Senin, 30 April 2012

インドネシアの教師と日本の教師はどう違いますか。

1.日本では、教師になるための条件は何ですか。

2.公務員の教師が多いですか。

3.今、日本の人々は教師を尊敬していますか。

4.優秀な教師のための賞がありますか。

5.日本では教員養成セミナーがありますか。

6.教師はお酒を飲んでもいいですか。

7.教師はプライベートレッスンを行うことができますか。

8.教員の不足がありますか。どんな 分野ですか。

9.日本の教師は、しばしば残業していますか。

10.インドネシアの教師と日本の教師はいろいろなことで、どう違いますか。

11.教師交換プログラムがありますか。

12.日本のすべての教師は年金基金を受け取れますか。

13.日本政府は教師の福祉を確保していますか。

14.教員の定年は何歳までですか。

15.日本の教師はパートタイムとして、働くことができますか。

16.日本では若い教師が多いですか。家庭を持っている教師が多いですか。

17.日本に「教師の評価制度」がありますか。

18.教員免許がありますか。どうすれば免許を取ることができますか。

19.日本では、日本語教師会がありますか。

20.インドネシアの教師は車を持っている人が少ないですが、日本の教師はどうですか。

 

*終わり *

Senin, 23 April 2012

Analisis Gaya Bahasa Lirik Lagu Letto dalam album Truth, Cry and Lie


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sastra adalah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan (Najid, 2003:7). Sastra adalah institusi sosial yang menggunakan medium bahasa (Wellek & Warren dalam Najid, 2003:9). Karya sastra sebagai hasil kreasi pengarang (Aminuddin, 1995:49).
Genre sastra atau jenis sastra dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu sastra imajinatif dan nonimajinatif. Dalam praktiknya sastra nonimajinatif terdiri atas karya-karya yang berbentuk esei, kritik, biografi, otobiografi, dan sejarah. Yang termasuk sastra imajinatif ialah karya prosa fiksi (cerpen, novelet, novel atau roman), puisi (puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik), dan drama (drama komedi, drama tragedi, melodrama, dan drama tragikomedi), (Najid, 2003:12).
Lirik lagu termasuk dalam genre sastra karena lirik adalah karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi, susunan kata sebuah nyanyian (KBBI, 2003:678). Jadi lirik sama dengan puisi tetapi disajikan dengan nyanyian yang termasuk dalam genre sastra imajinatif.
 Berbicara tentang lirik lagu pasti akan berbicara juga mengenai musik. Musik merupakan salah satu hiburan yang sangat digemari oleh masyarakat yang sudah mendarah daging di kehidupan masyarakat. Bahkan ada yang berpendapat hidup tanpa adanya musik di kehidupan masyarakat dikatakan serasa makan tanpa garam. Musik telah mengibarkan bendera-benderanya di panggung-panggung kesenian, konser-konser, televisi, toko-toko, pusat-pusat perbelanjaan, di rumah bahkan di kantor-kantor pada saat jam istirahat. Musik senantiasa menemani di setiap kegiatan manusia. Begitu pula dengan perkembangan teknologi rekaman dan alat-alat canggih yang menyebabkan semua orang dapat menikmati alunan musik dengan mudahnya.
Musik dapat didefinisikan sebagai sebuah ekspresi perasaan atau pikiran yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 413). Bunyi-bunyi tersebut diorganisasikan sedemekian rupa sehingga tidak sekedar bunyi asal-asalan saja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musik dapat didefinisikan sebagai (1) Ilmu atau seni menyusun nada atau suara, diurutkan, dikombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan keseimbangan, (2) Nada dan suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan terutama yang menggunakan alat. Dari kedua definisi tersebut dapat dilihat bagaimana suatu perasaan atau pengalaman jiwa disampaikan dengan kiasan atau bunyi-bunyian yang indah.  
B.     Analisis Puisi Lirik Lagu 
Lirik adalah karya sastra (puisi) yang berisi curahan perasaan pribadi, susunan kata sebuah nyanyian (KBBI, 2003:678). Lagu adalah berbagai irama yang meliputi suara instrumen dan bernyanyi dan sebagainya, nyanyian, tingkah laku, cara, lagak (KBBI, 2003:401). Lagu adalah ragam suara yang berirama, nyanyian, ragam, nyanyi, dan tingkah laku (KBBI, 2003:624). Lagu adalah suatu kesatuan musik yang terdiri atas susunan pelbagai nada yang berurutan (Ensiklopedia Indonesia dalam Fillaili, 2007:10).
Berbicara mengenai puisi tidak akan terlepas dari bahasa kias, pengimajinasian, dan perlambangan atau gaya bahasa.  Penggunaan gaya bahasa dalam puisi terutama puisi dalam lirik lagu banyak diminati oleh penyair dalam hal penciptaan lirik lagu. Karena dapat menimbulkan kesan indah, sekaligus banyak makna, seperti yang terdapat dalam karya-karya Noe, band Letto dalam album Truth, Cry and Lie, disana banyak dijumpai penggunaan gaya bahasa dan berbeda dalam pengungkapannya dengan penyair yang lain. Dari sini, tentunya banyak masalah yang dapat diteliti oleh para ahli bahasa.
Kiat penyair dalam mengungkapkan perasaannya/menggambarkan pemikirannya dalam kata-kata pada bait-bait puisi maupun lirik lagu, salah satunya dengan bahasa kias atau gaya bahasa. Bahasa kiasan berarti bahasa yang menggunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja disimpangkan, dengan maksud agar memperoleh kesegaran dan kekuasaan berekspresi. (Muliono, 1998: 63).
Dalam menulis lagu, pada umumnya para pengarang menggunakan bahasa yang khas atau indah, sehingga lagu yang diciptakan mempunyai nilai lebih yang bisa dilihat dari bahasanya. Dalam hal ini pengarang menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan diterima, sehingga karangan isinya dalam sebuah lagu mudah untuk diketahui maksudnya.
Untuk menuliskan puisi lirik lagu penyair memilih kata-kata yang tepat dan bermakna kias, sangat dalam, dan bergaya bahasa. Gaya bahasa merupakan bentuk retorika, yaitu penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan dan mempengaruhi penyimak atau pembaca. (Tarigan, 1985:5).
Gaya bahasa adalah pengungkapan ide, gagasan, pikiran-pikiran seorang penulis yang meliputi hierarki kebahasaan yaitu kata, frasa, klausa, bahkan wacana untuk menghadapi situasi tertentu (Rahayu, 2005:11).
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, struktur kalimat, majas citraan, pola rima, matra yang digunakan sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra. Jadi majas merupakan bagian dari gaya bahasa (Sudjiman dalam Fillaili, 2007:14). Majas merupakan peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiah (Sudjiman dalam Fillaili, 2007:13). Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati pengarang (Slamet Mujana dalam Pradopo dalam Sowikromo, 2007:7).
Dalam menganalisis gaya bahasa yang terdapat dalam puisi lirik lagu karya Noe (yang menjadi vokalis band Letto dan sekaligus pengarang lirik lagu) dalam album Truth, Cry and Lie tersebut penulis menggunakan gaya bahasa metafora, metonimia, simile, paradoks dan antitesis. Gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang berisi ungkapan yang membandingkan dua hal secara langsung, biasanya dalam bentuk yang singkat. Metonimia, yaitu gaya bahasa yang dipakai untuk mengungkapkan sebuah kata untuk menyatakan sesuatu yang lain karena terdapat pertalian yang erat. Hubungan tersebut dapat berupa nama penemu, hasil temuannya, akibat untuk sebab dan sebaliknya, isi untuk menyatakan kulit, dan sebagainya. Persamaan atau Simile yaitu gaya bahasa yang membandingkan sesuatu dengan yang lain. Perbandingan tersebut diyatakan secara eksplisit dengan memakai kata-kata seperti, sama, sebagai, laksana dan sebagainya. Paradoks, yaitu gaya bahasa yang berupa ungkapan yang mengandung pernyataan yang bersifat kontradiksi. Antitesis, yaitu gaya bahasa yang mengandung rentangan makna yang berlawanan baik yang berupa kata, kelompok kata, maupun kalimat.  (Fananie, 2000: 30-39)
1.      Bait Tipografi
Sebuah karya puisi, baru bisa disebut bernilai apabila unsur-unsur pembentuknya tercermin dalam strukturnya, baik bentuk luar atau ekstrinsik, atau fisik maupun bentuk dalam atau intrinsik, atau batin. Bentuk struktur disini adalah bentuk susunan unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling menentukan, saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantungan. Bangunan struktur puisi pada dasarnya mempunyai dua unsur pembentuknya, yakni (1) struktur luar (surface struktur) atau struktur permukaan atau ekstrinsik, atau fisik, atau Richards (1976: 129-225) metode, atau bentuk atau bahasa (tradisional), yang terdiri atas, yakni diksi atau pilihan kata (bahasa kiasan, citraan, sarana retorika), unsur bunyi, kata, kalimat, bait, tipografi, rima, stanza dan orkestrasi; dan (2) struktur dalam (deep structure) atau intrinsik, atau batin, atau (Richards, 1976: 129-225) hakikat, atau isi, atau makna, yang terdiri atas tema, amanat/tujuan, nada, dan suasana, dan jaringan makna. Struktur luar (surface structure) atau ekstrinsik, atau fisik berkaitan dengan bentuk, sedangkan struktur dalam (deep structure) atau intrinsik, atau batin berkaitan dengan isi atau makna.
2.      Rima
Rima adalah pengulangan bunyi yang berselang, baik dalam larik sajak maupun pada akhir larik sajak. Rima merupakan salah satu unsur penting dalam puisi. Melalui rima inilah, keindahan suatu puisi tercipta. Rima tidak selalu berada di akhir baris dalam satu bait. Rima juga dapat ditemukan dalam satu baris. Jenis/macam rima yaitu:
Ø  Rima akhir, yaitu persamaan bunyi pada akhir baris.
Macam rima akhir adalah
v  Rima silang [a-b-a-b],
Contoh:
Angin pulang menyejuk bumi
Menepuk teluk menghempas emas
ari ke gunung memuncak sunyi
erayun-ayun di atas alas
(Amir Hamzah)
v  Rima terus [a-a-a-a],
Contoh:
Di lereng gunung lembah menghijau
Air terjun menghimbau-himbau
Meraih beta pelipur risau
Turut hasrat hendak menjangkau
(Dali S. Sinaga)
v  Rima pasang [a-a-b-b],
Contoh:
Indonesia tanah airku
tanah tumpah darahku
di sanalah aku digusur
dari tanah leluhur ……
(Husni Djamaludin)
v  Rima patah [a-a-a-b/a-b-a-a/a-a-b-a],
Contoh:
Selalu kau teringat padaku?
Seperti aku tak pernah lupa padamu?
Tak sepatah keluar dari mulutmu
Tapi setitik air mata tercurah
(Sitor Situmorang)
v  Rima peluk [a-b-b-a]
Contoh:
Di lengkung cahaya berhias bintang
Cahaya bulan di ombak menitik
Embun berdikit turun merintik
Engkau menantikan ikan datang …….
(J.E. Tatengkeng)
Ø  Rima datar yaitu persamaan bunyi pada tiap-tiap larik sajak.
Macam rima datar adalah
v  Rima asonansi [pengulangan bunyi vokal]
Contoh:
burung perkutut di ladang berumput
neba berkawan menelani kerikil
kami segan memasang pulut
memikat burung begitu mungil
(Piek  Ardijanto Soeprijadi)
v  Rima aliterasi [pengulangan bunyi konsonan]
Contoh:
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu ……
(Amir Hamzah)

1.      Diksi
Menurut wikipedia: diksi, dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara. Arti kedua, arti “diksi” yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata - seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya. Menurut KBBI, diksi berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).
Secara umum diksi adalah pilihan kata, yang merupakan satu kesatuan dari keutuhan puisi. Jadi bukan berarti memakai kata-kata yang artinya baru diketahui setelah memeriksa KBBI, lantas puisi tersebut baru dianggap keren dan mengandung nilai sastra. Penyair-penyair besar Indonesia banyak menggunakan diksi yang sederhana dan gampang dimengerti, tapi puisi yang dihasilkannya pun sungguh indah.
2.      Ketidaklangsungan Ekspresi
Ketidaklangsungan ekspresi dalam lirik lagu karya Noe (vokalis band Letto) dapat dikategorikan atas pengganti arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of meaning).
Lirik lagu karya Noe mempunyai aspek bunyi yang terdapat pada sarana persajakannya. Keberadaan sarana persajakan pada lirik-lirik lagu tersebut tentunya dimunculkan untuk memperkuat efek ekspresi dan emotif. Efek-efek tersebut berupa gambaran imajinasi yang terdapat dalam keindahan bunyi. Misalnya dalam lirik lagu Letto yang berjudul Sandaran Hati berikut:
Inikah yang kau mau
Benarkah ini jalanmu
Hanyalah engkau yang ku tuju
Pegang erat tanganku
Bimbing langkah kakiku


Penggalan lirik lagu diatas memiliki struktur ritmik asonansi berupa pengulangan huruf vokal ‘u’. Pengulangan huruf vokal ‘u’ pada kata ...jalanmu...yang ku tuju, menimbulkan efek tentang sebuah harapan. Secara keseluruhan efek nuansa yang ditimbulkan berupa perasaan kerinduan yang mendalam dan harapan untuk bisa segera bertemu.
Selain unsur bunyi yang secara teratur terletak di dalam baris lirik baik terletak diawal, ditengah, maupun akhir, lirik-lirik lagu karya Noe banyak terdapat kombinasi huruf-huruf berpasangan baik yang berupa huruf vokal (asonansi), maupun huruf konsonan (aliterasi) sehingga menimbulkan efek tertentu baik berupa efek indah (euphoni) maupun efek sedih (kakofoni).
Simbol dalam lirik lagu karya Noe dalam kategori pergantian arti merupakan perbandingan yang membandingkan dua hakikat yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Berikut ini adalah lirik-lirik lagu band Letto dalam album Truth, Cry and Lie:
Ø  Sampai Nanti, Sampai Mati
Kalau kau pernah takut mati, sama
Kalau kau pernah patah hati, aku juga iya
Dan seringkali sial datang dan pergi
Tanpa permisi kepadamu suasana hati
Tak peduli

Kalau kau kejar mimpimu, selalu
Kalau kau ingin berhenti, ingat tuk mulai lagi
Tetap semangat dan teguhkan hati
Di setiap hari sampai nanti, sampai mati
 kadang memang cinta yang terbagi, kadang memang 
 seringkali mimpi tak terpenuhi, seringkali
 tetap semangat dan teguhkan hati
di setiap hari sampai nanti
tetap melangkah dan keraskan hati
di setiap hari sampai, sampai mati
sampai mati
 
Gaya bahasa metafora dalam lirik lagu diatas adalah: Kalau kau kejar mimpimu, selalu Kalau kau ingin berhenti, ingat tuk mulai lagi Karena mengandung unsur tujuan yang sama mewakili dari segi maknanya.Gaya bahasa metonimia dalam lirik lagu diatas adalah: Di setiap hari sampai nanti, sampai mati  kadang memang cinta yang terbagi, kadang memang seringkali mimpi tak terpenuhi, karena mengungkapkan sesuatu yang mempunyai hubungan yang erat. Gaya bahasa simile dalam lirik lagu diatas adalah:Kalau kau pernah takut mati, sama,Kalau kau pernah patah hati, aku juga iya Karena mengandung unsur perbandingan yang bermakna eksplisit. Gaya bahasa paradoks dalam lirik lagu diatas adalah: Kalau kau ingin berhenti, ingat tuk mulai lagi, mengandung ungkapan yang bersifat kontradiksi. Gaya bahasa antitesis dalam lirik lagu diatas adalah: Dan seringkali sial datang dan pergi, karena datang dan pergi mengandung rentangan makna yang berlawanan.

Ø  Ruang Rindu
Di daun yang ikut mengalir lembut
Terbawa sungai ke ujung mata
Dan aku mulai takut terbawa cinta
Menghirup rindu yang sesakkan dada
Jalanku hampa dan kusentuh dia
Terasa hangat oh didalam hati
Kupegang erat dan kuhalangi waktu
Tak urung jua kulihatnya pergi
Tak pernah kuragu dan slalu kuingat
Kerlingan matamu dan sentuhan hangat
Ku saat itu mencari makna
Tumbuhkan rasa yg sesakkan dada
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
*
Kau datang dan pergi oh begitu saja
Semua kutrima apa adanya
Mata terpejam dan hati menggumam
Di ruang rindu kita bertemu
*
Bertemu
Gaya bahasa metafora dalam lirik lagu diatas adalah: Menghirup rindu yang sesakkan dada Jalanku hampa dan kusentuh dia. Karena mengandung unsur tujuan yang sama mewakili dari segi maknanya yaitu kerinduan. Gaya bahasa metonimia dalam lirik lagu diatas adalah: Jalanku hampa dan kusentuh dia Terasa hangat oh didalam hati Karena mengungkapkan sesuatu yang mempunyai hubungan yang erat. Gaya bahasa simile dalam lirik lagu diatas adalah:Tidak ada. Gaya bahasa paradoks dalam lirik lagu diatas adalah: Mata terpejam dan hati menggumam, mengandung ungkapan yang bersifat kontradiksi. Gaya bahasa antitesis dalam lirik lagu diatas adalah: Kau datang dan pergi oh begitu saja Semua kutrima apa adanya Karena mengandung rentangan makna yang berlawanan.


Ø  Sandaran Hati

Yakinkah ku berdiri
Di hempa tanpa tepi
Bolehkah aku
Mendengarmu

Terkubur dalam emosi
Tanpa bisa bersembunyi
Aku dan nafasku
Merindukanmu
Terpuruk ku di sini
Terangi dia yang sepi
Dan ku tahu pasti
Kau menemani
Dalam hidupku
Kesendirianku
Teringat ku teringat
Pada janjimu ku terikat
Hanya sekejap ku berdiri
Kulakukan sepenuh hati
Peduli ku peduli
Siang dan malam yang berganti
Pedihku ini tak ada arti
Jika kaulah sandaran hati
Kaulah sandaran hati
Sandaran hati
Inikah yang kau mau
Benarkah ini jalanmu
Hanyalah engkau yang ku tuju
Pegang erat tanganku
Bimbing langkah kakiku
Aku hilang arah
Tanpa hadirmu
Dalam gelapnya
Malam hariku
Gaya bahasa metafora dalam lirik lagu diatas adalah: Yakinkah ku berdiri
Di hempa tanpa tepi, Pedihku ini tak ada arti Jika kaulah sandaran hati
. Karena kata mengandung ungkapan membandingkan dua hal langsung secara singkat. Gaya bahasa metonimia dalam lirik lagu diatas adalah: Pegang erat tanganku
Bimbing langkah kakiku Aku hilang arah Tanpa hadirmu Dalam gelapnya Malam hariku
Karena mengungkapkan sesuatu lain yang mempunyai hubungan yang erat. Gaya bahasa simile dalam lirik lagu diatas adalah: Terkubur dalam emosi Tanpa bisa bersembunyi Karena mengandung unsur perbandingan yang bermakna eksplisit. Gaya bahasa paradoks dalam lirik lagu diatas adalah: Terpuruk ku di sini Terangi dia yang sepi Mengandung ungkapan yang bersifat kontradiksi.  Gaya bahasa antitesis dalam lirik lagu diatas adalah: Siang dan malam yang berganti. Karena mengandung rentangan makna yang berlawanan.
Ø  Tak Bisa Biasa

Lirik lagu:
Terasa, kuterasa ketika
Tampakkan muka
Tak bisa, tak bisa kumembaca
Ada apa sebenarnya
Karena senyuman itu tak biasa
Kalau kau mau tolong beritahu aku
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
… kau bisa, kau bisa tak percaya
Padaku di sini
Tak akan, tak akan kubiarkan
Kau menangis sendiri
Kuyakin kamu juga tahu itu
Kalau kau bisa biar hatimu yang bicara
Dimana harus kucari kan kucari
Kusudah tak mampu dan tak mampu lagi
Melihatmu terkulai tidak berdaya
Berjalan gontai dan tundukkan kepala
Harus kemana kucari senyumanmu
Dan sinar yang ada di mata
Inilah, inilah saatnya waktu yang bicara
Dan bila kau tak sabar menunggu
Hanya satu usulku jangan kau larut dalam sendu
Ku kan temanimu walau hanya duduk termangu
Gaya bahasa metafora dalam lirik lagu diatas adalah: Tidak ada.Gaya bahasa metonimia dalam lirik lagu diatas adalah: Melihatmu terkulai tidak berdaya,
Berjalan gontai dan tundukkan kepala.
Karena mengungkapkan sesuatu lain yang mempunyai hubungan yang erat. Gaya bahasa simile dalam lirik lagu diatas adalah:Hanya satu usulku jangan kau larut dalam sendu,Ku kan temanimu walau hanya duduk termangu. Karena mengandung unsur perbandingan yang bermakna eksplisit. Gaya bahasa paradoks dalam lirik lagu diatas adalah: kau bisa, kau bisa tak percaya. Mengandung ungkapan yang bersifat kontradiksi. Gaya bahasa antitesis dalam lirik lagu diatas adalah: Tidak ada
Ø  Truth, Cry, and Lie
A red rose cheeks
A drop of tear to weep
Reminds me of you.
A long side a sigh
A long side of cry
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
A soft summer rain, a smile that hides a pain
Why should you be ashamed
Cause in every life.
A little rain must fall
And you are my friend
Charmingly sentimental brain
There’s truth behind a cry
And there’s a cry behind a lie
On every words that come out strong
Just let them go and lets get along
On every grudge and every fight
I miss u all day and night
Have you had your time off today
To bring a cup of tea and smile away
Sometimes I wonder
Will ever see you
Without all your game plan
When all you have is
Nothing but a pure bliss
I will wait that day
When you can find your way
Out of this maze of love
And you can laugh
To see cries and lies
Coz u know better than me
Only the truth will set you free
There’s a truth behind a cry
And there’s a cry behind a lie
On every thought that come out wrong
Just learn from it and please stay strong
On every grudge and every fight
I miss u all day and night
It’s not easy to understand
But you must hold on you stand
I know u know, u know i know
There’s a truth behind a cry
And there’s a cry behind a lie
On every thought that come out wrong
Just learn from it and please stay strong
There’s a truth behind a cry
And there’s a cry behind a lie
There’s a hope on every fright
There’s a light on every night

Gaya bahasa metafora dalam lirik lagu diatas adalah: A red rose cheeks
A drop of tear to weep
‘Seekor kuda merah tersenyum’ ‘Sebuah linangan airmata untuk diusap’. Karena kata mengandung ungkapan membandingkan dua hal langsung secara singkat. Gaya bahasa metonimia dalam lirik lagu diatas adalah: There’s a hope on every fright,There’s a light on every night ‘Ada secerca harapan disetiap ketakutan’ ‘Ada sebuah cahaya disetiap malam ’Karena mengungkapkan sesuatu lain yang mempunyai hubungan yang erat. Gaya bahasa simile dalam lirik lagu diatas adalah:Gaya bahasa paradoks dalam lirik lagu diatas adalah:There’s a truth behind a cry And there’s a cry behind a lie ‘Ada sebuah kebenaran dibelakang tangisan’ ‘Ada sebuah tangisan dibelakang kebohongan ’Mengandung ungkapan yang bersifat kontradiksi. Gaya bahasa antitesis dalam lirik lagu diatas adalah: A long side a sigh A long side of cry ‘Sepanjang mata memandang’, ‘Sepanjang mata menangis’ Karena mengandung rentangan makna yang berlawanan.
Ø  No One Talk About Love Tonite
Its not a very nice thing to say
That i’m ”not good enough” for you anyway
For real i care, i care for u
Though u don’t have to know it today
There’s a time when love’s around
With many things i saw, i dun think it’s a good time
Let me tonite keep my mouth shut
I want to follow my moody side
*
Take me on it on the dance floor tonite
It won’t to be a prime time (allright)
But i’m gonna make a hell of booty ride
… take a look around at your side
No one talk about love tonite
… its just so irritating
To say every little thing
When its just so obvious
About my brittle feeling
I do… i do… like u
But maybe u just have to
Postpone your love
.. tonite
.. i know u always like a cup of coffee latte
Go take a sip and forget about this date today
I think right now i need my medicine
I know what to do to earn my heartburn
There’s a time when love’s around
With many things i saw, i dun think it’s good time
Let me tonite keep my mouth shut
I want to follow my moody side 
Gaya bahasa metafora dalam lirik lagu diatas adalah: But i’m gonna make a hell of booty ride… take a look around at your side ‘Tapi ku telah pergi membuat sebuah neraka sebagai perjalanan yang lain’...‘lihatlah disekeliingmu’. Karena kata mengandung ungkapan mewakili makna perumpamaan. Gaya bahasa metonimia dalam lirik lagu diatas adalah: Let me tonite keep my mouth shut, I want to follow my moody side ‘Ijinkan ak u membungkam mulutku malam ini’ ‘Ku ingin ikut termenung disisi’ Karena mengungkapkan sesuatu  yang mempunyai hubungan yang erat. Gaya bahasa simile dalam lirik lagu diatas adalah: Gaya bahasa paradoks dalam lirik lagu diatas adalah: For real i care, i care for u, Though u don’t have to know it today. Mengandung ungkapan yang bersifat kontradiksi. Gaya bahasa antitesis dalam lirik lagu diatas adalah: There’s a time when love’s around With many things i saw, i dun think it’s a good time. ‘Adakalanya waktu cinta berada disisi’ ‘Dengan banyak hal yang ku lihat’, ‘Ku tak berpikir itu waktu yang baik’. Karena mengandung rentangan makna yang berlawanan.

Ø  I’ll Find A Way
And the time want by swift
When you have love in your hand
And the sun that i call his
Hold me tight and show me how to see

… this passion i show
Yes i’m sure that you know
You cast your spell
On me darling
… you’re a shiver on my lips
You’re a tremble on my feet
You’re a rain on the share
The only thing i want to keep
When everything’s fallin down
So let the time goes day by day
With you in my mind
And in the end we will find love
That is our kind’a will find a way
To breathe this dream everyday
.. oh dear please come and dance with me
Under the moonshine
Baby it’s al right, it’s all right
It will be just fine
And i don’t have to say
That i adore you in everyday
Gaya bahasa metafora dalam lirik lagu diatas adalah: That is our kind’a will find a way To breathe this dream everyday ‘Kebaikan yang kita miliki adalah sebuah kemauan yang dicari’ ‘Untuk menghembuskan nafas dalam setiap impian ini’ Karena kata mengandung ungkapan membandingkan dua hal langsung secara singkat. Gaya bahasa metonimia dalam lirik lagu diatas adalah: Gaya bahasa simile dalam lirik lagu diatas adalah:You’re a tremble on my feet You’re a rain on the share ‘Engkau yang menjadikan kakiku bergetar’ ‘Engkau seperti air hujan yang biasa dibagi’ Karena menyatakan suatu perbandingan yang eksplisit. Gaya bahasa paradoks dalam lirik lagu diatas adalah: Gaya bahasa antitesis dalam lirik lagu diatas adalah:
A.    Penutup
Dari hasil analisis lirik lagu-lagu Letto dalam album Truth, Cry and Lie dapat disimpulkan bahwa lirik lagu letto tidak hanya didominasi oleh gaya bahasa metafora dan metonimia, simile, paradoks dan antitesis saja tetapi juga asonansi, aliterasi, repetisi, pleonasme, dan personifikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Aminudddin. 1995. Stilistika Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang : IKIP Semarang Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Fananie, Z. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Luxemburg, J. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermassa.
Najid, Moh. 2003. Mengenal Apresiasi Prosa Fiksi. Surabaya : University Press dengan Kreasi Media Promo.

Minggu, 22 April 2012

http://gado2indonesia.blogspot.com/2009/04/gaya-bahasa-dalam-lirik-lagu-lagu-ungu.html
https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:k7yLzi2B7dkJ:eprints.undip.ac.id/19452/3/BAB_III.pdf+Ketidak+langsungan+ekspresi+

Kamis, 19 April 2012

REVISI BAB III

BAB III
ANALISIS KONTRASTIF BENTUK DAN PENGGUNAAN BAHASA HORMAT BAHASA JEPANG DAN UNDAK-USUK BAHASA JAWA


3.1 Bentuk Bahasa Hormat Bahasa Jepang

Bentuk bahasa hormat (keigo) bahasa Jepang umumnya terdiri dari Futsuugo, Teineigo, Sonkeigo dan Kenjoogo. Dalam belajar bahasa Jepang umumnya para pembelajar dikenalkan bentuk teinei terlebih dulu disamping bentuk futsuu sebab ragam teinei dipakai untuk menghormati secara langsung kepada mitra wicara. Ragam teinei dipakai dalam penuturan antara mahasiswa dengan dosen, guru besar, pelayan toko dan tamu, pegawai berpangkat lebih rendah terhadap yang lebih tinggi di kantor, terhadap seseorang yang belum kenal sebelumnya, dalam surat, ditempat formal ataupun dalam rapat.

3.1.2 Bentuk Teineigo

Kata teinei berarti sopan. Karena ragam teinei, ini kalimatnya berakhir dengan kata -desu, atau –masu, maka disebut pula ragam desu atau masu.
Teineigo dinyatakan dengan cara sebagai berikut:
a. Memakai verba bantu desu dan masu seperti pada kata:
行きますIkimasu =行くiku ‘pergi’
食べますTabemasu =食べるtaberu’makan’
本ですHon desu =本だhon da ‘buku’
きれいですKirei desu =きれいだkirei da ‘cantik, bersih, indah’
b. Memakai prefiks go atau o pada kata-kata tertentu, seperti:
お金okane = 金kane ‘uang’
お酒osake = 酒sake ‘arak Jepang’
ご意見goiken = 意見iken ‘pendapat’
ご結婚gokekkon = 結婚kekkon ‘nikah’
c. Memakai kata-kata tertentu sebagai teineigo seperti
ございますGozaimasu =ござるgozaruありますarimasu =あるaru ‘ada’
Contoh kalimat:
1. ミルクを飲みます。
Miruku o nomimasu.
‘Saya minum susu’.
2. 日本料理はおいしいです。
Nihonryouri wa oishii desu.
‘Masakan Jepang enak’.
3. 半年ぐらい習いました。
Hantoshi gurai naraimashita.
‘Saya telah belajar kira-kira setengah tahun’
4. この料理はおいしくないです。
Kono ryouri wa oishikunai desu.
‘Masakan ini tidak enak.’
5. あの家は大きいです。
Ano ie wa ookii desu.
‘Rumah itu besar’.
(Sumber: Pelajaran Bahasa Jepang II: 39-41)
Contoh kosakata bentuk teinei dapat dilihat juga dalam tabel berikut ini:
No. FUTSUUGO TEINEIGO KETERANGAN
1. Kaban da Kaban desu +desu
2. Gakusei da Gakusei desu +desu
3. Iku Ikimasu +masu
4. Nomu Nomimasu +masu
5. Taberu Tabemasu +masu
6. Okiru Okimasu +masu
7. Kuru Kimasu +masu
8. Benkyou suru Benkyou shimasu +masu

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa ada perubahan statis dalam bentuk futsuu ke dalam bentuk teinei dalam bahasa Jepang, sehingga jika dibuat rumus atau formula akan menjadi seperti berikut:
Kata benda Futsuu Teinei Arti
Gakusei +da +desu
Kata Kerja Kelompok I iku iki + masu pergi
Kata Kerja Kelompok II taberu tabe + masu makan
Kata Kerja Kelompok III suru shi + masu melakukan
Kata kerja dalam bahasa Jepang dibagi menjadi tiga kelompok, yakni kata kerja kelompok I, yaitu kata kerja yang berakhiran –u, -tsu, -ru, -mu, -nu, -bu, -ku, -gu, -su. Contohnya pada kata iku ‘pergi’, dan nomu, ‘minum’ pada tabel diatas. Selanjutnya adalah kata kerja kelompok II, yaitu kata kerja yang berakhiran –eru dan –iru, contohnya pada kata taberu ‘makan’, okiru ‘bangun’ pada tabel diatas, yang terakhir adalah kata kerja kelompok III, yaitu kata kerja khusus karena hanya ada dua kata yaitu kata kuru ‘datang’ dan suru ‘melakukan’. Perubahan bentuk futsuu ke teinei dalam kata kerja diatas sudah paten sesuai dengan formula yang sudah ditentukan.

3.1.2 Bentuk Futsuugo

Ragam Futsuugo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. berakhiran dengan ~da, atau de aru
b. berakhiran dengan verba bentuk futsuukei, seperti bentuk ~ru
c. Kata kerja kelompok I mempunyai ciri-ciri berakhiran –u, -tsu, -ru, -mu, -nu, -bu, -ku, -gu, -su, kata kerja kelompok II mempunyai ciri-ciri berakhiran –eru dan –iru dan kata kerja kelompok III terdiri dari kata kerja khusus karena hanya ada dua kata yaitu kata kuru dan suru.
Contoh kalimat:

1. 生徒達は文を作る。
Seitotachi wa bun o tsukuru.
‘Murid-murid membuat kalimat.
2. この焼き飯はとてもうまい。
Kono yakimeshi wa totemo umai.
‘Nasi goreng ini enak sekali’.
3. タオルや石鹸などを買った。
Taoru ya sekken nado o katta.
‘Saya telah membeli handuk, sabun, dan lain-lain’.
4. 石田君は怠け者ではない。
Ishida-kun wa namakemono dewa nai.
‘Ishida bukan pemalas’.
5. これは安いものだ。
Kore wa yasui mono da.
‘Ini barang yang murah’.
(Sumber: Pelajaran Bahasa Jepang I: 77-78)

3.1.3 Bentuk Sonkeigo

Ada beberapa cara untuk menyatakan sonkeigo yaitu:
a. Memakai verba khusus sebagai sonkeigo, seperti
なさるnasaru =するsuru ’melakukan’
ごらんになるgoran ni naru =見るmiru‘melihat’
召し上がる,あがるmeshiagaru, agaru=食べるteberu ‘makan’
いらっしゃるIrassharu=いるiru’ada’ 
いらっしゃる= 行くiku ‘pergi来る, kuru ’datang’
仰るossharu=言うiu’berkata’
kudasaru 下さる=くれるkureru
b. Memakai verba bantu –reru setelah verba golongan satu dan memakai verba bantu rareru setelah verba golongan dua, seperti:
書かれるkakareru =書くkaku’menulis’
受けられるukerareru = 受けるukeru ‘menerima’
c. Menyisipkan verba bentuk ren’youkei pada pola ‘o...ni naru’ seperti:
お待ちになるomachi ni naru =待つmatsu ‘menunggu’
お立ちになるotachi ni naru =立つtatsu ‘berdiri’
お座りになるosuwari ni naru=座るsuwaru ‘duduk’
お読みになるoyomi ni naru =読むyomu ‘membaca’
お書きになるokaki ni naru = 書くkaku ‘menulis’
d. Memakai nomina khusus sebagai sonkeigo untuk memanggil orang. Kata-kata tersebut bisa berdiri sendiri dan ada juga yang dapat menyertai kata lain sebagai sufiks seperti:
先生 sensei = bapak/ibu (guru, dokter)
社長 shachou = direktur
課長 kachou = kepala bagian
e. Memakai prefiks dan/atau sufiks sebagai sonkeigo seperti
田中様 Tanaka-sama = Tuan Tanaka
鈴木さんSuzuki-san = Saudara Suzuki
娘さんMusume-san = anak perempuan (orang lain)
ご意見Goiken = pendapat (orang lain)
お考えOkangae = pikiran (orang lain)
お宅 Otaku = rumah (orang lain)
弟さんOtouto-san = adik laki-laki (orang lain)
お医者さんOisha-san = dokter
f. Memakai verba asobasu, kudasaru dan irrasharu setelah verba-verba lain, seperti:
お帰りあそばすOkaeri asobasu = 帰るkaeru ‘pulang’
お許しくださるOyurushi kudasaru =許すyurusu ‘memaafkan’
見ていらっしゃるMite irassharu =見るmiru ‘melihat’
喜んでいらっしゃるYorokonde irassharu =喜ぶyorokobu ‘senang’, ‘gembira’
Contoh kalimat:
1. 部長はアメリカへ出張なさいます。
Buchou wa Amerika e shutchou nasaimasu.
‘Pak Direktur akan dinas ke Amerika’.
2. 課長はもう帰られました。
Kachou wa mou kaeraremashita .
‘Pak Manager sudah pulang’.
3. 先生はいらっしゃいますか。
Sensei wa irrashaimasu ka.
‘Pak Guru ada?’
4. お子さんのお名前は何とおっしゃいますか。
Okosan no namae wa nanto osshaimasu ka?
‘Siapa nama putra anda?
5. 先生は新しいパソコンを買いになりました。
Sensei wa atarashii pasokon wo kai ni narimashita.
‘Pak Guru telah membeli computer baru’.
(Sumber: Minna No Nihon Go II: 194-205)
Perubahan ragam futsuu ke dalam bentuk sonkeigo dapat dilihat juga dari contoh kosa kata dalam tabel berikut:
No. FUTSUUGO SONKEIGO ARTI
1. Kaeru Okaeri ni naru Pulang
2. Nomu Onomi ni naru Minum
3. Kau Okai ni naru Membeli
4. Miru Goran ni naru Melihat
5. Iku Ikareru Pergi
6. Matsu Omachi kudasai Menunggu

Dari tabel diatas pada tataran kata perubahan ragam futsuugo ke bentuk sonkeigo dapat dibuat formula seperti berikut:
1. Kata kerja kelompok I
Futsuugo Sonkeigo Arti
Kaeru kaeri +ni naru pulang
Nomu nomi + ni naru minum
Kau kai + ni naru membeli
Terlihat adanya perubahan yang dinamis dari ragam futsuu ke bentuk sonkeigo dalam bahasa Jepang, yaitu merubah suku kata terakhir pada ragam futsuu menjadi bentuk vokal –i kemudian menambahkan verba kata –ni naru. Sehingga hampir semua kata ragam futsuu dalam bahasa Jepang dapat dirubah ke dalam ragam sonkeigo.
2. Kata kerja kelompok II
Futsuugo Sonkeigo Arti
Taberu tabe + ni naru makan
Okiru oki + ni naru bangun
Miru goran + ni naru melihat
Pada kata kerja kelompok II perubahan futsuu lebih mudah karena sebagian besar hanya menghilangkan suku kata terakhir –ru kemudian menambahkan verba bantu -ni naru. Hanya beberapa kata kerja golongan ini yang mengalami perubahan kata, contoh pada kata miru (futsuu) berubah menjadi goran ( sonkeigo) dengan tetap menambahkan verba bantu -ni naru dibelakangnya. Tetapi perubahan pada kata khusus seperti ini jumlahnya terbatas.
3. Kata kerja kelompok III
Futsuugo Sonkeigo Arti
Kuru irasshai + ni naru datang
Kata kerja kelompok III dalam bahasa Jepang biasa disebut dengan kata kerja khusus, sehingga perubahannya sudah ditentukan seperti diatas. Tetapi ada juga cara lain untuk merubah kata kerja futsuu ke bentuk sonkeigo dalam bahasa Jepang, yaitu dengan cara merubah suku kata terakhir menjadi bunyi vokal –a kemudian menambahkan verba bantu –reru dibelakang kata kerja kelompok I, kelompok II dan kelompok III.
Futsuugo Sonkeigo Arti
Iku ika +reru pergi
Ada juga cara lain untuk merubah jenis ragam futsuu ke bentuk sonkeigo dalam bahasa Jepang dengan cara menambahkan verba bantu o/go kudasaru. Bentuk ini menunjukkan arti perbuatan mitra wicara atau orang ketiga dilaksanakan atas permintaan si pembicara atau demi kepentingan si pembicara. Jika kata kudasaru diganti dengan kudasai akan menjadi perintah halus. Misalnya pada contoh kata matsu ‘menunggu’ (futsuu) berubah menjadi o-machi kudasai (sonkeigo) yang berarti tolong tunggu/silakan tunggu.

3.3.4 Bentuk Kenjoogo

Kenjougo dapat diungkapkan dengan cara:
a. Memakai verba khusus sebagai kenjoogo, seperti:
参るmairu =来るkuru ‘datang’
申すmoosu =言うiu ‘mengatakan’
頂くitadaku =もらうmorau ‘menerima’
伺うukagau =聞くkiku ‘bertanya’, 質問するshitsumon suru ‘bertanya’,  訪問する hoomon suru ‘berkunjung’
お目にかかるomeni kakaru =会うau  ‘bertemu’
あげるageru =やるyaru, 差し上げるsashiageru ‘memberi’
折るoru  =いる iru ‘ada’
拝見するhaiken suru =見る miru ‘melihat’
b. Memakai pronomina persona sebagai kenjougo, seperti:
わたくしwatakushi =  saya
c. Menyisipkan verba bentuk renyoukei pada pola ‘o...suru’, seperti:
お会いするoaisuru = au ‘bertemu’
おしらせするoshirase suru =知らせるshiraseru’memberitahu’, ‘mengumumkan’
お聞きするOkiki suru = 聞くkiku ‘mendengar’
お習いするOnarai suru =習うnarau ‘belajar’
お読みするOyomi suru =読む ‘yomu membaca’
d. Memakai verba ageru, mousu, moushiageru, itasu setelah verba lain, seperti:
Oshirase itasuお知らせいたす=shiraseru知らせる ‘memberi tahu’
お知らせ申すOshirase moosu =知らせるshiraseru
知らせてあげるShirasete ageru=知らせるshiraseru
知らせて差し上げるShirasete sashiageru=知らせるshiraseru
Contoh kalimat:
1. 私はアメリカから、参りました。
Watakushi wa Amerika kara, mairimashita.
‘Saya datang dari Amerika’.
2. 会社の中をご案内します。
Kaisha no naka o goannai shimasu.
‘Saya akan memandu dalam perusahaan’
3. ニューヨークにおります。
Nyuyouku ni orimasu.
‘Berada/di New York’.
4. 今、出かけております。
Ima, dekakete orimasu.
‘Sekarang sedang keluar’.
5. きのう先生のお宅へ伺いました。
Kinou sensei no otaku e ukagaimashita.
‘Kemarin saya berkunjung ke rumah Pak Guru’.
(Sumber: Minna No Nihon Go II: 194-205)
Bentuk futsuu yang beubah menjadi bentuk kenjoogo dapat juga dilihat pada tabel contoh kosa kata berikut ini:
No. FUTSUUGO TEINEIGO KENJOOGO
1. Iku Ikimasu Mairimasu
2. Taberu Tabemasu Itadakimasu
3. Iru Imasu Orimasu
4. Miru Mimasu Haiken shimasu
5. Suru shimasu Nasaimasu

Dalam bentuk kenjoogo kata kerja golongan I, kata kerja golongan II, dan kata kerja kata kerjanya berubah jauh dari bentuk asalnya seperti pada tabel diatas. Aturan tersebut sudah paten ditentukan dalam bentuk verba khusus dalam aturan yang ada dalam bentuk kenjoogo.


3.2 Bentuk Undak-Usuk Bahasa Jawa

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Disamping kompleksitas undak-usuk, dengan adanya beberapa dialek dalam bahasa Jawa menjadikan bahasa Jawa tampak semakin variatif dan beraneka ragam. Masing-masing dialek hadir dengan keistimewaan yang membedakan antara dialek yang satu dengan yang lainnya, sehingga secara kebetulan apabila orang mendengarkan dua orang atau lebih berdialog dalam bahasanya, akan dapat mengetahui apakah mereka sedaerah asal atau tidak, meskipun untuk mengetahui secara pasti asal daerah mereka cukup sulit.

3.2.1 Bentuk Ngoko

Dalam tingkat apapun, kata ngoko digunakan apabila kata tersebut tidak mempunyai padanan pada tingkat kata yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kosakata dalam bentuk ngoko mempunyai jumlah paling besar diantara kosa kata lainnya.
Bentuk basa ngoko merupakan suatu tatanan kalimat yang terdiri dari kumpulan kata-kata ngoko yang seterusnya akan disebut tembung ngoko, termasuk juga afiks-afiks yang melekat pada tembung ngoko itu sendiri adalah kata-kata yang tidak memiliki atau mengandung suatu nilai halus atau penghormatan. Tembung ngoko itu terbagi menjadi dua bagian yaitu:
 Bentuk Tembung Ngoko Tak Bertingkat Tutur
Jenis kata ini adalah jenis kata yang tidak memiliki imbangan dalam basa krama. Jadi, ketika kata-kata ini digunakan dalam ragam basa krama, maka kata-katanya akan tetap seperti awalnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut:
No. NGOKO KRAMA ARTI
1. Buku Buku Buku
2. Kursi Kursi Kursi
3. Mbalang Mbalang Melempar
4. Kesed Kesed Malas
5. Paling Paling Mungkin
6. Jalaran Jalaran Karena
7. Pitu Pitu Tujuh
8. Wolu Wolu Delapan

Contoh kalimat:
1. Aku mangan roti.
‘Saya makan roti’
2. Gedhange murah.
‘Pisangnya murah’.
3. Dhek wingi aku mangan gedhang.
‘Kemarin saya makan pisang’
4. Kembang kae ora abang.
‘Bunga itu tidak merah’.
5. Iki enak.
‘Ini enak’.
 Bentuk Tembung Ngoko Bertingkat Tutur
Jenis kata ini adalah jenis tembung ngoko yang nantinya akan berubah sesuai dengan ragam bahasa yang digunakannya. Harjawijaya mencatat ada tiga perubahan bentuk tembung ngoko, yaitu:
1. Tembung ngoko yang hanya mempunyai padanan dalam tembung krama saja
Contoh:
No. NGOKO KRAMA ARTI
1. Banyu Toya Air
2. Putih Pethak Putih
3. Mlayu Mlajeng Berlari
4. Adoh Tebih Jauh

2. Tembung ngoko yang mempunyai padanan dalam krama inggil saja. Jenis kata ini, tembung ngokonya sama dengan tembung krama
Contoh:
No. NGOKO/KRAMA KRAMA INGGIL ARTI
1. Weteng Padharan Perut
2. Tangan Asta Tangan
3. Rambut Rikma Rambut
4. Ngombe Ngunjuk Minum

3. Tembung ngoko yang memiliki padanan dalam tembung krama dan tembung krama inggil
Contoh:
No. NGOKO KRAMA KRAMA INGGIL ARTI
1. Turu Tilem Sare Tidur
2. Sikil Suku Samparan Kaki
3. Lara Sakit Gerah Sakit
4. Omah Griya Dalem Rumah

Jika diperhatikan pada contoh-contoh tabel diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi perubahan yang cukup variatif dari bentuk ngoko dalam bahasa Jawa ke dalam bentuk krama. Pada contoh tabel yang pertama diatas terlihat tidak ada perubahan kata maupun bunyi dari bentuk ragam ngoko, ke dalam bentuk ragam krama. Jadi, kata dalam ragam ngoko dapat digunakan dalam ragam krama. Misalnya, pada kata buku (ngoko), tetap menggunakan kata buku dalam ragam krama. Tetapi pada contoh tabel kedua, ketiga dan keempat diatas, terlihat bahwa terjadi perubahan kata total dari ragam ngoko ke dalam ragam krama. Misalnya, pada tabel kedua diatas kata-kata ragam ngoko akan berubah total bentuk katanya ke dalam ragam krama, tetapi tidak akan mengalami perubahan bentuk lagi dalam ragam krama inggil. Misalnya, pada kata banyu (ngoko) berubah menjadi toya (krama). Bentuk kata maupun bunyi kata berubah total membentuk kata baru tetapi hanya memiliki padanan kata dalam krama inggil saja. Karena bentuk ngoko itu sendiri sudah mempunyai makna krama. Misalnya, pada kata tangan (ngoko/krama) akan berubah menjadi asta (krama inggil). Tetapi, pada tabel ke empat diatas terjadi perubahan yang lebih lengkap lagi, dengan kata-kata ngoko bisa berubah dalam ragam krama dan berubah lagi dalam bentuk krama inggil. Misalnya, turu (ngoko) berubah menjadi tilem (krama) dan berubah lagi menjadi sare (krama inggil)

3.2.2 Bentuk Krama

Berdasarkan bentuk fonemisnya, kata-kata krama dibagi menjadi dua jenis. Pertama, kata-kata yang mempunyai bentuk menyerupai padanan ngoko. Misalnya: kula (krama) dengan aku (ngoko) ‘saya’ dan griya (krama) dengan omah (ngoko) ‘rumah’. Kedua, kata-kata krama yang mempunyai padanan ngoko.
Dalam bahasa Jawa, perubahan ngoko ke krama lebih variatif, ada yg tidak mengalami perubahaan kata sama sekali, tetapi adapula kata dari ngoko yang berjumlah total dalam ragam krama sehingga terbentuk kata baru.
Contoh kata-kata krama yang mempunyai padanan ngoko. Misalkan:
a. Kata-kata yang berakhir pada –os
Krama Ngoko
Gantos ganti arti: ganti
b. Kata-kata yang berakhir pada –nten
Krama Ngoko
Kinten kira arti: kira
c. Kata-kata yang berakhir pada –bet
Krama Ngoko
Mlebet mlebu arti: masuk
d. Kata-kata yang berakhir pada-won
Krama Ngoko
Awon ala arti: jelek
e. Kata-kata yang berakhir pada-jeng
Krama Ngoko
Majeng maju arti: maju
f. Kata-kata yang berakhir pada-ntun
Krama Ngoko
Pantun pari arti: padi
g. Kata-kata yang berakhir pada-i
Krama Ngoko
Negari Negara arti: negara
h. Kata-kata yang berakhir pada (i+konsonan+a)
Krama Ngoko
Mila mula arti: maka
i. Kata-kata yang berakhir pada (i+konsonan+a+h)
Krama Ngoko
Sisah susah arti: susah
j. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan+a)
Krama Ngoko
Gega gugu arti: turut
k. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan +a+h)
Krama Ngoko
Berah buruh arti: buruh
l. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan+a+h)
Krama Ngoko
Ebah obah arti: berubah
Contoh kalimat:
1. Kula nedha roti.
‘Saya makan roti’.
2. Pisangipun mirah.
‘Pisangnya murah’.
3. Kala wingi kula nedha pisang.
‘Kemarin saya makan pisang’
4. Sekar punika boten abrit.
‘Bunga itu tidak merah’
5. Punika eca.
‘Ini enak.’
(Sumber: Konggres Bahasa Jawa IV: 449)

3.2.3 Bentuk Krama Inggil

Sementara itu kosakata karma inggil sebagian besar merupakan serapan yang berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa kuna, hanya kecil yang merupakan serapan dari bahasa Persia dan Arab. Contoh kata krama inggil serapan adalah sebagai berikut:
Ngoko Krama Krama Inggil Arti Sumber
tangan - asta tangan Sansekerta
picak - wuta buta Jawa kuna
batur rencang abdi pembantu Arab
iket udheng dhestar ikat pinggang Persia

Contoh kalimat:
1. Benjing-enjing kula tuwi kanca/rencang kula.
‘Besok pagi saya menjemput temanku’.
2. Pak Guru maringake apa?
‘Pak Guru memberikan apa?’
3. Badhe kepanggih sinten?
‘Hendak bertemu siapa?’
4. Sliramu diparingi apa?
‘Dirimu dikasih apa?’
5. Ibu ngendika apa?
‘Ibu berkata apa?’
(Sumber: Konggres Bahasa Jawa IV: 458-459)


3.2.4 Bentuk Krama Andhap

Poedjosoedarmo (1979:30) mengatakan bahwa kelompok krama inggil dibagi menjadi dua, yaitu pertama adalah kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan meluhurkan diri dengan yang diacu disebut sebagai kata krama inggil. Kedua, adalah kelompok kata yang menghormat orang yang diacu dengan cara merendahkan diri sendiri yang disebut sebagai krama andhap. Contoh kata krama inggil dan krama andhap adalah sebagai berikut:
Ngoko Krama Krama Inggil Krama Andhap Arti
kandha criyos ngendhika dhawuh matur berkata
takon taken paring priksa nyuwun priksa bertanya

Contoh kalimat:
1. Benjing punapa kula kapareng sowan?
‘Pada hari apa saya boleh berkunjunng?’
2. Pak Guru dipun caosi punapa?
‘Pak Guru diberi apa?’
3. Kula badhe sowan Pak Rektor.
‘Saya hendak bertemu Pak Rektor’.
4. Kula dipun paringi buku (dening) Pak Guru.
‘Saya diberi buku oleh Pak Guru’.
5. Kula boten matur punapa-punapa.
‘Saya tidak berkata apa-apa’.
(Sumber: Konggres Bahasa Jawa IV: 458-459)


3.3 Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jepang

Pada dasarnya keigo dalam bahasa Jepang dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Umumnya keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau bawahan, guru atau murid
3. Keakraban : orang dalam atau orang luar
4. Gaya bahasa : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan
5. Pribadi atau umum : rapat, upacara, atau kegiatan apa
6. Pendidikan :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo).
Bagi para pembelajar bahasa Jepang dalam situasi-situasi tertentu memang dituntut untuk menggunakan keigo (bahasa hormat) sehingga menjadi keharusan dalam mempelajarinya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit peran pemakaian keigo bagi para penuturnya. Secara singkat Hinata Shigeo (2000:15-17) menyebutkan keefektifan dan peran konkrit pemakaian keigo tersebut sebagai berikut:
1. Keigo ini dapat dikatakan merupakan dasar keefektifan berkomunikasi. Lawan bicara yang dihormati adalah atasan atau orang yang posisinya tinggi secara sosial, tetapi sudah tentu didalamnya termasuk orang-orang yang berdasarkan pada hubungan manusia yang berada dalam bidang perdagangan dan bisnis.
2. Menyatakan perasaan formal bukan di dalam hubungan atau situasi pribadi, di dalam hubungan atau situasi resmi dilakukan pemakaian bahasa yang kaku dan formal. Misalnya didalam sambutan upacara pernikahan, di dalam rapat atau ceramah yang resmi dan sebagainya dipakai bahasa halus atau bahasa hormat sebagai etika sosial. Berbicara dengan ragam akrab dalam situasi seperti ini kadang-kadang menjadi tidak sopan.
3. Menyatakan jarak diantara pembicara dan lawan bicara yang baru pertama kali bertemu atau yang perlu berbicara dengan sopan biasanya terdapat jarak secara psikologis. Dalam situasi seperti itu hubungan akan dijaga dengan menggunalkan bahasa halus atau bahasa hormat secara wajar. Pemakaian bahasa atau sikap yang terlalu ramah kadang-kadang akan menjadi kasar atau tidak sopan
4. Menjaga martabat, Keigo pada dasarnya menyatakan penghormatan terhadap lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Tetapi dengan dapat menggunakan keigo secara tepat dapat juga menyatakan pendidikan atau martabat pembicaranya.
5. Menyatakan rasa kasih sayang, Keigo yang digunakan para orang tua atau guru taman kanak-kanak kepada anak-anak dapat dikatakan sebagai bahasa yang menyatakan perasaan kasih sayang atau menyatakan kebaikan hati penuturnya
6. Ada kalanya menyatakan sindiran, celaan, atau olok-olok.


3.3.1 Penggunaan Teineigo

Teineigo adalah cara bertutur kata dengan sopan santun yang dipakai oleh pembicara dengan saling menghormati atau menghargai perasaan masing-masing. Teineigo juga biasa disebut dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara). Pemakaian teichoogo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau menurunkan derajat orang yang dibicarakan, berbeda dengan sonkeigo dan kenjoogo.
Pemakaian teineigo tidak memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun kata kekerabatan pembicara dengan mitra wicara karena inti dari pemakaian ragam bahasa ini agar apa yang dibicarakan oleh pembicara terdengar lebih enak dan lebih halus. Dalam kehidupan sehari-hari bentuk teineigo ini lebih sering digunakan dibandingkan bentuk keigo yang lainnya, yaitu sonkeigo dan kenjoogo. Seseorang yang berbicara dalam bentuk teineigo ini tidak meninggikan seseorang ataupun merendahkan seseorang tetapi hanya memperhalus bahasa yang dipakai. Secara tidak langsung dengan memperhalus bahasa yang digunakan, dapat meninggikan rasa hormat terhadap mitra wicara. Ragam bahasa ini biasa digunakan terhadap orang yang belum dikenal oleh pembicara sebelumnya atau kelompok orang yang berada diluar kelompok pembicara dalam ruang lingkup formal.
Contoh kalimat:
1. ミルクを飲みます。
Miruku o nomimasu.
‘Saya minum susu’.
2. 日本料理はおいしいです。
Nihonryouri wa oishii desu.
‘Masakan Jepang enak’.
3. 半年ぐらい習いました。
Hantoshi gurai naraimashita.
‘Saya telah belajar kira-kira setengah tahun’
4. この料理はおいしくないです。
Kono ryouri wa oishikunai desu.
‘Masakan ini tidak enak.’
5. あの家は大きいです。
Ano ie wa ookii desu.
‘Rumah itu besar’.
Berikut ini adalah tabel kosa kata penanda ragam teineigo dalam kalimat bahasa Jepang.
No. KOSA KATA KETERANGAN
1. ~desu Terutama bersambung dengan nomina dan ajektiva
2. ~de gozaimasu Lebih sopan dari desu dan arimasu
3. ~masu Terutama jika bersambung dengan verba
4. ~de arimasu Dipakai dalam makalah atau pidato


3.3.2 Penggunaan Futsuugo

Ragam futsuu biasanya digunakan dalam penuturan diantara anggota keluarga: orang tua kepada anaknya begitu juga sebaliknya, kawan-kawan yang akrab, orang yang berstatus tinggi terhadap yang berstatus rendah, dalam bahasa media massa, makalah, roman dan sebagainya.
Contoh kalimat:

1. 生徒達は文を作る。
Seitotachi wa bun o tsukuru.
‘Murid-murid membuat kalimat.
2. この焼き飯はとてもうまい。
Kono yakimeshi wa totemo umai.
‘Nasi goreng ini enak sekali’.
3. タオルや石鹸などを買った。
Taoru ya sekken nado o katta.
‘Saya telah membeli handuk, sabun, dan lain-lain’.
4. 石田君は怠け者ではない。
Ishida-kun wa namakemono dewa nai.
‘Ishida bukan pemalas’.
5. これは安いものだ。
Kore wa yasui mono da.
‘Ini barang yang murah’.

3.3.3 Penggunaan Sonkeigo

Sonkeigo adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan. Misalnya, ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya.
Sonkeigo dipakai juga bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan atasan sebagai orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya, yang berhubungan dengan lawan bicara (termasuk aktifitas dan segala sesuatu yang berkaitannya). Sonkeigo merupakan cara bertutur kata yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara.
Contoh kalimat:
1. 部長はアメリカへ出張なさいます。
Buchou wa Amerika e shutchou nasaimasu.
‘Pak Direktur akan dinas ke Amerika’.
2. 課長はもう帰られました。
Kachou wa mou kaeraremashita .
‘Pak Manager sudah pulang’.
3. 先生はいらっしゃいますか。
Sensei wa irrashaimasu ka.
‘Pak Guru ada?’
4. お子さんのお名前は何とおっしゃいますか。
Okosan no namae wa nanto osshaimasu ka?
‘Siapa nama putra anda?
5. 先生は新しいパソコンを買いになりました。
Sensei wa atarashii pasokon wo kai ni narimashita.
‘Pak Guru telah membeli computer baru’.

3.3.4 Penggunaan Kenjoogo

Kenjoogo menyatakan rasa homat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Misalnya, dalam kantor/perusahaan ketika bawahan berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Dalam penggunaan kenjoogo yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang menjadi subjek/pokok kalimat adalah diri sendiri atau pihak sendiri. Hadir atau tidaknya orang yang hendak dibicarakan; Jika hadir di situ juga, dipakai lebih banyak Sonkeigo dan Kenjoogo.
1. Hubungan atas bawah; Yang berkedudukan bawah menggunakan bentuk hormat terhadap yang lebih tinggi kedudukannya. Jika seseorang yang berkedudukan lebih rendah tidak memakai bentuk hormat, ia akan dianggap tidak tahu sopan santun. Adapun yang dikelompokkan sebagai hubungan ‘’atas-bawah’’ adalah seperti berikut ini:
• Hubungan atas-bawah dalam satu organisasi.
• Hubungan atas-bawah dalam status sosial
• Umur
• Panjangnya pengalaman; misalnya, di tempat kerja atau yunior-senior di sekolah.
2. Hubungan pemberi jasa dan penerima jasa; Penerima jasa menunjukkan sikap hormat kepada pemberi jasa.
• Dokter dan Pasien
• Tamu dan Pelayan: Di Jepang terdapat pemakaian bahasa khusus di hotel, di toko-toko besar, seperti toserba. Para karyawan/pelayan dididik memakai bahasa yang sopan dan halus terhadap para tamu.
Contoh: Kata-kata dalam [ ] adalah yang biasa dipakai.
• Guru dan Orang tua murid.
3. Hubungan akrab jauh: Bentuk hormat ini dipakai terhadap orang yang jauh/tidak akrab dan tanpa bentuk hormat dengan mereka yang akrab. Sebagaimana di Jawa, di Jepang antara anggota keluarga, antara kawan yang akrab tidak dipakai bentuk hormat. Akan tetapi, sebagaimana di Jawa pula, orang Jepang memakai bentuk hormat terhadap dosennya, tetapi para murid Sekolah Dasar biasanya tidak memakai bentuk hormat. Baru di SMP, SMA, mereka memperoleh kesadaran untuk memakai bentuk hormat.
4. Formal atau tidak formal: Dalam situasi formal, misalnya berpidato dan sebagainya dipakai bentuk hormat.
5. Hubungan ‘’dalam’’ dan ‘’luar’’
Contoh kalimat:
1. 私はアメリカから、参りました。
Watakushi wa Amerika kara, mairimashita.
‘Saya datang dari Amerika’.
2. 会社の中をご案内します。
Kaisha no naka o goannai shimasu.
‘Saya akan memandu dalam perusahaan’
3. ニューヨークにおります。
Nyuyouku ni orimasu.
‘Berada/di New York’.
4. 今、出かけております。
Ima, dekakete orimasu.
‘Sekarang sedang keluar’.
5. きのう先生のお宅へ伺いました。
Kinou sensei no otaku e ukagaimashita.
‘Kemarin saya berkunjung ke rumah Pak Guru’.

3.4 Penggunaan Undak-usuk Bahasa Jawa

Sistem undhak-usuk merupakan pencerminan tenggang rasa dan pertimbangaan pembicara terhadap lawan bicara, dan merupakan sarana untuk mempererat hubungan antar manusia. Penggunaan undak-usuk dalam bahasa Jawa sudah ada sejak masa kerajaan Majapahit. Masyarakat Jawa sudah terbiasa memposisikan mereka berdasarkan tingkatan sosial di masyarakat.
Tingkatan sosial tersebut berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Jawa dikalangan mereka sehari-hari. Tingkatan status sosial dalam bahasa Jawa membawa pengaruh pada penggunaan bahasa Jawa di masyarakat sendiri. Semakin tinggi status sosial masyarakat tersebut, maka semakin tinggi pula ragam bahasa yang digunakan, begitu pun sebaliknya.
Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal undak-usuk bahasa, karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Sunda juga mengenal hal semacam ini.
Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register. Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama(halus). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan"perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada sstatus yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisisosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicaradengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan kramaandhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.


3.4.1 Penggunaan Ngoko

Bahasa ngoko umumnya dipakai berbicara orang tua kepada anak, cucu, atau pada anak mudanya, percakapan terhadap orang sederajat yang tidak memperhatikan kedudukan dan usia, atasan dan bawahannya, majikan dengan pembantunya.
Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 (orang pertama) terhadap O2 (orang kedua). Artinya O1 tidak memiliki rasa segan (jiguh pakewuh) terhadap O2, jadi buat seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap seseorang O2, tingkat ngoko inilah seharusnya dipakai. Teman-teman akrab biasanya saling ‘’ngoko-ngoko’’-an. Orang-orang berstatus tinggi berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak enggan terhadap orang lain yang berstatus rendah.
Contoh kalimat:
1. Aku mangan roti.
‘Saya makan roti’
2. Gedhange murah.
‘Pisangnya murah’.
3. Dhek wingi aku mangan gedhang.
‘Kemarin saya makan pisang’
4. Kembang kae ora abang.
‘Bunga itu tidak merah’.
5. Iki enak.
‘Ini enak’.

3.4.2 Penggunaan Krama

Bentuk krama (bahasa hormat) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat). Misalnya, anak kepada orangtua, bawahan kepada atasan, pembantu dengan majikannya.
Tingkat tutur Krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pakewuh) dari O1 terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, berpangkat, atau priyayi, berwibawa dan lain-lain. Murid memakai Krama terhadap gurunya, pegawai menggunakan Krama terhadap kepalanya.
Contoh kalimat:
1. Kula nedha roti.
‘Saya makan roti’.
2. Pisangipun mirah.
‘Pisangnya murah’.
3. Kala wingi kula nedha pisang.
‘Kemarin saya makan pisang’
4. Sekar punika boten abrit.
‘Bunga itu tidak merah’
5. Punika eca.
‘Ini enak.’

3.4.3 Penggunaan Krama Inggil

Kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan meluhurkan diri dengan yang diacu disebut sebagai kata krama inggil. Krama inggil menyangkut apresiasi dan status sosial yang erat sekali dengan etika dan sopan santun. Pada umumnya krama inggil digunakan oleh bawahan kepada atasan, anak kepada orang tua, dan murid kepada gurunya.
Krama inggil biasanya digunakan oleh priyayi cilik kepada priyayi gedhe, orang muda kepada orang tua, dan ketika membicarakan priyayi luhur. Dalam masyarakat basa krama inggil sudah jarang terdengar lagi kecuali di dalam lingkungan kraton. Basa krama inggil yang dipakai dalam lingkungan kraton dikenal dengan sebutan bahasa kedhaton.
Bahasa kedhaton adalah bahasa yang digunakan untuk berbicara oleh para sentana dan abdidalem pada saat menghadap Ingkang Sinuwun ‘Raja atau Pangeran Adipati Anom’,‘Pangeran calon Raja atau untuk percakapan dalam kraton. Jadi, kalau berbicara dengan raja mengenai apa saja, bahasa yang digunakan harus basa kedhaton dalam bentuk krama inggil. Wujud bahasa ini berupa kata-kata krama yang bercampur dengan bahasa krama inggil terhadap orang yang diajak berbicara. Bahasa kedhaton digunakan di kraton Surakarta, sementara bahasa kedhaton yang digunakan dalam kraton Yogyakarta disebut bahasa bagongan. Selain krama inggil ada krama desa, yang kata-katanya yaitu krama dicampur dengan krama desa yang biasa untuk menyebut nama kota atau tempat.
Contoh kalimat:
1. Benjing-enjing kula tuwi kanca/rencang kula.
‘Besok pagi saya menjemput temanku’.
2. Pak Guru maringake apa?
‘Pak Guru memberikan apa?’
3. Badhe kepanggih sinten?
‘Hendak bertemu siapa?’
4. Sliramu diparingi apa?
‘Dirimu dikasih apa?’
5. Ibu ngendika apa?
‘Ibu berkata apa?’

3.4.4 Penggunaan Krama Andhap

Krama andhap merupakan kelompok kata yang menghormat orang yang diacu dengan cara merendahkan diri sendiri. Bentuk krama andhap dipakai oleh orang tua kepada anaknya, bawahan kepada atasan. Penggunaan krama andhap sejalan dengan pemakaian krama inggil. Karena pemakai ragam bahasa ini adalah orang pertama (pembicara) dan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok pembicara. Misalnya, keluarga pembicara.
Contoh kalimat:
1. Benjing punapa kula kapareng sowan?
‘Pada hari apa saya boleh berkunjunng?’
2. Pak Guru dipun caosi punapa?
‘Pak Guru diberi apa?’
3. Kula badhe sowan Pak Rektor.
‘Saya hendak bertemu Pak Rektor’.
4. Kula dipun paringi buku (dening) Pak Guru.
‘Saya diberi buku oleh Pak Guru’.
5. Kula boten matur punapa-punapa.
‘Saya tidak berkata apa-apa’.

3.5 Analisis Kontrastif Bentuk dan Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jepang dan Undhak-usuk Bahasa Jawa

Secara umum bentuk ragam hormat bahasa Jepang dikenal dengan bentuk Keigohoo yang meliputi: Futsuu/Teinei, Sonkeigo dan Kenjoogo, yang mempunyai kadar hormat yang berbeda. Sedangkan dalam bahasa Jawa dikenal dengan adanya bentuk undak-usuk bahasa Jawa yang meliputi Ngoko, Madya, dan Krama yang terdiri dari 7 sampai 9 sub tingkatan yang masing-masing diberi nama.
Dalam bab III ini, penulis membahas pengkontrasan bentuk dan penggunaan ragam hormat bahasa Jepang yang sudah ada dengan bentuk dan penggunaan undak-usuk bahasa Jawa yang terdiri dari ragam ngoko, ragam krama dengan mengambil 2 sub tingkatan undak-usuk bahasa Jawa yakni, krama inggil dan krama andhap saja. Sebab sub tingkatan dalam bahasa Jawa lebih banyak dibanding dengan bahasa Jepang. Disamping itu, bentuk dan penggunaan ragam hormat bahasa Jepang dan bentuk dan penggunaan undak-unduk tersebut mempunyai kesejajaran yang hampir sama persis.
Jika dibuat perbandingan skema garis besar mengenai bentuk dan penggunaan bahasa hormat bahasa Jepang dan undha-usuk bahasa Jawa sebagai berikut:
No. Bahasa Jepang Bahasa Jawa
1 Keigo (Ragam Hormat)
 Ragam Futsuu tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo
 Ragam futsuu dengan sonkeigo dan kenjoogo Undak-usuk
 Basa Ngoko
 Ngoko Lugu (Ngoko)
 Ngoko Alus
2 Ragam Teinei
 Ragam teinei tanpa sonkeigo dan kenjoogo
 Ragam teinei dengan sonkeigo atau kenjoogo Basa Krama
 Krama Limrah (Krama)
 Krama Alus
 Krama Inggil
 Krama Andhap



3.5.1 Bentuk Hormat Bahasa Jepang dan Undak-Usuk Bahasa Jawa

Dalam bahasa Jepang semua kata dari ragam futsuu akan mengalami perubahan dalam ragam teinei, meskipun bukan perubahan kata secara total yang membentuk kata baru, tetapi hanya menambahkan verba bantu desu atau masu di akhir kalimat. Verba bantu desu akan menempel pada kata benda dan ajektiva, sedangkan verba bantu –masu akan menempel pada kata kerja. Sedangkan dalam bahasa Jawa, perubahan ngoko ke krama lebih variatif. Ada yang tidak mengalami perubahan kata sama sekali, tetapi ada pula kata dari ngoko yang berjumlah total dalam ragam krama sehingga terbentuk kata baru. Dalam bahasa Jepang hampir semua kata futsuu bisa diubah ke dalam bentuk teinei maupun sonkeigo, sedangkan bahasa Jawa ragam ngoko ada yang memilki padanan dalam krama saja tetapi dalam krama inggil padanan katanya tidak ada.
Kosakata kenjoogo dalam bahasa Jepang, jauh lebih banyak daripada kosakata krama andhap dalam bahasa Jawa, dan hampir semua kata kerja di ‘’Krama Andhap-kan’’ dengan menggunakan prefiks dan verba bantu. Bahasa Jawa tidak memiliki krama adhap untuk kata kerja seperti ‘’pergi/datang/ada/makan’’ dan sebagainya. Timbul pertanyaan, mengapa jumlah kata krama andhap begitu sedikit? Jawabannya, menurut tafsiran penulis, kata krama dalam bahas Jawa itu sudah mempunyai nuansa merendahkan diri sepadan dengan kenjoogo dalam bahasa Jepang.


3.5.2 Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jepang dan Undak-usuk Bahasa Jawa

Dari segi penggunaan bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa, maka dapat diketahui bahwasanya: pertama, ragam futsuu dalam bahasa Jepang dapat disetarakan dengan ragam ngoko dalam bahasa Jawa. Penggunaan ragam futsuu dalam bahasa Jepang hampir sama dengan penggunaan ragam ngoko dalam bahasa Jawa. Bedanya, kalau dalam bahasa Jepang dalam ruang lingkup keluarga menggunakan ragam futsuu sebab, kalau masih menggunakan bentuk teinei menurut aturannya dianggap masih ada jarak, tidak ada hubungan kedekatan dalam keluarga menurut budaya orang Jepang. Sedangkan dalam bahasa Jawa, dalam keluarga ragam ngoko tidak dipakai. Dalam hal ini ragam krama yang dipakai, sebab orang tua adalah orang yang paling banyak berjasa maka sudah sepantasnya orang tua untuk dihormati. Sebagai pencerminan rasa hormat kepada orang tua ragam krama wajib digunakan, khususnya berkomunikasi kepada orang tua dalam kehidupan bermasyarakat di Jawa.
Namun, akhir-akhir ini banyak ditemukan dalam masyarakat Jawa seorang anak masih menggunakan ragam ngoko dalam berkomunikasi dengan orang tuanya. Hal itu mungkin bisa dikarenakan didikan dari orang tuanya sendiri apakah para orang tua tersebut masih menanamkan aturan unggah-ungguh bahasa Jawa dalam kehidupan keluarganya atau tidak.
Kedua, ragam teinei dalam bahasa Jepang dapat disejajarkan dengan ragam krama dalam bahasa Jawa, penggunaannya pun tidak jauh beda dalam bahasa Jepang, ragam teinei dan ragam krama dipakai untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara). Pemakaian ragam teineigo dan ragam krama tidak memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun kata kekerabatan pembicara dengan mitra wicara karena inti dari pemakaian kedua ragam bahasa ini agar apa yang dibicarakan oleh pembicara terdengar lebih enak dan lebih halus. Kedua ragam bahasa tersebut biasa digunakan terhadap orang yang belum dikenal, oleh pembicara sebelumnya atau kelompok orang yang berada diluar kelompok pembicara dalam ruang lingkup formal.
Ketiga, ragam sonkeigo dalam bahasa Jepang dapat disejajarkan dengan ragam krama inggil dalam bahasa Jawa dan ragam kenjoogo dapat disejajarkan dengan ragam krama andhap. Dari segi penggunaan masing-masing tataran ragam bahasa tersebut juga hampir sama. Ragam sonkeigo dan krama inggil sama-sama berfungsi sebagai bahasa menghormat dan ragam kenjoogo dan krama andhap juga sama-sama mempunyai fungsi sebagai bahasa merendah. Bedanya dalam bahasa Jepang mengenal aturan uchi dan soto, sedangkan dalam bahasa Jawa tidak mengenal aturan hal tersebut.