Rabu, 10 Oktober 2012

Hasil Revisi Akhir BAB I



BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Di antara sekian banyak bahasa yang ada di dunia, tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang memiliki kesamaan dengan undak-usuk basa (speech level) dalam bahasa Jawa. Sistem tata krama (unggah-ungguh) dan undak-usuk merupakan pencerminan rasa tenggang rasa dan pertimbangan pembicara terhadap lawan bicara dan merupakan sarana untuk mengeratkan hubungan manusia. Di Jawa jika seseorang belum menguasai unggah-ungguhing basa, menurut orang Jawa, orang tersebut dicap ‘‘durung jawa’’. Sedangkan di Jepang tidak ada ungkapan seperti itu, namun, jika seseorang tidak menguasai bahasa hormat, ia akan diasingkan oleh masyarakat sekitarnya.
Pada zaman dahulu di Jepang, penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dititikberatkan pada hierarki dalam masyarakat. Sikap pembicara terhadap status sosial, pangkat, asal usul lawan bicara, menentukan pemakaian bentuk hormat dan kadar hormat yang hendak dipakai dalam penuturannya. Dalam bahasa Jepang, kelompok kata yang dipakai untuk menunjukkan sikap hormat terhadap lawan bicara  ialah Sonkeigo dan Kenjoogo.
Keigo yang dipakai untuk menghormat kepada lawan bicara baru muncul sesudah zaman Kamakura, abad ke-12. Pada waktu itu kaum kesatria mulai memegang kekuasaan menggantikan kaum bangsawan, dan lahirlah susunan status sosial yang baru. Pada pertengahan abad ke-15, Jepang memasuki apa yang disebut ‘‘Zaman perang saudara’’. Tuan-tuan tanah di seluruh Jepang berebutan memperluas wilayah kekuasaannya, dengan saling menyerang antara satu sama yang lain. Pada waktu itu keadaan sosial tidak menentu dan tidak stabil. Kadangkala pengikut rendahan membunuh tuan tanah atau panglima dan mengambil alih kekuasaannya.
Sementara itu, keadaan  di Jawa pada abad ke 15 hingga 17 mirip dengan keadaan di Jepang sebagaimana tersebut di atas. Di Jawa, negara-negara Islam bermunculan di pesisir dan kerajaan Majapahit runtuh sesudah diserang Demak. Karena keadaan politik yang bergolak, masyarakat mengalami ketidakstabilan dan ketidaktentuan. Ada kalanya yang berkedudukan rendah mengambil alih kekuasaan. Tome Pires (dalam Sudaryanto, 1991: 461) menunjukkan adanya patih di daerah pesisir yang hanya tiga hari sebelumnya berkedudukan sebagai budak atau pedagang. Dalam buku tersebut Tome Pires mencatat adanya dua tingkat bahasa yang berlainan, yang menunjukkan keberadaan dua tingkat tutur Ngoko dan Krama.
Dalam bahasa Jepang tingkatan bahasa meliputi ragam bentuk biasa (Futsu) dan bentuk sopan (Teinei) bentuk hormat (Keigo). Secara singkat Terada Takano menyebut keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga Terada (dalam Sudjianto, 2004:189). Hampir sama dengan pendapat tersebut, ada pula yang mengatakan bahwa keigo adalah istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang menaikkan pendengar atau orang yang menjadi pokok pembicaraan dalam Nomura (dalam Sudjianto, 2004:189). Pada dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan).
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa antara tingkat tutur bahasa Jepang dan tingkat tutur bahasa Jawa memiliki persamaan dan perbedaan.  Tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep uchi ‘dalam’ dan soto ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat (sonkeigo) dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam merendah (kenjoogo), sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep seperti itu.
Tingkat tutur dalam bahasa Jawa ini menunjukkan adanya adab sopan santun berbahasa Jawa bagi masyarakat tuturnya. Adab sopan santun berbahasa akan mencerminkan perilaku kebahasaan penuturnya yang sebenarnya merupakan cerminan kemasyarakatannya (Moeliono, 1985:4). Adab sopan santun berbahasa ini disamping ditandai adanya wujud tuturan juga ditandai perbedaan tingkah laku atau sikap penutur sewaktu berbahasa Jawa. Dengan demikian, adab sopan santun berbahasa Jawa mencakup dua faktor, yaitu faktor lingual (linguistik) dan faktor non lingual (non linguistik). Kedua faktor tersebut dalam tindak tutur atau speech act dapat dipilahkan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Adapun persamaan kedua bahasa tersebut adalah baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa sama-sama mempunyai ragam hormat yang digunakan untuk menghormati mitra tutur atau orang yang dituturkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.  

1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti penulis sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah perbedaan bentuk tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak usuk bahasa Jawa?
  2. Bagaimanakah perbedaan penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa?

1.3       Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan perbedaan bentuk tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa.
2.      Mendiskripsikan perbedaan penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa.
Manfaat penelitian ini bagi penulis dan pembaca adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dan undak-unduk bahasa Jawa secara umum dan penggunaannya dalam kalimat sehari-hari secara khusus.


1.4       Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah mengenai bagaimana perbedaan bentuk dan penggunaan bahasa hormat bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh mengenai perbedaan kedua bahasa tersebut, penelitian dilakukan dengan analisis kontrastif, yaitu suatu analisis bahasa yang memiliki tujuan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).


1.5       Sistematika Penulisan
Pada tahap awal, penulis mengumpulkan sumber data penelitian yang berupa buku-buku mengenai bentuk dan penggunaan bentuk hormat  bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa. Lapangan dan perpustakaan merupakan lokasi penelitian bahasa (linguistik). Penelitian di lapangan akan melibatkan hubungan peneliti dengan penutur bahasa yang diteliti, sedangkan penelitian di perpustakaan akan melibatkan hubungan peneliti dengan pustaka (kepustakaan) sebagai sumber data. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan metode simak yang dilanjutkan dengan teknik catat dan foto copy dengan cara mendata sejumlah buku-buku mengenai penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa kemudian memaparkan perbedaannya dalam hal bentuk dan penggunaannya.
Data disajikan dengan menggunakan metode deskriptif. Data dibandingkan kemudian dijabarkan antara penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa untuk menemukan prinsip-prinsip mendasar dari segi bentuk dan penggunaannya. Sehingga akan diperoleh deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data-data, sifat-sifat, serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar