Rabu, 20 Mei 2015

KEGAGALAN PRAGMATIK



Kegagalan pragmatik (Thomas 1983:91) adalah kegagalan peserta komunikasi untuk memahami apa yang dimaksud dengan yang dikatakan. Penyebab kegagalan pragmatik dalam mengalihkan pesan dalam berkomunikasi, termasuk dalam terjemahan, dapat dijelaskan mulai dari aspek pragmalinguistik sampai ke aspek sosiopragmatik (Thomas 1983:99) yang merupakan dua ujung kontinuum dari kemampuan pragmatik seseorang. Kemampuan pragmalinguistik mencakupi kemampuan penutur dan petutur untuk menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang terkait dengan fungsi pragmatik sebuah tuturan atau daya ilokusionernya, seperti tindak tutur dan percakapan rutin.
Kegagalan pragmatik terkait dengan identitas dalam satu dan lain cara, identifikasi akan terletak dalam inti masalah. Di lain situasi, dan faktor komunikatif akan jauh lebih penting dalam menentukan sifat dari masalah. Kegagalan pragmatik dapat terjadi pada interaksi antara setiap pasangan individu, termasuk penutur asli yang menggunakan bahasa yang sama.
Kegagalan pragmatik menurut Thomas (1983:91) adalah kegagalan peserta komunikasi untuk  memahami  apayang dimaksud  dengan  yang  dikatakan (what is meant by what is said). Thomas (1999:176) menyatakan kegagalan pragmatik dapat dianalisis dengan menggunakan sembilan tilikan pragmatik mulai dari tilikan yang dekat dengan ranah pragmalinguistik hingga yang terdekat dengan ranah sosiopragmatik, yaitu: (1) disambiguation, (2) interpretive bias, (3) polisemi, (4) assign complete meaning, (5) metonimi, (6) tindak tutur, (7) prinsip kerjasama, (8) bidal interpersonal, dan (9) indirectness, dan (10) prinsip kesantunan.

Penyebab  kegagalan  pragmatik  dalam  mengalihkan  pesan  dalam berkomunikasi, termasuk dalam  terjemahan, dapat  dijelaskan mulai  dariaspek pragmalinguistik sampai ke aspek sosiopragmatik (Thomas1983:99) yang merupakan dua ujung kontinum dari kemampuan pragmatik seseorang. Kemampuan pragmalinguistik mencakup kemampuan penutur dan petutur untuk menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang terkait dengan fungsi pragmatik sebuah tuturan atau daya ilokusionernya, seperti tindak tutur dan percakapan rutin. Di sisi lain, kemampuan sosiopragmatik mencakupi kemampuan peserta komunikasi untuk memilih dan menggunakan bentuk-bentuk bahasa berdasarkan pengetahuan sosial budaya yang terkait dengan hubungan antar peserta tutur yang mencakupi kuasa,jarak sosial, dan berat atau tidaknya isi pesan, serta kaidah-kaidah interaksional yang lazim digunakan,seperti strategi giliran bicara dan strategi kesantunan.
Contoh kegagalan pragmalinguistik diambil dari Richards y Sukwiwat (1983:116), yang menggambarkan situasi ketika orang Jepang mengungkapkan terima kasih dalam bahasa Inggris.
1.                  E: Look what I’ve got for you! (maybe a gift)
JE: Oh!, I’m sorry. (in Japanese, ‘thank you’ may not sound sincere enough)
E: Why sorry?
2.                  Complimenter: You've lost a lot of weight. What have you been doing?
Recipient: Thank you. I've started jogging regularly and it seems to work.
Complimenter: You shouldn't overdo it. You are looking quite thin. (Holmes dan Brown: 526)
Contoh kegagalan sosiopragmatik:
Complimenter: What a big family you have!            
Recipient: Yes, but it has its advantages, too. (Holmes dan Brown: 528)
Menurut Thomas (1983: 99) didefinisikan dan dibedakan menjadi pragmalinguistik dan sosiolinguistik. TSa (teks sasaran) setara dengan derajat respons sidang pembaca, sedangkan TSu (teks sumber) dengan memperhatikan situasi komunikasi teks tersebut, peserta tutur (penutur dan petutur),dan konteks budaya.
-          Hasil kegagalan pragmalinguistik dari kegagalan untuk mengidentifikasi atau mengungkapkan makna dengan benar.
Contoh:
Whichwayisit?  Ini jalan kearah mana?             Kearah mana sekarang?
Tsu mengandung implikasi bahwa didepan penutur terdapat banyak jalan dan dia ingin tahu jalan mana yang seharusnya ditempuh, sedangkan Tsa mengandung implikasi bahwa didepan penutur hanya ada satu jalan dan dia ingin tahu jalan itu menuju kemana.
-          Hasil kegagalan sosiopragmatik dari kegagalan untuk mengidentifikasi beberapa efek dari situasi dengan benar.
-          Kegagalan pragmalinguistik mengacu pada disfungsi dalam pengolahan wacana dan produksi
-          Kegagalan sosiopragmatik mengacu pada kegagalan untuk memahami, mengkategorikan dan mengevaluasi realitas sosial sesuai dengan set norma tertentu
Contoh:
Thankyou, Father        Terima kasih Bapak                 Terima kasih Romo
Didalam konteks situasi,father digunakan untuk mengacu seorang pastur Katolik. Di dalam konteks tersebut seorang pastur. Katolik biasanya sering disapa dengan romo (atau Bapa).
Ada dua jenis kesalahan mutlak yang dikemukakan Newmark(1988:189),yaitu kesalahan referensial dan  kesalahan bahasa. Kesalahan referensial adalah kesalahan pemberian makna acuan  untuk TSu  yang mengacu kepada fakta(nama tempat, nama benda, peristiwa sejarah) dan isi proposisi (pernyataan yang kebenarannya secara logika sebenarnya dapat dinilai secara langsung,seperti Indonesia dipimpin oleh seorang rajaatau Bogor ada di sebelah utara Jakarta). Kesalahan referensial juga mencakupi ketidak tahuan penerjemah akan bidang-bidang tertentu di dalam teks terjemahan.
Kesalahan mutlak jenis kedua, kesalahan bahasa, meliputi kesalahan mengartikan kata, frasa, atau  klausa, kesalahan mengalihkan bentuk- bentuk idiom dan kolokasi, serta kesalahan mengalihkan pronomina. Kesalahan mutlak melihat TSa sebagai kata, frasa, atau kalimat yang harus benar secara gramatikal atau referensial dan kesalahan di dalam ranah ini menjadikan Tsa dikategorikan   salah (kegagalan pragmalinguistik mengakibatkan ada bagian pesan Tsu yang bisa dikategorikan meleset (misfire) ketika dialihkan ke TSa.
 Di sisi lain, kemampuan sosiopragmatik mencakupi kemampuan peserta komunikasi untuk memilih dan menggunakan bentuk-bentuk bahasa berdasarkan pengetahuan sosial budaya yang terkait dengan hubungan antarpeserta tutur yang mencakupi kuasa, jarak sosial, dan berat atau tidaknya isi pesan, serta kaidah-kaidah interaksional yang lazim digunakan, seperti strategi giliran bicara dan strategi kesantunan.
Kesantunan dalam bahasa Indonesia sangat dipengaruhi oleh strategi interaktif ketika bertindak tutur karena bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang memiliki tingkat tutur secara ketat dengan menerapkan subsistem honorifiks pada tataran leksikal, morfologis, dan sintaktis seperti dalam bahasa Jepang. Sementara itu, Sachiko Ide (1989) menamai jenis kesantunan yang memungkinkan penutur aktif memilih strategi interaktif itu sebagai volition (kemauan), yang merupakan ancangan individualistik. Hal itu dipertentangkan dengan discerment, yang dalam bahasa Jepang disebut wakimae. Wakimae bukanlah kemauan karena hal tersebut tidak bergantung pada kebebasan penutur, tetapi merupakan pilihan (bentuk gramatikal) verbal yang wajib secara sosial. Bertindak menurut wakimae berarti menunjukkan makna tempat atau peran seseorang secara verbal (dan nonverbal) dalam situasi tertentu menurut konvensi sosial.
Perbedaan antara discerment atau wakimae dengan volition (kemauan) dapat dijelaskan sebagai berikut. Discerment direalisasikan terutama melalui berbagai bentuk kebahasaan formal, yang merupakan pilihan wajib, yang mengimplisitkan pesan tentang pemahaman penutur atas situasi sosial. Hal itu melibatkan berbagai bentuk formal seperti honorifik, pronomina, bentuk sapaan, tingkat tutur, formula tuturan, dan sebagainya. Karena itu, dalam bahasa Jepang tidak ada bentuk netral secara sosial. Penutur harus selalu memilih antara bentuk honorifiks atau nonhonorifiks dan hal itu selalu menyampaikan informasi tentang hubungan penutur-petutur. Pemakaian bentuk honorifiks menjadi hal yang absolut karena pemakaian honorifiks atau tidak bukanlah kebebasan pribadi yang sesuai dengan keinginan penutur.
Pemakaian honorifiks secara langsung menunjukkan karakteristik sosiostruktural penutur-petutur. Keabsolutan pemakaian honorifiks ini kemudian bergandengan dengan wakimae. Bertindak menurut wakimae berarti bertindak dengan menunjukkan arti seseorang secara verbal tentang tempat atau peran dalam situasi tertentu menurut konvensi sosial dan bukan kehendak pribadi. Sementara itu, volition dilakukan dengan cara pemilihan strategi interaktif verbal, seperti mencari persetujuan, membuat humor, menunjukkan rasa pesimistis, meminimalisasi tekanan, dan sebagainya. Dalam hal ini, bahasa Indonesia menerapkan konsep volition dan bahasa Jepang menerapkan konsep discerment.
Kesantunan dalam penggunaan bahasa Jepang itu adalah pilihan bahasa otomatis dan wajib karena konsep kesantunan ditempatkan sebagai bentuk pengacuan sosial. Wakimae merupakan keharmonisan sosiopragmatik, yaitu perilaku kesantunan kebahasaan seseorang didikte oleh posisi sosialnya dan hubungan sosialnya dengan petutur. Dalam bahasa Indonesia, tidak ada sistem tata bahasa Indonesia yang secara tetap digunakan untuk menunjukkan kesantunan seperti yang ada dalam sistem bahasa Jepang, yang secara tegas membagi tingkat (undak usuk) bahasa mereka ke dalam dua tingkat, yaitu tuturan santun (polite speech) dan tuturan akrab (familiar speech). Perbedaan kedua tingkatan itu tampak pada akhir kalimat dan pilihan kosakata. Dalam bahasa Jepang, tuturan santun biasanya berakhir dalam bentuk santun, yaitu desu dan masu. Dalam tuturan akrab, tuturan diakhiri dengan bentuk biasa, yaitu bentuk adjektiva dan verba seperti dalam kamus dan bentuk da. Perbedaan bentuk santun dan biasa dalam bahasa Jepang tampak pada penggunaan verba, adjektiva, adjektiva semu, nomina, dan perbedaan lain seperti penggunaan partikel. Karena itulah, penutur bahasa Jepang dalam mewujudkan kesantunan verbal tidak bergantung pada pemilihan modifikasi internal seperti dalam bahasa Indonesia
Contoh:
1.       Kegagalan mengalihkan frasa dan klausa dalam bahasa Inggris yang berpotensi menyampaikan ilokusi A yang berbeda dengan ilokusi B, misalnya:
A: He can t know you ve found it
   Dia tak tahu Anda telah menemukannya’.
B: He can t know you ve found it.
    ‘Dia tidak boleh tahu Anda telah menemukannya.’
A,  memiliki ilokusi melarang sedangkan B memiliki ilokusi pernyataan.
2.       Kegagalan mengalihkan ungkapan rutin dalam bahasa Inggris, misalnya:
A: I beg your pardon? ‘Maaf’ B: I beg your pardon? ‘Maksud Anda?’
Di dalam pernyataan diatas, ungkapan-ungkapan seperti I beg your pardon?, Pardon? I’m sorry, dan Sir? berfungsi sebagai permintaan agar penutur mengulang kembali ucapannya yang mungkin tidak dapat ditangkap dengan jelas, atau karena penutur merasa terkejut dengan ucapan petutur. Begitu pula di dalam konteks situasi ujaran, misalkan: Of course yang serupa dengan Sure dan Certainly yang mengisyaratkan bahwa ungkapan itu berfungsi sebagai ungkapan santun penutur terhadap atasannya yang meminta melakukan sesuatu.
3.       Dalam bahasa Jepang, ungkapan setuju atau menerima lebih cenderung diungkapkan secara langsung yang memiliki perbedaan usia yang cukup jauh dijadikan sebagai bintang tamu dalam sebuah acara Reality Show yang berjudul Open 24 Hours berikut ini:
A: 今日本にちょうかっこいいと思っている。絶対思っている。。。
    Ima nihon ni chou kakko ii to omotteiru. Zettai omotteiru...
   ‘Sekarang kamu menganggap dirimu paling keren di Jepang.
    Pasti menganggap begitu....’
B: いや、思ってないんですよ。
     Iya, omottenain desu yo.
     ‘Tidak. Saya tidak menganggap begitu.’
Dalam percakapan tersebut, si B mengungkapkan penolakan secara langsung atas sebuah proposisi, meskipun itu terhadap seniornya sendiri. Proposisi yang menyatakan bahwa A menganggap dirinya paling keren di Jepang disangkal oleh B dengan mengatakan yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘tidak.’ Di sini diasumsikan bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi pemilihan tindak tutur penolakan secara langsung, selain kelas sosial, jenis kelamin, etnisitas, dan umur.
Tindak tutur merupakan salah satu hal yang dikaji dalam pragmatik. Pragmatik adalah cabang linguistik yang mempelajari proses komunikasi dengan fokus pada bagaimana makna atau pesan komunikasi diproduksi penutur dan persepsi penanggap tutur. Ini menarik karena apa yang diniati penutur seringkali disalahtafsiri oleh penanggap tutur. Salah tafsir ini bergantung pada banyak variabel, seperti suasana fisik, psikis, atau sosiologis. Mungkin juga karena variabel bahasa-bahasa. (Alwasilah 1993).


DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Chaedar A. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa
Al Wasilah, A. Chaedar. 1997. Politik Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.  
Riley,Philip. 2007. Language, Culture and Identity: An Ethnolinguistic Perspective (Advances in Sociolinguistics). London:Continuum.Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://www. youtube.com