TINGKATAN
BAHASA DALAM BAHASA JEPANG DAN UNDAK-USUK
BAHASA JAWA (KAJIAN LINGUISTIK KONTRASTIF)
Teguh Santoso, Lina
Rosliana, Suharyo[1]
Jurusan Sastra Jepang,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro
Jln. Prof. Soedarto,
Tembalang, Semarang, 50239, Telp/Fax: (024)76480619
ABSTRACT
Santoso, Teguh. Penggunaan Tingkatan
Bahasa dalam Bahasa Jepang dan Undak-usuk Bahasa Jawa ( Kajian Analisis
Kontrastif). Thesis. Japanese Literature Departement. Faculty of Humanity.
Diponegoro University. The First Advisor: Drs. Suharyo,
M. Hum, The Second Advisor: Lina Rosliana, S. S, M. Hum.
In Japanese speech levels a polite form
is known as Keego which consists of Sonkeigo, Kenjoogo and Teineigo. In
Javanese, such a form is called Undak-usuk. It consists of Ngoko (devided into Ngoko Lugu, Antya Basa,
and Basa Antya), Madya (devided into Madya Ngoko, Madyantara, and Madya Krama),
and Krama (devided into Mudha Krama, Kramantara, and Wreda Krama).
Based on the results of contrastive
analysis used in this paper, it was found out that there are similiarities as
well as differences between Keigo and Undak-usuk. Both of them have honorific
forms as well as a humble forms. The difference is that in Japanese there are
two concepts known as Uchi and Soto. This means that Japanese pay attention to
who a speaker is talking to and who is being discussed. Another difference is
that Ngoko can not be contrasted with Keigo. Krama Inggil and Krama Andhap do
not belong to speech levels. Both are lexicons giving varieties to the existing
speech levels, whereas Sonkeigo and Kenjoogo are parts of Keigo.
Key
words: sonkeigo, kenjoogo, teineigo, keigo uchi, soto, undak-usuk, ngoko,
madya, krama, krama inggil, krama andhap
1.
Pendahuluan
Dalam bahasa Jepang tingkatan bahasa
meliputi ragam bentuk biasa (Futsu) dan bentuk sopan (Teinei) bentuk hormat (Keigo).
Secara singkat Terada Takano menyebut keigo
sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau
orang ketiga Terada (dalam Sudjianto, 2004:189). Hampir sama dengan pendapat
tersebut, ada pula yang mengatakan bahwa keigo
adalah istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang menaikkan pendengar atau
orang yang menjadi pokok pembicaraan dalam Nomura (dalam Sudjianto, 2004:189).
Pada dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan
bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk menghormati
orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan).
Bahasa Jawa
mengenal adanya tingkat tutur (speech
levels) atau undak-usuk yang
cukup rapi, yaitu: ngoko lugu, ngoko andhap, antya basa, basa antya, wredha krama, mudha krama, kramantara, madya
ngoko, madya krama, madyantara, krama inggil, dan krama desa. Selain itu
masih ada bahasa kedhaton dan bahasa bagongan yang dipakai dalam ruang
lingkup kraton. Pendapat mengenai undak-usuk tingkat tutur tersebut dikemukakan
oleh Poejosoedarmo (1973:13). Undak-usuk tingkat tutur bahasa Jawa terbagi atas
tiga jenis yaitu: Krama, Madya, Ngoko dengan masing-masing subtingkat. Berikut ini penjelasan
mengenai undak-usuk tingkat tutur tersebut:
Ø Krama
a.
Mudha Krama:
kata-kata dan imbuhan krama inggil dan krama andhap. Contoh kalimat:
Bapak,
panjenengan mangke dipun aturi mundhutaken buku kangge Mas Kris.
b.
Kramantara:
hanya mengandung bentuk krama. Contoh kalimat:
Pak, sampeyan
mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas Kris.
c.
Wredha Krama:
bentuk-bentuk afiks ngoko –e dan –ake. Contoh kalimat:
Nak, sampeyan
mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas Kris.
‘Bapak/Nak, kamu nanti disuruh membelikan buku untuk
Mas Kris’.
Ø Madya
d.
Madya Krama:
kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan
krama inggil. Contoh kalimat:
Njenengan napa
mpun mundhutake rasukan Warti dhek wingi sonten?
e.
Madyantara:
kata-kata tugas madya afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan
krama inggil. Contoh kalimat:
Samang napa
pun numbasake rasukan Warti dhek wingi sore?
f.
Madya Ngoko:
kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk ngoko.
Contoh kalimat:
Samang napa
pun nukokke klambi Warti dhik wingi sore?
‘Kamu apa sudah membelikan baju Warti kemarin
sore?.’
Ø Ngoko
g.
Basa Antya:
terdapat kata-kata krama inggil, krama, ngoko, imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adik arep dipundhutake menda.
h.
Antya Basa:
terdapat kata-kata krama inggil disamping kosakata ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep dipundutake wedhus.
i.
Ngoko Lugu:
terdapat kata-kata dan imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep ditukokake wedhus. Adik akan dibelikan kambing.
(
Poedjosoedarmo, 1979: 11-12).
Tingkat tutur bahasa
Jepang dan tingkat tutur bahasa Jawa memiliki persamaan dan perbedaan. Tingkat
tutur bahasa Jepang mengenal konsep uchi ‘dalam’ dan soto ‘luar’,
artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang
dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan
atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat (sonkeigo) dalam rangka menghormati atasannya,
akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang
berbeda ragam yang digunakan adalah ragam merendah (kenjoogo), sekalipun yang dibicarakan adalah
atasannya sendiri. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep seperti itu.
Tingkat tutur dalam bahasa Jawa menunjukkan
adanya adab sopan santun berbahasa Jawa bagi masyarakat tuturnya. Adab sopan
santun berbahasa akan mencerminkan perilaku kebahasaan penuturnya yang
sebenarnya merupakan cerminan kemasyarakatannya (Moeliono, 1985:4). Adab sopan
santun berbahasa ini ditandai adanya wujud tuturan juga ditandai perbedaan
tingkah laku atau sikap penutur sewaktu berbahasa Jawa. Dengan demikian, adab
sopan santun berbahasa Jawa mencakup dua faktor, yaitu faktor lingual
(linguistik) dan faktor nonlingual (nonlinguistik). Kedua faktor tersebut dalam
tindak tutur atau speech act dapat
dipilahkan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Adapun persamaan kedua bahasa tersebut
adalah baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa sama-sama mempunyai ragam hormat
yang digunakan untuk menghormati mitra tutur atau orang yang dituturkan. Oleh
karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan
selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah Mendeskripsikan
perbedaan bentuk tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa serta mendeskripsikan penggunaan tingkatan bahasa dalam
bahasa Jepang dengan undak-usuk
bahasa Jawa.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode analisis
kontrastif, yaitu suatu analisis bahasa yang memiliki tujuan untuk menunjukkan
perbedaan dan persamaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari
prinsip yang dapat dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
2. Kerangka Teori
Teori merupakan seperangkat hipotesis
yang dipergunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik yang bersifat lahiriah
seperti bunyi bahasa, maupun yang bersifat batin seperti makna (Kridalaksana,
2000:23). Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami,
menjelaskan, dan menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus
sebagai pembimbing yang menuntun dan memberi arah dalam penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan
landasan teori struktural. Teori struktural merupakan pendekatan bahasa yang
mula-mula dikembangkan oleh Bloomfield. Teori ini membahas bahasa dari segi
strukturnya. Aliran strukturalisme sangat mementingkan keobjektifan dalam
bahasa. Karena bahasa merupakan sebuah sistem, maka dengan sejumlah data dapat
diketahui strukturnya.
Pengertian struktural berkaitan dengan
atau memiliki struktur, menggunakan teori atau pendekatan, ataupun dipandang
dari segi struktur. Strukturalisme dapat pula diartikan sebagai pendekatan
analisis bahasa secara eksplisit kepada berbagai unsur bahasa sebagai struktur
dan sistem (Kridalaksana, 2000:203).
Teori struktural dalam linguistik
berhubungan dengan bentuk-bentuk, fungsi-fungsi struktural, dan hubungan antar
komponen tutur yang dapat diamati pula dengan kata lain dalam analisis gramatik
haruslah bersifat formal berdasarkan perilaku yang dapat diamati dalam bahasa.
3. Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jepang dan Undak-usuk
Bahasa Jawa
Dalam bahasa Jepang semua kata dari
ragam futsuu akan mengalami perubahan
dalam ragam teinei, meskipun bukan
perubahan kata secara total yang membentuk kata baru, tetapi hanya menambahkan
kopula desu atau verba bantu masu di akhir kalimat. Kopula desu akan menempel pada kata benda dan
ajektiva, sedangkan verba bantu –masu
akan menempel pada kata kerja. Sedangkan dalam bahasa Jawa, perubahan ngoko ke krama lebih variatif. Ada yang tidak mengalami perubahan kata sama
sekali, tetapi ada pula kata dari ngoko
yang berjumlah total dalam ragam krama
sehingga terbentuk kata baru. Dalam bahasa Jepang hampir semua kata futsuu bisa diubah ke dalam bentuk teinei maupun sonkeigo, sedangkan bahasa Jawa ragam ngoko ada yang memilki padanan dalam krama saja tetapi dalam krama
inggil padanan katanya tidak ada. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh
tabel leksikon berikut ini:
NO.
|
LEKSIKON
FUTSUUGO
|
LEKSIKON
TEINEIGO
|
LEKSIKON
NGOKO
|
LEKSIKON
KRAMA
|
ARTI
|
1.
|
Kau
|
Kaimasu
|
Tuku
|
Tumbas
|
Membeli
|
2.
|
Miru
|
Mimasu
|
Nonton
|
Mirsani
|
Melihat
|
3.
|
Iru
|
Imasu
|
Ono
|
Wonten
|
Ada
|
4.
|
Kuru
|
Kimasu
|
Teka
|
Dugi
|
Datang
|
5.
|
Iu
|
Iimasu
|
Kandha
|
Matur
|
Berkata
|
No.
|
LEKSIKON
FUTSUUGO
|
LEKSIKON
SONKEIGO
|
LEKSIKON NGOKO
|
LEKSIKON KRAMA
INGGIL
|
ARTI
|
1.
|
Kaeru
|
Okaeri ni naru
|
Mulih
|
Kondur
|
Pulang
|
2.
|
Nomu
|
Onomi ni naru
|
Ngombe
|
Ngunjuk
|
Minum
|
3.
|
Taberu
|
Meshi agaru
|
Mangan
|
Dhahar
|
Makan
|
4.
|
Miru
|
Goran ni naru
|
Nonton
|
Mirsani
|
Melihat
|
5.
|
Matsu
|
Omachi kudasai
|
Ngenteni
|
Ngentosi
|
Menunggu
|
6.
|
Iu
|
Ossharu
|
Kandha
|
Ngendika
|
Berkata
|
7.
|
Iku
|
Ikareru
|
Lunga
|
Tindak
|
Pergi
|
Selain
verba dalam tingkatan sonkeigo, nomina
dalam tingkatan sonkeigo juga
memiliki kesamaan dalam leksikon krama
inggil, diantaranya seperti dalam tabel dibawah ini:
NO.
|
SONKEIGO
|
KRAMA INGGIL
|
ARTI
|
1.
|
Otaku
|
Dalem
|
Rumah
|
2.
|
Okarada
|
Slira
|
Badan
|
3.
|
Otoosan
|
Rama
|
Bapak
|
4.
|
Onomimono
|
Unjukan
|
Minuman
|
5.
|
Ohaka
|
Pasarehan
|
Makam
|
Kosakata tingkatan kenjoogo dalam bahasa Jepang, jauh lebih banyak daripada kosakata krama andhap dalam bahasa Jawa, dan
hampir semua kata kerja di ‘’Krama Andhap-kan’’ dengan menggunakan prefiks dan
verba bantu. Bahasa Jawa tidak memiliki krama
adhap untuk kata kerja seperti ‘’pergi/datang/ada/makan’’ dan sebagainya.
Timbul pertanyaan, mengapa jumlah kata krama
andhap begitu sedikit? Jawabannya, menurut tafsiran penulis, kata krama dalam bahasa Jawa itu sudah
mempunyai nuansa merendahkan diri yang sepadan dengan tingkatan kenjoogo dalam bahasa Jepang. Untuk
lebih jelasnya perhatikan contoh sekelompok kata/leksikon berikut ini:
No.
|
LEKSIKON
KENJOOGO
|
ARTI
|
LEKSIKON KRAMA ANDHAP
|
ARTI
|
1
|
onegai shimasu
|
minta
|
nyuwun
|
minta
|
2
|
sashi agemasu
|
memberi
|
nyaosi
|
memberi
|
3
|
mooshimasu, mooshiagemasu
|
berkata
|
matur
|
berkata
|
4
|
ukagaimasu
|
bertanya
|
nyuwun priksa
|
bertanya
|
5
|
ukagaimasu
|
berkunjung
|
sowan
|
berkunjung, menghadap
|
6
|
okari shimasu
|
pinjam
|
ampil
|
pinjam
|
Dari segi penggunaannya, bahasa Jepang
dan undak-usuk bahasa Jawa mempunyai
beberapa perbedaan, diantaranya:
1. Penggunaan
tingkatan futsuugo dalam bahasa Jepang hampir sama dengan penggunaan ngoko dalam bahasa Jawa. Bedanya, kalau
dalam bahasa Jepang apabila berkomunikasi dalam ruang lingkup keluarga umumnya menggunakan
ragam futsuu, sebab kalau masih
menggunakan bentuk teinei menurut
aturannya dianggap masih ada jarak, tidak ada hubungan kedekatan dalam keluarga.
Sedangkan dalam bahasa Jawa, dalam berkomunikasi dengan keluarga terutama
kepada orang tua umumnya ragam ngoko
tidak dipakai. Dalam hal ini ragam krama
yang seharusnya dipakai, sebab orang tua adalah orang yang paling banyak
berjasa maka sudah sepantasnya orang tua untuk dihormati. Namun, akhir-akhir
ini banyak ditemukan dalam masyarakat Jawa seorang anak masih menggunakan ragam
ngoko dalam berkomunikasi dengan
orang tuanya. Hal itu bisa dikarenakan didikan dari orang tuanya sendiri apakah
para orang tua tersebut masih menanamkan aturan unggah-ungguh bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari atau tidak.
2. Tingkatan
sonkeigo dan krama inggil sama-sama berfungsi sebagai bahasa menghormat,
sedangkan tingkatan kenjoogo dan krama andhap juga sama-sama mempunyai
fungsi sebagai bahasa merendah. Bedanya, dalam bahasa Jepang mengenal aturan uchi dan soto, sedangkan dalam bahasa Jawa tidak mengenal aturan hal
tersebut. Dalam bahasa Jepang, jika seseorang dalam perusahaan A membicarakan
orang lain yang berada dalam perusahaan B tidak memandang yang dibicarakan itu
mempunyai kedudukan sederajat, lebih rendah ataupun lebih tinggi, maka bahasa
yang dipakai adalah tingkatan sonkeigo.
Kemudian, apabila seseorang dalam perusahaan A membicarakan orang dalam
perusahaan A sendiri yang mempunyai kedudukan lebih tinggi (sebagai atasan)
maka bahasa yang dipakai adalah tingkatan kenjoogo. Sebaliknya dalam bahasa Jawa, baik hendak
membicarakan seseorang dalam perusahaan sendiri maupun orang lain di luar
perusahaan lain jika kedudukannya lebih rendah ataupun lebih tinggi dengan
orang yang dibicarakan maka menggunakan bentuk ragam krama inggil.
3. Tingkatan
bahasa dalam bahasa Jepang terdiri atas empat tingkatan sedangkan undak-usuk bahasa Jawa terdiri atas
tujuh/sembilan tingkatan. Tingkatan bahasa dalam Jepang terdiri atas; (1) Sonkeigo, (2) Kenjoogo, (3) Teineigo (4) Futsuugo. Sedangkan undak-usuk bahasa
Jawa terdiri atas: (1) Ngoko lugu, (2) Antya basa, (3) Basa antya, (4) Wredha krama, (5) Mudha
krama, (6) Kramantara, (7) Madya
ngoko, (8) Madya krama, (9)
Madyantara.
4. Verba dalam bahasa Jepang mengalami konjugasi,
begitu pula verba dalam bentuk tingkatan bahasanya. Sedangkan dalam bahasa
Jawa, verbanya tidak mengalami perubahan, hanya saja kalau verbanya ngoko menjadi krama mengalami perubahan.
4. Simpulan
Tingkatan bahasa
dalam bahasa Jepang dan undak-usuk
bahasa Jawa muncul karena adanya stratifikasi sosial di
masyarakat kedua penutur bahasa tersebut yang berlangsung sejak ratusan tahun
yang lalu. Di Jepang, terdapat kelas keluarga
kaisar, bangsawan, samurai, petani, pedagang, tukang dan rakyat jelata. Begitu
juga di tanah Jawa, ada kelas keluarga raja, bangsawan, saudagar, priyayi,
petani, nelayan, dan wong cilik.
Adanya kelas-kelas sosial pada masyarakat Jepang dan Jawa tersebut melahirkan
berbagai variasi tingkatan bahasa yang saling berbeda di masing-masing kelas
tersebut.
Setelah penulis
memaparkan mengenai perbandingan antara penggunaan tingkatan bahasa dalam
bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa
Jawa, penulis dapat menarik kesimpulan mengenai perbedaan antara tingkatan
bahasa dalam bahasa Jepang dan undak-usuk
bahasa Jawa antara lain sebagai berikut:
1. Bahasa Jepang mengenal adanya tingkatan bahasa dalam
bahasa Jepang sedang dalam bahasa Jawa mengenal adanya undak-usuk/tingkat tutur (speech
levels).
2. Tingkat
tutur bahasa Jepang mengenal konsep uchi
dalam dan soto luar, artinya orang
Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan
sedang tiingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep uchi dalam dan soto luar seperti
bahasa Jepang, tapi dalam bahasa Jawa apabila membicarakan orang dalam maupun
orang luar dalam perusahaan sendiri maupun perusahaan orang lain kedudukannya
apabila bawahan dengan atasan atau belum akrab menggunakan bahasa menghormat.
3. Dalam
ragam futsuu bahasa Jepang digunakan
dalam situasi sudah akrab, seperti: teman, rekan kerja, dan keluarga sendiri,
sedangkan bentuk ngoko bahasa
Jawa yang sejajar dengan futsuu
dalam bahasa Jepang digunakan juga dalam situasi sudah akrab, seperti:
teman, bedanya dalam lingkup keluarga sendiri maupun keluarga orang lain harus
memakai bentuk krama.
4. Dalam
bahasa Jepang hampir semua kata futsuu
bisa diubah ke dalam teinei maupun sonkeigo, tetapi dalam bahasa Jawa kata ngoko ada yang hanya memiliki padanan
dalam krama saja tetapi dalam krama inggil padanannya tidak ada, ada
yang memiliki padanan dalam krama dan
juga krama inggil.
5. Tingkatan
bahasa dalam bahasa Jepang terdiri atas empat tingkatan sedangkan undak-usuk bahasa Jawa terdiri atas
tujuh/sembilan tingkatan. Tingkatan bahasa dalam Jepang terdiri atas; (1) Sonkeigo, (2) Kenjoogo, (3) Teineigo (4) Futsuugo. Sedangkan undak-usuk bahasa
Jawa terdiri atas: (1) Ngoko lugu, (2) Antya basa, (3) Basa antya, (4) Wredha krama, (5) Mudha
krama, (6) Kramantara, (7) Madya
ngoko, (8) Madya krama, (9) Madyantara.
6. Verba, adjektiva dan nomina dalam pembentukan
tingkatan bahasa Jepang mengalami infleksi atau konjugasi, misalnya verba iu (futsuugo) berubah menjadi iimasu (teineigo) kemudian menjadi osshaimasu (sonkeigo) dan nomina uchi (futsuugo)‘rumah’ menjadi otaku (teineigo) sedangkan dalam bahasa
Jawa tidak mengalami infleksi.
Daftar Pustaka
Anton M.
Moeliono. 1985. Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa. :Ancangan Alternatif di dalam Perencanaan Bahasa.
Jakarta: Djambatan
Candra,
T. 1973. Pelajaran Bahasa Jepang I.
Jakarta: Evergreen.
---------------1974.
Pelajaran Bahasa Jepang II. Jakarta:
Evergreen.
Djajasudarma,
F. 1993. Metode Linguistik. Ancangan Metode
Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.
Gorys,
Keraf. 1980. Tata Bahasa Indonesia.
Flores: Nusa Indah.
Harjawiyana,
dkk. 2009. Kamus Unggah-Ungguh Basa Jawa.
Yogyakarta: Kanisius.
Hartati.
2008. Undak-Usuk Bahasa Jepang dan Bahasa
Jawa: Sebuah Perbandingan. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
James,
Carl. 1996. Contrastive Analisis.
Harlow Ersex: Longman Group Ltd.
Kawase,
Ikuo. 1996. Nihongo Chukyuu I.
Tookyoo: The Japan Foundation.
Kridalaksana,
Harimurti. 1986. Kamus Linguistik.
Jakarta: Gramedia
Kusmaryani.
2010. Buku Saku Lengkap Percakapan
Sehari-hari dalam Bahasa Jepang. Jakarta: Transmedia
Ogawa,
Iwao. 1998. Minna no Nihongo II.
Tookyoo: 3A Corporation.
Purwadi.
2005. Belajar Bahasa Krama Inggil. Yogyakarta: Hanan Pustaka.
------------------.
2005. Tata Basa Jawa. Yogyakarta:
Media Abadi
Poejosoedarmo,
Soepomo dkk. 1979. Tingkat Tutur Bahasa
Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa-Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Priyantono,
dkk. 2008. Marsudi Basa lan Sastra Jawa
Anyar 1. Jakarta: Erlangga
----------------
2008. Marsudi Basa lan Sastra Jawa Anyar
3. Jakarta: Erlangga
Sudaryanto.
1981. Metode dan Teknik Pengumpulan Data.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sudjianto.
2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang.
Jakarta:Kesaint Blanc.
--------------
2004. Gramatika Bahasa Jepang Modern.
Jakarta: Kesaint Blanc.
Soenardji, dkk. 1993. Kaidah Penggunaan Ragam Krama
Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa-Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Subroto,
dkk. 2008. Pinter Basa Jawa 1.
Jakarta: Bumi Aksara
Sudaryanto,
dkk. 1991. Proseding Kongres Bahasa Jawa III. Surakarta: Harapan Massa
Sudaryanto,
dkk. 1993. Proseding Kongres Bahasa Jawa
IV. Surakarta: Harapan Massa
Susylowati,
Eka. 2009. Kajian Undak-Usuk Bahasa Jawa
Abdhi Dalem Kraton Surakarta Hadiningrat. Semarang: Tesis. Universitas
Diponegoro.
Sutedi,
Dedi. 2004. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa
Jepang. Bandung: Humaniora Utama Press (HUP)
Yatmana,
dkk. 2001. Pelajaran Bahasa Jawa 3. Jakarta:
Yudhistira
Yoshisuke,
Yumiko. 1988. Gaikoku No Tame No Nihongo
Reibun Mondai Shiriizu Keigo. Tookyoo: ISBN4