah impian saya.

司会者            :じゃ、アメリカへ行かれますか。
Shikaisha         : Ja, Amerika e ikaremasu ka.
                           Kalau begitu, apakah anda akan pergi ke Afrika?

ミラー            :はい。アフリカの自然の中できりんや像を見たいと
             思います。
Mira                 : Hai. Afurika no shizen no naka de kirin ya zoo o mitai to omotte                              imasu.
                         Ya. Saya ingin melihat jerapah dan gajah di alam Afrika.

司会者            :子供のころの夢がかなうんですね。
Shikaisha          : Kodomo no koro no yume ga kanaun desu ne.
                          Impian anda sejak kecil menjadi kenyataan.

ミラー            :はい。あのう、最後にひとことよろしいでしょうか。
Mira                 : Hai. Anou, saigo ni hito koto yoroshii deshou ka.
                           Ya. Eh, terahir, bolehkah saya menyampaikan sesuatu?

司会者            :どうぞ。
Shikaisha         : douzo.
                         Silakan.

ミラー            :このスピーチ大会に出るために、いろいろご協力
                         くださった皆様に心から感謝いたします。
Mira                 : Kono supiichi taikai ni deru tame ni, iro iro gokyouryoku                                         kudasatta  minasama ni kokoro kara kansha itashimasu.
                          Saya setulusnya mengucapkan terima kasih kepada anda sekalian                            atas bantuan dan kerjasama untuk ikut lomba pidato ini.

(Ogawa, 1998: 203)

            Pada percakapan diatas Mira sebagai salah satu kontestan pidato dalam berbicara dengan shikaisha (pembawa acara) menggunakan tingkatan kenjoogo karena menunjukkan rasa hormat pembicara kepada lawan bicara maupun orang yang menjadi topik pembicaraan dengan cara merendahkan perilakunya sendiri. Sedangkan pembawa acara (shikaisha) dalam kontes pidato diatas menggunakan bentuk tingkatan sonkeigo untuk menghormat kepada lawan bicaranya.

3.4      Penggunaan Undak-usuk Bahasa Jawa
Bahasa Jawa mengenal undak-usuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal undak-usuk bahasa, karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Sunda juga mengenal hal semacam ini.


 3.4.1   Penggunaan Ngoko
Bahasa ngoko umumnya dipakai berbicara orang tua kepada anak, cucu, atau pada anak mudanya, percakapan terhadap orang sederajat yang tidak memperhatikan kedudukan dan usia, atasan dan bawahannya, majikan dengan pembantunya, dan lain-lain.
Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 (orang pertama) terhadap O2 (orang kedua). Artinya O1 tidak memiliki rasa segan (jiguh pakewuh) terhadap O2, jadi buat seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap seseorang O2, tingkat ngoko inilah seharusnya dipakai. Teman-teman akrab biasanya saling ‘’ngoko-ngoko’’-an. Orang-orang berstatus tinggi berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak enggan terhadap orang lain yang berstatus rendah.
Contoh percakapan dalam basa ngoko :
Tono    : Aku ora kulina olah raga kaya Aris. Kasenenganku ngrungokake radhio, nggambar, lan maca.
            Aku tidak terbiasa berolahraga seperti Aris. Kegemaranku mendengarkan radio, menggambar, dan membaca.

Aris     : Apa entuk-entukane wong sing seneng ngrungokake radhio?
            Apa yang didapatkan dari orang yang suka mendengarkan radio?

Tono    : Wah, kowe kuwi kepancal sepur, Ris! Akeh banget guna paedahe seneng ngrungokake radhio. Bisa tambah kawruh, bisa nglipur, bisa tambah kanca, bisa ngerti kaanan sing lagi dumadi tanpa maca koran. Malah kadhang kala entuk rejeki, utawa hadiah.
            Wah, kamu tuh kayak nggak tahu saja, Ris. Banyak banget manfaatnya bagi yang suka mendengarkan radio. (Misalkan) Bisa menambah pengetahuan, bisa terhibur, bisa tambah teman, bisa tahu keadaan yang terjadi tanpa membaca koran. Bahkan kadang kala mendapat rejeki atau hadiah.

Aris     : Iya. Yen ngono kasenengane manungsa iku duweni guna sing maneka warna. Sing seneng olah raga ya bakal ngundhuh uwohing olah raga, samono uga sing seneng maca ya bakal ngundhuh uwohing maca.
            Ya. Kalau begitu kegemaran orang itu mempunyai manfaat yang beraneka ragam. Bagi yang gemar berolahraga akan mengambil manfaatnya dalam olah raga. Bagi yang gemar membaca pun akan mengambil manfaatnya dalam membaca.
(Priyantono, 2008: 45)
Pada contoh dialog diatas merupakan contoh pemakaian ngoko dalam kehidupan sehari-hari antara teman yang sudah akrab. Karena Aris dan Tono dalam dialog diatas bisa jadi hubungannya adalah teman sebaya atau teman sekelas di sekolahnya sehingga tidak perlu lagi menggunakan bentuk krama.

3.4.2    Penggunaan Madya
Pada dasarnya bahasa Jawa mempunyai tiga stratifikasi pokok. Pertama, ialah ngoko yang dipakai oleh setiap penutur bahasa Jawa mulai dari anak-anak sampai orang tua, dari yang miskin sampai yang kaya, dan yang berpendidikan rendah sampai yang berpendidikan tinggi, dari rakyat biasa sampai para bangsawan.  Ngoko sendiri terdiri dari ngoko lugu dan ngoko alus. Ngoko lugu biasanya dipakai untuk membahasakan diri sendiri, berbicara dengan sahabat dekat yang umur dan status sosialnya sama, atau jika bertutur kata dengan pendengar yang usia, status dan pendidikannya lebih rendah. Ngoko alus pada dasarnya adalah campuran antara ngoko dan krama. Stratifikasi ini biasanya dipakai diantara penutur dan pendengar yang bersahabat dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan antara anak dengan orang tua. Stratifikasi yang kedua adalah karma madya atau biasa dikenal dengan madya (stratifikasi tengah) saja. Madya ini biasanya digunakan dalam bertutur kata dengan orang yang tingkat sosialnya rendah, tetapi usianya lebih tua dari penuturnya. Stratifikasi yang ketiga adalah krama (tingkat tutur halus). Stratifikasi ini biasanya dipergunakan untuk menunjukkan rasa hormat terhadap pandangan yang menurut perasaan penutur memiliki tingkat social yang lebih tinggi.
Contoh percakapan dalam bentuk madya:
A         : Pundi wohwohane sing becik-becik niku?
            Yang mana buah-buahan yang segar nih?

B         : Niku napa kirang becik?
            Apa ini kurang segar?

A         : Dadi ajeng dienggo pista niku wowohane kaya mekaten.
            Jadi buah-buahan yang dipakai buat pesta seperti ini?

B         : Mboten, lha dika suntak saka senik kabeh mangke kula pilihane.
            Bukan. Ya kalau mau silahkan nanti saya pilihkan dari semua yang ada.

A         : La ajeng tuku satus niku mboten kena milih?
            Ya, hendak membeli seratus atau boleh memilih.

B         : E, kejaba ta nek ajeng tuku akeh, daweg dika pilihi sing njlimet.
Ya, kecuali kalau mau beli yang banyak, saya persilahkan memilih dengan teliti.

A         : Pundi pintone.
              Mana bijinya.

B         : Nek salak enak lan gedhe-gedhe mboten onten pintone, nek kedadean penganyange mawon dika mecah siji, nek mboten enak bali.
            Kalau salak yang segar dan besar-besar tidak ada bijinya, kalau memang jadi menawar silakan dicicipi satu, kalau tidak enak tidak jadi nggak apa.

A         : Niki sejinah pinten?
              Ini sepuluh berapa?

B         : Patang wang.
              Empat ribu.

A         : Tobat, tobat napa siji cucuke ngrong gobang?
              Tobat, tobat apa satu seharga dua ratus?

B         : Niki mangsa murah salak, napa empun larang?
              Ini musim buah salak ko’ sudah mahal?

A         : Bener empun larang, anua niki mangsa ngantia rego ngrong gobang siji.
              Ya, sudah mahal, memang ini musimnya sampai dua ratus dapat satu.

B         : Enggih dika enyang, empun maoni wong tawa mawon.
              Silakan ditawar, seperti pada umumnya orang yang beli aja.
(Purwadi, 2005:29)

            Pada contoh dialog diatas menggunakan madya ngoko dan madya krama. Penggunaan bentuk madya ngoko paling sering dijumpai oleh para pedagang yang berjualan di pasar yang menawarkan dagangannya seperti contoh diatas, selain itu penggunaan madya juga dipakai oleh orang-orang yang bertempat tinggal di daerah pedesaan atau pegunungan. Kemungkinan si A dan si B merupakan orang daerah pegunungan ataupun pedesaan, sebab bentuk percakapan diatas menggunakan tembung madya + ngoko + krama dan krama + krama inggil.

 3.4.3   Penggunaan Krama
Bentuk krama (bahasa hormat) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat).  Misalnya, anak kepada orangtua, bawahan kepada atasan, pembantu dengan majikannya.
Tingkat tutur Krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pakewuh) dari O1 terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, berpangkat, atau priyayi, berwibawa dan lain-lain. Murid memakai krama terhadap gurunya, pegawai menggunakan krama terhadap kepalanya.
Contoh percakapan bentuk krama:
Sulis                : Nuwun sewu, Pak. Punapa Bapak kagungan bausastra?
                          Permisi, Pak, Apakah Bapak punya kamus bahasa Jawa?

Pak Sulih         : O, duwe, duwe! Aku pancen duwe kamus basa Jawa.
                        Óh, punya, punya! Aku memang punya kamus bahasa Jawa.

Sulis                : Anggitanipun sinten, Pak?
                         Pengarangnya siapa, Pak?

Pak Sulih         : Kamus kuwi karangane Pak Poerwadarminta.
                         Kamus itu pengarangnya adalah Pak Poerwadarminta.

Sulis                : Punapa kinten-kinten kapareng kula ngampil, Pak?
                        Apakah sewaktu-waktu boleh saya pinjam, Pak?

Pak Sulih         : Wong mung nyilih bae kok ora oleh. Kapan kanggone?
                        Masa pinjam aja kok nggak boleh...Kapan dipakai?

Sulis                : Kanggenipun benjing enjing, Pak.
                          Mau dipakai besok pagi, Pak.

Pak Sulih         : Yen sesuk aku arep lunga.
                          Kalau besok aku mau pergi.

Sulis                : Bapak badhe tindak dateng pundi?
                          Bapak hendak pergi kemana?

Pak Sulih         : Aku arep lunga menyang Madiun.
                          Aku mau pergi ke Madiun.

Sulis                : Punapa ngantos nyipeng, Pak?
                          Apakah sampai menginap, Pak?

Pak Sulih         : Iya, aku bakal nginep ana kana.
                          Iya, aku akan menginap disana.

Sulis                : Menawi mekaten, kados pundi manawi dinten sapunika, Pak?
                          Kalau begitu, bagaimana saat hari itu, Pak?

Pak Sulih         : Ora apa-apa. Malah kebeneran, iki mau lagi bae dakwaca.
                          Tidak apa. Kebetulan, tadi baru saja aku baca.

Sulis                : Bapak ugi asring maos bausastra?
                          Bapak juga sering membaca kamus bahasa Jawa?

Pak Sulih:        : Iya..., menawa kepingin nenulis kang endi endah.
                          Iya...Kalau kepingin membuat karangan yang indah.

Sulis                : Bapak remen nyenyerat punapa kemawon?
                          Bapak suka menulis apa saja?

Pak Sulih         : Aku seneng ngarang geguritan.
                        Aku suka mengarang cerita bacaan.

Sulis                : Wah, kapareng kula bekta sakpunika, Pak?
                          Wah, kalau begitu boleh saya bawa (kamusnya), Pak?

Pak Sulih         : Enya, enya, gawanen!
                          Nih, silakan bawa aja!

Sulis                : Matur nuwun, Pak. Nyuwun pamit.
                          Terima kasih, Pak, Saya mohon pamit.
(Yatmana,  2003: 42)
Pada contoh dialog diatas Sulis mempunyai kedudukan sebagai murid sedangkan Pak Sulih kedudukannya sebagai gurunya Sulis. Dalam hal ini penggunaan bentuk krama digunakan dalam berbicara murid kepada gurunya (orang tua). Sedangkan bentuk ngoko digunakan oleh guru (orang tua) terhadap muridnya. Dalam unggah-ungguh basa Jawa sudah semestinya orang yang lebih muda menghormati orang yang lebih tua. Orang yang lebih tua disini bisa saja meliputi: Bapak/Ibu guru, orang tua sendiri maupun orang tua orang lain.

3.4.3.1     Penggunaan Krama Inggil
Kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan meluhurkan diri dengan yang diacu disebut sebagai kata krama inggil. Krama inggil menyangkut apresiasi dan status sosial yang erat sekali dengan etika dan sopan santun. Pada umumnya krama inggil digunakan oleh bawahan kepada atasan, anak kepada orang tua, dan murid kepada gurunya, dipakai saat pranata cara (pidato serah terima pengantin dalam adat Jawa), undangan, selain itu krama inggil dipakai juga dalam dunia hiburan seperti pedhalangan (wayang).
Krama inggil biasanya digunakan oleh priyayi cilik kepada priyayi gedhe, orang muda kepada orang tua, dan  ketika membicarakan priyayi luhur. Dalam masyarakat basa krama inggil sudah jarang terdengar lagi kecuali di dalam lingkungan kraton. Basa krama inggil yang dipakai dalam lingkungan kraton dikenal dengan sebutan bahasa kedhaton.
Bahasa kedhaton adalah bahasa yang digunakan untuk berbicara oleh para sentana dan abdidalem pada saat menghadap Ingkang Sinuwun ‘Raja atau Pangeran Adipati Anom’, Pangeran calon Raja atau untuk percakapan dalam kraton. Jadi, kalau berbicara dengan raja mengenai apa saja, bahasa yang digunakan harus basa kedhaton dalam bentuk krama inggil. Wujud bahasa ini berupa kata-kata krama yang bercampur dengan bahasa krama inggil terhadap orang yang diajak berbicara. Bahasa kedhaton digunakan di kraton Surakarta, sementara bahasa kedhaton yang digunakan dalam kraton Yogyakarta disebut bahasa bagongan. Selain krama inggil ada krama desa, yang kata-katanya yaitu krama dicampur dengan krama desa yang biasa untuk menyebut nama kota atau tempat. 
Contoh penggunaan krama inggil dalam percakapan:
Caraka             : Saben enjing Bapak wungu pukul pinten?
                        Setiap pagi Bapak bangun jam berapa?

Pak Hana         : Aku kulina tangi jam setengah lima.
                        Saya biasa bangun jam setengah lima.

Caraka             : Kalawau enjing tindak-tindak dumugi pundi?
                        Tadi pagi jalan-jalan sampai mana?

Pak Hana         : Aku mlaku-mlaku tekan setadhiyon Pringgadani.
                        Saya jalan-jalan sampai stadion Pringgadani.

Caraka             : Menawi kula nderek punapa kapareng?
                         Kalau saya ikut boleh nggak?

Pak Hana         : Kena melu. Lah kowe kulina tangi jam pira?
                        Ikut boleh. Kalau kamu biasa bangun jam berapa?

Caraka             : Kula kulina tangi pukul setengah gangsal.
                         Saya biasa bangun jam setengah lima.

Pak Hana         :Yen mengkono malah kebeneran. Kowe teka ing ngarepanku sadurunge jam lima, aku mesthi wis siyap!
                        Kalau begitu kebetulan. Kamu datang aja di depan rumahku sebelum jam lima, saya pasti dah siap!.

Caraka             : Inggih, kula badhe dumugi ngrika saderengipun pukul gangsal. Sapunika Bapak badhe tindak dhateng pundi?
                        Baiklah, saya akan datang kesana sebelum jam lima. Setelah itu Bapak hendak pergi kemana?

Pak Hana         : Aku arep lunga menyang Semarang.
                        Saya mau pergi ke Semarang.

Caraka             : Nitih punapa saking ngriki?
                        Dari sini mau naik apa?

Pak Hana         : Numpak bis bae.
                         Naik bus aja.

Caraka             : Lajeng, kunduripun benjing punapa?
                         Lalu, pulangnya hari apa?

Pak Hana         : Sesuk aku wis mulih, mung sadina kok.
                         Besuk saya udah pulang, cuma sehari aja.

Caraka             : Mangke ndalu nyare wonten ing pundi?
                         Nanti malam menginap dimana?

Pak Hana         : Bab nginep gampang. Aku duwe tepungan akeh.
                         Masalah nginap itu mudah.’ ‘Saya punya banyak kenalan.

Caraka             : Sarawuhipun mangke, punapa inggih badhe tindak kantor?
                         Kalau sudah datang nanti, apa hendak berangkat ke kantor?

Pak Hana         : Iya..., kudu! Nadyan teka esuk ya kudu mangkat.
                         Iya...harus!’ ‘Walaupun datangnya pagi ya harus berangkat.

Caraka             :Wah, Bapak punika sanyata abdi nagari ingkang dhisiplin. Kaparenga kula nyuwun resepipun, Pak?
                        Wah, Bapak orangnya ternyata taat dengan aturan negara yang disiplin. Kalau boleh saya minta resepnya, Pak?

Pak Hana         : Ah, gampang! Ora njaluk, yen kowe gelem melu mlaku mlaku aku, mesthi dakwenehi.
                        Ah, mudah!’Tidak minta, kalau kamu mau ikut saya jalan-jalan pasti tak kasih.

Caraka             : Estu nggih, Pak, kula dipun paringi.
                         Benar ya, Pak, saya diberi.

Pak Hana         : Iya..., iya...! Wis ya, kae bise!
                        ‘Ya...ya...! Údah dulu ya, itu busnya!
(Yatmana, 2003: 41-42)
Pada contoh dialog diatas kedudukan Caraka merupakan orang yang mempunyai status di bawah Pak Hana. Bisa jadi Pak Hana merupakan orang yang berpangkat lebih tinggi dibanding dengan Caraka. Maka dari itu, sudah seharusnya Caraka dalam berbicara dengan Pak Hana mengggunakan bentuk krama inggil, bentuk menghormat untuk berbicara kepada lawan bicaranya yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi, seperti bawahan kepada atasan, priyayi cilik dengan priyayi gedhe, dan lain-lain.

  3.4.3.2   Penggunaan Krama Andhap
Krama andhap merupakan kelompok kata yang menghormat orang yang diacu dengan cara merendahkan diri sendiri. Bentuk krama andhap dipakai oleh orang tua kepada anaknya, bawahan kepada atasan. Penggunaan krama andhap sejalan dengan pemakaian krama inggil.  Karena pemakai ragam bahasa ini adalah orang pertama (pembicara) dan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok pembicara. Misalnya, keluarga pembicara.
Berikut contoh percakapan dalam krama andhap:
Bu Broto         : Hallo.
                          Halo.

Rifki                : Sugeng sonten, Bu, menapa punika dalemipun Pak Broto?
                          Selamat sore, Bu, apakah benar ini rumah Pak Broto?

Bu Broto         : Inggih leres. Kula Bu Broto.
                          Iya benar.’ ‘Saya Bu Broto.

Rifki                : Nuwun Bu, kula Rifki muridipun Pak Broto. Menawi kapareng   kula badhe  matur kaliyan Pak Broto.
                        Maaf Bu, saya Rifki muridnya Pak Broto. Kalau boleh saya mau berbicara dengan Pak Broto.
Bu Broto         : Oh, mbak Rifki ta...inggih wonten. (Pak iki ana telpon saka Rifki, murid panjenengan)
                        Oh, mbak Rifki ya...Iya, ada. (Pak, ini ada telpon dari Rifki, murid kamu).
Pak Broto        : Halo Rifki, piye kabare?
                        Halo, Rifki, bagaimana kabarnya?

Rifki                : Pangestunipun Bapak, sae. Kaparenga matur Pak, menawi boten wonten pambengan kula suwun bapak rawuh ing griya kula, ingkang saperlu ngrawuhi syukuran dinten ulang taun kula ingkang kaping 16. Dene wancinipun jam 09.00 enjing.
                        Berkat doanya Bapak, baik-baik saja. Saya mau menyampaikan, Pak, kalau tidak ada halangan saya mohon bapak datang ke rumah saya dalam rangka menghadiri pesta ulang tahun saya yang ke 16. Waktunya jam 09.00 pagi.
Pak Broto        : Lha sing nekani sapa bae?
                         La, yang datang siapa aja?

Rifki                : Kanca-kanca setunggal kelas, Pak!
                         Teman-teman sekelas, Pak!

Pak Broto        : Iya, kebeneran sesuk ora ana acara liya, mula dak usahaake bisa   teka.
                         Iya, kebetulan besok saya tidak ada acara lain, maka tak usahakan datang.

Rifki                : Inggih, Pak, matur nuwun sanget.
                         Iya, Pak, terima kasih banyak.
(Subroto, 2008: 16)

Pada contoh dialog diatas Rifki menggunakan krama andhap dalam mengundang Pak Broto untuk datang dalam acara pesta ulang tahunnya.  Karena Pak Broto kedudukannya lebih tinggi (guru) dari Rifki (murid), sudah selayaknya Rifki memakai ragam bahasa ini dalam bahasa mengajak atau mengundang.  Dalam undak-usuk bahasa Jawa, bahasa yang bertujuan mempersilahkan seseorang yang kedudukannya lebih tinggi, mengundang dalam suatu acara (yang diundang kedudukannya lebih tinggi dari yang mengundang) umumnya menggunakan bentuk  krama andhap. 


 3.5      Perbedaan Bentuk Tingkatan Bahasa Jepang dan Undak-Usuk Bahasa
Jawa
Dalam bahasa Jepang semua kata dari ragam futsuu akan mengalami perubahan dalam ragam teinei, meskipun bukan perubahan kata secara total yang membentuk kata baru, tetapi hanya menambahkan kopula desu atau verba bantu masu di akhir kalimat. Kopula desu akan menempel pada kata benda dan ajektiva, sedangkan verba bantu –masu akan menempel pada kata kerja. Sedangkan dalam bahasa Jawa, perubahan ngoko ke krama lebih variatif. Ada yang tidak mengalami perubahan kata sama sekali, tetapi ada pula kata dari ngoko yang berjumlah total dalam ragam krama sehingga terbentuk kata baru. Dalam bahasa Jepang hampir semua kata futsuu bisa diubah ke dalam bentuk teinei maupun sonkeigo, sedangkan bahasa Jawa ragam ngoko ada yang memilki padanan dalam krama saja tetapi dalam krama inggil padanan katanya tidak ada.
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh tabel leksikon berikut ini:
NO.
LEKSIKON FUTSUUGO
LEKSIKON TEINEIGO
LEKSIKON
NGOKO
LEKSIKON
KRAMA
ARTI
1.
Kau
Kaimasu
Tuku
Tumbas
Membeli
2.
Miru
Mimasu
Nonton
Mirsani
Melihat
3.
Iru
Imasu
Ono
Wonten
Ada
4.
Kuru
Kimasu
Teka
Dugi
Datang
5.
Iu
Iimasu
Kandha
Matur
Berkata

NO
SONKEIGO
ARTI
KRAMA INGGIL
ARTI
1.
Irassharu
Pergi, datang, ada (berada)
Mundhut
Beli, ambil, minta, memiliki
2.
Oide ni naru
Pergi, datang, ada (berada)
Ngasta
Membawa, bekerja, memegang, mengerjakan
3.
Meshi agaru
Minum, makan
Tindak
Berjalan, pergi
Selain verba dalam tingkatan sonkeigo, nomina dalam tingkatan sonkeigo juga memiliki kesamaan dalam leksikon krama inggil, diantaranya seperti dalam tabel dibawah ini:
NO.
SONKEIGO
KRAMA INGGIL
ARTI
1.
Otaku
Dalem
Rumah
2.
Okarada
Slira
Badan
3.
Otoosan
Rama
Bapak
4.
Onomimono
Unjukan
Minuman
5.
Ohaka
Pasarehan
Makam

 Kosakata tingkatan kenjoogo dalam bahasa Jepang, jauh lebih banyak daripada kosakata krama andhap dalam bahasa Jawa, dan hampir semua kata kerja di ‘’Krama Andhap-kan’’ dengan menggunakan prefiks dan verba bantu. Bahasa Jawa tidak memiliki krama adhap untuk kata kerja seperti ‘’pergi/datang/ada/makan’’ dan sebagainya. Timbul pertanyaan, mengapa jumlah kata krama andhap begitu sedikit? Jawabannya, menurut tafsiran penulis, kata krama dalam bahasa Jawa itu sudah mempunyai nuansa merendahkan diri yang sepadan dengan tingkatan kenjoogo dalam bahasa Jepang. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh sekelompok kata/leksikon berikut ini:
No.
LEKSIKON KENJOOGO
LEKSIKON KRAMA ANDHAP
ARTI
1
onegai shimasu
nyuwun
minta
2
sashi agemasu
nyaosi
memberi
3
mooshimasu, mooshiagemasu
matur
berkata
4
ukagaimasu
nyuwun priksa
bertanya
5
ukagaimasu
sowan
berkunjung, menghadap
6
okari shimasu
ampil
pinjam

3.6   Perbedaan Bentuk dan Penggunaan Tingkatan Bahasa Jepang  dan Undak-usuk Bahasa Jawa     
Dari segi penggunaannya, bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya:
1.      Penggunaan tingkatan  futsuugo dalam bahasa Jepang hampir sama dengan penggunaan ngoko dalam bahasa Jawa. Bedanya, kalau dalam bahasa Jepang apabila berkomunikasi dalam ruang lingkup keluarga umumnya menggunakan ragam futsuu, sebab kalau masih menggunakan bentuk teinei menurut aturannya dianggap masih ada jarak, tidak ada hubungan kedekatan dalam keluarga. Sedangkan dalam bahasa Jawa, dalam berkomunikasi dengan keluarga terutama kepada orang tua umumnya ragam ngoko tidak dipakai. Dalam hal ini ragam krama yang seharusnya dipakai, sebab orang tua adalah orang yang paling banyak berjasa maka sudah sepantasnya orang tua untuk dihormati. Namun, akhir-akhir ini banyak ditemukan dalam masyarakat Jawa seorang anak masih menggunakan ragam ngoko dalam berkomunikasi dengan orang tuanya. Hal itu bisa dikarenakan didikan dari orang tuanya sendiri apakah para orang tua tersebut masih menanamkan aturan unggah-ungguh bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari atau tidak.
2.      Tingkatan sonkeigo dan krama inggil sama-sama berfungsi sebagai bahasa menghormat, sedangkan tingkatan kenjoogo dan krama andhap juga sama-sama mempunyai fungsi sebagai bahasa merendah. Bedanya, dalam bahasa Jepang mengenal aturan uchi dan soto, sedangkan dalam bahasa Jawa tidak mengenal aturan hal tersebut. Dalam bahasa Jepang, jika seseorang dalam perusahaan A membicarakan orang lain yang berada dalam perusahaan B tidak memandang yang dibicarakan itu mempunyai kedudukan sederajat, lebih rendah ataupun lebih tinggi, maka bahasa yang dipakai adalah tingkatan sonkeigo. Kemudian, apabila seseorang dalam perusahaan A membicarakan orang dalam perusahaan A sendiri yang mempunyai kedudukan lebih tinggi (sebagai atasan) maka bahasa yang dipakai adalah tingkatan kenjoogo. Sebaliknya dalam bahasa Jawa, baik hendak membicarakan seseorang dalam perusahaan sendiri maupun orang lain di luar perusahaan lain jika kedudukannya lebih rendah ataupun lebih tinggi dengan orang yang dibicarakan maka menggunakan bentuk ragam krama inggil.
3.      Tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang terdiri atas empat tingkatan sedangkan undak-usuk bahasa Jawa terdiri atas tujuh/sembilan tingkatan. Tingkatan bahasa dalam Jepang terdiri atas; (1) Sonkeigo, (2) Kenjoogo, (3) Teineigo (4) Futsuugo. Sedangkan undak-usuk bahasa Jawa terdiri atas: (1) Ngoko lugu, (2) Antya basa, (3) Basa antya, (4) Wredha krama, (5) Mudha krama, (6) Kramantara, (7) Madya ngoko, (8) Madya krama, (9) Madyantara.
4.      Verba dalam bahasa Jepang mengalami konjugasi, begitu pula verba dalam bentuk tingkatan bahasanya. Sedangkan dalam bahasa Jawa, verbanya tidak mengalami perubahan, hanya saja kalau verbanya ngoko menjadi krama mengalami perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar