Selasa, 28 Februari 2012

BAB II REVISI III

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini memanfaatkan hasil karya peneliti-peneliti terdahulu yang berupa: Kaidah-Kaidah Penggunaan Undak-Usuk Bahasa Jawa, Kajian Undak-Usuk Bahasa Jawa Abdidalem Kraton Surakarta Hadiningrat, dan Undak-Usuk Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa: Sebuah Perbandingan, untuk kemudian dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Topik penelitian ini bisa menjadi sangat luas apabila membahas tentang undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa beserta aplikasinya. Dalam hal ini peneliti hanya akan memanfaatkan penelitian yang sudah ada, tentunya sudah berupa kaidah-kaidah yang perspektif penelitian yang sudah ada kemudian dijadikan sebagai tolak ukur data dalam penulisan skripsi ini. Sudah barang tentu penulis akan bersifat kritis terhadap kaidah-kaidah tersebut, artinya bahwa kaidah-kaidah atau data-data tersebut akan ditambah atau dikurangi sesuai dengan tema yang diambil penulis dalam penelitian ini.
Sebenarnya, meskipun dalam bahasa Jepang undak-usuk bahasa tidak ada, dari uraian para peneliti sebelumnya banyak menjelaskan dan memaparkan tentang undak-usuk bahasa Jepang tersebut ada. Mungkin hal tersebut dilatarbelakangi karena setelah menganalisis mengenai undak-usuk bahasa Jawa kemudian menurut para peneliti sebelumnya undak-usuk bahasa Jepang sebenarnya dianggap ada meskipun orang Jepang sendiri kurang mengerti dan tidak menyadari kalau bahasa Jepang sebenarnya mempunyai juga sistem undak-unduk bahasanya.
Hal tersebut seringkali dipaparkan oleh para peneliti sebelumnya bahwa undak-usuk bahasa Jawa yang berupa unggah-ungguh basa yang meliputi: Ngoko, Madya dan Krama yang terbagi atas 7/9 sub tingkatan yang diberi nama masing-masing tersebut dapat disejajarkan kedalam undak-usuk bahasa Jepang dengan bentuk Keigohoo yang meliputi: Futsuu/Teinei, Sonkeigo dan Kenjoogo, yang mempunyai kadar hormat yang berbeda tetapi bedanya dalam bahasa Jepang tidak diberi nama. Umumnya para peneliti sebelumnya membuat gambaran pengkontrasan nama mengenai pengelompokannya seperti dalam bahasa Jawa, antara lain:
a. Ragam Futsuu tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo = Ngoko Lugu
b. Ragam Futsuu dengan Sonkeigo/Kenjoogo = Ngoko Alus
c. Ragam Teinei tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo = Krama Lugu
d. Ragam Teinei dengan Sonkeigo dan Kenjoogo =Krama Alus
Dalam hal ini, peneliti akan lebih membatasi dalam hal mengkaji tentang bagaimana penggunaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa. Penulis perlu membatasi objek penelitian ini, agar permasalahan yang akan dibahas nanti tidak terlalu luas.

2.2 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan kemudian memaparkannya secara deskriptif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode distribusional dalam tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap penganalisisan data dan tahap penyajian data (Sudaryanto, 1993: 5-7).
Metode kajian distribungsional menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribungsional memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti. Metode ini berhubungan erat dengan paham strukturalisme de Saussure (1916), bahwa setiap unsur bahasa berhubungan satu sama lain, membentuk satu kesatuan padu (the whole unified). Metode distribungsional ini sejalan dengan penelitian deskriptif dalam membentuk perilaku data penelitian. (Fatimah, 2006:69).
Dalam suatu penelitian pasti akan membicararakan suatu metode atau teknik tertentu. Metode atau teknik digunakan untuk menunjukkan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung dengan satu dengan yang lain. Kata metode dan teknik sama-sama memiliki arti ‘’cara’’ dalam suatu upaya. Kata metode berasal dari bahasa Sansekerta metodos yang berarti ‘’cara’’. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode. (Sudaryanto, 1993:9).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kontrastif yang meliputi pengumpulan data, analisis data dan perbandingan hasil analisis data atau juga dikenal dengan sebutan analisis kontrastif, yaitu metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
Penelitian ini bersifat kontrastif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan kemudian memaparkannya secara deskriptif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis kontrastif terdiri dari atas dua tahap yaitu penjabaran dan perbandingan yang meliputi pengumpulan data, dan perbandingan hasil analisis data. Analisis dilakukan secara terpisah dimana bahasa Jepang dan bahasa Jawa diamati dari sudut pandang pendekatan masing-masing bahasa lalu diperbandingkan untuk menemukan perbedaan bentuk bahasa dan makna bahasa yang menjadi ciri khas bahasa yang bersangkutan. Dengan metode analisis kontrastif secara khusus dilakukan perbandingan antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa yang menghasilkan sejumlah fakta berupa persamaan dan perbedaan antara undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa.

2.3 Kerangka Teori

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang digunakan untuk membimbing dan memberi arahan dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis. Teori merupakan seperangkat hipotesis yang dipergunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik yang bersifat lahiriah seperti bunyi bahasa, maupun yang bersifat batin seperti makna (Kridalaksana, 2000:23). Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami, menjelaskan, dan menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan memberi arah dalam penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan landasan teori struktural. Teori struktural merupakan pendekatan bahasa yang mula-mula dikembangkan oleh Bloomfield. Teori ini membahas bahasa dari segi strukturnya. Aliran strukturalisme sangat mementingkan keobjektifan dalam bahasa. Karena bahasa merupakan sebuah sistem, maka dengan sejumlah data dapat diketahui strukturnya.
Pengertian struktural berkaitan dengan atau memiliki struktur, menggunakan teori atau pendekatan, ataupun dipandang dari segi struktur. Strukturalisme dapat pula diartikan sebagai pendekatan analisis bahasa secara eksplisit kepada berbagai unsur bahasa sebagai struktur dan sistem (Kridalaksana, 2000:203).
Teori struktural dalam linguistik berhubungan dengan bentuk-bentuk, fungsi-fungsi struktural, dan hubungan antar komponen tutur yang dapat diamati pula dengan kata lain dalam analisis gramatik haruslah bersifat formal berdasarkan perilaku yang dapat diamati dalam bahasa (Ramlan, 1979: 79). Karena dalam penelitian ini penulis membandingkan undak-usuk dua bahasa yang tidak serumpun antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa, penulis wajib menggunakan metode kontrastif dalam penelitian ini.
Kata ‘’kontrastif’’ dan ‘’komparatif’’ mempunyai komponen makna yang sama ataupun mirip yakni perbandingan. Dua kata yang bersinonim itu setelah menjadi istilah-istilah khusus, mengandung pengertian yang secara tegas berbeda. Kata kontrastif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang tidak serumpun sedangkan komparatif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang serumpun. Linguistik komparatif bersifat diakronik, sedangkan analisis kontrastif cenderung bersifat deskriptif yakni sinkronik.

2.3.1 Pengertian Linguistik Kontrastif

Kata kontrastif berasal dari perkataan Contrastive yaitu keadaan yang diturunkan dari kata kerja to contras artinya berbeda atau bertentangan. Dalam The American Collage Dictionary terdapat penjelasan sebagai berikut, ‘’Contras: to set in opposition in order to show unlikeness, compare by observing differences. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan istilah linguistik kontrastif adalah ilmu bahasa yang meneliti perbedaan-perbedaan, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang terdapat pada dua bahasa atau lebih yang tidak serumpun.
Linguistik kontrastif (対照言語学taishou-gengogaku) yang disebut linguistik bandingan merupakan kajian linguistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang berbeda. Pendeskripsian persamaan dan perbedaan tersebut, akan bermanfaat untuk pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke-2 (bahasa asing). Misalnya: dengan dideskripsikannya persamaan dan perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara jelas dan lengkap, akan membantu dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang Jepang, atau pengajaran bahasa Jepang untuk orang Indonesia. Karena, sekurang-kurangnya kesalahan berbahasa (誤用goyou) akibat pengaruh bahasa ibu (母語干渉bogo-kanshou) pada pembelajar kedua bahasa tersebut akan dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan (Dedi Sutedi, 2003:190).

2.3.2 Karakteristik Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa

Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun, meskipun sama-sama memiliki sistem unggah-ungguh, tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Hal-hal yang menjadi perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa tersebut selain masalah huruf (Kanji, Hiragana, Katakana dalam bahasa Jepang) dan huruf-huruf Jawa yang dikenal dengan aksara Jawa juga masalah pada hukum/aturan dan susunan kalimat. Misalnya: susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat). Sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam berbahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).
Dalam bahasa Jepang hampir semua kata futsuu (ngoko) bisa diubah ke dalam teinei (krama) maupun krama inggil, tetapi dalam bahasa Jawa kata ngoko ada yang hanya memiliki padanan dalam krama saja tetapi dalam krama inggil padanannya tidak ada, ada yang memiliki padanan dalam krama dan juga krama inggil. Hal inilah yang kemudian memunculkan perbedaan yang cukup signifikan dari bahasa Jepang dan bahasa Jawa dalam hal perubahan kata dari bentuk ngoko ke bentuk krama.

2.3.2.1 Bahasa Jepang

Bahasa Jepang dapat dikatakan sebagai bahasa yang dipakai oleh bangsa Jepang yaitu sekelompok masyarakat yang lahir dan hidup di negara Jepang. Berdasarkan hasil survey The Japan Foundation terhadap lembaga pendidikan bahasa Jepang pada tahun 2009, pembelajar bahasa Jepang dari 125 negara di dunia yang berhasil didata berjumlah 3,651,761 orang. Dari jumlah tersebut, pembelajar bahasa Jepang di Indonesia menduduki peringkat ke-3 setelah Korea dan Cina, yaitu sebanyak 716,353 orang.
Peringkat ini mengalami peningkatan dibanding hasil survei tahun 2006, di mana pembelajar bahasa Jepang di Indonesia di kala itu menduduki peringkat ke-4. (http://japan05.multiply.com/?&show_interstitial=1&u). Karakteristik bahasa Jepang yang berkaitan dengan kosakatanya dapat dilihat dari jenis-jenisnya. Berdasarkan asal-usulnya, kosakata bahasa Jepang dibagi menjadi tiga macam yaitu wago, kango,gairaigo. Kata-kata yang berasal dari Jepang kuno disebut 和語wago, 漢語kango kata-kata yang berasal dari Cina. Sedangkan 外来語gairaigo merupakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing dan kemudian dipakai sebagai bahasa nasional (各語kakugo).
Diantara jenis-jenis kosakata tersebut ada yang dapat digabungkan antara yang satu dengan yang lainnya (wago dengan kango, wago dengan gairaigo, atau kango dengan gairaigo) sehingga membentuk konshugo yang menjadi jenis kosakata tersendiri. Masing-masing kosakata tersebut memiliki karakteristik tertentu yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Namun secara gramatikal kosakata bahasa Jepang dapat diklasifikasikan ke dalam 10 kelompok kelas kata yakni dooshi ‘verba’, i-keiyooshi ‘ajektiva-i’, na-keiyooshi ‘ajektiva-na’ atau ada yang menyebutnya keiyoodoshi, meishi ‘nomina’, fukushi ‘adverbia’, rentaishi ‘prenomina’, setsuzokushi ‘konjugasi’, kandooshi ‘interjeksi’, jodooshi ‘verba bantu’ dan joshi ‘partikel’.
Bahasa Jepang juga mengenal adanya dialek. Hoogen dalam bahasa Indonesia berarti dialek. Ada pula yang menyebut hoogen dengan istilah chihoogo atau chi’ikigo (bahasa daerah). Namun perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud hoogen (dialek) dalam hal ini adalah dialek regional (Sudjianto, 2004:19). Dialek regional yaitu dialek yang ciri-cirinya dibatasi oleh tempat (Kridalaksana, (1983:34), misalnya dialek Tokyo, dialek Osaka, dialek Nagoya, dialek Hiroshima dan sebagainya. Dialek sosial yaitu dialek yang dipakai kelompok sosial tertentu (Kridalaksana, 1983:34), misalnya ragam bahasa perempuan (onna no kotoba) dan ragam bahasa laki-laki (otoko no kotoba) dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam dialek sosial. Sedangkan dialek temporal ialah dialek dari bahasa-bahasa yang berbeda-beda dari waktu ke waktu (Kridalaksana, 1983:34), misalnya bahasa yang dipakai jaman Nara, bahasa jaman Heian, bahasa jaman Kamakura, bahasa jaman Muromachi, bahasa jaman Edo, dan sebagainya ialah dialek-dialek temporal bahasa klasik.
Kekayaan kosakata bahasa Jepang terlihat juga pada keberadaan onomatope (giseigo dan gitaigo). Kosakata bahasa Jepang ditandai juga dengan adanya ragam hormat (keigo). (Sudjianto, 2004:14-15) Keigo dalam bahasa Indonesia disebut bahasa hormat. Bahasa hormat sepadan dengan basa alus atau basa lemes sebagai istilah yang dipungut dari bahasa daerah. Basa alus ialah ragam bahasa yang ditujukan kepada yang dihormati. (Kridalaksana, 1983:21), dan basa lemes ialah ragam bahasa yang dipakai kepada orang yang lebih tinggi tentang orang yang lebih tinggi pula. (Kridalaksana, 1983:22). Keigo adalah bahasa/kata-kata khusus dipergunakan untuk menunjukkan kerendahan hati pembicara dan untuk menyatakan rasa hormat pembicara terhadap teman berbicara atau orang yang dibicarakan (Minoru, 1986: 321).
Bahasa hormat bahasa Jepang dipakai dengan cara mempertimbangkan hubungan antara pembicara, teman berbicara, dan orang yang dibicarakan. Tentu saja yang dipertimbangkan disini ialah siapakah teman berbicara atau orang yang dibicarakan. Apakah mereka termasuk bawahan (orang yang lebih rendah derajat/kedudukannya atau lebih muda umurnya), atasan (orang yang lebih tinggi derajat/kedudukannya atau lebih tua umurnya), atau sederajat dengan pembicara, sehingga dapat menentukan jenis bahasa hormat apa yang akan dipakai terhadap mereka (Sudjianto, 2004:139). Untuk lebih jelasnya mengenai bahasa hormat dalam bahasa Jepang akan dibahas dalam BAB III.

2.3.2.2 Bahasa Jawa

Bahasa Jawa di samping merupakan bahasa daerah yang banyak dipergunakan didaerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata juga mempunyai penutur di daerah Caledonia Baru, Suriname. (Kunardi, 1983:7). Tentang jumlah penutur bahasa Jawa, dewasa ini tidak kurang dari 60 juta orang (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979:1), dengan jumlah penutur yang melebihi 60 juta orang tersebut bahasa Jawa menduduki peringkat ke 16 apabila dibandingkan dengan bahasa-bahasa di seluruh dunia (Gloria, 1979:1).
Dari sekian besar jumlah penutur bahasa Jawa hanya sebagian kecil saja yang mampu berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Dalam hal ini, untuk berbahasa Jawa dengan baik dan benar, terkendala oleh tingkat tutur atau undak-usuk kebahasaan yang sangat kompleks, ialah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara satu dengan yang lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara (O1) terhadap lawan bicara (O2) (Soepomo Poedjosoedarmo: 1979:3).
Disamping kompleksitas undak-usuk, dengan adanya beberapa dialek dalam bahasa Jawa menjadikan bahasa Jawa tampak semakin variatif dan beraneka ragam. Masing-masing dialek hadir dengan keistimewaan yang membedakan antara dialek yang satu dengan yang lainnya, sehingga secara kebetulan apabila orang mendengarkan dua orang atau lebih berdialog dalam bahasanya, akan dapat mengetahui apakah mereka sedaerah asal atau tidak, meskipun untuk mengetahui secara pasti asal daerah mereka terlalu sulit bagi mereka.
Perbedaan yang sangat menyolok diantara dialek-dialek tersebut pada umumnya disamping unsur kosakata juga unsur supra segmental (intonasi, stress, dan sebagainya). Sehingga, mungkin dengan tujuan ungkapan yang sama, tetapi dilatarbelakangi dialek yang berbeda, maka baik intonasi maupun tempo pelafalan akan berbeda pula. Sementara tentang dialek-dialek bahasa Jawa, kita dikenal adanya dialek-dialek: Banyumas, Tegal, Yogya-Solo, Surabaya, Osing dan Samin. (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979:3).
Dalam bahasa Jawa, penggolongan kata didasarkan pada segi semantis sosiolinguistik (Soenardji, 1993:19) yaitu adanya nilai santun dengan kadar yang berbeda-beda pada masing-masing penanda ragam itu. Kemampuan pembicara bahasa Jawa secara garis besarnya merangkum uraian tentang kalimat-kalimat dasar, kalimat-kalimat transformasi tunggal, kalimat-kalimat transformasi umum yang terdiri atas kalimat sematan, kalimat rapatan dan transformasi tataran. (Sudaryanto, 1991:93).
Pada wacana objektif pembicara bahasa Jawa tidak membicarakan orang ketiga, sehingga dia tidak perlu memperhatikan hubungannya dengan orang ketiga. Dalam hal ini pembicara hanya menghadapi dua pilihan tataran tuturan, yaitu ngoko dan krama. Pemilihan tataran ngoko atau krama ditentukan oleh hubungannya dengan pendengar. Jika kedudukan sosialnya sama atau lebih tinggi dari pendengar, pembicara bahasa Jawa mesti memilih tataran ngoko, sedangkan jika pendengar lebih tinggi kedudukan sosialnya daripada pembicara atau pembicara baru kenal pertama kali dengan pendengar, ia mesti memilih tataran krama.
Pada wacana subjektif, yaitu jika orang ketiga yang dibicarakan, pembicara dihadapkan pada pemilihan tataran yang empat macamnya, yaitu ngoko, krama, ngoko alus, atau krama alus. Perbedaan ngoko dan krama serta ngoko alus dan krama alus ialah seperti yang diuraikan di atas mengenai tataran ngoko dan krama (Sudaryanto, 1991:91).
Dalam bahasa Jawa, dampak perkembangan teknologi tidak hanya terdapat pada sistem fonologi dan morfologi bahasa Jawa, tetapi juga aspek kebahasaan yang luas yaitu stratifikasi sosial. Misalnya dalam majalah-majalah berbahasa Jawa seperti: Penyebar Semangat, Jaya Baya, dan Mekar Sari. Sekarang ini laporan mengenai perkembangan ilmu dan teknologi serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari bentuk tulis tidak disajikan dengan memakai bahasa krama melainkan bahasa ngoko.
Salah satu alasan mengapa krama tidak digunakan sebagai bahasa dalam ilmu teknologi adalah adanya ciri-ciri krama itu tidak sesuai dengan teknologi. Misalnya: krama itu sangat diwarnai oleh konteks sosial, dalam arti strata bahasa ini menunjukkan adanya perbedaan sosial antara penutur dengan pendengarnya atau antara penulis dengan pembacanya. Sedangkan bahasa yang digunakan dalam ilmu dan teknologi itu bebas dari ikatan sosial. Selain itu mengapa krama tidak digunakan dalam komunikasi ilmu dan teknologi ialah adanya kenyataan bahwa stratifikasi bahasa ini banyak diwarnai oleh penggunaan bahasa yang tidak langsung dan kata-kata yang panjang lebar. (A. Wahab: 1991:60).

Senin, 27 Februari 2012

REVISI PROPOSAL 4

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Diantara sekian banyak bahasa yang ada di dunia, bahasa Jepang ada kesamaan dalam hal unda-usuk bahasa (speech level) dengan bahasa Jawa. Sistem tata krama (unggah-ungguh) dan undak-usuk merupakan pencerminan rasa tenggang rasa dan pertimbangan pembicara terhadap lawan bicara dan merupakan sarana untuk mengeratkan hubungan manusia. Di Jawa jika seseorang belum menguasai “unggah-ungguhing basa’’, menurut kata orang Jawa pasti akan di cap ‘’durung jawa’’. Di Jepang tidak ada ungkapan seperti itu, namun, jika seseorang tidak menguasai “unggah-ungguhing basa”, ia akan diasingkan karakter ataupun budi pekertinya, dan ada kalanya menimbulkan amarah bagi lawan bicaranya.
Pada zaman purba dan pertengahan di Jepang, sistem keigo dititikberatkan pada hierarki dalam masyarakat. Sosiolinguistik memandang wujud bahasa di dalam masyarakat karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu saja, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Sikap pembicarara terhadap status sosial, pangkat, asal usul seseorang yang diacu, menentukan memakai atau tidaknya bentuk hormat dan kadar hormat yang hendak dipakai dalam penuturannya. Dalam bahasa Jepang, kelompok kata yang dipakai untuk menunjukkan sikap hormat ialah Sonkeigo dan Kenjoogo.
Keigo yang dipakai untuk menghormat kepada lawan bicara baru muncul sesudah zaman Kamakura, abad ke-12. Pada waktu itu kaum kesatria mulai memegang kekuasaan menggantikan kaum bangsawan, dan lahirlah susunan status sosial yang baru. Pada pertengahan abad ke-15, Jepang memasuki apa yang disebut ‘’Zaman perang saudara’’. Tuan-tuan tanah di seluruh Jepang berebutan memperluas wilayah kekuasaannya, dengan saling menyerang antara satu sama yang lain. Pada waktu itu keadaan sosialnya tidak menentu dan tidak stabil. Kadangkala pengikut rendahan membunuh tuan tanah atau panglima dan mengambil alih kekuasaannya. Sementara itu, kaum pedagang yang berstatus sosial rendah mulai meningkatkan kekayaan sosial seperti itu, diperlukan sekali perhatian dan kewaspadaan terhadap hubungan antarmanusia, dan ini mendorong timbulnya keigo, yang dipakai untuk membentuk ragam bahasa hormat.
Keadaan di Jawa pada abad ke 15-17 mirip dengan keadaan di Jepang sebagaimana tersebut diatas. Di Jawa negara-negara Islam bermunculan di Pesisir dan Kerajaan Majapahit runtuh sesudah diserang Demak. Karena keadaan politik yang bergolak, masyarakat mengalami ketidakstabilan dan ketidaktentuan. Ada kalanya yang berkedudukan rendah mengambil alih kekuasaan. Tulisan Tome Pires dalam buku Suma Oriental (Toohoo Shokokuki hlm.341-342) menunjukkan adanya patih di daerah pesisir yang hanya tiga hari sebelumnya berkedudukan sebagai budak atau pedagang. Dan tempat lain dalam buku tersebut Tome Pires mencatat adanya dua tingkat bahasa yang berlainan, yang menunjukkan keberadaan dua tingkat tutur Ngoko dan Krama.
Dalam bahasa Jepang ragam bahasa hormat meliputi ragam普通Futsu ‘biasa’ dan 丁寧Teinei ‘hormat’ (警護keigo). Secara singkat Terada Takanao menyebut keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga (Terada, 1984:238). Hampir sama dengan pendapat itu, ada juga yang mengatakan bahwa keigo adalah istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang menaikkan pendengar atau orang yang menjadi pokok pembicaraan (Nomura, 1992:54). Pada dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan).
Berdasarkan hasil analisis penulis, diketahui bahwa antara tingkat tutur bahasa Jepang dan tingkat tutur bahasa Jawa memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tingkat tutur bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah, dalam tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan そとsoto ‘luar’ seperti bahasa Jepang.
Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa ini menunjukkan adanya adap sopan santun berbahasa Jawa bagi masyarakat tuturnya. Adab sopan santun berbahasa akan mencerminkan perilaku kebahasaan penuturnya yang sebenarnya merupakan cerminan kemasyarakatannya (cf. Anton M. Moeliono, 1985:4). Adap sopan santun berbahasa ini disamping ditandai adanya wujud tuturan juga ditandai perbedaan tingkah laku atau sikap penutur sewaktu berbahasa Jawa. Dengan demikian, adab sopan santun berbahasa Jawa mencakup dua faktor, yaitu faktor lingual (linguistik) dan faktor non lingual (non linguistik). Kedua faktor tersebut dalam tindak tutur atau speech act dapat dipilahkan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan (cf. Ungkapan dalam bahasa Jawa: Suruh beda lumah lan kurepe yen ginigit padha rasane ‘Sirih berbeda bagian atas dengan bagian bawahnya apabila dikunyah sama rasanya’). Persamaannya adalah kedua bahasa tersebut memiliki ragam biasa dan ragam hormat, baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa sama-sama mempunyai ragam hormat yang digunakan untuk menghormati mitra tutur atau orang yang dituturkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan diteliti penulis sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perbedaan bentuk bahasa hormat Jepang dan undak usuk bahasa Jawa?
2. Bagaimanakah penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan bahasa hormat dalam bahasa Jawa?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian mengenai penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan perbedaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa
2. Mendiskripsikan penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan bahasa hormat dalam bahasa Jawa
Manfaat penelitian ini bagi penulis adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-unduk bahasa Jawa secara umum, terlebih dalam penggunaannya dalam kalimat sehari-hari.

1.4 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini, penulis lebih mengkhususkan untuk membatasi masalah mengenai bagaimana bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa agar dalam penulisan skripsi permasalahan yang akan dibahas akan bisa lebih dibatasi. Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun. Meskipun sama-sama memiliki undak-usuk tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh mengenai perbedaan dan persamaan undak-usuk kedua bahasa tersebut, penelitian yang bersifat kontrastif. Suatu analisis bahasa memiliki tujuan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
Latar belakang hidup dalam bermasyarakat Jepang dan Jawa memang masih menjunjung tinggi nilai unggah-ungguh, undak-usuk, adab dalam tata krama atau sopan santun. Dalam bahasa Jepang terdapat dua tingkat tutur, yaitu ragam 普通Futsuu ‘biasa’ dan ragam 丁寧Teinei ‘hormat’, yang meliputi kenjoogo dan sonkeigo. Walaupun kedua ragam itu masing-masing mempunyai kadar hormat yang berbeda-beda, tetapi tidak diberi nama. Sedangkan dalam bahasa Jawa kadar sikap hormat mempunyai tingkat tutur Ngoko, Krama dan Madya dan masing masing terbagi lagi ke dalam beberapa sub tingkat, dan seluruhnya berjumlah 7 atau 9 tingkat. Tiap-tiap tingkat diberi nama masing-masing seperti Muda Krama, Basa Antya dan sebagainya.

1.5 Sistematika Penelitian

Pada awalnya penulis mengumpulkan sumber data penelitian yang berupa buku-buku mengenai sumber data dan teori mengenai penggunaan bentuk hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa. Lapangan dan perpustakaan merupakan lokasi penelitian bahasa (linguistik). Penelitian di lapangan akan melibatkan hubungan peneliti dengan penutur bahasa yang diteliti, sedangkan penelitian diperpustakaan akan melibatkan hubungan peneliti dengan pustaka (kepustakaan) sebagai sumber data. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan metode simak yang dilanjutkan dengan teknik catat dan foto copy dengan cara mendata sejumlah buku-buku mengenai penggunaan bentuk hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa kemudian memaparkannya secara kontras dalam hal penggunaannya.
Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kontrastif. Data dijabarkan kemudian dibandingkan antara penggunaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa agar menemukan prinsip-prinsip mendasar dari segi bentuk penggunaan, persamaan dan perbedaannya. Sehingga akan diperoleh deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data-data, sifat-sifat, serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.

Kamis, 16 Februari 2012

REVISI 2 BAB II

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Pada bab ini akan diuraikan bagaimana penggunaan bentuk keigo bahasa Jepang, krama dalam bahasa Jawa serta perbedaan mengenai undak-usuk bahasa Jepang dan Bahasa Jawa. Pada dasarnya keigo ‘bahasa hormat’ dalam bahasa Jepang dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Nakano Toshio (dalam Sudjianto, 1999:149) menjelaskan bahwa keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau bawahan, guru atau murid
3. Jenis kelamin :pria atau wanita (wanita lebih banyak menggunakan keigo)
4. Keakraban : orang dalam atau orang luar (terhadap luar memakai keigo)
5. Gaya bahasa : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan
6. Pribadi atau umum : rapat, upacara, atau kegiatan apa
7. Pendidikan :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo).
Bagi para pembelajar bahasa Jepang dalam situasi-situasi tertentu memang dituntut untuk menggunakan keigo (bahasa hormat) sehingga walau bagaimanapun kita harus menguasainya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit peran pemakaian keigo bagi para penuturnya. Secara singkat Hinata Shigeo (2000:15-17) menyebutkan keefektifan dan peran konkrit pemakaian keigo tersebut sebagai berikut:
1. Menyatakan penghormatan mengenai hal ini tidak perlu dijelaskan lagi, karena peran keigo ini dapat dikatakan merupakan dasar keefektifan keigo. Lawan bicara yang dihormati adalah atasan atau orang yang posisinya tinggi secara sosial, tetapi sudah tentu didalamnya termasuk orang-orang yang berdasarkan pada hubungan manusia yang berada dalam bidang perdagangan dan bisnis.
2. Menyatakan perasaan formal bukan di dalam hubungan atau situasi pribadi, di dalam hubungan atau situasi resmi dilakukan pemakaian bahasa yang kaku dan formal. Misalnya didalam sambutan upacara pernikahan, di dalam rapat atau ceramah yang resmi dan sebagainya dipakai bahasa halus atau bahasa hormat sebagai etika sosial. Berbicara dengan ragam akrab dalam situasi seperti ini kadang-kadang menjadi tidak sopan.
3. Menyatakan jarak diantara pembicara dan lawan bicara yang baru pertama kali bertemu atau yang perlu berbicara dengan sopan biasanya terdapat jarak secara psikologis. Dalam situasi seperti itu hubungan akan dijaga dengan menggunalkan bahasa halus atau bahasa hormat secara wajar. Pemakaian bahasa atau sikap yang terlalu ramah kadang-kadang akan menjadi kasar atau tidak sopan
4. Menjaga martabat keigo pada dasarnya menyatakan penghormatan terhadap lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Tetapi dengan dapat menggunakan keigo secara tepat dapat juga menyatakan pendidikan atau martabat pembicaranya.
5. Menyatakan rasa kasih sayang keigo yang digunakan para orang tua atau guru taman kanak-kanak kepada anak-anak dapat dikatakan sebagai bahasa yang menyatakan perasaan kasih sayang atau menyatakan kebaikan hati penuturnya
6. Ada kalanya menyatakan sindiran, celaan, atau olok-olok. Hal ini merupakan ungkapan yang mengambil keefektifan keigo yang sebaliknya, misalnya mengucapkan: Hontou ni gorippa na otaku desu koto ‘Rumah yang benar-benar bagus’bagi sebuah apartemen yang murah, atau mengucapkan kalimat Aitsu mo zuibun goseichou asobimashita mono da’ ‘Dia juga orang yang benar-benar sudah dewasa’. Kalimat-kalimat itu secara efektif dapat mengungkapkan sindiran, celaan atau olok-olok.
Dalam tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri.
Uchi adalah kelompok orang yang ada dilingkungan sendiri, seperti orang-orang di lingkungan keluarga, kantor pembicara, sekolah, klub sekolah atau kelompok masyarakat. Soto adalah kelompok orang yang diluar lingkungan keluarga, kantor pembicara, sekolah, klub sekolah ataukelompok masyarakat.
Pengelompokan uchi dan soto dikonseptualisasikan sebagai rangkaian lingkaran yang tumpang tindih. Posisi seseorang dalam kelompok relatif terhadap kelompok lain tergantung pada konteks situasi dan umur. Sebagai contoh, seseorang biasanya memiliki keluarga, pekerjaan, dan kelompok lain atau organisasi yang mereka miliki. Posisi mereka dalam berbagai kelompok dan dalam hubungan dengan kelompok lain, berubah sesuai dengan keadaan pada saat tertentu. Misalnya: seorang pegawai kantor yang menduduki jabatan manager personalia. Orang-orang yang ada dibagian personalia adalah kelompok uchi-nya sedangkan direktur perusahaan, pegawai dan bagian lain adalah kelompok soto-nya. Akan tetapi dia dalam berbicara dengan pelanggan/karyawan dari perusahaan lain, keseluruhan dari perusahaan tempat dia bekerja menjadi kelompok uchi-nya.
Sedangkan orang-orang diluar perusahaannya adalah soto. Pada waktu pembicara berbicara tentang uchi no hito (orang dalam) kepada soto no hito (orang luar), maka harus memperlakukan uchi no hito sama seperti diri sendiri. Bahasa yang digunakan untuk menunjukkan aksi dan gerak-gerik uchi no hito harus sama dengan yang kita pakai untuk diri sendiri. Oleh karena itu, meskipun kedudukan uchi no hito lebih tinggi, pembicara tidak menggunakan bahasa sopan (keigo) untuk menghormatinya. Ketika membicarakan masalah uchi dan soto yang terpenting adalah konteks yang dibicarakan. Misalnya, atasan kita dikantor dapat menjadi soto no hito ketika kita membicarakannya dengan keluarga dirumah. Namun, ia juga bisa menjadi uchi no hito ketika kita membicarakannya dengan klien/partner kerja dari perusahaan/kantor lain. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan そとsoto ‘luar’ seperti bahasa Jepang.
Dalam bahasa Jawa penggunaaan bentuk krama (bahasa hormat) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat). Berikut ini gambaran mengenai hubungannya yang berkaitan dengan status sosial:
1. Hubungan simetris:
a. antara orang muda: ngoko, madya
b. antara orang tua: ngoko, krama
c. antara priyayi dan tukang sayur :madya
d. antara orang yang belum saling kenal: krama, madya
2. Hubungan asimetris:
a. anak kepada orang tua: krama, dan orang tua kepada anak : ngoko
b. pembantu rumah tangga (tukang sayur) kepada tuan rumah: madya, dan tuan rumah kepada pembantu rumah tangga (tukang sayur): ngoko.
Untuk menyusun kalimat di dalam bahasa Jawa, sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan ( secara pragmatik). Pertimbangan pertama berkenaan dengan pertanyaan bagaimana jenis hubungan antara si pembicara dan lawan bicara. Ini untuk menetapkan apakah digunakan konstruksi ngoko, madya, atau krama. Pada pertimbangan kedua, berdasarkan jenis hubungan antarasi pembicara dan lawan bicara itu ditentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak. Selain itu untuk menentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak, juga dipertimbangkan jenis hubungan si pembicara atau lawan bicara dengan orang lain yang sedang dibicarakan.
Contoh:
1. Saya sudah makan. Bapak sudah makan atau belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Bapak wis dhahar durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Bapak mpun dhahar dereng?
c. Krama: Kulo sampun nedha. Bapak sampun dhahar dereng?
2. Saya sudah makan. Agus sudah makan belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Agus wis mangan durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Agus mpun nedha dereng?
c. Krama: Kula sampun nedha. Agus sampun nedha dereng?
Selain terdapat bentuk honorifik (sopan santun/unggah-ungguh) untuk ‘’meninggikan’’ orang lain yang dihormati (yang disebut Krama Inggil), terdapat pula bentuk honorifik untuk ‘’merendahkan diri si pembicara. Bentuk seperti ini disebut ‘’krama andhap’’. Bentuk krama inggil harus dipakai pada waktu berbahasa dengan atau mengenai orang yang dihormati.
Sopan santun bebahasa disebut juga dengan istilah etiket tutur. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari istilah Clifford Geertz yaitu linguistic etiquette yang dimuat di dalam bukunya The Relegion of Java (1967). Kemudian di dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) sebagai terjemahan buku Clifford Geertz tersebut disebut sopan santun berbahasa.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam sopan santun berbahasa Jawa yaitu pilihan bentuk linguistik atau bentuk lingual dan sikap andhap asor. Andhap asor berarti merendahkan diri sendiri dengan kepada setiap orang yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi. (Clifford Geertz, 1981:326). Pernyataan Clifford Geerts tersebut telah memperhitungkan tingkat tutur (faktor lingual) dan faktor non-lingual dalam berbahasa Jawa. Pilihan bentuk linguistik mengarah kepada relasi atau hubungan penutur dengan lawan tutur (faktor non-lingual).
Khusus mengenai faktor lingual akan tercermin di dalam perbedaan bentuk tingkat tutur (ngoko, krama, madya). Sebagai contoh: misalnya seseorang akan menyapa orang lain: Hendak pergi ke mana?, maka bentuk tuturannya sebagai berikut:
a. Arep menyang ngendi?
b. Ajeng teng pundi?
c. Badhe tindak dhateng pundi?
Adanya ketiga bentuk tuturan diatas menunjukkan adanya perbedaan relasi antara penutur dengan lawan tutur. Perbedaan relasi tersebut akan dapat mengakibatkan perbedaan sopan santun antara penutur dengan lawan tuturnya. Tuturan (a) dapat menyatakan rasa sopan santun yang rendah (low honorifics), tuturan (b) menyatakan rasa sopan santun yang sedang, sedangkan tuturan (c) menyatakan rasa sopan santun yang tinggi (high honorifics). Hal yang demikian itu jelaslah bahwa penutur bahasa Jawa dalam berbahasa Jawa lebih menekankan orang atau siapa yang diajak bicara, dan bukannya waktu berbicara maupun hal yang dibicarakan.
Sehubungan dengan pemilihan suatu tingkat tutur Soeroso (1990:6-7) menyatakan bahwa ada empat langkah yang harus selalu diingat dandilakukan bagi seorang penutur yang akan berbahasa Jawa. Keempat langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mawas diri
Penutur menempatkan dirinya terhadap lawan tuturnya, dan ada tiga kemungkinan:
a. penutur lebih rendah daripada lawan tutur
b. penutur sederajat dengan lawan tutur
c. penutur lebih tinggi kedudukannya dengan lawan tutur
2. Memilih bahasa
b. apabila penutur lebih rendah daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa krama;
c. apabila penutur sederajat dengan lawan tutur, penutur menggunakan bahasa madya, ngoko;
d. apabila penutur lebih tinggi daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa ngoko.
3. Memilih kata
Dalam menggunakan bahasa seperti tersebut pada langkah yang kedua perlu dipilih kata yang tepat.
4. Menetapkan sikap
Sikap berbicara disesuikan dengan sikap diri misalnya sikap hormat, sikap santai, dan sebagainya.
Keempat langkah diatas berdasarkan analisis secara psikologis, yang tentu saja langkah-langkahnya berlangsung secara ‘’otomatis’’ pada jiwa penutur. Pada langkah pertama (mawas diri) dan langkah keempat (menetapkan sikap) berkaitan dengan faktor non-lingual dalam berbahasa yang menyangkut relasi penutur dengan lawan tutur. Langkah kedua (memilih bahasa) dan langkah langkah ketiga (memilih kata) berkaitan dengan pemilihan tingkat tutur.
Didalam hal pemilihan tingkat tutur penutur dihadapkan adanya berbagai kemungkinan pilihan tingkat tutur. Oleh karena itu, penutur harus memilihkan jenis-jenis tingkat tutur yang ada di dalam masyarakat tutur Jawa. Pemilihan dan sekaligus pemilahan tingkat tutur ini memperhatikan manusia sebagai peserta tutur, yang dapat berarti manusia ditempatkan pada posisi utama. Pernyataan yang demikian itu dapat dikaitkan dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa misalnya: rumangsa ora diwongake ‘merasa tidak diperhatikan/tidak dihormati’, katimbang kalah uwong aluwung kalah uwang ‘daripada kalah orang (tidak diperhatikan) lebih baik kalah uang’. Kedua ungkapan tersebut hanyalah untuk memberikan gambaran atau perbandingan tentang peranan manusia (dalam hal ini penutur) dalam berbahasa Jawa yang berkaitan dengan pemilihan dan pemilahan tingkat tutur.
Adanya bentuk tuturan yang dapat mencerminkan rasa sopan santun berarti pula tingkat tutur berkaitan erat dengan sopan santun berbahasa. Sopan santun berbahasa itu sendiri merupakan ajaran yang patut untuk dilaksanakan dalam masyarakat tutur jawa. Sehubungan dengan hal itu Suwadji (1985:14-15) menyatakan sebagai berikut:
a. Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang,
b. Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa,
c. Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur Jawa menghormati lawan tuturnya,
d. Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.
Keempat pernyataan diatas menunjukkan adanya prinsip pokok dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Dalam hal inipemilihan tingkat tutur (sebagai faktor lingual dalam berbahasa) mengiringi sopan santun berbahasa yang dapat diamatai dalam suatu peristiwa tutur. Prinsip pokok dan fungsi tersebut apabila dipahami secara benar dapat menumbuhkan rasa kebanggaan orang Jawa memiliki bahasa Jawa.
Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian dari sopan santun atau tatakrama Jawa. Berdasarkan tulisan Mas Sastrodiwiryo (dalam Sunarto Poerbosuharjo, 1989:5) dalam bukunya yang berjudul Tatakrama Jawi (1928) di jelaskannya bahwa tatakrama memiliki enam hal sebagai berikut:
1. Tuwuhipun tatakrama saking sesrawungan
‘Tumbuhnya tatakrama dari pergaulan’,
2. Landhesanipun wonten ing tatacara
‘Dasarnya di dalam tatacara’,
3. Ingkang dados dhasar kurban dhiri
‘Yang menjadi dasar korban diri’
4. Pangukuripun mawi dugi prayogi
‘Pengukurnya dengan perkiraan yang baik’,
5. Penindakipun mawi patrap, pangucap, busana
‘Prakteknya dengan tindakan, ucapan, busana’
6. Pangesthinipun hanjagi murih rahayuning pasrawungan.
‘Tujuannya menjaga agar terjadi keselamatan dalam pergaulan’.
Keenam hal tersebut apabiala dihubungkan dengan sopan santun berbahasa terdapat pada hal yang kelima yaitu praktek tatakrama. Tatakrama dalam praktek diperhatikan adanya tiga hal yaitu: patrap, pangucap, dan busana. Khusus di dalam pangucap salah satu hal yang patut diperhatikan yaitu adanya pemilihan tingkat tutur yang tepat. Dengan pemilihan tingkat tutur yang tepat merupakan satu hal yang dapat menciptakan suasana harmonis di dalam pergaulan khususnya dalam peristiwa tutur. Bentuk tuturan krama yang disertai patrap yang kasar tidaklah menciptakan suasana harmonis didalam pergaulan.

Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun, meskipun sama-sama memiliki undak-usuk tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Hal-hal yang menjadi perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa tersebut selain masalah huruf (Kanji, Hiragana, Katakana dalam bahasa Jepang) juga masalah pada hukum/aturan dan susunan kalimat. Misalnya: susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat). Sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam berbahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).
Undak-usuk merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaanya ditentukan oleh anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra tutur. Tingkat tutur (undak-usuk) merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlokutornya (Suwito, 1983:25). Dengan undak-usuk semacam itu, maka sebelum seseorang mengungkapkan bahasanya ia harus menyadari lebih dulu posisi sosialnya terhadap mitra wicara.
Singkatnya, undak-usuk bahasa Jawa dan bahasa Jepang terdiri unggah-ungguh basa yang meliputi: ngoko, madya, dan krama yang mempunyai beberapa sub tingatan yang terdiri dari 7 atau 9 tingkatan, dengan pengkontrasan bentuk keigohou dalam bahasa Jepang yang terdiri dari Futsuu/Teinei, Sonkeigo, dan Kenjougo. Pembahasan lebih lanjut mengenai undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa akan dibahas dalam BAB III.

Dalam berbicara undak-usuk bahasa pasti ada kaitannya dengan unggah-ungguh basa. Unggah-ungguh basa adalah sopan santun dalam berbahasa Jawa. Unggah-ungguh basa berujud tingkatan-tingkatan dalam tutur bahasa. Masing-masing tingkatan dibentuk oleh penutur, semata-mata hanya dimaksudkan terhadap siapa penutur itu berbicara, bukannya terhadap orang lain di luar lawan bicara. (Sudaryanto, 1993:273).
Pemakaian bahasa dikontrol oleh faktor-faktor yang bersifat sosial dan situasional. Berbagai jenis variasi bahasa seperti ragam bahasa formal/nonformal laras tutur (speech level), register, dialek, sosiolek, kronolek dan sebagainya yang berlatar belakang konteks sosial dan hubungan struktur kemasyarakatan dengan wujud bahasa menjadi kajian sosiolinguistik. Misalnya dalam sosiolinguistik dalam hal ini khususnya sosiolinguistik bahasa Jawa, seseorang yang yang memiliki status sosial yang tinggi (krama) kepada mitra wicaranya yang memiliki status sosial lebih rendah akan memberikan laras tutur, yang lebih rendah (ngoko).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa berbeda. Misalnya: Teineigo/ragam sopan dalam bahasa Jepang dipakai untuk menyatakan rasa hormat dan memperindah suatu pokok pembicaraan agar terdengar lebih enak dan halus, tanpa memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun tingkat kekerabatan pembicara terhadap mitra wicara, umumnya ragam ini banyak dipakai oleh kaum perempuan. Padanan teineigo ini dalam bahasa Jawa adalah ragam krama, padahal krama dalam bahasa Jawa sangat dipengaruhi oleh derajat sosial, umur atau tingkat kekerabatan, hal inilah terkadang yang membuat bingung para pembelajar, bahkan sering terjadi kesalahan dalam pemilihan padanan dalam bahasa sasaran. Selain itu, dalam bahasa Jawa tidak ada perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan. Dari perbedaan undak-usuk tersebut penelitian secara kontrastif perlu dilakukan.

2.2 Metode

Dalam suatu penelitian pasti akan membicararakan suatu metode atau teknik tertentu. Metode atau teknik digunakan untuk menunjukkan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung dengan satu dengan yang lain. Kata metode dan teknik sama-sama memiliki arti ‘’cara’’ dalam suatu upaya. Kata metode berasal dari bahasa Sansekerta metodos yang berarti ‘’cara’’. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode. (Sudaryanto, 1993:9).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kontrastif yang meliputi pengumpulan data, analisis data dan perbandingan hasil analisis data atau juga dikenal dengan sebutan analisis kontrastif, yaitu metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode distribusional dalam tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap penganalisisan data dan tahap penyajian data (Sudaryanto,1993:5-7). Metode kajian distribungsional menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribungsional memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti. Metode ini berhubungan erat dengan paham strukturalisme de Saussure (1916), bahwa setiap unsur bahasa berhubungan satu sama lain, membentuk satu kesatuan padu (the whole unified). Metode distribungsional ini sejalan dengan penelitian deskriptif dalam membentuk perilaku data penelitian. (Fatimah, 2006:69).
Penelitian ini bersifat kontrastif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan kemudian memaparkannya secara deskriptif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis kontrastif terdiri dari atas dua tahap yaitu penjabaran dan perbandingan yang meliputi pengumpulan data, dan perbandingan hasil analisis data. Analisis dilakukan secara terpisah dimana bahasa Jepang dan bahasa Jawa diamati dari sudut pandang pendekatan masing-masing bahasa lalu diperbandingkan untuk menemukan perbedaan bentuk bahasa dan makna bahasa yang menjadi ciri khas bahasa yang bersangkutan. Dengan metode analisis kontrastif secara khusus dilakukan perbandingan antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa yang menghasilkan sejumlah fakta berupa persamaan dan perbedaan antara undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa.

2.3 Kerangka Teori

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang digunakan untuk membimbing dan memberi arahan dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis. Teori merupakan seperangkat hipotesis yang dipergunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik yang bersifat lahiriah seperti bunyi bahasa, maupun yang bersifat batin seperti makna (Kridalaksana, 2000:23). Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami, menjelaskan, dan menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan memberi arah dalam penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan landasan teori struktural. Teori struktural merupakan pendekatan bahasa yang mula-mula dikembangkan oleh Bloomfield. Teori ini membahas bahasa dari segi strukturnya. Aliran strukturalisme sangat mementingkan keobjektifan dalam bahasa. Karena bahasa merupakan sebuah sistem, maka dengan sejumlah data dapat diketahui strukturnya.
Pengertian struktural berkaitan dengan atau memiliki struktur, menggunakan teori atau pendekatan, ataupun dipandang dari segi struktur. Strukturalisme dapat pula diartikan sebagai pendekatan analisis bahasa secara eksplisit kepada berbagai unsur bahasa sebagai struktur dan sistem (Kridalaksana, 2000:203).
Teori struktural dalam linguistik berhubungan dengan bentuk-bentuk, fungsi-fungsi struktural, dan hubungan antar komponen tutur yang dapat diamati pula dengan kata lain dalam analisis gramatik haruslah bersifat formal berdasarkan perilaku yang dapat diamati dalam bahasa (Ramlan, 1979: 79). Karena dalam penelitian ini penulis membandingkan undak-usuk dua bahasa yang tidak serumpun antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa, penulis wajib menggunakan metode kontrastif dalam penelitian ini.
Kata ‘’kontrastif’’ dan ‘’komparatif’’ mempunyai komponen makna yang sama ataupun mirip yakni perbandingan. Dua kata yang bersinonim itu setelah menjadi istilah-istilah khusus, mengandung pengertian yang secara tegas berbeda. Kata kontrastif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang tidak serumpun sedangkan komparatif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang serumpun. Linguistik komparatif bersifat diakronik, sedangkan analisis kontrastif cenderung bersifat deskriptif yakni sinkronik.

2.3.1 Pengertian Linguistik Kontrastif

Kata kontrastif berasal dari perkataan Contrastive yaitu keadaan yang diturunkan dari kata kerja to contras artinya berbeda atau bertentangan. Dalam The American Collage Dictionary terdapat penjelasan sebagai berikut, ‘’Contras: to set in opposition in order to show unlikeness, compare by observing differences. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan istilah linguistik kontrastif adalah ilmu bahasa yang meneliti perbedaan-perbedaan, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang terdapat pada dua bahasa atau lebih yang tidak serumpun.
Linguistik kontrastif (対照言語学taishou-gengogaku) yang disebut linguistik bandingan merupakan kajian linguistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang berbeda. Pendeskripsian persamaan dan perbedaan tersebut, akan bermanfaat untuk pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke-2 (bahasa asing). Misalnya: dengan dideskripsikannya persamaan dan perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara jelas dan lengkap, akan membantu dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang Jepang, atau pengajaran bahasa Jepang untuk orang Indonesia. Karena, sekurang-kurangnya kesalahan berbahasa (誤用goyou) akibat pengaruh bahasa ibu (母語干渉bogo-kanshou) pada pembelajar kedua bahasa tersebut akan dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan (Dedi Sutedi, 2003:190).

2.3.2 Pengertian Linguistik Komparatif

Linguistik historis komparatif merupakan cabang ilmu dari ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tersebut, serta lebih menekankan teknik penelusuran ke dalam pra sejarah bahasa.
Linguistik komparatif atau linguistik bandingan, merupakan suatu cabang dari ilmu bahasa (linguistik) yang berusaha untuk meletakkan dasar-dasar pengertian tentang perkembangan dan kekerabatan antara bahasa-bahasa di dunia dan mencoba menemukan unsur-unsur pengaruh timbal balik dalam sejarah. Dalam kaitannya membandingkan dua bahasa diperlukan juga adanya linguistik bandingan tripolis, yakni cabang linguistik bandingan yang secara sistematis mempelajari hubungan antara bahasa-bahasa melalui salah satu ciri yang utama dalam bentuk atau struktur yang sama-sama dimilikinya. (Keraf, 1990:2).

Senin, 13 Februari 2012

REVISI BAB II

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun, meskipun sama-sama memiliki undak-usuk tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Hal-hal yang menjadi perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa tersebut selain masalah huruf (Kanji, Hiragana, Katakana dalam bahasa Jepang) juga masalah pada hukum/aturan dan susunan kalimat. Misalnya: susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat). Sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam berbahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).
Undak-usuk merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaanya ditentukan oleh anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra tutur. Tingkat tutur (undak-usuk) merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlokutornya (Suwito, 1983:25). Dengan undak-usuk semacam itu, maka sebelum seseorang mengungkapkan bahasanya ia harus menyadari lebih dulu posisi sosialnya terhadap mitra wicara.
Pemakaian bahasa dikontrol oleh faktor-faktor yang bersifat sosial dan situasional. Berbagai jenis variasi bahasa seperti ragam bahasa formal/nonformal laras tutur (speech level), register, dialek, sosiolek, kronolek dan sebagainya yang berlatar belakang konteks sosial dan hubungan struktur kemasyarakatan dengan wujud bahasa menjadi kajian sosiolinguistik. Misalnya dalam sosiolinguistik dalam hal ini khususnya sosiolinguistik bahasa Jawa, seseorang yang yang memiliki status sosial yang tinggi (krama) kepada mitra wicaranya yang memiliki status sosial lebih rendah akan memberikan laras tutur, yang lebih rendah (ngoko).
Dalam berbicara undak-usuk bahasa pasti ada kaitannya dengan unggah-ungguh basa. Unggah-ungguh basa adalah sopan santun dalam berbahasa Jawa. Unggah-ungguh basa berujud tingkatan-tingkatan dalam tutur bahasa. Masing-masing tingkatan dibentuk oleh penutur, semata-mata hanya dimaksudkan terhadap siapa penutur itu berbicara, bukannya terhadap orang lain di luar lawan bicara. (Sudaryanto, 1993:273).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa berbeda. Misalnya: Teineigo/ragam sopan dalam bahasa Jepang dipakai untuk menyatakan rasa hormat dan memperindah suatu pokok pembicaraan agar terdengar lebih enak dan halus, tanpa memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun tingkat kekerabatan pembicara terhadap mitra wicara, umumnya ragam ini banyak dipakai oleh kaum perempuan. Padanan teineigo ini dalam bahasa Jawa adalah ragam krama, padahal krama dalam bahasa Jawa sangat dipengaruhi oleh derajat sosial, umur atau tingkat kekerabatan, hal inilah terkadang yang membuat bingung para pembelajar, bahkan sering terjadi kesalahan dalam pemilihan padanan dalam bahasa sasaran. Selain itu, dalam bahasa Jawa tidak ada perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan. Dari perbedaan undak-usuk tersebut penelitian secara kontrastif perlu dilakukan.

2.2 Metode

Dalam suatu penelitian pasti akan membicararakan suatu metode atau teknik tertentu. Metode atau teknik digunakan untuk menunjukkan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung dengan satu dengan yang lain. Kata metode dan teknik sama-sama memiliki arti ‘’cara’’ dalam suatu upaya. Kata metode berasal dari bahasa Sansekerta metodos yang berarti ‘’cara’’. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode. (Sudaryanto, 1993:9).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kontrastif yang meliputi pengumpulan data, analisis data dan perbandingan hasil analisis data atau juga dikenal dengan sebutan analisis kontrastif, yaitu metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode distribusional dalam tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap penganalisisan data dan tahap penyajian data (Sudaryanto,1993:5-7). Metode kajian distribungsional menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribungsional memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti. Metode ini berhubungan erat dengan paham strukturalisme de Saussure (1916), bahwa setiap unsur bahasa berhubungan satu sama lain, membentuk satu kesatuan padu (the whole unified). Metode distribungsional ini sejalan dengan penelitian deskriptif dalam membentuk perilaku data penelitian. (Fatimah, 2006:69).
Penelitian ini bersifat kontrastif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan kemudian memaparkannya secara deskriptif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis kontrastif terdiri dari atas dua tahap yaitu penjabaran dan perbandingan yang meliputi pengumpulan data, dan perbandingan hasil analisis data. Analisis dilakukan secara terpisah dimana bahasa Jepang dan bahasa Jawa diamati dari sudut pandang pendekatan masing-masing bahasa lalu diperbandingkan untuk menemukan perbedaan bentuk bahasa dan makna bahasa yang menjadi ciri khas bahasa yang bersangkutan. Dengan metode analisis kontrastif secara khusus dilakukan perbandingan antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa yang menghasilkan sejumlah fakta berupa persamaan dan perbedaan antara undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa.

2.3 Kerangka Teori

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang digunakan untuk membimbing dan memberi arahan dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis.
Kata ‘’kontrastif dan komparatif mempunyai komponen makna yang sama ataupun mirip yakni perbandingan. Dua kata yang bersinonim itu setelah menjadi istilah-istilah khusus, mengandung pengertian yang secara tegas berbeda. Kata kontrastif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang tidak serumpun sedangkan komparatif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang serumpun. Linguistik komparatif bersifat diakronik, sedangkan analisis kontrastif cenderung bersifat deskriptif yakni sinkronik.

2.3.1 Pengertian Linguistik Kontrastif

Kata kontrastif berasal dari perkataan Contrastive yaitu keadaan yang diturunkan dari kata kerja to contras artinya berbeda atau bertentangan. Dalam The American Collage Dictionary terdapat penjelasan sebagai berikut, ‘’Contras: to set in opposition in order to show unlikeness, compare by observing differences. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan istilah linguistik kontrastif adalah ilmu bahasa yang meneliti perbedaan-perbedaan, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang terdapat pada dua bahasa atau lebih yang tidak serumpun.
Linguistik kontrastif (対照言語学taishou-gengogaku) yang disebut linguistik bandingan merupakan kajian linguistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang berbeda. Pendeskripsian persamaan dan perbedaan tersebut, akan bermanfaat untuk pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke-2 (bahasa asing). Misalnya: dengan dideskripsikannya persamaan dan perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara jelas dan lengkap, akan membantu dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang Jepang, atau pengajaran bahasa Jepang untuk orang Indonesia. Karena, sekurang-kurangnya kesalahan berbahasa (誤用goyou) akibat pengaruh bahasa ibu (母語干渉bogo-kanshou) pada pembelajar kedua bahasa tersebut akan dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan (Dedi Sutedi, 2003:190).

2.3.2 Pengertian Linguistik Komparatif

Linguistik historis komparatif merupakan cabang ilmu dari ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tersebut, serta lebih menekankan teknik penelusuran ke dalam pra sejarah bahasa.
Linguistik komparatif atau linguistik bandingan, merupakan suatu cabang dari ilmu bahasa (linguistik) yang berusaha untuk meletakkan dasar-dasar pengertian tentang perkembangan dan kekerabatan antara bahasa-bahasa di dunia dan mencoba menemukan unsur-unsur pengaruh timbal balik dalam sejarah. Dalam kaitannya membandingkan dua bahasa diperlukan juga adanya linguistik bandingan tripolis, yakni cabang linguistik bandingan yang secara sistematis mempelajari hubungan antara bahasa-bahasa melalui salah satu ciri yang utama dalam bentuk atau struktur yang sama-sama dimilikinya. (Keraf, 1990:2).

Minggu, 12 Februari 2012

REVISI PROPOSAL 3


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Diantara sekian banyak bahasa yang ada di dunia, bahasa Jepang ada kesamaan dalam hal unda-usuk bahasa (speech level) dengan bahasa Jawa. Sistem tata krama (unggah-ungguh) dan undak-usuk merupakan pencerminan rasa tenggang rasa dan pertimbangan pembicara terhadap lawan bicara dan merupakan sarana untuk mengeratkan hubungan manusia. Di Jawa jika seseorang belum menguasai “unggah-ungguhing basa’’, menurut kata orang Jawa pasti akan di cap ‘’durung jawa’’. Di Jepang tidak ada ungkapan seperti itu, namun, jika seseorang tidak menguasai “unggah-ungguhing basa”, ia akan diasingkan karakter ataupun budi pekertinya, dan ada kalanya menimbulkan amarah bagi lawan bicaranya.
Pada zaman purba dan pertengahan di Jepang, sistem keigo dititikberatkan pada hierarki dalam masyarakat. Sosiolinguistik memandang wujud bahasa di dalam masyarakat karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu saja, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Sikap pembicarara terhadap status sosial, pangkat, asal usul seseorang yang diacu, menentukan memakai atau tidaknya bentuk hormat dan kadar hormat yang hendak dipakai dalam penuturannya. Dalam bahasa Jepang, kelompok kata yang dipakai untuk menunjukkan sikap hormat ialah Sonkeigo dan Kenjoogo.
Keigo yang dipakai untuk menghormat kepada lawan bicara baru muncul sesudah zaman Kamakura, abad ke-12. Pada waktu itu kaum kesatria mulai memegang kekuasaan menggantikan kaum bangsawan, dan lahirlah susunan status sosial yang baru. Pada pertengahan abad ke-15, Jepang memasuki apa yang disebut ‘’Zaman perang saudara’’. Tuan-tuan tanah di seluruh Jepang berebutan memperluas wilayah kekuasaannya, dengan saling menyerang antara satu sama yang lain. Pada waktu itu keadaan sosialnya tidak menentu dan tidak stabil. Kadangkala pengikut rendahan membunuh tuan tanah atau panglima dan mengambil alih kekuasaannya. Sementara itu, kaum pedagang yang berstatus sosial rendah mulai meningkatkan kekayaan sosial seperti itu, diperlukan sekali perhatian dan kewaspadaan terhadap hubungan antarmanusia, dan ini mendorong timbulnya keigo, yang dipakai untuk membentuk ragam bahasa hormat.
Keadaan di Jawa pada abad ke 15-17 mirip dengan keadaan di Jepang sebagaimana tersebut diatas. Di Jawa negara-negara Islam bermunculan di Pesisir dan Kerajaan Majapahit runtuh sesudah diserang Demak. Karena keadaan politik yang bergolak, masyarakat mengalami ketidakstabilan dan ketidaktentuan. Ada kalanya yang berkedudukan rendah mengambil alih kekuasaan. Tulisan Tome Pires dalam buku Suma Oriental (Toohoo Shokokuki hlm.341-342) menunjukkan adanya patih di daerah pesisir yang hanya tiga hari sebelumnya berkedudukan sebagai budak atau pedagang. Dan tempat lain dalam buku tersebut Tome Pires mencatat adanya dua tingkat bahasa yang berlainan, yang menunjukkan keberadaan dua tingkat tutur Ngoko dan Krama.
Dalam bahasa Jepang ragam bahasa hormat meliputi ragam普通Futsu ‘biasa’ dan 丁寧Teinei ‘hormat’ (警護keigo). Secara singkat Terada Takanao menyebut keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga (Terada, 1984:238). Hampir sama dengan pendapat itu, ada juga yang mengatakan bahwa keigo adalah istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang menaikkan pendengar atau orang yang menjadi pokok pembicaraan (Nomura, 1992:54). Pada dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan).
Berdasarkan hasil analisis penulis, diketahui bahwa antara tingkat tutur bahasa Jepang dan tingkat tutur bahasa Jawa memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tingkat tutur bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah, dalam tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan そとsoto ‘luar’ seperti bahasa Jepang.
Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa ini menunjukkan adanya adap sopan santun berbahasa Jawa bagi masyarakat tuturnya. Adab sopan santun berbahasa akan mencerminkan perilaku kebahasaan penuturnya yang sebenarnya merupakan cerminan kemasyarakatannya (cf. Anton M. Moeliono, 1985:4). Adap sopan santun berbahasa ini disamping ditandai adanya wujud tuturan juga ditandai perbedaan tingkah laku atau sikap penutur sewaktu berbahasa Jawa. Dengan demikian, adab sopan santun berbahasa Jawa mencakup dua faktor, yaitu faktor lingual (linguistik) dan faktor non lingual (non linguistik). Kedua faktor tersebut dalam tindak tutur atau speech act dapat dipilahkan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan (cf. Ungkapan dalam bahasa Jawa: Suruh beda lumah lan kurepe yen ginigit padha rasane ‘Sirih berbeda bagian atas dengan bagian bawahnya apabila dikunyah sama rasanya’). Persamaannya adalah kedua bahasa tersebut memiliki ragam biasa dan ragam hormat, baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa sama-sama mempunyai ragam hormat yang digunakan untuk menghormati mitra tutur atau orang yang dituturkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan diteliti penulis sebagai berikut:
1. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan undak usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa
2. Bagaimanakah penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan bahasa hormat dalam bahasa Jawa
3. Bagaimanakah perbedaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan bahasa hormat dalam bahasa Jawa
4. Bagaimanakah faktor penentu varian undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian mengenai penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan sistem undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa
2. Mendiskripsikan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan varian undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa
Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan undak usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa, mengetahui bagaimana faktor penentu varian undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa.

1.4 Ruang Lingkup Pembahasan

Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun. Meskipun sama-sama memiliki undak-usuk tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh mengenai perbedaan dan persamaan undak-usuk kedua bahasa tersebut, penelitian yang bersifat kontrastif. Suatu analisis bahasa memiliki tujuan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
Latar belakang hidup dalam bermasyarakat Jepang dan Jawa memang masih menjunjung tinggi nilai unggah-ungguh, undak-usuk, adab dalam tata krama atau sopan santun. Dalam bahasa Jawa kadar sikap hormat mempunyai tingkat tutur Ngoko, Krama dan Madya dan masing masing terbagi lagi ke dalam beberapa sub tingkat, dan seluruhnya berjumlah 7 atau 9 tingkat. Tiap-tiap tingkat diberi nama masing-masing seperti Muda Krama, Basa Antya dan sebagainya. Sedang dalam bahasa Jepang terdapat dua tingkat tutur, yaitu ragam 普通Futsuu ‘biasa’ dan ragam 丁寧Teinei ‘hormat’, yang meliputi kenjoogo dan sonkeigo. Walaupun kedua ragam itu masing-masing mempunyai kadar hormat yang berbeda-beda, tetapi tidak diberi nama.

1.5 Sistematika Penelitian

Penelitian ini terdiri atas 4 bab yang tersusun sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Isinya meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, landasan teori, sumber data, ruang lingkup penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II Menguraikan teori-teori yang akan penulis gunakan untuk menganalisis perbedaan sistem undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa..
BAB III Menguraikan sistem undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Bab ini merupakan inti dari penelitian yang penulis lakukan, karena dalam bab ini akan penulis utarakan tentang analisis terhadap faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pilihan varian undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa.
BAB IV Merupakan penutup yang berisi penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang berkaitan dengan penelitian ini.

Kamis, 02 Februari 2012

GAMBARAN BAB II revisi

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Gambaran Umum

Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun, meskipun sama-sama memiliki undak-usuk tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Hal-hal yang menjadi perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa tersebut selain masalah huruf (Kanji, Hiragana, Katakana dalam bahasa Jepang) juga masalah pada hukum/aturan dan susunan kalimat. Misalnya: susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat). Sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam berbahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).
Undak-usuk merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaanya ditentukan oleh anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra tutur. Tingkat tutur (undak-usuk) merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlokutornya (Suwito, 1983:25). Dengan undak-usuk semacam itu, maka sebelum seseorang mengungkapkan bahasanya ia harus menyadari lebih dulu posisi sosialnya terhadap mitra wicara. Sosiolinguistik memandang wujud bahasa dalam hubungan dengan pemakaian bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu saja, akan tetapi sebagai bagian masyarakat sosial. Misalnya:dalam sosiolinguistik bahasa Jawa seseorang yang memiliki status sosial lebih rendah akan memberikan laras tutur (speech level) yang tinggi (krama) kepada mitra wicaranya yang memiliki status sosial yang tinggi. Sementara itu, sang mitra wicara yang memiliki status sosial tinggi akan memberikan laras tutur yang rendah (ngoko).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa berbeda. Misalnya: Teineigo/ragam sopan dalam bahasa Jepang dipakai untuk menyatakan rasa hormat dan memperindah suatu pook pembicaraan agar terdengar lebih enak dan halus, tanpa memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun tingkat kekerabatan pembicara terhadap mitra wicara, umumnya ragam ini banyak dipakai oleh kaum perempuan. Padanan teineigo ini dalam bahasa Jawa adalah ragam krama, padahal krama dalam bahasa Jawa sangat dipengaruhi oleh derajat sosial, umur atau tingkat kekerabatan, hal inilah terkadang yang membuat bingung para pembelajar, bahkan sering terjadi kesalahan dalam pemilihan padanan dalam bahasa sasaran. Selain itu, dalam bahasa Jawa tidak ada perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan. Dari perbedaan undak-usuk tersebut penelitian secara kontrastif perlu dilakukan.

2.2 Hubungan Linguistik Kontrastif dan Komparatif

Kata ‘’kontrastif dan komparatif mempunyai komponen makna yang sama ataupun mirip yakni perbandingan. Dua kata yang bersinonim itu setelah menjadi istilah-istilah khusus, mengandung pengertian yang secara tegas berbeda. Kata kontrastif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang tidak serumpun sedangkan komparatif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang serumpun. Linguistik komparatif bersifat diakronik, sedangkan analisis kontrastif cenderung bersifat deskriptif yakni sinkronik.

2.2.1 Pengertian Linguistik Kontrastif

Kata kontrastif berasal dari perkataan Contrastive yaitu keadaan yang dituturkan dari kata kerja to contras artinya berbeda atau bertentangan. Dalam The American Collage Dictionary terdapat penjelasan sebagai berikut, ‘’Contras: to set in opposittion in order to show unlikeness, compare by observing differences. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan istilah linguistik kontrastif adalah ilmu bahasa yang meneliti perbedaan-perbedaan, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang terdapat pada dua bahasa atau lebih yang tidak serumpun.
Linguistik kontrastif (対照言語学taishou-gengogaku) yang disebut linguistik bandingan merupakan kajian linguistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang berbeda. Pendeskripsian persamaan dan perbedaan tersebut, akan bermanfaat untuk pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke-2 (bahasa asing). Misalnya: dengan dideskripsikannya persamaan dan perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara jelas dan lengkap, akan membantu dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang Jepang, atau pengajaran bahasa Jepang untuk orang Indonesia. Karena, sekurang-kurangnya kesalahan berbahasa (誤用goyou) akibat pengaruh bahasa ibu (母語干渉bogo-kanshou) pada pembelajar kedua bahasa tersebut akan dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan (Dedi Sutedi, 2003:190).

2.2.2 Pengertian Linguistik Komparatif

Linguistik historis komparatif merupakan cabang ilmu dari ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tersebut, serta lebih menekankan teknik penelusuran ke dalam pra sejarah bahasa.

2.3 Peran Keigo (Bahasa Hormat) Dalam Bahasa Jepang

Bagi para pembelajar bahasa Jepang dalam situasi-situasi tertentu memang dituntut untuk menggunakan keigo (bahasa hormat) sehingga walau bagaimanapun kita harus menguasainya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit peran pemakaian keigo bagi para penuturnya. Secara singkat Hinata Shigeo (2000:15-17) menyebutkan keefektifan dan peran konkrit pemakaian keigo tersebut sebagai berikut:
1. Menyatakan penghormatan mengenai hal ini tidak perlu dijelaskan lagi, karena peran keigo ini dapat dikatakan merupakan dasar keefektifan keigo. Lawan bicara yang dihormati adalah atasan atau orang yang posisinya tinggi secara sosial, tetapi sudah tentu didalamnya termasuk orang-orang yang berdasarkan pada hubungan manusia yang berada dalam bidang perdagangan dan bisnis.
2. Menyatakan perasaan formal bukan di dalam hubungan atau situasi pribadi, di dalam hubungan atau situasi resmi dilakukan pemakaian bahasa yang kaku dan formal. Misalnya didalam sambutan upacara pernikahan, di dalam rapat atau ceramah yang resmi dan sebagainya dipakai bahasa halus atau bahasa hormat sebagai etika sosial. Berbicara dengan ragam akrab dalam situasi seperti ini kadang-kadang menjadi tidak sopan.
3. Menyatakan jarak diantara pembicara dan lawan bicara yang baru pertama kali bertemu atau yang perlu berbicara dengan sopan biasanya terdapat jarak secara psikologis. Dalam situasi seperti itu hubungan akan dijaga dengan menggunalkan bahasa halus atau bahasa hormat secara wajar. Pemakaian bahasa atau sikap yang terlalu ramah kadang-kadang akan menjadi kasar atau tidak sopan
4. Menjaga martabat keigo pada dasarnya menyatakan penghormatan terhadap lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Tetapi dengan dapat menggunakan keigo secara tepat dapat juga menyatakan pendidikan atau martabat pembicaranya.
5. Menyatakan rasa kasih sayang keigo yang digunakan para orang tua atau guru taman kanak-kanak kepada anak-anak dapat dikatakan sebagai bahasa yang menyatakan perasaan kasih sayang atau menyatakan kebaikan hati penuturnya
6. Ada kalanya menyatakan sindiran, celaan, atau olok-olok. Hal ini merupakan ungkapan yang mengambil keefektifan keigo yang sebaliknya, misalnya mengucapkan: Hontou ni gorippa na otaku desu koto ‘Rumah yang benar-benar bagus’bagi sebuah apartemen yang murah, atau mengucapkan kalimat Aitsu mo zuibun goseichou asobimashita mono da’ ‘Dia juga orang yang benar-benar sudah dewasa’. Kalimat-kalimat itu secara efektif dapat mengungkapkan sindiran, celaan atau olok-olok.

2.3.1 Jenis-jenis Keigo Dalam Bahasa Jepang

Dalam menggunakan ‘’KEIGOHOO’’ atau Kaidah Bentuk Hormat adalah istilah yang sepadan dengan ‘’unggah-ungguhing basa’’ dalam bahasa Jawa pada umumnya keigo dibagi menjadi tiga kelompok. Sebagai contoh, Nomura Masaaki dan Koike Seiji dalam Nihongo Jiten (1992:54) membagi keigo menjadi sonkeigo, kenjougo, dan teineigo. Lalu Hirai Masao dalam Shinkokugo Handobukku (1982: 131-132) membagi keigo menjadi teineigo, sonkeigo dan kensongo/kenjougo. Begitu juga Ogawa Yoshio (1989: 228) dalam Nihongo Kyouiku Jiten membagi keigo menjadi sonkeigo, kensongo dan teineigo.
Sedang menurut Kamus Reikai Shinkokugo Jiten (1987:279) keigo adalah
話してや聞き手が読み手や、また話題に上がっている人や、物事に対して、敬意を表したり、丁寧に表現したりするために使う言葉。
Hanashiteya, kikite ga yomite ya, mata wadai ni agatte iru hito ya, monogoto ni taishite, keii o arawashitari, teinei ni hyougen shitari suru tame ni tsukau kotoba.
‘Ungkapan yang dipakai oleh pembicara ataupun penulis untuk menyatakan perasaan hormat dan sopan santun terhadap lawan bicara, pembaca dan orang yang dibicarakan’. Dijelaskan juga dalam Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar, keigo adalah ‘’Ungkapan yang menunjukkan tingkat kehormatan yang dibedakan menurut hubungan tinggi dan rendahnya kedudukan atau tingkat keakraban diantara pembicara dan pendengar atau orang yang sedang dibicarakan (terutama yang menunjukkan rasa hormat terhadap pendengar atau orang yang dibicarakan) (1988:524).
Pada dasarnya bahasa hormat (keigo) dalam bahasa Jepang dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Nakano Toshio (dalam Sudjianto, 1999:149) menjelaskan bahwa keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau bawahan, guru atau murid
3. Jenis kelamin :pria atau wanita (wanita lebih banyak menggunakan keigo)
4. Keakraban : orang dalam atau orang luar (terhadap luar memakai keigo)
5. Gaya bahasa : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan
6. Pribadi atau umum : rapat, upacara, atau kegiatan apa
7. Pendidikan :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo).

2.3.2  Sonkeigo

Sonkeigo dipakai bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan atasan sebagai orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya, yang berhubungan dengan lawan bicara (termasuk aktifitas dan segala sesuatu yang berkaitannya). Sonkeigo merupakan cara bertutur kata yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (Hirai, 1985: 132)
Sementara itu Oishi Shotaro (1985:25) menjelaskan bahwa sonkeigo adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan. Dengan cara menyebut sensei kepada orang yang dibicarakandan dengan mengucapkan kata irassharu bagi aktifitasnya seperti pada kalimat Sensei ga ryokou ni irashaimasu先生が旅行にいらっしゃいます’ Pak guru akan pergi berdarmawisata’ merupakan cara untuk menyatakan rasa hormat pembicara terhadap orang yang dibicarakan dengan cara menaikkan derajatnya. Begitu juga oleh karena lawan bicara pada kalimat Anata mo irasshaimasu ka あなたもいらっしゃいますか ‘Apakah anda juga akan pergi’ menjadi orang yang dibicarakan, maka pemakaian kata anata dan irrasharu pada kalimat itu pun dipakai untuk menghormati lawan bicara dengan cara menaikkan derajatnya.
Menurut Buku Pengantar Linguistik Bahasa Jepang (Sudjianto dan Ahmad Dahidi: 190-192), ada beberapa cara untuk menyatakan sonkeigo yaitu:
a. Memakai verba khusus sebagai sonkeigo, seperti
Nasaru なさる = suru する ’melakukan’
Goran ni naru ごらんになる =miru ‘melihat’
Meshiagaru, agaru 召し上がる,あがる =teberuたべる ‘makan’
Irassharu いらっしゃる =iru いる’ada’, iku 行く ‘pergi, kuru 来る’datang’
Ossharu 仰る’ =iu 言う’berkata’
Kudasaru 下さる =kureru くれる
b. Memakai verba bantu –reru setelah verba golongan satu dan memakai verba bantu rareru setelah verba golongan dua, seperti:
Kakareru 書かれる = kaku書く’menulis’
Ukerareru 受けられる = ukeru 受ける ‘menerima’
Taberareru 食べられる = taberu食べる ‘makan’
c. Menyisipkan verba bentuk ren’youkei pada pola ‘o...ni naru’ seperti:
Omachi ni naru お待ちになる = matsu待つ ‘menunggu’
Otachi ni naru お立ちになる =tatsu 立つ‘berdiri’
Osuwari ni naruお座りになる =suwaru座る ‘duduk’
Oyomi ni naru お読みになる =yomu読む ‘membaca’
Okaki ni naruお書きになる =kaku 書く‘menulis’
d. Memakai nomina khusus sebagai sonkeigo untuk memanggil orang. Kata-kata tersebut bisa berdiri sendiri dan ada juga yang dapat menyertai kata lain sebagai sufiks seperti:
Sensei 先生 = bapak/ibu (guru, dokter)
Shachou 社長 = direktur
Kachou 課長 = kepala bagian
あなた = Anda
e. Memakai prefiks dan/atau sufiks sebagai sonkeigo seperti
Tanaka-sama田中様 = Tn. Tanaka
Suzuki-san鈴木さん = Sdr. Suzuki
Musume-san 娘さん = anak perempuan
Goiken ご意見 = pendapat
Okangae お考え = pikiran
Otaku お宅 = rumah
Otouto-san 弟さん = adik laki-laki
Oisha-san お医者さん = dokter
f. Memakai verba asobasu, kudasaru dan irrasharu setelah verba-verba lain, seperti:
Okaeri asobasuお帰りあそばす = kaeru 帰る‘pulang’
Oyurushi kudasaruお許しくださる = yurusu 許す‘memaafkan’
Mite irassharu 見ていらっしゃる = miru 見る‘melihat’
Yorokonde irassharu喜んでいらっしゃる = yorokobu喜ぶ ‘senang’, ‘gembira’

2.3.3 Kenjoogo

Ada yang menyebut nama kenjougo dengan istilah kensongo. Hirai Masao menyebut kensongo sebagai cara bertutur kata yang menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri (Hirai, 1985:132). Di pihak lain Oishi Shotaro (1985:27) mengartikan kensongo sebagai keigo yang menyatakan rasa homat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Kata oaisuru pada kalimat Haha ga sensei ni oaisuru 母が先生にお会いする ‘Ibu saya akan menemui bapak guru’ dipakai untuk merendahkan aktifitas haha sebagai orang yang dibicarakan. Lalu kata mousu pada kalimat Otouto no mousu toori desu 弟の申すとうりです‘Sebagaimana yang dikatakan adik saya’ dipakai untuk merendahkan aktifitas otooto sebagai orang yang dibicarakan untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara. Begitu juga menunjukkan diri sendiri (sebagai orang yang dibicarakan) dengan kata watakushi dan mengungkapkan aktifitas diri sendiri dengan kata mairu pada kalimat Watakushi wa raigetsu Doitsu e mairu yotei desu ‘Saya minggu depan berencana pergi ke Jerman’ pun merupakan contoh pemakaian kenjougo untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara. Kenjougo dapat diungkapkan dengan cara:
a. Memakai verba khusus sebagai kenjougo, seperti:
Mairu 参る=kuru 来る‘datang’
Moosu申す=iu 言う‘mengatakan’
Itadaku頂く=morau もらう‘menerima’
Ukagau伺う= kiku 聞く‘bertanya’, shitsumon suru 質問する‘bertanya’, hoomon suru訪問する ‘berkunjung’
Omeni kakaru お目にかかる= au 会う ‘bertemu’
Ageru あげる,sashiageru差し上げる=yaruやる‘memberi’
Oru 折る= iruいる ‘ada’
Haiken suru拝見する= miru見る ‘melihat’
b. Memakai pronomina persona sebagai kenjougo, seperti:
Watakushiわたくし =  saya
Watashiわたし = saya
c. Menyisipkan verba bentuk renyoukei pada pola ‘o...suru, seperti:
Oaisuruお会いする = au ‘bertemu’
Oshirase suruおしらせする=shiraseru知らせる’memberitahu’, ‘mengumumkan’
Okiki suruお聞きする = kiku 聞く‘mendengar’
Onarai suruお習いする = narau習う ‘belajar’
Oyomi suruお読みする = yomu読む ‘membaca’
d. Memakai verba ageru, mousu, moushiageru, itasu setelah verba lain, seperti:
Oshirase itasuお知らせいたす=shiraseru知らせる ‘memberi tahu’, mengumumkan’
Oshirase moosuお知らせ申す=shiraseru知らせる
Shirasete ageru知らせてあげる=shiraseru知らせる
Shirasete sashiageru知らせ手差し上げる=shiraseru知らせる

2.3.4 Teineigo

Teineigo adalah cara bertutur kata dengan sopan santun yang diapakai oleh pembicara dengan saling menghormati atau menghargai perasaan masing-masing (Hirai, 1985: 131). Oishi shotaroo (dalam Bunkachoo, 1985:28) menyebut teineigo dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara).
Pemakaian teichoogo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau menurunkan derajat orang yang dibicarakan. Ani pada kalimat Ani wa asu kaerimasu兄は明日帰ります ‘Kakak laki-laki saya besok akan pulang’ adalah orang yang dibicarakan, tetapi teichoogo ‘masu’ pada kalimat itu dipakai bukan untuk menaikkan derajat ani melainkan dikarenakan adanya pertimbangan terhadap lawan bicara. Walaupun pada kaliamat Sensei ga okaeri ni narimasu. ‘Pak guru akan pulang’ memakai sonkeigo untuk menaikkan derajat sensei sebagai orang yang dibicarakan, namun kalimat itu tidak memakai teichoogo bagi lawan bicara. Berbeda dengan sonkeigo dan kenjoogo, teineigo dinyatakan dengan cara sebagai berikut:
a. Memakai verba bantu desu dan masu seperti pada kata:
Ikimasu行きます =iku行く ‘pergi’
Tabemasu食べます = taberu食べる’makan’
Hon desu本です =hon da本だ ‘buku’
Kirei desuきれいです =kirei daきれいだ ‘cantik, bersih, indah’
b. Memakai prefiks go atau o pada kata-kata tertentu, seperti:
c. Memakai kata-kata tertentu sebagai teineigo seperti
Gozaimasuございます =gozaruござる arimasuあります=aruある ‘ada’

2.3.5 Futsuugo

Menurut Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar (1988:207), futsuu adalah ‘’Hal tidak adanya kelainan atau kekhasan dibandingkan dengan yang lain’’. Sedang menurut Kodansha Kokugo Jiten (1966:903), futsuu adalah:
広く一般に通じること変わっていないこと。当たり前。
Hiroku ippan ni tsuujiru koto kawatte inai koto. Atari mae.
‘Sesuatu yang berhubungan dengan hal umum yang luas, sesuatu hal yang sangat biasa dan tidak ada yang berubah atau berbeda’.
Ragam Futsuugo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. berakhiran dengan ~da, atau de aru
Contoh:
1. これは本だ。
Kore wa hon da.
Ini part buku kopula
‘’Ini buku’’.
2. 初めての外国生活である。
Hajimete no gaikokusekatsu dearu.
Pertama kali part luar negeri kehidupan kopula
‘’Kehidupan luar negeri yang pertama kali.
(日本語の中級1:23) 
b. berakhiran dengan verba bentuk futsuukei, seperti bentuk ~ru (bentuk biasa atau bentuk kamus)
Contoh:
1. 僕は食べる。
Boku wa taberu.
Saya part makan.
‘’Saya makan’’.
2. 私は六時に起きる。
Watashi wa roku ji ni okiru.
Saya part enam pukul (pada) bangun.
‘’Saya bangun jam enam’’.
Ragam futsuu biasanya digunakan dalam penuturan diantara anggota keluarga, kawan-kawan yang akrab, orang yang berstatus tinggi terhadap yang berstatus rendah, dalam bahasa media massa, makalah, roman dan sebagainya.

2.4. Penggunaan Krama (Bahasa Hormat) Dalam Bahasa Jawa

Dalam bahasa Jawa penggunaaan bentuk bahasa hormat (krama) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat). Berikut ini gambaran mengenai hubungannya yang berkaitan dengan status sosial:
1. Hubungan simetris:
a. antara orang muda: ngoko, madya
b. antara orang tua: ngoko, krama
c. antara priyayi dan tukang sayur :madya
d. antara orang yang belum saling kenal: krama, madya
2. Hubungan asimetris:
a. anak kepada orang tua: krama, dan orang tua kepada anak : ngoko
b. pembantu rumah tangga (tukang sayur) kepada tuan rumah: madya, dan tuan rumah kepada pembantu rumah tangga (tukang sayur): ngoko.
Untuk menyusun kalimat di dalam bahasa Jawa, sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan ( secara pragmatik). Pertimbangan pertama berkenaan dengan pertanyaan bagaimana jenis hubungan antara si pembicara dan lawan bicara. Ini untuk menetapkan apakah digunakan konstruksi ngoko, madya, atau krama. Pada pertimbangan kedua, berdasarkan jenis hubungan antarasi pembicara dan lawan bicara itu ditentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak. Selain itu untuk menentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak, juga dipertimbangkan jenis hubungan si pembicara atau lawan bicara dengan orang lain yang sedang dibicarakan.
Contoh:
1. Saya sudah makan. Bapak sudah makan atau belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Bapak wis dhahar durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Bapak mpun dhahar dereng?
c. Krama: Kulo sampun nedha. Bapak sampun dhahar dereng?
2. Saya sudah makan. Agus sudah makan belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Agus wis mangan durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Agus mpun nedha dereng?
c. Krama: Kula sampun nedha. Agus sampun nedha dereng?
Selain terdapat bentuk honorifik (sopan santun/unggah-ungguh) untuk ‘’meninggikan’’ orang lain yang dihormati (yang disebut Krama Inggil), terdapat pula bentuk honorifik untuk ‘’merendahkan diri si pembicara. Bentuk seperti ini disebut ‘’krama andhap’’. Bentuk krama inggil harus dipakai pada waktu berbahasa dengan atau mengenai orang yang dihormati.

2.5 Peran Krama ( Bahasa Hormat) Dalam Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Sopan santun bebahasa disebut juga dengan istilah etiket tutur. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari istilah Clifford Geertz yaitu linguistic etiquette yang dimuat di dalam bukunya The Relegion of Java (1967). Kemudian di dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) sebagai terjemahan buku Clifford Geertz tersebut disebut sopan santun berbahasa.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam sopan santun berbahasa Jawa yaitu pilihan bentuk linguistik atau bentuk lingual dan sikap andhap asor. Andhap asor berarti merendahkan diri sendiri dengan kepada setiap orang yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi. (Clifford Geertz, 1981:326). Pernyataan Clifford Geerts tersebut telah memperhitungkan tingkat tutur (faktor lingual) dan faktor non-lingual dalam berbahasa Jawa. Pilihan bentuk linguistik mengarah kepada relasi atau hubungan penutur dengan lawan tutur (faktor non-lingual).
Khusus mengenai faktor lingual akan tercermin di dalam perbedaan bentuk tingkat tutur (ngoko, krama, madya). Sebagai contoh: misalnya seseorang akan menyapa orang lain: Hendak pergi ke mana?, maka bentuk tuturannya sebagai berikut:
a. Arep menyang ngendi?
b. Ajeng teng pundi?
c. Badhe tindak dhateng pundi?
Adanya ketiga bentuk tuturan diatas menunjukkan adanya perbedaan relasi antara penutur dengan lawan tutur. Perbedaan relasi tersebut akan dapat mengakibatkan perbedaan sopan santun antara penutur dengan lawan tuturnya. Tuturan (a) dapat menyatakan rasa sopan santun yang rendah (low honorifics), tuturan (b) menyatakan rasa sopan santun yang sedang, sedangkan tuturan (c) menyatakan rasa sopan santun yang tinggi (high honorifics). Hal yang demikian itu jelaslah bahwa penutur bahasa Jawa dalam berbahasa Jawa lebih menekankan orang atau siapa yang diajak bicara, dan bukannya waktu berbicara maupun hal yang dibicarakan.
Sehubungan dengan pemilihan suatu tingkat tutur Soeroso (1990:6-7) menyatakan bahwa ada empat langkah yang harus selalu diingat dandilakukan bagi seorang penutur yang akan berbahasa Jawa. Keempat langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mawas diri
Penutur menempatkan dirinya terhadap lawan tuturnya, dan ada tiga kemungkinan:
a. penutur lebih rendah daripada lawan tutur
b. penutur sederajat dengan lawan tutur
c. penutur lebih tinggi kedudukannya dengan lawan tutur
2. Memilih bahasa
b. apabila penutur lebih rendah daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa krama;
c. apabila penutur sederajat dengan lawan tutur, penutur menggunakan bahasa madya, ngoko;
d. apabila penutur lebih tinggi daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa ngoko.
3. Memilih kata
Dalam menggunakan bahasa seperti tersebut pada langkah yang kedua perlu dipilih kata yang tepat.
4. Menetapkan sikap
Sikap berbicara disesuikan dengan sikap diri misalnya sikap hormat, sikap santai, dan sebagainya.
Keempat langkah diatas berdasarkan analisis secara psikologis, yang tentu saja langkah-langkahnya berlangsung secara ‘’otomatis’’ pada jiwa penutur. Pada langkah pertama (mawas diri) dan langkah keempat (menetapkan sikap) berkaitan dengan faktor non-lingual dalam berbahasa yang menyangkut relasi penutur dengan lawan tutur. Langkah kedua (memilih bahasa) dan langkah langkah ketiga (memilih kata) berkaitan dengan pemilihan tingkat tutur.
Didalam hal pemilihan tingkat tutur penutur dihadapkan adanya berbagai kemungkinan pilihan tingkat tutur. Oleh karena itu, penutur harus memilihkan jenis-jenis tingkat tutur yang ada di dalam masyarakat tutur Jawa. Pemilihan dan sekaligus pemilahan tingkat tutur ini memperhatikan manusia sebagai peserta tutur, yang dapat berarti manusia ditempatkan pada posisi utama. Pernyataan yang demikian itu dapat dikaitkan dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa misalnya: rumangsa ora diwongake ‘merasa tidak diperhatikan/tidak dihormati’, katimbang kalah uwong aluwung kalah uwang ‘daripada kalah orang (tidak diperhatikan) lebih baik kalah uang’. Kedua ungkapan tersebut hanyalah untuk memberikan gambaran atau perbandingan tentang peranan manusia (dalam hal ini penutur) dalam berbahasa Jawa yang berkaitan dengan pemilihan dan pemilahan tingkat tutur.
Adanya bentuk tuturan yang dapat mencerminkan rasa sopan santun berarti pula tingkat tutur berkaitan erat dengan sopan santun berbahasa. Sopan santun berbahasa itu sendiri merupakan ajaran yang patut untuk dilaksanakan dalam masyarakat tutur jawa. Sehubungan dengan hal itu Suwadji (1985:14-15) menyatakan sebagai berikut:
a. Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang,
b. Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa,
c. Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur Jawa menghormati lawan tuturnya,
d. Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.
Keempat pernyataan diatas menunjukkan adanya prinsip pokok dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Dalam hal inipemilihan tingkat tutur (sebagai faktor lingual dalam berbahasa) mengiringi sopan santun berbahasa yang dapat diamatai dalam suatu peristiwa tutur. Prinsip pokok dan fungsi tersebut apabila dipahami secara benar dapat menumbuhkan rasa kebanggaan orang Jawa memiliki bahasa Jawa.
Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian dari sopan santun atau tatakrama Jawa. Berdasarkan tulisan Mas Sastrodiwiryo (dalam Sunarto Poerbosuharjo, 1989:5) dalam bukunya yang berjudul Tatakrama Jawi (1928) di jelaskannya bahwa tatakrama memiliki enam hal sebagai berikut:
1. Tuwuhipun tatakrama saking sesrawungan
‘Tumbuhnya tatakrama dari pergaulan’,
2. Landhesanipun wonten ing tatacara
‘Dasarnya di dalam tatacara’,
3. Ingkang dados dhasar kurban dhiri
‘Yang menjadi dasar korban diri’
4. Pangukuripun mawi dugi prayogi
‘Pengukurnya dengan perkiraan yang baik’,
5. Penindakipun mawi patrap, pangucap, busana’
‘Prakteknya dengan tindakan, ucapan, busana’
6. Pangesthinipun hanjagi murih rahayuning pasrawungan.
‘Tujuannya menjaga agar terjadi keselamatan dalam pergaulan’.
Keenam hal tersebut apabiala dihubungkan dengan sopan santun berbahasa terdapat pada hal yang kelima yaitu praktek tatakrama. Tatakrama dalam praktek diperhatikan adanya tiga hal yaitu: patrap, pangucap, dan busana. Khusus di dalam pangucap salah satu hal yang patut diperhatikan yaitu adanya pemilihan tingkat tutur yang tepat. Dengan pemilihan tingkat tutur yang tepat merupakan satu hal yang dapat menciptakan suasana harmonis di dalam pergaulan khususnya dalam peristiwa tutur. Bentuk tuturan krama yang disertai patrap yang kasar tidaklah menciptakan suasana harmonis didalam pergaulan.
2.6 Rincian Tingkat Tutur Undak-Usuk Dalam Bahasa Jawa
Sehubungan dengan adanya bentuk tingkat tutur dalam bahasa Jawa telah banyak ahli bahasa yang membuat perincian atau pembagian tingkat tutur. Sudaryanto (1987:2) menyatakan bahwa sejak terbitnya karya Ki Padmasoesastra tahun 1899 telah membuat unggah-ungguhing basa. Konsep pembagiannya hampir-hampir diikuti secara sangat patuh oleh para ahli bahasa. Adapun konsep pembagiannya itu secara skematis dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Basa ngoko
a. Ngoko lugu
Basa Ngoko Lugu disusun dari kata-kata ngoko semua, adapun kata: aku, kowe, dan ater-ater:dak-, ko-, di-, juga panambang:-ku, -mu, -e, -ake, tidak berubah. Adapun penggunaan Ngoko Lugu dalam bercakap-cakap atau berbicara meliputi:
1. Orang tua kepada anak, cucu, atau pada anak muda lainnya.
2. Percakapan orang-orang sederajat, tidak memperhatikan kedudukan dan usia, seperti anak-anak dengan temannya. Pada awal revolusi basa ngoko seringkali dipakai dalam pertemuan atau rapat. Mereka menyebut bahasa ini Basa Jawa Dipa. Namun, saat ini dalam pertemuan atau rapat, yang sering dipakai adalah Bahasa Indonesia, dan jika terpaksa menggunakan Bahasa Jawa mereka kembali menerapkan unggah-ungguhing basa dalam pertemuan seperti dahulu, yaitu meggunakan basa krama. Sebab orang yang diajak berbicara dalam pertemuan itu dianggap orang yang harus dihormati.
3. Atasan pada bawahannya juga menggunakan basa ngoko. Namun sekarang ini kebanyakan menggunakan basa krama, meskipun tidak lengkap. Sebab disini terkandung maksud menghormati bawahannya, dianggap sederajat, sebagai rekan kerja.
4. Dipakai saat ngunandika, sebab yang diajak bicara adalah diri sendiri tentu saja tidak perlu penghormatan.
Contoh:
Percakapan orang tua dengan anaknya: A: Bapa B:Anak.
A : Lho, kowe Dul. Wayah apa tekamu? Rak ya padha slamet ta?
B : Pangestunipun Bapak, wilujeng. Kalawau enjing jam 9, anggen kula dumugi ing ngriki.
b. Ngoko andhap
Basa Ngoko Andhap dipakai oleh siapa saja yang telah akrab dengan lawan bicaranya, sudah ngoko-ngokoan, tetapi masih saling menghormati. Ngoko Andhap terdiri dari:
1. antya-basa
Antya-basa dibentuk dari ngoko dicampur dengan kata-kata krama inggil untuk orang yang diajak berbicara, untuk menyatakan hormat.
2. basa antya
Basa-antya dibentuk dari ngoko dicampur dengan kata-kata krama dan krama inggil.
2. Basa krama
a. Wredha krama
Basa wredha krama hampir sama dengan Kramantara, sama-sama tidak dicampur dengan kata-kata Krama Inggil. Biasanya dipakai oleh orang tua kepada orang muda yang derajatnya lebih tinggi. Bahasa ini juga sudah jarang dipakai, pada umumnya lebih memilih Mudha Krama.
b. Mudha krama
Mudha Krama adalah bahasa yang luwes sekali, untuk semua orang tidak ada jeleknya. Orang yang diajak berbicara dihormati adapun dirinya sendiri yaitu orang yang mengajak bicara merendahkan diri. Biasanya menjadi bahasanya orang muda kepada orang tua. Bentuk Mudha Krama ini bahasanya krama semua dicampur dengan Krama Inggil untuk orang yang diajak bicara.
Contoh:
Aku diubah menjadi kula
Kowe diubah menjadi panjenengan sampeyan, atau panjenengan saja sudah cukup. Kadang-kadang juga disambung dengan kata peprenahan-nya, seperti:panjenenganipun kangmas, panjenenganipun ibu, panjenenganipun bapak, dan sebagainya.
c. Kramantara
Basa Kramantara kata-katanya krama semua tidak dicampur dengan krama inggil. Biasanya menjadi bahasanya orang tua kepada orang yang lebih muda, karena merasa lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya. Tetapi saat ini bahasa tersebut sudah tidak dipakai, meskipun kepada orang yang lebih muda dan lebih tinggi kedudukannya, meskipun demikian tidak keberatan memakai basa mudha krama. Contoh: aku diubah menjadi kula. Kowe diubah menjadi sampeyan.
3. Basa madya
a. Madya ngoko
b. Madya krama
c. Madya
4. Krama desa
5. Krama inggil
Tembung krama inggil ialah kata-kata yang digunakan paling hormat. Tembung krama inggil dapat ditempatkan bersama-sama dengan rangkaian tembung-tembung ngoko, madya, maupun krama.
Misalnya:
a. Tembung-tembung ngoko+krama inggil (terhadap orang kedua), menjadi ngoko andhap
b. Tembung-tembung madya+krama inggil (terhadap orang kedua) menjadi madya krama
c. Tembung-tembung krama+krama inggil (terhadap orang kedua), menjadi mudha krama
Dulunya basa krama inggil tidak digunakan di masyarakat umum, tetapi hanya digunakan di dalam lingkungan kraton. Di luar kraton hanya digunakan terhadap luhur (kerabat dekat raja). Bagi angkatan muda yang tidak berdekatan dengan lingkungan tersebut tidak perlu diajarkan basa krama inggil, kiranya cukup diperkenalkan saja.
Yang perlu dipahami oleh angkatan muda adalah mengenai fungsi dan makna tembung krama inggil, yaitu:
1. Diterapkan terhadap orang yang dihormat, tidak boleh terhadap diri-sendiri kecuali raja
2. Tembung krama inggil ada yang bermakna ke bawah: maringi (Dari yang layak dihormat terhadap yang layak hormat)
Pada umumnya krama inggil digunakan oleh bawahan kepada atasan, anak kepada orang tua, dan murid kepada gurunya. Dalam percakapan sehari-hari, krama inggil terbukti bisa membuat suasana harmonis. Dengan berbahasa Jawa halus, berarti sudah memulai hubungan yang penuh tata krama. Masing-masing pihak terjaga perasaannya dan emosipun akan mudah terkendali.
Penggunaan bahasa secara tepat akan mendatangkan sikap hormat. Pilihan kata yang benar menyebabkan urusan menjadi lancar. Terlebih-lebih krama inggil yang merupakan bahasa Jawa halus, penerapannya memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Karena bahasa krama inggil menyangkut apresiasi dan status sosial yang erat sekali dengan etika dan sopan santun. Oleh karena itu, komunikasi orang Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unggah-ungguhing basa. Kepribadian seseorang bisa dicitrakan dalam bentuk kemampuan berbahasa apalagi dengan unggah-ungguh bahasanya.
Berikut ini beberapa contoh kaliamat dengan unggah-ungguh basa:
a. Ayo dhimas tak aturi tindak saiki bae mumpung esuk, yen kersa arep tak dherekake (Basa ngoko andhap:tembung ngoko+tembung krama inggil terhadap orang kedua).
b. Titenana bae, yen tindakmu nasar terus arep tak aturake gurumu, ben kowe didukani pisan. (Basa ngoko lugu: meskipun bercanpur tembung ngoko bukan terhadap orang kedua).
c. Pak, mang terke teng pasar Bulu limang atus gelem boten? (Basa madya ngoko:tembung madya +tembung ngoko terhadap orang kedua).
d. Ngga mundhut peleme Bu, niki lo sae-sae, mengke kula caosi mirah. (Basa madya krama:tembung madya +tembung krama inggil terhadap orang kedua)
e. Menawi panjenengan boten, tindak kula mangke badhe sowan. (Basa mudha krama: tembung krama+tembung krama inggil terhadap orang kedua).
Contoh-contoh diatas merupakan bahasa tutur yang benar-benar masih hidup dan berlaku di dalam pergaulan masyarakat Jawa sampai sekarang. Ahli bahasa maupun perorangan mana pun tidak bisa mencegah dan melarangnya terhadap tutur bahasa tersebut.
Didalam masyarakat Jawa, klasifikasi dalam unggah-ungguh basa itu telah ada sebelum ada orang yang mempelajarinya. Pemberian nama oleh perorangan terhadap masing-masing klasifikasi yang kemudian menjadi kaidah itu baru menyusul kemudian. Sama sekali bukan sebaliknya.
Berbicara mengenai unggah-ungguh basa sering dijumpai bahwa pembicara menunjukkan sikap kurang mantap mengenai unggah-ungguh basa itu. Sebagaimana wajarnya.
Kejanggalan-kejanggalan itu terjadi akibat pola pikir untuk masalah tersebut bertolak belakang dari unggah-ungguh basa itu sendiri secara langsung. Padahal untuk lebih tepat hendaknya berpangkal pada unggah-ungguh tembang lebih dahulu. Sehingga sasaran objeknya bisa kena secara tepat, dan permasalahan yang dikehendaki menjadi jelas.
Tiada mustahil bila unggah-ungguh basa ini lama-kelamaan menuju ke arah yang lebih sederhana, menjadi tiga atau dua tingkatan saja, tetapi proses itu masih lama sekali. Sampai saat ini sistem klasifikasi unggah-ungguh secara tradisional sebagai tersebut diatas ternyata masih besar relevansinya didalam tutur bahasa masyarakat dewasa ini, dan masih berdasar atas unggah ungguh tembung yang masih berlaku.
Dengan demikian tiada alternatif lain bahwa sistem unggah-ungguh tradisional tersebut masih perlu dilestarikan. Hanya dengan sedikit revisi, basa madyantara dan wredha krama bisa ditinggalkan karena keduanya ternyata tidak lazim digunakan.
6. Basa kadhaton
Dalam kraton terdapat masyarakat khusus yang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa pada waktu dan keadaan tertentu menggunakan kata-kata yang khusus yang disebut bahasa Kedhaton. Bahasa Kedhaton merupakan bahasa yang sudah lama digunakan, terutama dalam kraton Surakarta Hadiningrat. Hal ini tertuang dalam manuskrip yang berangka tahun 1910, yang ditulis oleh pujangga besar Kraton Surakarta Hadiningrat yang bernama R. Ng. Ranggawarsito dengan judul Serat Waduaji Tuwin Serat Tatakrami Tembung Kedhaton. Sementara itu, didalam Karti Basa (1976:79-80), dijelaskan bahwa basa Bagongan dan basa Kedhaton sebagai berikut:‘’Bahasa kedhaton adalah bahasa yang digunakan untuk berbicara oleh para sentana dan abdidalem pada saat menghadap Ingkang Sinuwun ‘Raja atau Pangeran Adipati Anom’,‘Pangeran calon Raja atau untuk percakapan dalam kraton. Jadi, kalau berbicara dengan raja mengenai apa saja, bahasa yang digunakan harus dalam bentuk Krama Inggil, yang tidak menggunakan bahasa kedhaton. Wujud bahasa ini berupa kata-kata krama yang bercampur dengan bahasa kedhaton tanpa krama inggil terhadap orang yang diajak berbicara. Bahasa kedhaton digunakan di kraton digunakan digunakan di kraton Surakarta, sementara bahasa kedhaton yang digunakan dalam kraton Yogyakarta disebut bahasa bagongan. Menurut Maryono Dwiraharjo (2001:36) bahasa bagongan merupakan salah satu bentuk ‘akrolek’ yaitu variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Selanjutnya, menurut Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:14) bahasa kedhaton di Yogyakarta disebut bahasa bagongan yang digunakan oleh keluarga raja dan atau digunakan oleh para karyawan (abdhi) yang bekerja di dalam istana. Jadi, bahasa kedhaton merupakan bahasa yang khusus (exlusive) yang digunakan di dalam kraton atau istana dan merupakan salah satu ciri khas budaya yang dimiliki kraton.
7. Basa kasar
Pembagian tersebut diatas secara teoretis (lebih-lebih secara praktis) kurang menguntungkan, sebab terlalu banyak jenis tingkat tutur yang ditampilkan. Disamping itu, dasar pembagiannya menyangkut banyak segi yaitu segi hubungan penutur, segi daerah, dan segi nilai rasa. Dengan adanya beberapa jenis tingkat tutur yang sekarang sulit dijumpai maka konsep pembagian tadi mengalami penyederhanaan. Sehubungan itu, Soepomo Poedjosoedarmo (1979:13 membagi tingkat tutur bahasa Jawa menjadi tiga jenis, dengan perincian tiap jenisnya sebagai berikut:
1. Ngoko
a. Ngoko lugu
b. Antya basa
c. Basa antya
2. Madya
a. Madya krama
b. Madyantara
c. Madya ngoko
3. Krama
a. Mudha krama
b. Kramantara (jarang terdengar)
c. Wredha krama (jarang terdengar)
Pembagian yang dilakukan oleh Soepomo Poedjosoedarmo tidak terdapat adanya krama inggil yang tentunya termasuk ke dalam jenis krama. Sesuai dengan namanya, krama inggil termasuk ke dalam jenis krama yang dipandang paling halus. Dilihat dari bentuk kosa katanya memang ada bentuk kosakata yang tergolong krama inggil, namun jumlahnya relatif kecil.
Pemakaian tingkat tutur kramantara dan wredhakrama untuk kesehariannya jarang terdengar, para penutur bahasa Jawa suka memperhatikan mudha kramanya. Krama desa/krama dhusun paling dominan digunakan. Sedang Krama inggil, basa kedhaton maupun basa kasar jarang dipakai, karena tergantung sesuai pada tempatnya.
Kemudian disini perlu ditampilkan pembagian tingkat tutur bahasa Jawa yang diusulkan oleh Sudaryanto (1987). Pembagian yang diusulkan hanya ada empat jenis tingkat tutur sebagai berikut:
1. Ngoko
2. Ngoko alus
3. Krama
4. Krama alus
Pembagian tersebut ternyata lebih sederhana yang tentunya lebih praktis dan mengisyaratkan bahwa tingkat tutur dalam bahasa Jawa itu tidaklah rumit dan menyulitkan.
Dalam unggah-ungguh bahasa Jawa terdapat tururan (tingkat tutur) yang jelas pada hal-hal kesopanan. Tingkatan itu pada kesopanan yang rendah yang berbentuk ngoko, kesopanan menengah disebut madya, dan kesopanan tinggi disebut krama. Misalkan:
Ngoko Madya Krama
‘Anda, Engkau, Kamu’ Kowe Sampeyan Panjenengan
‘Rumah’ Omah Griya Dalem
‘Sakit’ Lara Sakit Gerah
‘Pergi’ Lunga Kesah Tindak

Apabila diperhatikan pembagian tingkat tutur yang perbedaanya dapat terlihat pada bentuk kosakatanya (kosakata ngoko dan kosakata krama) maka dikotomis ada dua jenis tingkat tutur ngoko dan tingkat tutur krama. Mengenai jenis tingkat tutur yang telah ada, hal ini tentunya kita tidak boleh melupakan faktor-faktor non-lingual yang menyertai hadirnya bentuk tingkat tutur di dalam peristiwa tutur.
Singkatnya, undak-usuk bahasa Jawa dan bahasa Jepang terdiri unggah-ungguh basa yang meliputi: ngoko, madya, dan krama dengan bentuk keigohou dalam bahasa Jepang yang terdiri dari Futsuu/Teinei, Sonkeigo, dan Kenjougo.