Selasa, 20 Maret 2012

HASIL REVISI BAB I


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Di antara sekian banyak bahasa yang ada di dunia, bahasa Jepang memiliki kesamaan dengan undak-usuk bahasa (speech level) bahasa Jawa. Sistem tata krama (unggah-ungguh) dan undak-usuk merupakan pencerminan rasa tenggang rasa dan pertimbangan pembicara terhadap lawan bicara dan merupakan sarana untuk mengeratkan hubungan manusia. Di Jawa jika seseorang belum menguasai unggah-ungguhing basa, menurut orang Jawa, orang tersebut dicap ‘’durung jawa’’. Sedangkan di Jepang tidak ada ungkapan seperti itu, namun, jika seseorang tidak menguasai bahasa hormat, ia akan diasingkan oleh masyarakat sekitarnya.
Pada zaman dahulu di Jepang, penggunaan ‘bentuk hormat’ keigo dititikberatkan pada hierarki dalam masyarakat. Sikap pembicara terhadap status sosial, pangkat, asal usul lawan bicara, menentukan pemakaian bentuk hormat dan kadar hormat yang hendak dipakai dalam penuturannya. Dalam bahasa Jepang, kelompok kata yang dipakai untuk menunjukkan sikap hormat terhadap lawan bicara ialah Sonkeigo dan Kenjoogo.
Keigo yang dipakai untuk menghormat kepada lawan bicara baru muncul sesudah zaman Kamakura, abad ke-12. Pada waktu itu kaum kesatria mulai memegang kekuasaan menggantikan kaum bangsawan, dan lahirlah susunan status sosial yang baru. Pada pertengahan abad ke-15, Jepang memasuki apa yang disebut ‘‘Zaman perang saudara’’. Tuan-tuan tanah di seluruh Jepang berebutan memperluas wilayah kekuasaannya, dengan saling menyerang antara satu sama yang lain. Pada waktu itu keadaan sosial tidak menentu dan tidak stabil. Kadangkala pengikut rendahan membunuh tuan tanah atau panglima dan mengambil alih kekuasaannya.
Sementara itu, keadaan di Jawa pada abad ke 15 hingga 17 mirip dengan keadaan di Jepang sebagaimana tersebut di atas. Di Jawa, negara-negara Islam bermunculan di pesisir dan kerajaan Majapahit runtuh sesudah diserang Demak. Karena keadaan politik yang bergolak, masyarakat mengalami ketidakstabilan dan ketidaktentuan. Ada kalanya yang berkedudukan rendah mengambil alih kekuasaan. Tome Pires dalam buku Suma Oriental (1966: 341-342) menunjukkan adanya patih di daerah pesisir yang hanya tiga hari sebelumnya berkedudukan sebagai budak atau pedagang. Dalam buku tersebut Tome Pires mencatat adanya dua tingkat bahasa yang berlainan, yang menunjukkan keberadaan dua tingkat tutur Ngoko dan Krama.
Dalam bahasa Jepang ragam bahasa hormat meliputi ‘ragam bentuk biasa’(普通Futsu) dan ‘bentuk sopan’(丁寧Teinei) ‘bentuk hormat’ (警護Keigo). Secara singkat Terada Takano menyebut keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga (Terada, 1984:238). Hampir sama dengan pendapat tersebut, ada pula yang mengatakan bahwa keigo adalah istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang menaikkan pendengar atau orang yang menjadi pokok pembicaraan (Nomura, 1992:54). Pada dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan).
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa antara tingkat tutur bahasa Jepang dan tingkat tutur bahasa Jawa memiliki persamaan dan perbedaan. Tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ‘ragam menghormat’ 尊敬語sonkeigo dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ‘ragam merendah’ 謙譲語kenjoogo, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep seperti itu.
Tingkat tutur dalam bahasa Jawa ini menunjukkan adanya adab sopan santun berbahasa Jawa bagi masyarakat tuturnya. Adab sopan santun berbahasa akan mencerminkan perilaku kebahasaan penuturnya yang sebenarnya merupakan cerminan kemasyarakatannya (Moeliono, 1985:4). Adab sopan santun berbahasa ini disamping ditandai adanya wujud tuturan juga ditandai perbedaan tingkah laku atau sikap penutur sewaktu berbahasa Jawa. Dengan demikian, adab sopan santun berbahasa Jawa mencakup dua faktor, yaitu faktor lingual (linguistik) dan faktor non lingual (non linguistik). Kedua faktor tersebut dalam tindak tutur atau speech act dapat dipilahkan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Adapun persamaan kedua bahasa tersebut adalah baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa sama-sama mempunyai ragam hormat yang digunakan untuk menghormati mitra tutur atau orang yang dituturkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti penulis sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perbedaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak usuk bahasa Jawa?
2. Bagaimanakah perbedaan penggunaan bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk dalam bahasa Jawa?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan perbedaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa.
2. Mendiskripsikan perbedaan penggunaan bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk dalam bahasa Jawa.
Manfaat penelitian ini bagi penulis dan pembaca adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-unduk bahasa Jawa secara umum dan penggunaannya dalam kalimat sehari-hari secara khusus.

1.4 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah mengenai bagaimana perbedaan bentuk dan penggunaan bahasa hormat bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh mengenai perbedaan kedua bahasa tersebut, penelitian dilakukan dengan analisis kontrastif, yaitu suatu analisis bahasa yang memiliki tujuan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).

1.5 Sistematika Penulisan

Pada tahap awal, penulis mengumpulkan sumber data penelitian yang berupa buku-buku mengenai bentuk dan penggunaan bentuk hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa. Lapangan dan perpustakaan merupakan lokasi penelitian bahasa (linguistik). Penelitian di lapangan akan melibatkan hubungan peneliti dengan penutur bahasa yang diteliti, sedangkan penelitian di perpustakaan akan melibatkan hubungan peneliti dengan pustaka (kepustakaan) sebagai sumber data. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan metode simak yang dilanjutkan dengan teknik catat dan foto copy dengan cara mendata sejumlah buku-buku mengenai penggunaan bentuk hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa kemudian memaparkan perbedaannya dalam hal bentuk dan penggunaannya.
Data disajikan dengan menggunakan metode deskriptif. Data dibandingkan kemudian dijabarkan antara penggunaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa untuk menemukan prinsip-prinsip mendasar dari segi bentuk dan penggunaannya. Sehingga akan diperoleh deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data-data, sifat-sifat, serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.

Sabtu, 10 Maret 2012

Daftar Nama Undangan

1. Bpk Hendro
2. Bpk Budi
3. Bpk Mulyo
4. Bpk David
5. Bpk Dokter Widi
6. Bpk Imam
7. Bpk Winarta
8. Bpk Samsul
9. Bpk Catur
10. Bpk Joko
11. Bpk Dieta
12. Bpk Siwi
13. Bpk Eko
14. Mas Eko
15. Bpk Beny
16. Bpk Wisnu
17. Bpk Rohendi
18. Bpk Freedy
19. Bpk. Taher
20. Mas Tholib
21. Mas Tomo
22. Kang Mun
23. Teman-Teman Sekre
24. Pak Nanang
25. Winarno
26. Jojo
27. Joko
28. Muslim
29. Gerard
30. Pak Lik Solikhin
32. Pak Dab
33. Dian San
34. Eko
35. Lucky
36. Hanif
37. Angga
38. Didik
39. Nungky
40. Nunok
41. Mbak Titis
42. Dimas
43. Kang Mat
44. Pak Fajar
45. Pak Joko
46. Ibu-Ibu Suket Segoro
47. Agus
48. Romey
49. Matsu
50. Budi Sensei
51. Nunung
52. Pak Budi
53. Bu Ani
54. Bu Dewi
55. Fransiska
56. Sensei Gata-sama
57. Asepta & Riyana
58. Fanny
59. Agung
60. Zainal & Evi
61. Bahri
62. Herry & Eny
63. Juniar & Lingga
64. Ayi
65. Rahmi
66. Rahma
67. Om Harry
68. Ningrum
69. Eviana
70. Yuda
71. Matsu
72. Anas
73. Bulan
74. Ana
75. Usman
76. Nunung
77. R2 Jepang Undip
78. Oky
79. Pak RT
80. Anton/Niwatori
81. Pak Imam
82. Ika Undip
83. Ika Unnes
84. Budi
85. Mas Abas
86. Pak Suyitno
87. Pak Tukal
88. Pak Siswo
89. Mas Arif Sugih
90. Pak Bambang
91. Aoh Sensei
92. Toda Akiko Sensei
93. Oneng
94. Viska
95. Pak Hadi
96. Pak Yasmin & Keluarga
97. Mbak Yuni
98. Potter
99. Hamzah
100. Fajar
101. Umar
102. Mas Azis
103. Om Adi
104. Om Tom
105. Mama Umi
106. Om Rauf & Tante Yok
107. Mr. Charna
108. Om Agung
109. Om Dede
110. Om Dadut
111. Aldi
112. Tante Nung
113. Om Herry
114. Mas Yuli
115. Om Didik
116. Om Pur
117. Pak Sony
118. Pak Wie & Keluarga
119. Pak Sujadi BB
120. Pak Totong Rusly & Keluarga
121. Pak Riwis BB
123. Imam BB
124. Bambang
125. Bu Tini
126. Pak Sujatmiko
127. Mas Burhan
128. Mas Dwi & Mbak Ely
129. Mas Burhan
130. Mas Idus
131. A. H. Chariri
132. Kak Alfy
133. Kak Wan
134. Mbak Ela
135. Dlowie
136. Tofik
137. Mas Doni
138. Kang Toha
139. Kang Mujib
140. Kang Tohir
141. Mashudi
142. Kang Purwito
143. Aminudin
144. Danang
145. Pak Abdul Charis
146. Muslih
147. Mas Mat
148. Mbah Son
149. Wahab
150. Habibah
151. Hamzah
152. Abdul Rozak
153. Siswanto
156. Masrochan
157. Potter
158. Abim
159. Ni'matin Farida
160. Diana Agustini
161. Muhammad Irsyad
162. Kang Nyaman
163. Lek Yah
164. Sururi
165. Amik
166. Moh. Anwar
167. Ariawan
168. Joko
169. Kang Mat Bakso
170. Maulida
171. Ismaiya
172. Uswatun
173. Tarmidzi
174. Susanto
175. Rita & Budi
176. Teguh Tri N.
177. Bang Ali
178. Bpk. Fajar Ismail
179. Mbak Tik
180. Mbak Titik
181. Bulik Sopiyah & Keluarga
182. Bpk Daniel
183. Istriyanto
184. Bowo
185. Mantoyo
186. Hafif
187. Purwaji
188. Pak To
189. Pak Untung
190. Toufan
191. Arif
192. Bpk Prawoto Arisman
193. Pak Hery
194. Mas Nanang Police
195. Bu Titi
196. Romli
197. Yusuf
198. Pak Amir
199. Pak Kasiman
200. Mbak Titik & Keluarga
201. Megane
202. Hielda
203. Kang Pur
204. Om Harry
205. Nanda
206. Decky
207. Pak Suwondo
208. Anwar
209. Bpk Agus
210. Bpk Suwondo
211. Umi Kholifah
212. Indra
213. Mas Aji
214. Mas Anto
215. Romadlon
216. Pak Kuri
217. Khasan
218. Joko
219. Pak Dikin
220. Khanif
221. Om Dodok
222. Mas Sinyo
223. Sodhikin
224. Mas Ali
225. Mbah Nur
226. Matori
227. Nur Kholis
228. Mas Dito
229. Bpk Ferry
230. Bagoes
231. Sasa
232. Radit
233. Samuel
234. Mas Anas
235. Andika
236. Mbak Tini
237. Allan
238. Wiwit

Kamis, 01 Maret 2012

BAB IV

BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Simpulan

Setelah penulis memaparkan mengenai perbandingan antara penggunaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa, penulis dapat menarik kesimpulan mengenai perbedaan dan persamaan antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa antara lain sebagai berikut:
1. Dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa mengenal adanya sistem unggah-ungguh (tata krama/sopan santun) yang bertujuan untuk saling hormat-menghormati diantara si pembicara maupun lawan bicaranya
2. Bahasa Jepang tidak mengenal adanya undak-usuk sedang dalam bahasa Jawa mengenal adanya undak-usuk/tingkat tutur (speech levels)
3. Susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat). Sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam berbahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).
4. Bahasa Jepang mengenal huruf-huruf Jepang (Kanji, Hiragana, Katakana) dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa juga mengenal juga huruf-huruf Jawa yang biasa dikenal dengan aksara Jawa tetapi huruf Jawa sekarang ini jarang digunakan.
5. Tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan sedang tiingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan そとsoto ‘luar’ seperti bahasa Jepang
6. Bahasa Jepang penggunaannya dalam masing-masing daerah di Jepang dipengaruhi adanya beberapa dialek, begitu juga bahasa Jawa dimasing-masing daerah di Jawa juga dipengaruhi oleh adanya beberapa dialek.
7. Bahasa Jepang terdapat bahasa untuk pria dan wanita sedang bahasa Jawa tidak mengenal hal tersebut.
8. Dalam ragam futsuu bahasa Jepang digunakan dalam situasi sudah akrab, seperti: teman, rekan kerja, dan keluarga sendiri, sedangkan bentuk ngoko bahasa Jawa yang sejajar dengan futsuu dalam bahasa Jepang digunakan juga dalam situasi sudah akrab, seperti: teman, bedanya dalam lingkup keluarga sendiri maupun keluarga orang lain harus memakai bentuk krama/teinei.
9. Dalam bahasa Jepang hampir semua kata futsuu (ngoko) bisa diubah ke dalam teinei (krama) maupun sonkeigo (krama inggil), tetapi dalam bahasa Jawa kata ngoko ada yang hanya memiliki padanan dalam krama saja tetapi dalam krama inggil padanannya tidak ada, ada yang memiliki padanan dalam krama dan juga krama inggil.
Sesudah Perang Dunia kedua, di Jepang timbul suara bahwa karena sistem unggah-ungguh/tata krama dalam bahasa Jepang itu dikembangkan dan dipertahankan oleh sistem feodal dan sistem pembagian kelas yang kolot, maka sangat bertentangan dengan demokrasi yang menyerukan persamaan hak bagi setiap orang dalam masyarakat. Dalam suasana pro dan kontra terhadap penghapusan sistem unggah-ungguh, Komite Bahasa Nasional pada tahun 1952 mengajukan usul yang berjudul ‘’Sistem Unggah-ungguh/Bentuk Hormat Pada Masa Depan’’ kepada Menteri Pendidikan ketika itu. Haluan yang diusulkan itu antara lain berbunyi:
1. Sistem unggah-ungguh berkembang pada zaman Orde Lama, dan mempunyai ciri-ciri yang rumit dalam pemakaiannya. Sistem unggah-ungguh pada masa depan hendaknya berbentuk mudah dan jelas, dengan disederhanakan dan dibetulkan kesalahan dalam pemakaiannya.
2. Sistem unggah-ungguh Orde Lama berkembang atas dasar hierarki dalam masyarakat, akan tetapi pada masa depan harus didasarkan pada dasar hormat-menghormati dengan mematuhi hak-hak asasi manusia.
Sejalan dengan haluan tersebut, telah dianjurkan pemakaian pertuturan beragam ‘’desu/masu’’ serta pemakaian kata ganti orang pertama ‘’watashi’’ untuk standar dan ‘’watakushi’’ untuk situasi formal. Verba bantu yang diusulkan pemakaiannya sebagai Sonkeigo adalah ‘’reru/rareru’’ dan ‘’o ni naru’’.
Selama lebih dari 40th yang silam, usul tersebut telah banyak mempengaruhi kehidupan sehari-hari rakyat Jepang. Pemakaian bentuk hormat disederhanakan dan menjadi lebih praktis, namun yang disayangkan ialah kemerosotan penggunaan kata-kata Sonkeigo/Krama Inggil dan Kenjoogo/Krama Andhap. Dengan kata lain, semakin banyak dipakai ragam Teinei, tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo, yang mempunyai padanan bahasa Jawanya Krama Lugu. Sebenarnya hal ini telah dianjurkan dalam ‘’Usul Sistem Unggah-Ungguh Pada Masa Depan’’ tadi.
Dewasa ini anak-anak muda menghindarkan diri dari pemakaian Kenjoogo/Krama Andhap. Ini mungkin karena anak-anak muda masa kini suka menonjolkan diri dan merasa tidak pantas untuk merendahkan diri kepada orang lain,. Mereka sungguh semakin kurang rendah hati, kurang tenggang rasa. Dalam bahasa Jawa, ragam bahasa hormat terdapat banyak sekali macamnya. Karena faktor tersebut sangat memungkinkan juga bagi anak muda sekarang merasa kesulitan untuk menggunakannya.
Menurut seorang pakar Jepang T. Iritani pernah memberi peringatan kepada orang Jepang: ‘’Hubungan antarmanusia yang rapat dan bulat memang diciptakan berdasarkan kesadaran akan persamaan hak dan kekeluargaan, namun sejajar dengan itu tidak boleh dilupakan rasa ‘’andhap ashor’’ dan ‘’urmat’’ antara satu sama lain. Berhubung dengan ini, sistem unggah-ungguh harus merupakan tata krama dan aturan kehidupan manusia, bahkan dalam masyarakat industri maju yang mementingkan kecepatan serta keefektifan, dalam masyarakat demokratik yang mementingkan persamaan hak, apalagi di negara yang mempunyai ciri khas sistem unggah-ungguh, dan tradisi budayanya telah lama mempertahankan sistem tersebut.
Tempat belajar tata krama bahasa sebagai dasar untuk menciptakan aturan hubungan manusia, adalah hak lain daripada keluarga. Begitu pula sekolah, patut berperan sebagai tempat mencegah kemerosotan dan penyimpangan sistem unggah-ungguh. (Iritani: 196-197).
Sesudah perang, bentuk hormat cenderung tidak dipakai dalam lingkungan keluarga dan sekolah-sekolah. Memang hal ini sangat bermanfaat untuk menciptakan suasana akrab lagi rapat antara orang tua anak dan guru murid. Akan tetapi, sungguh ironis usaha ini malah mengakibatkan kemerosotan pemakaian bentuk horrmat oleh anak-anak muda.

4.2 Saran

Penulis berharap pemakaian bentuk hormat dalam bahasa Jepang maupun bahasa Jawa dalam aplikasinya masih dipakai dalam penggunaanya. Penulis juga berharap agar bahasa Jawa dan unggah-ungguhing basa tidak akan hilang, dan akan terus lestari sepanjang masa. Penulis juga sangat mendukung sekali dengan diadakannya pengajaran lagi tentang bahasa Jawa di tingkat SD-SMA yang dulu penulis sudah tidak mendapatkannya lagi sejak duduk di bangku SMA dulu.

BAB III Revisi

BAB III
PERBANDINGAN BENTUK BAHASA HORMAT BAHASA JEPANG DAN UNDAK-USUK BAHASA JAWA

3.1 Bahasa Hormat Bahasa Jepang

Keigo dalam bahasa Indonesia disebut bahasa hormat. Bahasa hormat sepadan dengan basa alus atau basa lemes sebagai istilah yang dipungut dari bahasa daerah. Basa alus ialah ragam bahasa yang ditujukan kepada yang dihormati. (Kridalaksana, 1983:21), dan basa lemes ialah ragam bahasa yang dipakai kepada orang yang lebih tinggi tentang orang yang lebih tinggi pula. (Kridalaksana, 1983:22). Keigo adalah bahasa/kata-kata khusus dipergunakan untuk menunjukkan kerendahan hati pembicara dan untuk menyatakan rasa hormat pembicara terhadap teman berbicara atau orang yang dibicarakan (Minoru, 1986: 321).

3.1.1 Bentuk-Bentuk Bahasa Hormat Bahasa Jepang

A. Sonkeigo
Sonkeigo dipakai bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan atasan sebagai orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya, yang berhubungan dengan lawan bicara (termasuk aktifitas dan segala sesuatu yang berkaitannya). Sonkeigo merupakan cara bertutur kata yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (Hirai, 1985: 132)
Sementara itu Oishi Shotaro (1985:25) menjelaskan bahwa sonkeigo adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan. Dengan cara menyebut sensei kepada orang yang dibicarakandan dengan mengucapkan kata irassharu bagi aktifitasnya seperti pada kalimat 先生が旅行にいらっしゃいますSensei ga ryokou ni irashaimasu’ Pak guru akan pergi berdarmawisata’ merupakan cara untuk menyatakan rasa hormat pembicara terhadap orang yang dibicarakan dengan cara menaikkan derajatnya. Begitu juga oleh karena lawan bicara pada kalimatあなたもいらっしゃいますかAnata mo irasshaimasu ka ‘Apakah anda juga akan pergi’ menjadi orang yang dibicarakan, maka pemakaian kata anata dan irrasharu pada kalimat itu pun dipakai untuk menghormati lawan bicara dengan cara menaikkan derajatnya.
Menurut Buku Pengantar Linguistik Bahasa Jepang (Sudjianto dan Ahmad Dahidi: 190-192), ada beberapa cara untuk menyatakan sonkeigo yaitu:
a. Memakai verba khusus sebagai sonkeigo, seperti
なさるNasaru  =するsuru ’melakukan’
ごらんになるGoran ni naru =見るmiru ‘melihat’
召し上がる,あがるMeshiagaru, agaru =食べるteberu ‘makan’
いらっしゃるIrassharu = いるiru’ada’, 行くiku ‘pergi来る, kuru ’datang’
仰るOssharu  =言うiu’berkata’
Kudasaru 下さる =kureru くれる
b. Memakai verba bantu –reru setelah verba golongan satu dan memakai verba bantu rareru setelah verba golongan dua, seperti:
書かれるKakareru =書くkaku’menulis’
受けられるUkerareru = 受けるukeru ‘menerima’
食べられるTaberareru = 食べるtaberu ‘makan’
c. Menyisipkan verba bentuk ren’youkei pada pola ‘o...ni naru’ seperti:
お待ちになるOmachi ni naru =待つmatsu ‘menunggu’
お立ちになるOtachi ni naru =立つtatsu ‘berdiri’
お座りになるOsuwari ni naru =座るsuwaru ‘duduk’
お読みになるOyomi ni naru =読むyomu ‘membaca’
お書きになるOkaki ni naru = 書くkaku ‘menulis’
d. Memakai nomina khusus sebagai sonkeigo untuk memanggil orang. Kata-kata tersebut bisa berdiri sendiri dan ada juga yang dapat menyertai kata lain sebagai sufiks seperti:
先生 Sensei = bapak/ibu (guru, dokter)
社長 Shachou = direktur
課長 Kachou = kepala bagian
あなた Anata = Anda
e. Memakai prefiks dan/atau sufiks sebagai sonkeigo seperti
田中様 Tanaka-sama = Tn. Tanaka
鈴木さんSuzuki-san = Sdr. Suzuki
娘さんMusume-san = anak perempuan
ご意見Goiken = pendapat
お考えOkangae = pikiran
お宅 Otaku = rumah
弟さんOtouto-san = adik laki-laki
お医者さんOisha-san = dokter
f. Memakai verba asobasu, kudasaru dan irrasharu setelah verba-verba lain, seperti:
お帰りあそばすOkaeri asobasu = 帰るkaeru ‘pulang’
お許しくださるOyurushi kudasaru =許すyurusu ‘memaafkan’
見ていらっしゃるMite irassharu =見るmiru ‘melihat’
喜んでいらっしゃるYorokonde irassharu =喜ぶyorokobu ‘senang’, ‘gembira’
B. Kenjoogo
Ada yang menyebut nama kenjougo dengan istilah kensongo. Hirai Masao menyebut kensongo sebagai cara bertutur kata yang menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri (Hirai, 1985:132). Di pihak lain Oishi Shotaro (1985:27) mengartikan kensongo sebagai keigo yang menyatakan rasa homat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Kata oaisuru pada kalimat母が先生にお会いするHaha ga sensei ni oaisuru ‘Ibu saya akan menemui bapak guru’ dipakai untuk merendahkan aktifitas haha sebagai orang yang dibicarakan. Lalu kata mousu pada kalimat弟の申すとうりですOtouto no mousu toori desu ‘Sebagaimana yang dikatakan adik saya’ dipakai untuk merendahkan aktifitas otooto sebagai orang yang dibicarakan untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara. Begitu juga menunjukkan diri sendiri (sebagai orang yang dibicarakan) dengan kata watakushi dan mengungkapkan aktifitas diri sendiri dengan kata mairu pada kalimat Watakushi wa raigetsu Doitsu e mairu yotei desu ‘Saya minggu depan berencana pergi ke Jerman’ pun merupakan contoh pemakaian kenjougo untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara. Kenjougo dapat diungkapkan dengan cara:
a. Memakai verba khusus sebagai kenjougo, seperti:
Mairu 参る=kuru 来る‘datang’
Moosu申す=iu 言う‘mengatakan’
Itadaku頂く=morau もらう‘menerima’
Ukagau伺う= kiku 聞く‘bertanya’, shitsumon suru 質問する‘bertanya’, hoomon suru訪問する ‘berkunjung’
Omeni kakaru お目にかかる= au 会う ‘bertemu’
Ageru あげる,sashiageru差し上げる=yaruやる‘memberi’
Oru 折る= iruいる ‘ada’
Haiken suru拝見する= miru見る ‘melihat’
b. Memakai pronomina persona sebagai kenjougo, seperti:
わたくしWatakushi =  saya
わたしWatashi = saya
c. Menyisipkan verba bentuk renyoukei pada pola ‘o...suru, seperti:
お会いするOaisuru = au ‘bertemu’
おしらせするOshirase suru =知らせるshiraseru’memberitahu’, ‘mengumumkan’
お聞きするOkiki suru = 聞くkiku ‘mendengar’
お習いするOnarai suru =習うnarau ‘belajar’
お読みするOyomi suru =読む ‘yomumembaca’
d. Memakai verba ageru, mousu, moushiageru, itasu setelah verba lain, seperti:
Oshirase itasuお知らせいたす=shiraseru知らせる ‘memberi tahu’, mengumumkan’
お知らせ申すOshirase moosu =知らせるshiraseru
知らせてあげるShirasete ageru=知らせるshiraseru
知らせ手差し上げるShirasete sashiageru=知らせるshiraseru
C. Teineigo
Teineigo adalah cara bertutur kata dengan sopan santun yang diapakai oleh pembicara dengan saling menghormati atau menghargai perasaan masing-masing (Hirai, 1985: 131). Oishi shotaroo (dalam Bunkachoo, 1985:28) menyebut teineigo dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara).
Pemakaian teichoogo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau menurunkan derajat orang yang dibicarakan. Ani pada kalimat兄は明日帰りますAni wa asu kaerimasu ‘Kakak laki-laki saya besok akan pulang’ adalah orang yang dibicarakan, tetapi teichoogo ‘masu’ pada kalimat itu dipakai bukan untuk menaikkan derajat ani melainkan dikarenakan adanya pertimbangan terhadap lawan bicara. Walaupun pada kaliamat Sensei ga okaeri ni narimasu. ‘Pak guru akan pulang’ memakai sonkeigo untuk menaikkan derajat sensei sebagai orang yang dibicarakan, namun kalimat itu tidak memakai teichoogo bagi lawan bicara. Berbeda dengan sonkeigo dan kenjoogo, teineigo dinyatakan dengan cara sebagai berikut:
a. Memakai verba bantu desu dan masu seperti pada kata:
行きますIkimasu =行くiku ‘pergi’
食べますTabemasu =食べるtaberu’makan’
本ですHon desu =本だhon da ‘buku’
きれいですKirei desu =きれいだkirei da ‘cantik, bersih, indah’
b. Memakai prefiks go atau o pada kata-kata tertentu, seperti:
c. Memakai kata-kata tertentu sebagai teineigo seperti
ございますGozaimasu =ござるgozaruありますarimasu =あるaru ‘ada’
D. Futsuugo
Menurut Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar (1988:207), futsuu adalah ‘’Hal tidak adanya kelainan atau kekhasan dibandingkan dengan yang lain’’. Sedang menurut Kodansha Kokugo Jiten (1966:903), futsuu adalah:
広く一般に通じること変わっていないこと。当たり前。
Hiroku ippan ni tsuujiru koto kawatte inai koto. Atari mae.
‘Sesuatu yang berhubungan dengan hal umum yang luas, sesuatu hal yang sangat biasa dan tidak ada yang berubah atau berbeda’.
Ragam Futsuugo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. berakhiran dengan ~da, atau de aru
Contoh:
1. これは本だ。
Kore wa hon da.
Ini part buku kopula
‘’Ini buku’’.
2. 初めての外国生活である。
Hajimete no gaikokusekatsu dearu.
Pertama kali part luar negeri kehidupan kopula
‘’Kehidupan luar negeri yang pertama kali.
(日本語の中級1:23) 
b. berakhiran dengan verba bentuk futsuukei, seperti bentuk ~ru (bentuk biasa atau bentuk kamus)
Contoh:
1. 僕は食べる。
Boku wa taberu.
Saya part makan.
‘’Saya makan’’.
2. 私は六時に起きる。
Watashi wa roku ji ni okiru.
Saya part enam pukul (pada) bangun.
‘’Saya bangun jam enam’’.
Ragam futsuu biasanya digunakan dalam penuturan diantara anggota keluarga, kawan-kawan yang akrab, orang yang berstatus tinggi terhadap yang berstatus rendah, dalam bahasa media massa, makalah, roman dan sebagainya.

3.1.2 Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jepang

Pada bab ini akan diuraikan bagaimana penggunaan bentuk bahasa hormat (keigo) bahasa Jepang. Pada dasarnya keigo ‘bahasa hormat’ dalam bahasa Jepang dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Nakano Toshio (dalam Sudjianto, 1999:149) menjelaskan bahwa keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau bawahan, guru atau murid
3. Jenis kelamin :pria atau wanita (wanita lebih banyak menggunakan keigo)
4. Keakraban : orang dalam atau orang luar (terhadap luar memakai keigo)
5. Gaya bahasa : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan
6. Pribadi atau umum : rapat, upacara, atau kegiatan apa
7. Pendidikan :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo).
Bagi para pembelajar bahasa Jepang dalam situasi-situasi tertentu memang dituntut untuk menggunakan keigo (bahasa hormat) sehingga walau bagaimanapun kita harus menguasainya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit peran pemakaian keigo bagi para penuturnya. Secara singkat Hinata Shigeo (2000:15-17) menyebutkan keefektifan dan peran konkrit pemakaian keigo tersebut sebagai berikut:
1. Menyatakan penghormatan mengenai hal ini tidak perlu dijelaskan lagi, karena peran keigo ini dapat dikatakan merupakan dasar keefektifan keigo. Lawan bicara yang dihormati adalah atasan atau orang yang posisinya tinggi secara sosial, tetapi sudah tentu didalamnya termasuk orang-orang yang berdasarkan pada hubungan manusia yang berada dalam bidang perdagangan dan bisnis.
2. Menyatakan perasaan formal bukan di dalam hubungan atau situasi pribadi, di dalam hubungan atau situasi resmi dilakukan pemakaian bahasa yang kaku dan formal. Misalnya didalam sambutan upacara pernikahan, di dalam rapat atau ceramah yang resmi dan sebagainya dipakai bahasa halus atau bahasa hormat sebagai etika sosial. Berbicara dengan ragam akrab dalam situasi seperti ini kadang-kadang menjadi tidak sopan.
3. Menyatakan jarak diantara pembicara dan lawan bicara yang baru pertama kali bertemu atau yang perlu berbicara dengan sopan biasanya terdapat jarak secara psikologis. Dalam situasi seperti itu hubungan akan dijaga dengan menggunalkan bahasa halus atau bahasa hormat secara wajar. Pemakaian bahasa atau sikap yang terlalu ramah kadang-kadang akan menjadi kasar atau tidak sopan
4. Menjaga martabat keigo pada dasarnya menyatakan penghormatan terhadap lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Tetapi dengan dapat menggunakan keigo secara tepat dapat juga menyatakan pendidikan atau martabat pembicaranya.
5. Menyatakan rasa kasih sayang keigo yang digunakan para orang tua atau guru taman kanak-kanak kepada anak-anak dapat dikatakan sebagai bahasa yang menyatakan perasaan kasih sayang atau menyatakan kebaikan hati penuturnya
6. Ada kalanya menyatakan sindiran, celaan, atau olok-olok. Hal ini merupakan ungkapan yang mengambil keefektifan keigo yang sebaliknya, misalnya mengucapkan: Hontou ni gorippa na otaku desu koto ‘Rumah yang benar-benar bagus’bagi sebuah apartemen yang murah, atau mengucapkan kalimat Aitsu mo zuibun goseichou asobimashita mono da’ ‘Dia juga orang yang benar-benar sudah dewasa’. Kalimat-kalimat itu secara efektif dapat mengungkapkan sindiran, celaan atau olok-olok.
Dalam tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri.
Uchi adalah kelompok orang yang ada dilingkungan sendiri, seperti orang-orang di lingkungan keluarga, kantor pembicara, sekolah, klub sekolah atau kelompok masyarakat. Soto adalah kelompok orang yang diluar lingkungan keluarga, kantor pembicara, sekolah, klub sekolah ataukelompok masyarakat.
Pengelompokan uchi dan soto dikonseptualisasikan sebagai rangkaian lingkaran yang tumpang tindih. Posisi seseorang dalam kelompok relatif terhadap kelompok lain tergantung pada konteks situasi dan umur. Sebagai contoh, seseorang biasanya memiliki keluarga, pekerjaan, dan kelompok lain atau organisasi yang mereka miliki. Posisi mereka dalam berbagai kelompok dan dalam hubungan dengan kelompok lain, berubah sesuai dengan keadaan pada saat tertentu. Misalnya: seorang pegawai kantor yang menduduki jabatan manager personalia. Orang-orang yang ada dibagian personalia adalah kelompok uchi-nya sedangkan direktur perusahaan, pegawai dan bagian lain adalah kelompok soto-nya. Akan tetapi dia dalam berbicara dengan pelanggan/karyawan dari perusahaan lain, keseluruhan dari perusahaan tempat dia bekerja menjadi kelompok uchi-nya.
Sedangkan orang-orang diluar perusahaannya adalah soto. Pada waktu pembicara berbicara tentang uchi no hito (orang dalam) kepada soto no hito (orang luar), maka harus memperlakukan uchi no hito sama seperti diri sendiri. Bahasa yang digunakan untuk menunjukkan aksi dan gerak-gerik uchi no hito harus sama dengan yang kita pakai untuk diri sendiri. Oleh karena itu, meskipun kedudukan uchi no hito lebih tinggi, pembicara tidak menggunakan bahasa sopan (keigo) untuk menghormatinya. Ketika membicarakan masalah uchi dan soto yang terpenting adalah konteks yang dibicarakan. Misalnya, atasan kita dikantor dapat menjadi soto no hito ketika kita membicarakannya dengan keluarga dirumah. Namun, ia juga bisa menjadi uchi no hito ketika kita membicarakannya dengan klien/partner kerja dari perusahaan/kantor lain. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan そとsoto ‘luar’ seperti bahasa Jepang.
Dewasa ini faktor-faktor berikut ini dianggap sebagai penentu pilihan bentuk hormat di Jepang (Nishida 1987 hlm: 34-36). Yang dimaksudkan bentuk hormat disini ialah ragam Teinei (Krama) dengan/tanpa Sonkeigo (Krama Inggil) dan Kenjoogo (Krama Andhap).
1. Hadir atau tidaknya orang yang hendak dibicarakan: Jika hadir di situ juga, dipakai lebih banyak Sonkeigo dan Kenjoogo.
2. Hubungan atas bawah: Yang berkedudukan bawah menggunakan bentuk hormat terhadap yang lebih tinggi kedudukannya. Jika seseorang yang berkedudukan lebih rendah tidak memakai bentuk hormat, ia akan dianggap tidak tahu sopan santun. Adapun yang dikelompokkan sebagai hubungan ‘’atas-bawah’’ adalah seperti berikut ini:
a. Hubungan atas-bawah dalam satu organisasi.
b. Hubungan atas-bawah dalam status sosial: Sesudah Jepang kalah dalam Perang pada tahun 1945, kesadaran akan hubungan ini semakin berkurang sekali.
c. Umur
d. Panjangnya pengalaman: Misalnya ditempat kerja atau yunior-senior di sekolah.
3. Hubungan pemberi jasa dan penerima jasa: Penerima jasa menunjukkan sikap hormat kepada pemberi jasa.
a. Dokterer Pasien
b. Tamu Pelayan: Di Jepang terdapat pemakaian bahasa khusus di hotel, di toko-toko besar, seperti toserba. Para karyawan/pelayan dididik memakai bahasa yang sopan dan halus terhadap para tamu.
Contoh: Kata-kata dalam [ ] adalah yang biasa dipakai.
何がよろしゅうございますか。「何がいいですか」
Nani ga yoroshuu gozaimasu ka? (Nani ga ii desu ka)
Ngersakaken punapa?
さようでございます。「そうです」
Sayoode gozaimasu. (Soo desu).
Inggih/Ngaten/Saestu.
c. Guru Orang tua murid.
4. Hubungan antara yang berkuasa/kekuatan: Yang tidak berkuasa atau berkekuatan memakai bentuk hormat terhadap yang berkuasa/berkekuatan. Hubungan ini terlihat dalam sebuah kelompok berkenaan dengan kepemimpinan dan lain-lain.
5. Hubungan akrab jauh: Bentuk hormat ini dipakai terhadap orang yang jauh/tidak akrab dan tanpa bentuk hormat dengan mereka yang akrab. Sebagaimana di Jawa, di Jepang antara anggota keluarga, antara kawan yang akrab tidak dipakai bentuk hormat. Akan tetapi, sebagaimana di Jawa pula, orang Jepang memakai bentuk hormat terhadap dosennya, tetapi para murid Sekolah Dasar biasanya tidak memakai bentuk hormat. Baru di SMP, SMA, mereka memperoleh kesadaran untuk memakai bentuk hormat.
6. Terhadap wanita: Pada waktu lampau, di Jepang kaum wanita dipandang rendah, dan wanita di haruskan memakai bentuk hormat terhadap pria. Namun, dewasa ini para wanita mempunyai hak yang sama dengan pria dan kaum pria mulai memakai bentuk hormat terhadap wanita.
7. Formal atau tidak formal: Dalam situasi formal, misalnya berpidato dan sebagainya dipakai bentuk hormat.
8. Hubungan ‘’dalam’’ dan ‘’luar’’: Orang Jepang mempunyai anggapan kelompok atau kantor tempat ia bekerja. Lainnya termasuk dunia luar. Dalam penuturan dengan orang ‘’luar’’, walaupun yang dibicarakan itu berkedudukan tinggi/lebih atas, misalnya orang tua/direktur, pada prinsipnya tidak boleh dipakai Sonkeigo terhadap mereka, semata-mata karena mereka termasuk orang ‘’dalam’’. Sebagai Sonkeigo, perlu dipakai Kenjoogo/Krama Andhap. Hal ini sangat berlainan dengan bahasa Jawa, yang tidak terdapat anggapan ‘’dalam luar’’ dan selalu digunakan Krama Inggil terhadap mereka yang patut dihormati. Di beberapa tempat daerah di Jepang, terdapat juga penggunaan sebagaimana dalam bahasa Jawa, namun dalam bahasa Jepang standar, tidak diperbolehkan.
Contoh:
ご主人はもうご帰宅なさっていますか。
Goshujin wa moo gokitaku nasatte imasu ka?
はい、帰宅しております。
Hai, kitaku shite orimasu.
Kalau bahasa Jawa harus dijawab ‘’kondur/gokitaku nasatte imasu’’, namun dalam bahasa Jepang, tidak boleh dipakai ‘’gokitaku nasatte imasu’’ yang merupakan Sonkeigo/Krama Inggil, dan sebagai gantinya, harus dipakai ‘’kitaku shite orimasu’’ yang menunjukkan sikap merendahkan diri.

3.2 Undak-usuk Bahasa Jawa

Undak-usuk merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaanya ditentukan oleh anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra tutur. Tingkat tutur (undak-usuk) merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlokutornya (Suwito, 1983:25). Dengan undak-usuk semacam itu, maka sebelum seseorang mengungkapkan bahasanya ia harus menyadari lebih dulu posisi sosialnya terhadap mitra wicara.
Bahasa Jawa mengenal adanya tingkat tutur (speech levels) atau undak-usuk yang cukup rapi, yaitu: ngoko lugu, ngoko andhap, antya basa, basa antya, wredha krama, mudha krama, kramantara, madya ngoko, madya krama, madyantara, krama inggil, dan krama desa. Selain itu masih ada bahasa kedhaton dan bahasa bagongan yang dipakai dalam ruang lingkup kraton. Pendapat mengenai undak-usuk tingkat tutur tersebut dikemukakan oleh Soepomo Poejosoedarmo (1973:13). Undak-usuk tingkat tutur bahasa Jawa terbagi atas tiga jenis yaitu: Krama, Madya, Ngoko dengan masing-masing sub tingkat. Berikut ini penjelasan mengenai undak-usuk tingkat tutur tersebut:
I. Krama
a. Mudha Krama: kata-kata dan imbuhan krama inggil dan krama andhap. Contoh kalimat:
Bapak, panjenengan mangke dipun aturi mundhutaken buku kangge Mas Kris.
b. Kramantara: hanya mengandung bentuk krama. Contoh kalimat:
Pak, sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas Kris.
c. Wredha Krama: bentuk-bentuk afiks ngoko –e dan –ake. Contoh kalimat:
Nak, sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas Kris.
‘Bapak/Nak, kamu nanti disuruh membelikan buku untuk Mas Kris’.
II. Madya
a. Madya Krama: kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan krama inggil. Contoh kalimat:
Njenengan napa mpun mundhutake rasukan Warti dhek wingi sonten?
b. Madyantara: kata-kata tugas madya afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan krama inggil. Contoh kalimat:
Samang napa pun numbasake rasukan Warti dhek wingi sore?
c. Madya Ngoko: kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk ngoko. Contoh kalimat:
Samang napa pun nukokke klambi Warti dhik wingi sore?
‘Kamu apa sudah membelikan baju Warti kemarin sore?.’
III. Ngoko
a. Basa Antya: terdapat kata-kata krama inggil, krama, ngoko, imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adik arep dipundhutake menda.
b. Antya Basa: terdapat kata-kata krama inggil disamping kosakata ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep dipundutake wedhus.
c. Ngoko Lugu: terdapat kata-kata dan imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep ditukokake wedhus. ‘Adik akan dibelikan kambing.’
Meskipun bahasa Jepang tidak mempunyai sistem undak-usuk seperti bahasa Jawa alangkah baiknya jika dibuat perbandingan skema garis besar mengenai undha-usuk modern bahasa Jepang dengan bahasa Jawa sebagai berikut:
No. Bahasa Jepang Bahasa Jawa
1 Keigo (Ragam Hormat)
a. Ragam Futsuu tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo
b. Ragam futsuu dengan sonkeigo dan kenjoogo Unggah-ungguh
A. Basa Ngoko
1. Ngoko Lugu (Ngoko)
2. Ngoko Alus
2 Ragam Teinei
a. Ragam teinei tanpa sonkeigo dan kenjoogo
b. Ragam teinei dengan sonkeigo atau kenjoogo B. Basa Krama
1. Krama Limrah (Krama)
2. Krama Alus

Dalam berbicara undak-usuk bahasa pasti ada kaitannya dengan unggah-ungguh basa. Unggah-ungguh basa adalah sopan santun dalam berbahasa Jawa. Unggah-ungguh basa berujud tingkatan-tingkatan dalam tutur bahasa. Masing-masing tingkatan dibentuk oleh penutur, semata-mata hanya dimaksudkan terhadap siapa penutur itu berbicara, bukannya terhadap orang lain di luar lawan bicara. (Sudaryanto, 1993:273).
3.2.1 Bentuk- Bentuk Bahasa Hormat Bahasa Jawa
Bentuk-bentuk bahasa homat dalam Bahasa Jawa dapat diketahui dalam pemilihan kosakata dalam jenis tingkat tuturnya, Soepomo Poejosoedarmo, (1979:13) membagi kosa kata tersebut menjadi:
1. Ngoko
2. Krama
3. Madya
4. Krama Inggil
5. Krama Andhap
Merupakan dasar dari semua leksikon. Dalam tingkat apapun, kata ngoko digunakan apabila kata tersebut tidak mempunyai padanan pada tingkat kata yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kosakata dalam bentuk ngoko mempunyai jumlah paling besar diantara kosa kata lainnya.
Kosa kata lainnya adalah krama. Berdasarkan bentuk fonemis, kata-kata krama dibagi menjadi dua jenis (Soepomo Pudjosoedarmo, 1979:25). Pertama, kata-kata yang mempunyai bentuk menyerupai padanan ngoko. Misalnya: kula (krama) dengan aku (ngoko) ‘saya’ dan griya (krama) dengan omah (ngoko) ‘rumah’. Kedua, kata-kata krama yang mempunyai padanan ngoko. Misalkan:
a. Kata-kata yang berakhir pada –os
Krama Ngoko
Gantos ganti arti: ganti
b. Kata-kata yang berakhir pada –nten
Krama Ngoko
Kinten kira arti: kira
c. Kata-kata yang berakhir pada –bet
Krama Ngoko
Mlebet mlebu arti: masuk
d. Kata-kata yang berakhir pada-won
Krama Ngoko
Awon ala arti: jelek
e. Kata-kata yang berakhir pada-jeng
Krama Ngoko
Majeng maju arti: maju
f. Kata-kata yang berakhir pada-ntun
Krama Ngoko
Pantun pari arti: padi
g. Kata-kata yang berakhir pada-i
Krama Ngoko
Negari Negara arti: negara
h. Kata-kata yang berakhir pada (i+konsonan+a)
Krama Ngoko
Mila mula arti: maka
i. Kata-kata yang berakhir pada (i+konsonan+a+h)
Krama Ngoko
Sisah susah arti: susah
j. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan+a)
Krama Ngoko
Gega gugu arti: turut
k. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan +a+h)
Krama Ngoko
Berah buruh arti: buruh
l. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan+a+h)
Krama Ngoko
Ebah obah arti: berubah
Soepomo Poedjosoedarmo (1979:28) juga menjelaskan bahwa kata-kata madya sebagian besar mengambil bentuk dari kata-kata karma sehingga hampir menyerupai padanan karma seperti yang terdapat dalam contoh berikut ini:
Ngoko Madya Krama Arti
aja ampun sampun jangan
iya nggih inggih ya

Sebagian kata-kata madya yang lain dibentuk dengan cara meng-krama-kan kata-kata ngoko dengan mengganti suku akhir dengan –jeng, -pun dan akhiran dalam aturan pembentukan kata karma (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979:28). Contoh kata madya melalui pembentukan karma adalah sebagai berikut:
Ngoko Madya Krama Arti
arep ajeng badhe akan
kepriye kepripun kadosipun bagaimana

Soepomo Poejosoedarmo (1979:28) mengatakan bahwa beberapa kata madya yang lain berasal dari kata-kata arkais (kawi). Contoh kata madya yang berasal dari kata arkais adalah sebagai berikut:
Ngoko Madya Arkais Karma Arti
iki niki puniki menika ini
iku niku puniku menika itu

Sementara itu kosakata karma inggil sebagian besar merupakan serapan yang berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa kuna, hanya kecil yang merupakan serapan dari bahasa Persia dan Arab (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979:29). Contoh kata karma inggil serapan adalah sebagai berikut:
Ngoko Krama Krama Inggil Arti Sumber
tangan - asta tangan Sansekerta
picak - wuta buta Jawa kuna
batur rencang abdi pembantu Arab
iket udheng dhestar ikat pinggang Persia

Soepomo Poedjosoedarmo (1979:30) mengatakan bahwa kelompok krama inggil dibagi menjadi dua, yaitu pertama adalah kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan meluhurkan diri dengan yang diacu disebut sebagai kata krama inggil. Kedua, adalah kelompok kata yang menghormat orang yang diacu dengan cara merendahkan diri sendiri yang disebut sebagai krama andhap. Contoh kata krama inggil dan krama andhap adalah sebagai berikut:
Ngoko Krama Krama Inggil Krama Andhap Arti
kandha criyos ngendhika dhawuh matur berkata
takon taken paring priksa nyuwun priksa bertanya

Dalam penggunaan bahasa Jawa tingkat tutur yang ada berkisar antara ngoko, madya dan krama. Hal ini disebabkan penggunaan kata tugas yang merupakan leksikon ngoko, madya dan krama memiliki kekerapan yang tinggi. Sementara itu kosakata krama inggil dan krama andhap tidak berfungsi membentuk tingkat tutur karena lingkup kosa kata krama inggil dan krama andhap berkisar pada kata benda, kata sifat dan kata kerja.
3.2.2 Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jawa
Dalam bahasa Jawa penggunaaan bentuk krama (bahasa hormat) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat). Berikut ini gambaran mengenai hubungannya yang berkaitan dengan status sosial:
1. Hubungan simetris:
a. antara orang muda: ngoko, madya
b. antara orang tua: ngoko, krama
c. antara priyayi dan tukang sayur :madya
d. antara orang yang belum saling kenal: krama, madya
2. Hubungan asimetris:
a. anak kepada orang tua: krama, dan orang tua kepada anak : ngoko
b. pembantu rumah tangga (tukang sayur) kepada tuan rumah: madya, dan tuan rumah kepada pembantu rumah tangga (tukang sayur): ngoko.
Untuk menyusun kalimat di dalam bahasa Jawa, sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan ( secara pragmatik). Pertimbangan pertama berkenaan dengan pertanyaan bagaimana jenis hubungan antara si pembicara dan lawan bicara. Ini untuk menetapkan apakah digunakan konstruksi ngoko, madya, atau krama. Pada pertimbangan kedua, berdasarkan jenis hubungan antara si pembicara dan lawan bicara itu ditentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak. Selain itu untuk menentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak, juga dipertimbangkan jenis hubungan si pembicara atau lawan bicara dengan orang lain yang sedang dibicarakan.
Contoh:
1. Saya sudah makan. Bapak sudah makan atau belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Bapak wis dhahar durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Bapak mpun dhahar dereng?
c. Krama: Kulo sampun nedha. Bapak sampun dhahar dereng?
2. Saya sudah makan. Agus sudah makan belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Agus wis mangan durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Agus mpun nedha dereng?
c. Krama: Kula sampun nedha. Agus sampun nedha dereng?
(KBJ III: 153-154).
Selain terdapat bentuk honorifik (sopan santun/unggah-ungguh) untuk ‘’meninggikan’’ orang lain yang dihormati (yang disebut Krama Inggil), terdapat pula bentuk honorifik untuk ‘’merendahkan diri si pembicara. Bentuk seperti ini disebut ‘’krama andhap’’. Bentuk krama inggil harus dipakai pada waktu berbahasa dengan atau mengenai orang yang dihormati.
Sopan santun bebahasa disebut juga dengan istilah etiket tutur. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari istilah Clifford Geertz yaitu linguistic etiquette yang dimuat di dalam bukunya The Relegion of Java (1967). Kemudian di dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) sebagai terjemahan buku Clifford Geertz tersebut disebut sopan santun berbahasa.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam sopan santun berbahasa Jawa yaitu pilihan bentuk linguistik atau bentuk lingual dan sikap andhap asor. Andhap asor berarti merendahkan diri sendiri dengan kepada setiap orang yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi. (Clifford Geertz, 1981:326). Pernyataan Clifford Geerts tersebut telah memperhitungkan tingkat tutur (faktor lingual) dan faktor non-lingual dalam berbahasa Jawa. Pilihan bentuk linguistik mengarah kepada relasi atau hubungan penutur dengan lawan tutur (faktor non-lingual).
Khusus mengenai faktor lingual akan tercermin di dalam perbedaan bentuk tingkat tutur (ngoko, krama, madya). Sebagai contoh: misalnya seseorang akan menyapa orang lain: Hendak pergi ke mana?, maka bentuk tuturannya sebagai berikut:
a. Arep menyang ngendi?
b. Ajeng teng pundi?
c. Badhe tindak dhateng pundi?
Adanya ketiga bentuk tuturan diatas menunjukkan adanya perbedaan relasi antara penutur dengan lawan tutur. Perbedaan relasi tersebut akan dapat mengakibatkan perbedaan sopan santun antara penutur dengan lawan tuturnya. Tuturan (a) dapat menyatakan rasa sopan santun yang rendah (low honorifics), tuturan (b) menyatakan rasa sopan santun yang sedang, sedangkan tuturan (c) menyatakan rasa sopan santun yang tinggi (high honorifics). Hal yang demikian itu jelaslah bahwa penutur bahasa Jawa dalam berbahasa Jawa lebih menekankan orang atau siapa yang diajak bicara, dan bukannya waktu berbicara maupun hal yang dibicarakan.
Sehubungan dengan pemilihan suatu tingkat tutur Soeroso (1990:6-7) menyatakan bahwa ada empat langkah yang harus selalu diingat dandilakukan bagi seorang penutur yang akan berbahasa Jawa. Keempat langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mawas diri
Penutur menempatkan dirinya terhadap lawan tuturnya, dan ada tiga kemungkinan:
a. penutur lebih rendah daripada lawan tutur
b. penutur sederajat dengan lawan tutur
c. penutur lebih tinggi kedudukannya dengan lawan tutur
2. Memilih bahasa
b. apabila penutur lebih rendah daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa krama;
c. apabila penutur sederajat dengan lawan tutur, penutur menggunakan bahasa madya, ngoko;
d. apabila penutur lebih tinggi daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa ngoko.
3. Memilih kata
Dalam menggunakan bahasa seperti tersebut pada langkah yang kedua perlu dipilih kata yang tepat.
4. Menetapkan sikap
Sikap berbicara disesuikan dengan sikap diri misalnya sikap hormat, sikap santai, dan sebagainya.
Keempat langkah diatas berdasarkan analisis secara psikologis, yang tentu saja langkah-langkahnya berlangsung secara ‘’otomatis’’ pada jiwa penutur. Pada langkah pertama (mawas diri) dan langkah keempat (menetapkan sikap) berkaitan dengan faktor non-lingual dalam berbahasa yang menyangkut relasi penutur dengan lawan tutur. Langkah kedua (memilih bahasa) dan langkah langkah ketiga (memilih kata) berkaitan dengan pemilihan tingkat tutur.
Didalam hal pemilihan tingkat tutur penutur dihadapkan adanya berbagai kemungkinan pilihan tingkat tutur. Oleh karena itu, penutur harus memilihkan jenis-jenis tingkat tutur yang ada di dalam masyarakat tutur Jawa. Pemilihan dan sekaligus pemilahan tingkat tutur ini memperhatikan manusia sebagai peserta tutur, yang dapat berarti manusia ditempatkan pada posisi utama. Pernyataan yang demikian itu dapat dikaitkan dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa misalnya: rumangsa ora diwongake ‘merasa tidak diperhatikan/tidak dihormati’, katimbang kalah uwong aluwung kalah uwang ‘daripada kalah orang (tidak diperhatikan) lebih baik kalah uang’. Kedua ungkapan tersebut hanyalah untuk memberikan gambaran atau perbandingan tentang peranan manusia (dalam hal ini penutur) dalam berbahasa Jawa yang berkaitan dengan pemilihan dan pemilahan tingkat tutur.
Adanya bentuk tuturan yang dapat mencerminkan rasa sopan santun berarti pula tingkat tutur berkaitan erat dengan sopan santun berbahasa. Sopan santun berbahasa itu sendiri merupakan ajaran yang patut untuk dilaksanakan dalam masyarakat tutur jawa. Sehubungan dengan hal itu Suwadji (1985:14-15) menyatakan sebagai berikut:
a. Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang,
b. Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa,
c. Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur Jawa menghormati lawan tuturnya,
d. Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.
Keempat pernyataan diatas menunjukkan adanya prinsip pokok dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Dalam hal inipemilihan tingkat tutur (sebagai faktor lingual dalam berbahasa) mengiringi sopan santun berbahasa yang dapat diamatai dalam suatu peristiwa tutur. Prinsip pokok dan fungsi tersebut apabila dipahami secara benar dapat menumbuhkan rasa kebanggaan orang Jawa memiliki bahasa Jawa.
Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian dari sopan santun atau tatakrama Jawa. Berdasarkan tulisan Mas Sastrodiwiryo (dalam Sunarto Poerbosuharjo, 1989:5) dalam bukunya yang berjudul Tatakrama Jawi (1928) di jelaskannya bahwa tatakrama memiliki enam hal sebagai berikut:
1. Tuwuhipun tatakrama saking sesrawungan
‘Tumbuhnya tatakrama dari pergaulan’,
2. Landhesanipun wonten ing tatacara
‘Dasarnya di dalam tatacara’,
3. Ingkang dados dhasar kurban dhiri
‘Yang menjadi dasar korban diri’
4. Pangukuripun mawi dugi prayogi
‘Pengukurnya dengan perkiraan yang baik’,
5. Penindakipun mawi patrap, pangucap, busana
‘Prakteknya dengan tindakan, ucapan, busana’
6. Pangesthinipun hanjagi murih rahayuning pasrawungan.
‘Tujuannya menjaga agar terjadi keselamatan dalam pergaulan’.
Keenam hal tersebut apabila dihubungkan dengan sopan santun berbahasa terdapat pada hal yang kelima yaitu praktek tatakrama. Tatakrama dalam praktek diperhatikan adanya tiga hal yaitu: patrap, pangucap, dan busana. Khusus di dalam pangucap salah satu hal yang patut diperhatikan yaitu adanya pemilihan tingkat tutur yang tepat. Dengan pemilihan tingkat tutur yang tepat merupakan satu hal yang dapat menciptakan suasana harmonis di dalam pergaulan khususnya dalam peristiwa tutur. Bentuk tuturan krama yang disertai patrap yang kasar tidaklah menciptakan suasana harmonis didalam pergaulan..
Penggunaan bahasa secara tepat akan mendatangkan sikap hormat. Pilihan kata yang benar menyebabkan urusan menjadi lancar. Terlebih-lebih krama inggil yang merupakan bahasa Jawa halus, penerapannya memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Bahasa krama inggil menyangkut apresiasi dan status sosial yang erat sekali dengan etika dan sopan santun.
Pada umumnya krama inggil digunakan oleh bawahan kepada atasan, anak kepada orang tua, dan murid kepada gurunya. Dalam percakapan sehari-hari, krama inggil terbukti bisa membuat suasana harmonis. Dengan berbahasa Jawa halus, berarti sudah memulai hubungan yang penuh tata krama. Masing-masing pihak terjaga perasaannya dan emosipun akan mudah terkendali.
Ragam Teinei dan Krama merupakan ragam tutur yang tidak terdapat dalam bahasa-bahasa Eropa, bahasa Tionghoa ataupun bahasa Indonesia sendiri. Bahasa yang memilikinya adalah Bahasa Jepang, Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Korea, Tibet dan lainnya (Kazuko, 1991:445).
Contoh kalimat beragam Futsuu (Ngoko) dan Teinei (Krama):
RAGAM FUTSUU
普通 RAGAM TEINEI
丁寧
これは本だ。
Kore wa hon da.
Iki buku.
これは本です。
Kore wa hon desu.
Punika buku.
僕は食べる。
Boku wa taberu.
Aku mangan. 私は食べます。
Watashi wa tabemasu.
Kula nedha.

Sebagaimana bahasa Jawa, bahasa Jepang mempunyai kata hormat dan kata yang digunakan untuk merendahkan diri. Kata hormat disebut Sonkeigo, dan kata yang menyatakan sikap merendahkan diri disebut Kenjoogo, kalau dalam bahasa Jawa sepadan dengan Krama Inggil dan Krama Andhap. Dalam bahasa Jawa, kata-kata krama Inggil dan Krama Andhap dapat dipakai baik dalam tingkat Ngoko maupun Tingkat Krama. Dalam bahasa Jepang juga demikian. Baiklah kita ambil contoh, kata kerja ‘’meshiagaru yang berarti ‘’dhahar’’ dan ‘’sashiageru’’ yang berarti ‘’caos’’.
‘’Meshiagaru’’
1. 先生はステーキを召し上がる。
Sensei wa suteeki o meshiagaru
Pak Guru arep dhahar bistik
2. 先生はステーキを召し上がります。
Sensei wa suteeki o meshiagarimasu.
Pak Guru badhe dhahar bistik.
‘’Sashiageru’’
1. 先生にコーヒーを差し上げる。
Sensei ni koohii wo sashiageru.
Aku arep nyaosake kopi Pak Guru.
2. 先生にコーヒーを差し上げます。
Sensei ni koohii o sashiagemasu.
Kula badhe nyaosaken kopinipun Pak Guru.
(Kazuko, 1991:445)
Catatan: Kalimat nomor 1 adalam Ragam Futsuu dan kalimat nomor 2 adalah Ragam Teinei.
Ekspresi sikap hormat dalam penuturan menyangkut hubungan antara Orang Pertama (pembicara), dan Orang Kedua (mitra wicara). Dalam hal ini, yang sangat penting ialah bagaimana si pembicara menyebutkan dirinya dan memanggil mitra wicara serta orang ketiga yang diacu.
1. Orang Pertama
Dalam bahasa Jepang, Orang Pertama sering tidak disebutkan, asal dapat dimengerti oleh lawan bicara dalam konteks tuturnya.
Contoh: 行きます。Ikimasu. (Kula) kesah.
[tunggal]
a. わたしwatashi kula ‘’watashi’’ dapat digunakan baik pria maupun wanita.
b. わたくしwatakushi kawula lebih formal dari ‘’watashi’’
c. Kata kekerabatan jika bersama kata ‘’san’’ dapat dijadikan Prenomina Orang Pertama.
Contoh: 後で、お母さんに話してね。
Atode, okaasan ni hanashite ne.
Ibu, mengko dicritani, lho.
d. ‘’watashi’’ dapat dipakai juga dalam Ragam Futsuu. Kata padanan ‘’aku’’ dalam bahasa Jepang adalah ‘’boku’’ yang dipakai oleh pria, dan ‘’atashi’’ dipakai oleh wanita. Jika mitra wicaranya sebaya, boku/atashi adakalanya dipakai dalam ragam Teinei, namun dalam situasi tidak formal.
[jamak] Bentuk jamak dapat disusun dengan memakai kata ‘’tachi’’ setelah bentuk tunggal. Jika dipakai kata ‘’domo’’, akan dapat menunjukkan sikap merendahkan diri.
a. Watashitachi/watakushitachi kula sedaya
bokutachi/atashitachi aku kabeh
2. Orang Kedua
Sebagaimana Orang Pertama, pronomina ini sering tidak disebut dalam penuturan.
行かれる? Ikareru? (Sliramu) tindak?
いらっしゃいますか?Irasshaimasu ka? (Punapa panjenengan) tindak?
[tunggal]
a. あなたAnata sliramu/sampeyan/panjenengan
Contoh: あなたは行かれる?Anata wa ikareru? Sliramu tindak?
Kata ‘’anata’’ tidak sesuai terhadap orang atasan. Sebagai gantinya, lebih baik dipakai b/c di bawah ini.
Anatasama panjenengan dalem, nan dalem
Sochirasama panjenengan dalem, nan dalem
Kata ini dapat dipakai juga kalau hendak berbicara dengan seseorang yang belum dikenal, tetapi jelas berstatus tinggi. Kalau orang yang sebaya atau berstatus lebih rendah, dipakai kata ‘’sochira.’’
b. Nama keluarga yang disertakan kata ‘’san’’ atau ‘’sama’’ berfungsi sebagai kata ganti orang kedua, ‘’anda’’. Kata ‘’san’’ dan ‘’sama’’ dapat dipakai baik untuk pria maupun wanita: wanita yang sudah menikah ataupun yang belum. kata ‘sama’ lebih tinggi kadar hormatnya, dan cenderung dipakai dalam bahasa tulisan, misalnya dalam surat.
田中さん Tanaka san Bapak/Ibu/Mas/Mbak Tanaka
Dalam pergaulan resmi nama kecil tidak dipakai. Seseorang yang bernama Haruo Tanaka (Haruo adalah nama kecil), ia dipanggil dengan ‘’Haruo san’’ hanya oleh isteri, kekasih dan lain-lain, di kantor yang akrab hubungannya, dan tidak mungkin oleh rekan sekerjanya di kantor karena mereka memanggil Tanaka san.
c. Nama pangkat dan gelar dipakai sebagai kata ganti orang kedua.
Contoh:
社長 Shachoo Bapak Direktur
社長はいらっしゃいますか。
Sachoo wa irasshaimasu ka?
Bapak Direktur badhe tindak?
先生 Sensei Bapak Guru/Bapak Dokter
Kadang-kadang nama keluarga atau nama lengkap dipakai bersama-sama dengan nama pangkat ataupun gelar.
田中先生 Tanaka Sensei Bapak Guru Tanaka
田中先生は何を飲まれますか。
Tanaka Sensei wa nani o nomaremasuka?
Pak Tanaka badhe ngunjuk punapa?
d. Kata kekerabatan, kecuali adik, dipakai sebagai ‘’Anda’’.
お母さんOkaasan Ibu お父さん Otoosan Bapak
お姉さん Oneesan Mbakyu お兄さんOniisan
お父さんは何を召し上がる?
Otoosan wa nani o meshiagaru?
Bapak dhahar apa?
[jamak]
Bentuk jamak dapat disusun dengan memakai kata ‘’gata’’.
Misal: あなた方 anata gata Panjenengan Sadaya
3. Orang Ketiga
a. Yang dekat pada si pembicara
ここ方、こちら。Konokata/kocira tiyang punika/piyambakipun
こちらさま。Kochirasama panjenenganipun
b. Yang dekat pada mitra wicara
そちら方、そちらSonokata/sochira tiyang punika/piyambakipun
そちらさまSocirasama panjenenganipun
c. Yang dekat pada baik si pembicara maupun mitra wicara
あの方、あちら。Anokata/achira tiyang punika/piyambakipun
あちらさまAchirasama panjenenganipun
Catatan: a, b, c tersebut berasak dari kata ganti penunjuk kore/sore/are = iki/kuwi/kae.
d. Kata kekerabatan atau nama keluarga yang bersandang kata ‘’san’’ atau ‘’sama’’ dipakai untuk menggantikan pronomina orang ketiga.
Contoh:
お父さんはおいでになる?
Otoosan wa oide ni naru?
Bapak (mu) ana dalem?
山田さんは医者です。
Yamada san wa isha desu.
Pak Yamada dokter.
Bertalian dengan keterangan (4) d), jika umpamanya hendak menjawab telepon dari luar, kata ‘’san’’ tidak boleh dipakai lagi untuk seseorang yang termasuk pihak yang menjawab telepon itu, dan untuk kata kerjanya harus dipakai bentuk yang menunjukkan sikap merendahkan diri, dengan menggunakan Kenjoogo. Hal ini sama sekali berlainan dengan bahasa Jawa.
Contoh:
A: 山田さんはいらっしゃいますか?
Yamada san wa irasshaimasu ka?
Punapa Bapak Yamada wonten?
B: 山田は外出しております。
Yamada wa gaishutsu shite orimasu.
Yamada kesah.
Sikap merendahkan diri dapat ditunjukkan dengan bentuk ‘gaishutsu shite orimasu’’. Gelar ‘’san’’ tidak boleh dipakai. Dalam bahasa Jawa, digunakan gelar dan kata Krama Inggil: Pak Yamada tindak.
4. Pronomina Tak Tentu
a. どなたdonata sinten.
b. どなた様、どちら様 sinten? (lebih hormat)
どなたさまですか。(Ingkang asma) sinten?
どちら様ですか。(Ingkang asma) sinten?
Sebagaimana dapat diketahui dari contoh di bawah ini, Ragam Futsuu dapat diubah menjadi Ragam Teinei, pada prinsipnya, dengan hanya menambah verba dan verba bantu berkonjugasi, maka terasa sulit bagi orang asing untuk mempelajarinya. Dalam artikel perbandingan sistem unggah-ungguh bahasa Jepang dan Bahasa Jawa (Kazuko, 1993:446) ragam futsuu dan teinei dicontohkan dalam table berikut:
Ragam Futsuu Ragam Teinei
僕はパンを食べる。
Boku wa pan wo taberu.
Aku mangan roti.
‘Saya makan roti’ 私はパンを食べます。
Watashi wa pan o tabemasu.
Kula nedha roti.
‘Saya makan roti’
これはおいしい。
Kore wa oishii.
Iki enak.
‘Ini enak.’ これはおいしいです。
Kore wa oishii desu.
Punika eca.
‘Ini enak.’
バナナは安い。
Banana wa yasui.
Gedhange murah.
‘Pisangnya murah’ バナナは安いです。
Banana wa yasui desu.
Pisangipun mirah.
‘Pisangnya murah’
あの花は赤くない。
Ano hana wa akakunai.
Kembang kae ora abang.
‘Bunga ini tidak merah.’ あの花は赤くないです。
Ano hana wa akakunai desu.
Sekar punika boten abrit.
‘Bunga ini tidak merah’
昨日バナナを食べた。
Kinoo banana wo tabeta.
Dhek wingi aku mangan gedhang.
‘Kemarin saya makan pisang’ 昨日バナナを食べました。
Kinoo banana o tabemashita.
Kala wingi kula nedha pisang.
‘Kemarin saya makan pisang’
私は六時に起きる。
Watashi wa rokuji ni okiru
Aku tangi jam nem
‘Saya bangun jam enam’ 私は六時に起きます。
Watashi wa rokuji ni okimasu.
Kula tangi jam nem.
‘Saya bangun jam enam’
僕は十時に寝る。
Boku wa juuji ni neru.
Aku turu jam sepuluh.
‘Saya tidur jam sepuluh.’ 私は十時に起きます。
Watashi wa juuji ni nemasu
Kula tilem jam sedasa.
‘Saya tidur jam sepuluh
弟はーオトバイを持ってる。
Otooto wa ootobai o motteru.
Adhikku duwe sepeda motor.
‘Adik saya mempunyai sepeda motor’ 弟はーオトバイを持っています。
Otooto wa ootobai o motteimasu.
Adhi kula gadhah sepeda motor.
‘Adik saya mempunyai sepeda motor’

Bahasa Jawa memiliki kosa kata krama dalam jumlah yang besar. Hal demikian sebagaimana terlihat pada tabel diatas, sedangkan bahasa Jepang tidak. Hal ini mungkin desebabkan karena verba, verba bantu, adjektiva dalam bahasa Jawa tidak berkonjugasi, dan terpaksa dibuat kata-kata yang menunjukkan perbedaan antra kedua ragam. Kosa kata bahasa Jepang boleh dikatakan sepadan dengan kata krama/ngoko (KN) dalam bahasa Jawa.
Fungsi dari penggunaan bahasa ngoko-krama dalam masyarakat Jawa antara lain adalah sebagai norma pergaulan norma dalam masyarakat, tataran bahasa Jawa dipakai sebagai tata unggah-ungguh, dan berfungsi sebagai pengatur jarak sosial dalam masyarakat.
Sebelum Perang Dunia ke-2, di Jepang hierarki status sosial dan hubungan atas bawah memberi pengaruh besar kepada penggunaan bentuk hormat. Di dalam lingkungan keluarga, anak tidak jarang menggunakan ragam Teinei terhadap orang tuanya sebagaimana terlihat dalam buku-buku teks ketika itu. Akan tetapi, setelah kalah dalam perang dan sementara kesadaran akan demokratisasi meningkat, mulailah lazim anak-anak memakai ragam Futsuu (Ngoko). Status sosial dan hubungan atas bawah tidak lagi merupakan faktor utama dalam penggunaan bentuk hormat. Lalu apakah yang menggantikannya? Hubungan ‘’akrab jauh’’-lah yang semakin sering menggantikannya. Hal ini sangat jelas dalam penggunaan ragam Teinei (krama) terhadap yang berkedudukan lebih rendah, namun sekarang ini digunakan ragam Teinei, antara satu sama lain. Kecenderungan ini timbul akibat perluasan kesadaran akan persamaan hak dan keinginan untuk menunjukkan kehalusan dan sopan santun.
Kosakata kenjoogo dalam bahasa Jepang, jauh lebih banyak daripada kosakata krama andhap dalam bahasa Jawa, dan hampir semua kata kerja di ‘’Krama Andhap-kan’’ dengan menggunakan prefiks dan verba bantu. Bahasa Jawa tidak memiliki Krama Adhap untuk kata kerja seperti ‘’pergi/datang/ada/makan’’ dan sebagainya. Timbul pertanyaan, mengapa jumlah kata krama andhap begitu sedikit? Jawabannya, menurut tafsiran penulis, kata krama dalam bahas Jawa itu sudah mempunyai nuansa merendahkan diri sepadan dengan kenjoogo dalam bahasa Jepang.
KRAMA TEINEIGO丁寧語 KENJOOGO謙譲語
Kesah 行きますIkimasu [行くiku =lunga] 参りますMairimasu
Nedha 食べますTabemasu
[食べるtaberu = mangan] いただきますItadakimasu
Wonten いますImasu [いるiru = ana]  おりますOrimasu
Ningali 見ますMimasu [見るmiru= nonton] 拝見しますHaiken shimasu

Karena kosakata kenjoogo berjumlah banyak dan pemakaiannya sulit, maka semakin meningkat kesalahan pemakaian tersebut dan menyebabkan peniadaan kenjoogo dalam penuturan oleh anak-anak muda. Sejumlah pakar bahasa Jepang meramalkan akan lenyapnya kenjoogo pada masa depan.
Di samping kelompok kosa kata tersebut, terdapat juga kelompok kata yang dipakai oleh pembicara, terutama wanita, untuk memperindah tuturnya. Contoh: お休みoyasumi libur, ご飯gohan sega, 亡くなるNakunaru seda,お菓子okashi kue, おビールObiiru bir. Contoh kalimat: 父は去年亡くなった。Chichi wa kyonen nakunatta. Bapak seda taun kepengker. ‘Bapak meninggal tahun yang lalu’.
Satu lagi ada kelompok kata yang dipakai untuk menunjukkan sikap merendahkan diri. Contoh:具足 gusoku anak adalem,商社 shoosha kantor kami 諸品soshina hadiah ingkang boten aji, 拙宅 settaku griya adalem.

3.3. Perbedaan Bentuk dan Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa

Sistem undak usuk dan unggah-ungguh merupakan pencerminan tenggang rasa dan pertimbangaan pembicara terhadap lawan bicara, dan merupakan sarana untuk mempererat hubungan antar manusia. Menguasai ‘’unggah-ungguhing basa’’ dikehendaki baik dalam masyarakat Jepang maupun dalam masyarakat Jawa. Di Jawa jika seseorang belum menguasai unggah-ungguhing basa, menurut kata orang Jawa, pasti dicap ‘’durung jawa’’. Di Jepang tidak ada ungkapan seperti itu, namun, jika seseorang tidak menguasai ‘’unggah-ungguhing basa’’, ia akan diasingkan karakter ataupun budi pekertinya, dan ada kalanya menimbulkan amarah bagi lawan bicaranya. Orang-orang Jepang setidaknya memberi perhatian kepada penggunaan kata-kata bentuk hormat. Di toko-toko buku tersedia buku-buku yang mengajarkan ‘’unggah-ungguhing basa’’. Bagaimanapun, andaikata sudah berhasil menguasai bentuk bahasa hormat, jika kata-kata yang keluar itu hanya diujung lidah saja, dan tidak disertai ‘perasaan hati, pengetahuannya itu akan sia-sia belaka.
‘’Keigohoo’’ 敬語法, atau Kaidah Bentuk Hormat adalah istilah yang sepadan dengan ‘’unggah-ungguhing basa’’ dalam bahasa Jawa. Kaidah Bentuk Hormat merupakan aturan pemakaian kata-kata ‘’sonkeigo’’ 尊敬語 (kata hormat), ‘’kenjoogo’’謙譲語 (kata merendhkan diri), dan ‘’teineigo’’丁寧語 (kata sopan). Komunikasi orang Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unggah-ungguhing basa. Kepribadian seseorang bisa dicitrakan dalam bentuk kemampuan berbahasa.
Unggah-ungguh basa adalah sopan santun dalam berbahasa Jawa. Unggah-ungguh basa berujud tingkatan-tingkatan dalam tutur bahasa. Masing-masing tingkatan dibentuk oleh penutur, semata-mata hanya dimaksudkan terhadap siapa penutur itu berbicara, bukannya terhadap orang lain di luar lawan bicara. (Sudaryanto, 1993:273). Unggah-ungguh basa itu terjadi karena unggah-ungguh tembung. Unggah-ungguh tembung yang ada dalam bahasa Jawa terdiri dari: ngoko, madya dan krama. Unggah-ungguhing basa dalam bahasa Jawa sepadan dengan Keigohou ‘Kaidah Bentuk Hormat’ dalam bahasa Jepang.
Di Jepang terdapat dua jenis ragam tutur dalam tulis yang disebut Futsuu dan ragam Teinei. Kata futsuu berarti biasa dan kata teinei berarti sopan. Kata futsuu kalimatnya banyak berakhiran dengan kata ‘’da’’ atau dearu’’,disebut pula ragam ‘’da/dearu’’. Ragam futsuu digunakan dalam penuturan dianggota keluarga, kawan’-kawan yang akrab, orang yng berstatus tinggi terhadap yang berstatus rendah, dalam bahasa media massa, makalah, roman dan sebagainya. Sedangkan kata ‘’teinei’’ dikatakan berarti sopan karena ragam teinei dipakai untuk menghormati secara langsung kepada lawan bicara. Ragam teinei dipakai dalam penuturan antara guru besar dengan mahasiswa, tamu dengan pelayan di toko, pegawai berpangkat rendah terhadap yang lebih tinggi di kantor (bawahan dengan atasan), terhadap seseorang yang belum dikenal sebelumnya, dalam surat, di tempat formal ataupun dalam rapat.
Jika dikontraskan, mengenai ragam futsuu dan teinei dalam bahasa Jepang sepadan dengan tingkat tutur dalam Ngoko dan Krama dalam bahasa Jawa. Mengenai tingkat tutur ngoko, Tingkat Tutur Bahasa Jawa terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dijelaskan seperti berikut:
‘’Tingkat tutur Ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 (orang pertama) terhadap O2 (orang kedua). Artinya O1 tidak memiliki rasa segan (jiguh pakewuh) terhadap O2, jadi buat seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap seseorang O2, tingkat Ngoko inilah seharusnya dipakai. Teman-teman akrab biasanya saling ‘’ngoko-ngoko’’-an. Orang-orang berstatus tinggi berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak enggan terhadap orang lain yang berstatus rendah.’’ [hlm. 14].
Dari keterangan tersebut adalah jelas tingkat tutur Ngoko dalam bahasa Jawa bersifat dan berperan sama dengan Ragam Futsuu dalam bahasa Jepang. Lalu, bagaimanakah dengan tingkat tutur Krama?
Seterusnya kita mengikuti lagi keterangan dalam buku Tingkat Tutur Bahasa Jawa tadi.
‘’Tingkat tutur Krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pakewuh) dari O1 terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, berpangkat, atau priyayi, berwibawa dan lain-lain. Murid memakai Krama terhadap gurunya, pegawai menggunakan Krama terhadap kepalanya...’’[Ibid]
Dari keterangan tersebut adalah jelas pula bahwa tingkat tutur Krama mempunyai ciri yang sama dengan Ragam Teinei dalam bahasa Jepang. Pemakaian bentuk hormat disederhanakan dan menjadi praktis, namun yang disayangkan ialah kemerosotan penggunaan kata-kata Sonkeigo/Krama Inggil dan Kenjoogo/Krama Andhap.
Dewasa ini anak-anak muda menghindarkan diri dari pemakaian Kenjoogo/Krama Andhap. Ini mungkin karena anak-anak muda masa kini suka menonjolkan diri dan merasa tidak pantas untuk merendahkan diri kepada orang lain. Mereka sungguh semakin kurang rendah hati, kurang tenggang rasa.
Berikut ini contoh daftar kata-kata Teineigo, Sonkeigo dan Kenjoogo. Dalam daftar kata-kata di bawah ini terdapat dua jenis Sonkeigo, yaitu yang berakhiran ‘’reru/rareru’’, dan yang bukan. Yang berakhiran ‘’reru/rareru’’ kadar hormatnya sedikit lebih rendah.
No. 普通語FUTSUUGO(NGOKO)
丁寧語TEINEIGO(KRAMA)

1. a. 生徒達は文を作る。
Seitotachi wa bun o tsukuru.
‘Murid-murid membuat kalimat.
b. Aku mangan roti.
‘Saya makan roti’. a. ミルクを飲みます。
Miruku o nomimasu.
‘Saya minum susu.
b. Kula nedha roti.
‘Saya makan roti’.

2. a. この焼き飯はとてもうまい。
Kono yakimeshi wa totemo umai.
‘Nasi _oring ini enak sekali’.
b. Gedhange murah.
‘Pisangnya murah’. a. 日本料理はおいしいです。
Nihonryouri wa oishii desu.
‘Masakan Jepang enak’.
b. Pisangipun mirah.
‘Pisangnya murah’.
3. a. タオルや石鹸などを買った。
Taoru ya sekken nado o katta.
‘Saya telah membeli handuk, sabun, dan lain-lain’.
b. Dhek wingi aku mangan gedhang.
‘Kemarin saya makan pisang’. a. 半年ぐらい習いました。
Hantoshi gurai naraimashita.
‘Saya telah belajar kira-kira setengah tahun.
b. Kala wingi kula nedha pisang.
Kemarin saya makan pisang’.
4. a. 石田君は怠け者ではない。
Ishida-kun wa namakemono dewa nai.
‘Ishida bukan pemalas’.
b. Kembang kae ora abang.
‘Bunga itu tidak merah’. a. この料理はおいしくないです。
Kono ryouri wa oishikunai desu.
‘Masakan ini tidak enak.’
b. Sekar punika boten abrit.
‘Bunga itu tidak merah’
5. a. これは安いものだ。
Kore wa yasui mono da.
‘Ini barang yang murah’.
b. Iki enak.
‘Ini enak’. a. あの家は大きいです。
Ano ie wa ookii desu.
‘Rumah itu besar’.
b. Punika eca.
‘Ini enak.’
KBJ IV: 449, Pelajaran Bahasa Jepang I: 77-78, Pelajaran Bahasa Jepang II: 39-41
No . 尊敬語
SONKEIGO
(KRAMA INGGIL) 謙譲語
KENJOOGO
(KRAMA ANDHAP)
1. a. 部長はアメリカへ出張なさいます。
Buchou wa Amerika e shutchou nasaimasu.
‘Pak Direktur akan dinas ke Amerika’.
b. Benjing-enjing kula tuwi kanca/rencang kula.
‘Besok pagi saya menjemput temanku’.
a. 私はアメリカから、参りました。
Watakushi wa Amerika kara, mairimashita.
‘Saya datang dari Amerika’.
b. Benjing punapa kula kapareng sowan?
‘Pada hari apa saya boleh berkunjunng?’
2. a. 課長はもう帰られました。
Kachou wa mou kaeraremashita ka?
Pak Manager sudah pulang.
b. Pak Guru maringake apa?
‘Pak Guru memberikan apa?’ a. 会社の中をご案内します。
Kaisha no naka o goannai shimasu.
Saya akan memandu dalam perusahaan.
b. Pak Guru dipun caosi punapa?
‘Pak Guru diberi apa?’
3. a. 先生はいらっしゃいますか。
Sensei wa irrashaimasu ka.
Pak Guru ada?
b. Badhe kepanggih sinten?
‘Hendak bertemu siapa?’
a. ニューヨークにおります。
Nyuyouku ni orimasu.
Berada/di New York.
b. Kula badhe sowan Pak Rektor.
‘Saya hendak bertemu Pak Rektor’.
4. a. 先生は新しいパソコンを買いになりました。
Sensei wa atarashii pasokon wo kai ni narimashita.
Pak Guru telah membeli computer baru.
b. Sliramu diparingi apa?
‘Dirimu dikasih apa?’ a. 今、出かけております。
Ima, dekakete orimasu.
Sekarang sedang keluar.
b. Kula dipun paringi buku (dening) Pak Guru.
‘Saya diberi buku oleh Pak Guru’.
5. a. お子さんのお名前は何とおっしゃいますか。
Okosan no namae wa nanto osshaimasu ka?
Siapa nama putra anda?
b. Ibu ngendika apa?
‘Ibu berkata apa?’ a. きのう先生のお宅へ伺いました。
Kinou sensei no otaku e ukagaimashita.
Kemarin saya berkunjung ke rumah Pak Guru.
b. Kula boten matur punapa-punapa.
‘Saya tidak berkata apa-apa’.
Minna No Nihon Go II: 194-205, KBJ IV: 458-459
Catatan:
a. Konjugasi verba bantu ‘’masu’’ negatif menjadi ‘’masen’’, waktu lampau menjadi ‘’mashita’’, dan negatif waktu lampau menjadi ‘’masen deshita’’.
b. Kudasaru (maringake, maringi)/ itadaku (diparingi) / sashiageru (caos).
1. Aさんは私に本をくださる。
A-san wa watashi ni hon o kudasaru.
Pak A maringi aku buku.
‘Pak A memberi saya buku’.
2. 私はAさんに本をいただく。
Watashi wa A-san ni hon o itadaku.
Aku diparingi buku Pak A.
‘Saya diberi buku Pak A’
3. 私はAさんに本をさし上げる。
Watashi wa A-san ni hon o sashiageru.
Aku nyaosake buku Pak A.
‘Saya memberikan buku (kepada) Pak A’.
c. Perintah halus ‘’sonkeigo (verba)+(te) kudasai’’.
Biasanya disertai kata ‘’doozo (mangga) /dooka (kula aturi)’’.
1. どうぞ召し上がって下さい。
Doozo meshiagate kudasai.
Mangga dipun dhahar.
‘Silakan dimakan’.
2. どうか明日いらっしゃって下さい。
Dooka ashita irasshatte kudasai.
Kula aturi rawuh benjing enjing.
‘Saya persilakan datang besok pagi’.
d. Dalam bahasa Jawa umumnya kata yang dituliskan ‘’a’’ diakhir, dibaca o dan yang ditulis ‘’u’’ ditengah dibaca a, contoh: ‘’kula’’ dibaca kulo, kata ‘’tepung’’ dibaca tepang.
Pada zaman purba dan pertengahan di Jepang, sistem unggah-ungguh dititikberatkan pada herarki dalam masyarakat. Sikap pembicarara terhadap status sosial, pangkat, asal usul seseorang yang diacu, menentukan memakai atau tidaknya bentuk hormat dan kadar hormat yang hendak dipakai dalam penuturannya. Kelompok kata yang dipakai untuk menunjukkan sikap hormat ialah Sonkeigo dan Kenjoogo.
Teineigo, yang dipakai untuk menghormat kepada lawan bicara baru muncul sesudah zaman Kamakura, abad ke-12. Pada waktu itu kaum kesatria mulai memegang kekuasaan menggantikan kaum bangsawan, dan lahirlah susunan status sosial yang baru. Pada pertengahan abad ke-15, Jepang memasuki apa yang disebut ‘’Zaman perang saudara’’. Tuan-tuan tanah di seluruh Jepang berebutan memperluas wilayah kekuasaannya, dengan saling menyerang antara satu sama yang lain. Pada waktu itu keadaan sosialnya tidak menentu dan tidak stabil. Kadangkala pengikut rendahan membunuh tuan tanah atau panglima dan mengambil alih kekuasaannya. Sementara itu, kaum pedagang yang berstatus sosial rendah mulai meningkatkan kekayaan sosial seperti itu, diperlukan sekali perhatian dan kewaspadaan terhadap hubungan antarmanusia, dan ini mendorong timbulnya kata Teineigo, yang dipakai untuk membentuk Ragam Teinei.
Pendeta Portugis bernama Loào Rodriguez (1561-1633) yang pernah tinggal di Jepang pada permulaan abad ke-17 menulis bahwa pemakaian verba dan nomina dalam bahasa Jepang berhubungan dengan sikap hormat, sopan dan merendahkan diri. Penggunaan verba dan verba bantu juga bergantung kepada hal-hal berbicara dengan siapa, di depan siapa, dan tentang siapa, atau tentang apa. (Kaneda 1981 hlm.185).
Dengan keterangan terasebut dapat diketahui abad ke 16-17, penentuan pilihan bentuk hormat beralih dari unsur hubungan atas-bawah dan mulia-hina yang telah lama berlaku sebelumnya kepada hubungan antartiga segi/pihak :pembicara, mitra wicara, dan orang yang diacu.
Keadaan di Jawa pada abad ke 15-17 mirip dengan keadaan di Jepang sebagaimana tersebut diatas. Di Jawa negara-negara Islam bermunculan di Pesisir dan Kerajaan Majapahit runtuh sesudah diserang Demak. Karena keadaan politik yang bergolak, masyarakat mengalami ketidakstabilan dan ketidaaktentuan. Ada kalanya yang berkedudukan rendah mengambil alih kekuasaan. Tulisan Tome Pires dalam buku Suma Oriental (Toohoo Shokokuki hlm.341-342) menunjukkan adanya patih di daerah pesisir yang hanya tiga hari sebelumnya berkedudukan sebagai budak atau pedagang. Dan tempat lain dalam buku tersebut Tome Pires mencatat adanya dua tingkat bahasa yang berlainan, yang menunjukkan keberadaan dua tingkat tutur Ngoko dan Krama.