Senin, 27 Februari 2012

REVISI PROPOSAL 4

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Diantara sekian banyak bahasa yang ada di dunia, bahasa Jepang ada kesamaan dalam hal unda-usuk bahasa (speech level) dengan bahasa Jawa. Sistem tata krama (unggah-ungguh) dan undak-usuk merupakan pencerminan rasa tenggang rasa dan pertimbangan pembicara terhadap lawan bicara dan merupakan sarana untuk mengeratkan hubungan manusia. Di Jawa jika seseorang belum menguasai “unggah-ungguhing basa’’, menurut kata orang Jawa pasti akan di cap ‘’durung jawa’’. Di Jepang tidak ada ungkapan seperti itu, namun, jika seseorang tidak menguasai “unggah-ungguhing basa”, ia akan diasingkan karakter ataupun budi pekertinya, dan ada kalanya menimbulkan amarah bagi lawan bicaranya.
Pada zaman purba dan pertengahan di Jepang, sistem keigo dititikberatkan pada hierarki dalam masyarakat. Sosiolinguistik memandang wujud bahasa di dalam masyarakat karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu saja, akan tetapi sebagai masyarakat sosial. Sikap pembicarara terhadap status sosial, pangkat, asal usul seseorang yang diacu, menentukan memakai atau tidaknya bentuk hormat dan kadar hormat yang hendak dipakai dalam penuturannya. Dalam bahasa Jepang, kelompok kata yang dipakai untuk menunjukkan sikap hormat ialah Sonkeigo dan Kenjoogo.
Keigo yang dipakai untuk menghormat kepada lawan bicara baru muncul sesudah zaman Kamakura, abad ke-12. Pada waktu itu kaum kesatria mulai memegang kekuasaan menggantikan kaum bangsawan, dan lahirlah susunan status sosial yang baru. Pada pertengahan abad ke-15, Jepang memasuki apa yang disebut ‘’Zaman perang saudara’’. Tuan-tuan tanah di seluruh Jepang berebutan memperluas wilayah kekuasaannya, dengan saling menyerang antara satu sama yang lain. Pada waktu itu keadaan sosialnya tidak menentu dan tidak stabil. Kadangkala pengikut rendahan membunuh tuan tanah atau panglima dan mengambil alih kekuasaannya. Sementara itu, kaum pedagang yang berstatus sosial rendah mulai meningkatkan kekayaan sosial seperti itu, diperlukan sekali perhatian dan kewaspadaan terhadap hubungan antarmanusia, dan ini mendorong timbulnya keigo, yang dipakai untuk membentuk ragam bahasa hormat.
Keadaan di Jawa pada abad ke 15-17 mirip dengan keadaan di Jepang sebagaimana tersebut diatas. Di Jawa negara-negara Islam bermunculan di Pesisir dan Kerajaan Majapahit runtuh sesudah diserang Demak. Karena keadaan politik yang bergolak, masyarakat mengalami ketidakstabilan dan ketidaktentuan. Ada kalanya yang berkedudukan rendah mengambil alih kekuasaan. Tulisan Tome Pires dalam buku Suma Oriental (Toohoo Shokokuki hlm.341-342) menunjukkan adanya patih di daerah pesisir yang hanya tiga hari sebelumnya berkedudukan sebagai budak atau pedagang. Dan tempat lain dalam buku tersebut Tome Pires mencatat adanya dua tingkat bahasa yang berlainan, yang menunjukkan keberadaan dua tingkat tutur Ngoko dan Krama.
Dalam bahasa Jepang ragam bahasa hormat meliputi ragam普通Futsu ‘biasa’ dan 丁寧Teinei ‘hormat’ (警護keigo). Secara singkat Terada Takanao menyebut keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga (Terada, 1984:238). Hampir sama dengan pendapat itu, ada juga yang mengatakan bahwa keigo adalah istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang menaikkan pendengar atau orang yang menjadi pokok pembicaraan (Nomura, 1992:54). Pada dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan).
Berdasarkan hasil analisis penulis, diketahui bahwa antara tingkat tutur bahasa Jepang dan tingkat tutur bahasa Jawa memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tingkat tutur bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah, dalam tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan そとsoto ‘luar’ seperti bahasa Jepang.
Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa ini menunjukkan adanya adap sopan santun berbahasa Jawa bagi masyarakat tuturnya. Adab sopan santun berbahasa akan mencerminkan perilaku kebahasaan penuturnya yang sebenarnya merupakan cerminan kemasyarakatannya (cf. Anton M. Moeliono, 1985:4). Adap sopan santun berbahasa ini disamping ditandai adanya wujud tuturan juga ditandai perbedaan tingkah laku atau sikap penutur sewaktu berbahasa Jawa. Dengan demikian, adab sopan santun berbahasa Jawa mencakup dua faktor, yaitu faktor lingual (linguistik) dan faktor non lingual (non linguistik). Kedua faktor tersebut dalam tindak tutur atau speech act dapat dipilahkan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan (cf. Ungkapan dalam bahasa Jawa: Suruh beda lumah lan kurepe yen ginigit padha rasane ‘Sirih berbeda bagian atas dengan bagian bawahnya apabila dikunyah sama rasanya’). Persamaannya adalah kedua bahasa tersebut memiliki ragam biasa dan ragam hormat, baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa sama-sama mempunyai ragam hormat yang digunakan untuk menghormati mitra tutur atau orang yang dituturkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan diteliti penulis sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perbedaan bentuk bahasa hormat Jepang dan undak usuk bahasa Jawa?
2. Bagaimanakah penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan bahasa hormat dalam bahasa Jawa?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian mengenai penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan perbedaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa
2. Mendiskripsikan penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan bahasa hormat dalam bahasa Jawa
Manfaat penelitian ini bagi penulis adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-unduk bahasa Jawa secara umum, terlebih dalam penggunaannya dalam kalimat sehari-hari.

1.4 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penelitian ini, penulis lebih mengkhususkan untuk membatasi masalah mengenai bagaimana bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa agar dalam penulisan skripsi permasalahan yang akan dibahas akan bisa lebih dibatasi. Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun. Meskipun sama-sama memiliki undak-usuk tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh mengenai perbedaan dan persamaan undak-usuk kedua bahasa tersebut, penelitian yang bersifat kontrastif. Suatu analisis bahasa memiliki tujuan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
Latar belakang hidup dalam bermasyarakat Jepang dan Jawa memang masih menjunjung tinggi nilai unggah-ungguh, undak-usuk, adab dalam tata krama atau sopan santun. Dalam bahasa Jepang terdapat dua tingkat tutur, yaitu ragam 普通Futsuu ‘biasa’ dan ragam 丁寧Teinei ‘hormat’, yang meliputi kenjoogo dan sonkeigo. Walaupun kedua ragam itu masing-masing mempunyai kadar hormat yang berbeda-beda, tetapi tidak diberi nama. Sedangkan dalam bahasa Jawa kadar sikap hormat mempunyai tingkat tutur Ngoko, Krama dan Madya dan masing masing terbagi lagi ke dalam beberapa sub tingkat, dan seluruhnya berjumlah 7 atau 9 tingkat. Tiap-tiap tingkat diberi nama masing-masing seperti Muda Krama, Basa Antya dan sebagainya.

1.5 Sistematika Penelitian

Pada awalnya penulis mengumpulkan sumber data penelitian yang berupa buku-buku mengenai sumber data dan teori mengenai penggunaan bentuk hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa. Lapangan dan perpustakaan merupakan lokasi penelitian bahasa (linguistik). Penelitian di lapangan akan melibatkan hubungan peneliti dengan penutur bahasa yang diteliti, sedangkan penelitian diperpustakaan akan melibatkan hubungan peneliti dengan pustaka (kepustakaan) sebagai sumber data. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan metode simak yang dilanjutkan dengan teknik catat dan foto copy dengan cara mendata sejumlah buku-buku mengenai penggunaan bentuk hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa kemudian memaparkannya secara kontras dalam hal penggunaannya.
Data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kontrastif. Data dijabarkan kemudian dibandingkan antara penggunaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa agar menemukan prinsip-prinsip mendasar dari segi bentuk penggunaan, persamaan dan perbedaannya. Sehingga akan diperoleh deskripsi, gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai data-data, sifat-sifat, serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar