BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Di antara
sekian banyak bahasa yang ada di dunia, tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang memiliki
kesamaan dengan undak-usuk basa (speech level) dalam bahasa Jawa. Sistem tata krama (unggah-ungguh) dan undak-usuk merupakan
pencerminan rasa tenggang rasa dan pertimbangan pembicara terhadap lawan bicara
dan merupakan sarana untuk mengeratkan hubungan manusia. Di Jawa jika seseorang
belum menguasai unggah-ungguhing basa, menurut orang Jawa,
orang tersebut dicap ‘‘durung jawa’’. Sedangkan di Jepang
tidak ada ungkapan seperti itu, namun, jika seseorang tidak menguasai bahasa
hormat, ia akan diasingkan oleh masyarakat sekitarnya.
Pada
zaman dahulu di Jepang, penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dititikberatkan
pada hierarki dalam masyarakat. Sikap pembicara
terhadap status sosial, pangkat, asal usul lawan bicara, menentukan pemakaian bentuk hormat
dan kadar hormat yang hendak dipakai dalam penuturannya. Dalam bahasa Jepang, kelompok kata yang dipakai
untuk menunjukkan sikap hormat terhadap lawan bicara ialah Sonkeigo
dan Kenjoogo.
Keigo yang dipakai untuk menghormat
kepada lawan bicara baru muncul sesudah zaman Kamakura, abad ke-12. Pada waktu
itu kaum kesatria mulai memegang kekuasaan menggantikan kaum bangsawan, dan
lahirlah susunan status sosial yang baru. Pada pertengahan abad ke-15, Jepang
memasuki apa yang disebut ‘‘Zaman perang saudara’’. Tuan-tuan tanah di seluruh Jepang berebutan
memperluas wilayah kekuasaannya, dengan saling menyerang antara satu sama yang
lain. Pada waktu itu keadaan sosial tidak menentu dan tidak stabil. Kadangkala
pengikut rendahan membunuh tuan tanah atau panglima dan mengambil alih
kekuasaannya.
Sementara
itu, keadaan di
Jawa pada abad ke 15 hingga 17 mirip dengan keadaan di Jepang sebagaimana tersebut di atas. Di Jawa, negara-negara Islam
bermunculan di pesisir dan kerajaan Majapahit runtuh sesudah diserang Demak. Karena keadaan
politik yang bergolak, masyarakat mengalami ketidakstabilan dan ketidaktentuan.
Ada kalanya yang berkedudukan rendah mengambil alih kekuasaan. Tome Pires (dalam Sudaryanto, 1991: 461)
menunjukkan adanya patih di daerah pesisir yang hanya tiga hari sebelumnya
berkedudukan sebagai budak atau pedagang. Dalam buku tersebut Tome Pires
mencatat adanya dua tingkat bahasa yang berlainan, yang menunjukkan keberadaan
dua tingkat tutur Ngoko dan Krama.
Dalam
bahasa Jepang tingkatan bahasa meliputi ragam bentuk biasa (Futsu) dan bentuk sopan (Teinei)
bentuk hormat (Keigo). Secara singkat
Terada Takano menyebut keigo sebagai
bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga Terada
(dalam Sudjianto, 2004:189). Hampir sama dengan pendapat tersebut, ada pula
yang mengatakan bahwa keigo adalah
istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang menaikkan pendengar atau orang
yang menjadi pokok pembicaraan dalam Nomura (dalam Sudjianto, 2004:189). Pada
dasarnya keigo dipakai untuk
menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk
menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang
dibicarakan).
Berdasarkan
hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa antara tingkat tutur bahasa Jepang
dan tingkat tutur bahasa Jawa memiliki persamaan dan perbedaan. Tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep uchi
‘dalam’ dan soto ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan
dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara
di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan
adalah ragam menghormat (sonkeigo)
dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu
berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan
adalah ragam merendah (kenjoogo),
sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Tingkat tutur bahasa Jawa
tidak mengenal konsep seperti itu.
Tingkat
tutur dalam bahasa Jawa ini menunjukkan adanya adab sopan santun berbahasa Jawa
bagi masyarakat tuturnya. Adab sopan santun berbahasa akan mencerminkan
perilaku kebahasaan penuturnya yang sebenarnya merupakan cerminan
kemasyarakatannya (Moeliono, 1985:4). Adab sopan santun berbahasa ini disamping
ditandai adanya wujud tuturan juga ditandai perbedaan tingkah laku atau sikap
penutur sewaktu berbahasa Jawa. Dengan demikian, adab sopan santun berbahasa
Jawa mencakup dua faktor, yaitu faktor lingual (linguistik) dan faktor non
lingual (non linguistik). Kedua faktor tersebut dalam tindak tutur atau speech act dapat dipilahkan, akan tetapi
tidak dapat dipisahkan.
Adapun
persamaan kedua bahasa tersebut adalah baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa
sama-sama mempunyai ragam hormat yang digunakan untuk menghormati mitra tutur
atau orang yang dituturkan. Oleh karena itu, segala
sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh
situasi dan kondisi di sekitarnya.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti
penulis sebagai berikut:
- Bagaimanakah perbedaan bentuk tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak usuk bahasa Jawa?
- Bagaimanakah perbedaan penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa?
1.3 Tujuan
dan Manfaat Penelitian
Adapun
tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan perbedaan bentuk tingkatan bahasa dalam bahasa
Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa.
2.
Mendiskripsikan perbedaan penggunaan tingkatan bahasa
dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk
bahasa Jawa.
Manfaat penelitian ini bagi penulis dan pembaca
adalah untuk mengetahui persamaan dan
perbedaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dan undak-unduk bahasa Jawa
secara umum dan penggunaannya dalam kalimat sehari-hari secara khusus.
1.4 Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah
mengenai bagaimana perbedaan bentuk dan penggunaan bahasa hormat bahasa Jepang
dengan undak-usuk bahasa Jawa. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh
mengenai perbedaan kedua bahasa tersebut, penelitian dilakukan dengan analisis kontrastif,
yaitu suatu analisis bahasa yang memiliki tujuan untuk menunjukkan perbedaan
dan persamaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip
yang dapat dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
1.5 Sistematika Penulisan
Pada tahap awal, penulis mengumpulkan sumber data
penelitian yang berupa buku-buku mengenai bentuk dan penggunaan bentuk hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa. Lapangan dan perpustakaan merupakan lokasi
penelitian bahasa (linguistik). Penelitian di lapangan akan melibatkan hubungan
peneliti dengan penutur bahasa yang diteliti, sedangkan penelitian di perpustakaan
akan melibatkan hubungan peneliti dengan pustaka (kepustakaan) sebagai sumber
data. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan metode simak
yang dilanjutkan dengan teknik catat dan foto copy dengan cara mendata sejumlah
buku-buku mengenai penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dan
undak-usuk bahasa Jawa kemudian memaparkan perbedaannya dalam hal bentuk dan
penggunaannya.
Data disajikan dengan menggunakan metode deskriptif.
Data dibandingkan kemudian dijabarkan antara penggunaan tingkatan bahasa dalam
bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa untuk menemukan prinsip-prinsip
mendasar dari segi bentuk dan penggunaannya. Sehingga akan diperoleh deskripsi,
gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data-data,
sifat-sifat, serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar