Kamis, 16 Februari 2012

REVISI 2 BAB II

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Pada bab ini akan diuraikan bagaimana penggunaan bentuk keigo bahasa Jepang, krama dalam bahasa Jawa serta perbedaan mengenai undak-usuk bahasa Jepang dan Bahasa Jawa. Pada dasarnya keigo ‘bahasa hormat’ dalam bahasa Jepang dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Nakano Toshio (dalam Sudjianto, 1999:149) menjelaskan bahwa keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau bawahan, guru atau murid
3. Jenis kelamin :pria atau wanita (wanita lebih banyak menggunakan keigo)
4. Keakraban : orang dalam atau orang luar (terhadap luar memakai keigo)
5. Gaya bahasa : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan
6. Pribadi atau umum : rapat, upacara, atau kegiatan apa
7. Pendidikan :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo).
Bagi para pembelajar bahasa Jepang dalam situasi-situasi tertentu memang dituntut untuk menggunakan keigo (bahasa hormat) sehingga walau bagaimanapun kita harus menguasainya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit peran pemakaian keigo bagi para penuturnya. Secara singkat Hinata Shigeo (2000:15-17) menyebutkan keefektifan dan peran konkrit pemakaian keigo tersebut sebagai berikut:
1. Menyatakan penghormatan mengenai hal ini tidak perlu dijelaskan lagi, karena peran keigo ini dapat dikatakan merupakan dasar keefektifan keigo. Lawan bicara yang dihormati adalah atasan atau orang yang posisinya tinggi secara sosial, tetapi sudah tentu didalamnya termasuk orang-orang yang berdasarkan pada hubungan manusia yang berada dalam bidang perdagangan dan bisnis.
2. Menyatakan perasaan formal bukan di dalam hubungan atau situasi pribadi, di dalam hubungan atau situasi resmi dilakukan pemakaian bahasa yang kaku dan formal. Misalnya didalam sambutan upacara pernikahan, di dalam rapat atau ceramah yang resmi dan sebagainya dipakai bahasa halus atau bahasa hormat sebagai etika sosial. Berbicara dengan ragam akrab dalam situasi seperti ini kadang-kadang menjadi tidak sopan.
3. Menyatakan jarak diantara pembicara dan lawan bicara yang baru pertama kali bertemu atau yang perlu berbicara dengan sopan biasanya terdapat jarak secara psikologis. Dalam situasi seperti itu hubungan akan dijaga dengan menggunalkan bahasa halus atau bahasa hormat secara wajar. Pemakaian bahasa atau sikap yang terlalu ramah kadang-kadang akan menjadi kasar atau tidak sopan
4. Menjaga martabat keigo pada dasarnya menyatakan penghormatan terhadap lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Tetapi dengan dapat menggunakan keigo secara tepat dapat juga menyatakan pendidikan atau martabat pembicaranya.
5. Menyatakan rasa kasih sayang keigo yang digunakan para orang tua atau guru taman kanak-kanak kepada anak-anak dapat dikatakan sebagai bahasa yang menyatakan perasaan kasih sayang atau menyatakan kebaikan hati penuturnya
6. Ada kalanya menyatakan sindiran, celaan, atau olok-olok. Hal ini merupakan ungkapan yang mengambil keefektifan keigo yang sebaliknya, misalnya mengucapkan: Hontou ni gorippa na otaku desu koto ‘Rumah yang benar-benar bagus’bagi sebuah apartemen yang murah, atau mengucapkan kalimat Aitsu mo zuibun goseichou asobimashita mono da’ ‘Dia juga orang yang benar-benar sudah dewasa’. Kalimat-kalimat itu secara efektif dapat mengungkapkan sindiran, celaan atau olok-olok.
Dalam tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri.
Uchi adalah kelompok orang yang ada dilingkungan sendiri, seperti orang-orang di lingkungan keluarga, kantor pembicara, sekolah, klub sekolah atau kelompok masyarakat. Soto adalah kelompok orang yang diluar lingkungan keluarga, kantor pembicara, sekolah, klub sekolah ataukelompok masyarakat.
Pengelompokan uchi dan soto dikonseptualisasikan sebagai rangkaian lingkaran yang tumpang tindih. Posisi seseorang dalam kelompok relatif terhadap kelompok lain tergantung pada konteks situasi dan umur. Sebagai contoh, seseorang biasanya memiliki keluarga, pekerjaan, dan kelompok lain atau organisasi yang mereka miliki. Posisi mereka dalam berbagai kelompok dan dalam hubungan dengan kelompok lain, berubah sesuai dengan keadaan pada saat tertentu. Misalnya: seorang pegawai kantor yang menduduki jabatan manager personalia. Orang-orang yang ada dibagian personalia adalah kelompok uchi-nya sedangkan direktur perusahaan, pegawai dan bagian lain adalah kelompok soto-nya. Akan tetapi dia dalam berbicara dengan pelanggan/karyawan dari perusahaan lain, keseluruhan dari perusahaan tempat dia bekerja menjadi kelompok uchi-nya.
Sedangkan orang-orang diluar perusahaannya adalah soto. Pada waktu pembicara berbicara tentang uchi no hito (orang dalam) kepada soto no hito (orang luar), maka harus memperlakukan uchi no hito sama seperti diri sendiri. Bahasa yang digunakan untuk menunjukkan aksi dan gerak-gerik uchi no hito harus sama dengan yang kita pakai untuk diri sendiri. Oleh karena itu, meskipun kedudukan uchi no hito lebih tinggi, pembicara tidak menggunakan bahasa sopan (keigo) untuk menghormatinya. Ketika membicarakan masalah uchi dan soto yang terpenting adalah konteks yang dibicarakan. Misalnya, atasan kita dikantor dapat menjadi soto no hito ketika kita membicarakannya dengan keluarga dirumah. Namun, ia juga bisa menjadi uchi no hito ketika kita membicarakannya dengan klien/partner kerja dari perusahaan/kantor lain. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan そとsoto ‘luar’ seperti bahasa Jepang.
Dalam bahasa Jawa penggunaaan bentuk krama (bahasa hormat) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat). Berikut ini gambaran mengenai hubungannya yang berkaitan dengan status sosial:
1. Hubungan simetris:
a. antara orang muda: ngoko, madya
b. antara orang tua: ngoko, krama
c. antara priyayi dan tukang sayur :madya
d. antara orang yang belum saling kenal: krama, madya
2. Hubungan asimetris:
a. anak kepada orang tua: krama, dan orang tua kepada anak : ngoko
b. pembantu rumah tangga (tukang sayur) kepada tuan rumah: madya, dan tuan rumah kepada pembantu rumah tangga (tukang sayur): ngoko.
Untuk menyusun kalimat di dalam bahasa Jawa, sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan ( secara pragmatik). Pertimbangan pertama berkenaan dengan pertanyaan bagaimana jenis hubungan antara si pembicara dan lawan bicara. Ini untuk menetapkan apakah digunakan konstruksi ngoko, madya, atau krama. Pada pertimbangan kedua, berdasarkan jenis hubungan antarasi pembicara dan lawan bicara itu ditentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak. Selain itu untuk menentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak, juga dipertimbangkan jenis hubungan si pembicara atau lawan bicara dengan orang lain yang sedang dibicarakan.
Contoh:
1. Saya sudah makan. Bapak sudah makan atau belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Bapak wis dhahar durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Bapak mpun dhahar dereng?
c. Krama: Kulo sampun nedha. Bapak sampun dhahar dereng?
2. Saya sudah makan. Agus sudah makan belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Agus wis mangan durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Agus mpun nedha dereng?
c. Krama: Kula sampun nedha. Agus sampun nedha dereng?
Selain terdapat bentuk honorifik (sopan santun/unggah-ungguh) untuk ‘’meninggikan’’ orang lain yang dihormati (yang disebut Krama Inggil), terdapat pula bentuk honorifik untuk ‘’merendahkan diri si pembicara. Bentuk seperti ini disebut ‘’krama andhap’’. Bentuk krama inggil harus dipakai pada waktu berbahasa dengan atau mengenai orang yang dihormati.
Sopan santun bebahasa disebut juga dengan istilah etiket tutur. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari istilah Clifford Geertz yaitu linguistic etiquette yang dimuat di dalam bukunya The Relegion of Java (1967). Kemudian di dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) sebagai terjemahan buku Clifford Geertz tersebut disebut sopan santun berbahasa.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam sopan santun berbahasa Jawa yaitu pilihan bentuk linguistik atau bentuk lingual dan sikap andhap asor. Andhap asor berarti merendahkan diri sendiri dengan kepada setiap orang yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi. (Clifford Geertz, 1981:326). Pernyataan Clifford Geerts tersebut telah memperhitungkan tingkat tutur (faktor lingual) dan faktor non-lingual dalam berbahasa Jawa. Pilihan bentuk linguistik mengarah kepada relasi atau hubungan penutur dengan lawan tutur (faktor non-lingual).
Khusus mengenai faktor lingual akan tercermin di dalam perbedaan bentuk tingkat tutur (ngoko, krama, madya). Sebagai contoh: misalnya seseorang akan menyapa orang lain: Hendak pergi ke mana?, maka bentuk tuturannya sebagai berikut:
a. Arep menyang ngendi?
b. Ajeng teng pundi?
c. Badhe tindak dhateng pundi?
Adanya ketiga bentuk tuturan diatas menunjukkan adanya perbedaan relasi antara penutur dengan lawan tutur. Perbedaan relasi tersebut akan dapat mengakibatkan perbedaan sopan santun antara penutur dengan lawan tuturnya. Tuturan (a) dapat menyatakan rasa sopan santun yang rendah (low honorifics), tuturan (b) menyatakan rasa sopan santun yang sedang, sedangkan tuturan (c) menyatakan rasa sopan santun yang tinggi (high honorifics). Hal yang demikian itu jelaslah bahwa penutur bahasa Jawa dalam berbahasa Jawa lebih menekankan orang atau siapa yang diajak bicara, dan bukannya waktu berbicara maupun hal yang dibicarakan.
Sehubungan dengan pemilihan suatu tingkat tutur Soeroso (1990:6-7) menyatakan bahwa ada empat langkah yang harus selalu diingat dandilakukan bagi seorang penutur yang akan berbahasa Jawa. Keempat langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mawas diri
Penutur menempatkan dirinya terhadap lawan tuturnya, dan ada tiga kemungkinan:
a. penutur lebih rendah daripada lawan tutur
b. penutur sederajat dengan lawan tutur
c. penutur lebih tinggi kedudukannya dengan lawan tutur
2. Memilih bahasa
b. apabila penutur lebih rendah daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa krama;
c. apabila penutur sederajat dengan lawan tutur, penutur menggunakan bahasa madya, ngoko;
d. apabila penutur lebih tinggi daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa ngoko.
3. Memilih kata
Dalam menggunakan bahasa seperti tersebut pada langkah yang kedua perlu dipilih kata yang tepat.
4. Menetapkan sikap
Sikap berbicara disesuikan dengan sikap diri misalnya sikap hormat, sikap santai, dan sebagainya.
Keempat langkah diatas berdasarkan analisis secara psikologis, yang tentu saja langkah-langkahnya berlangsung secara ‘’otomatis’’ pada jiwa penutur. Pada langkah pertama (mawas diri) dan langkah keempat (menetapkan sikap) berkaitan dengan faktor non-lingual dalam berbahasa yang menyangkut relasi penutur dengan lawan tutur. Langkah kedua (memilih bahasa) dan langkah langkah ketiga (memilih kata) berkaitan dengan pemilihan tingkat tutur.
Didalam hal pemilihan tingkat tutur penutur dihadapkan adanya berbagai kemungkinan pilihan tingkat tutur. Oleh karena itu, penutur harus memilihkan jenis-jenis tingkat tutur yang ada di dalam masyarakat tutur Jawa. Pemilihan dan sekaligus pemilahan tingkat tutur ini memperhatikan manusia sebagai peserta tutur, yang dapat berarti manusia ditempatkan pada posisi utama. Pernyataan yang demikian itu dapat dikaitkan dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa misalnya: rumangsa ora diwongake ‘merasa tidak diperhatikan/tidak dihormati’, katimbang kalah uwong aluwung kalah uwang ‘daripada kalah orang (tidak diperhatikan) lebih baik kalah uang’. Kedua ungkapan tersebut hanyalah untuk memberikan gambaran atau perbandingan tentang peranan manusia (dalam hal ini penutur) dalam berbahasa Jawa yang berkaitan dengan pemilihan dan pemilahan tingkat tutur.
Adanya bentuk tuturan yang dapat mencerminkan rasa sopan santun berarti pula tingkat tutur berkaitan erat dengan sopan santun berbahasa. Sopan santun berbahasa itu sendiri merupakan ajaran yang patut untuk dilaksanakan dalam masyarakat tutur jawa. Sehubungan dengan hal itu Suwadji (1985:14-15) menyatakan sebagai berikut:
a. Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang,
b. Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa,
c. Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur Jawa menghormati lawan tuturnya,
d. Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.
Keempat pernyataan diatas menunjukkan adanya prinsip pokok dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Dalam hal inipemilihan tingkat tutur (sebagai faktor lingual dalam berbahasa) mengiringi sopan santun berbahasa yang dapat diamatai dalam suatu peristiwa tutur. Prinsip pokok dan fungsi tersebut apabila dipahami secara benar dapat menumbuhkan rasa kebanggaan orang Jawa memiliki bahasa Jawa.
Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian dari sopan santun atau tatakrama Jawa. Berdasarkan tulisan Mas Sastrodiwiryo (dalam Sunarto Poerbosuharjo, 1989:5) dalam bukunya yang berjudul Tatakrama Jawi (1928) di jelaskannya bahwa tatakrama memiliki enam hal sebagai berikut:
1. Tuwuhipun tatakrama saking sesrawungan
‘Tumbuhnya tatakrama dari pergaulan’,
2. Landhesanipun wonten ing tatacara
‘Dasarnya di dalam tatacara’,
3. Ingkang dados dhasar kurban dhiri
‘Yang menjadi dasar korban diri’
4. Pangukuripun mawi dugi prayogi
‘Pengukurnya dengan perkiraan yang baik’,
5. Penindakipun mawi patrap, pangucap, busana
‘Prakteknya dengan tindakan, ucapan, busana’
6. Pangesthinipun hanjagi murih rahayuning pasrawungan.
‘Tujuannya menjaga agar terjadi keselamatan dalam pergaulan’.
Keenam hal tersebut apabiala dihubungkan dengan sopan santun berbahasa terdapat pada hal yang kelima yaitu praktek tatakrama. Tatakrama dalam praktek diperhatikan adanya tiga hal yaitu: patrap, pangucap, dan busana. Khusus di dalam pangucap salah satu hal yang patut diperhatikan yaitu adanya pemilihan tingkat tutur yang tepat. Dengan pemilihan tingkat tutur yang tepat merupakan satu hal yang dapat menciptakan suasana harmonis di dalam pergaulan khususnya dalam peristiwa tutur. Bentuk tuturan krama yang disertai patrap yang kasar tidaklah menciptakan suasana harmonis didalam pergaulan.

Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun, meskipun sama-sama memiliki undak-usuk tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Hal-hal yang menjadi perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa tersebut selain masalah huruf (Kanji, Hiragana, Katakana dalam bahasa Jepang) juga masalah pada hukum/aturan dan susunan kalimat. Misalnya: susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat). Sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam berbahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).
Undak-usuk merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaanya ditentukan oleh anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra tutur. Tingkat tutur (undak-usuk) merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlokutornya (Suwito, 1983:25). Dengan undak-usuk semacam itu, maka sebelum seseorang mengungkapkan bahasanya ia harus menyadari lebih dulu posisi sosialnya terhadap mitra wicara.
Singkatnya, undak-usuk bahasa Jawa dan bahasa Jepang terdiri unggah-ungguh basa yang meliputi: ngoko, madya, dan krama yang mempunyai beberapa sub tingatan yang terdiri dari 7 atau 9 tingkatan, dengan pengkontrasan bentuk keigohou dalam bahasa Jepang yang terdiri dari Futsuu/Teinei, Sonkeigo, dan Kenjougo. Pembahasan lebih lanjut mengenai undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa akan dibahas dalam BAB III.

Dalam berbicara undak-usuk bahasa pasti ada kaitannya dengan unggah-ungguh basa. Unggah-ungguh basa adalah sopan santun dalam berbahasa Jawa. Unggah-ungguh basa berujud tingkatan-tingkatan dalam tutur bahasa. Masing-masing tingkatan dibentuk oleh penutur, semata-mata hanya dimaksudkan terhadap siapa penutur itu berbicara, bukannya terhadap orang lain di luar lawan bicara. (Sudaryanto, 1993:273).
Pemakaian bahasa dikontrol oleh faktor-faktor yang bersifat sosial dan situasional. Berbagai jenis variasi bahasa seperti ragam bahasa formal/nonformal laras tutur (speech level), register, dialek, sosiolek, kronolek dan sebagainya yang berlatar belakang konteks sosial dan hubungan struktur kemasyarakatan dengan wujud bahasa menjadi kajian sosiolinguistik. Misalnya dalam sosiolinguistik dalam hal ini khususnya sosiolinguistik bahasa Jawa, seseorang yang yang memiliki status sosial yang tinggi (krama) kepada mitra wicaranya yang memiliki status sosial lebih rendah akan memberikan laras tutur, yang lebih rendah (ngoko).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa berbeda. Misalnya: Teineigo/ragam sopan dalam bahasa Jepang dipakai untuk menyatakan rasa hormat dan memperindah suatu pokok pembicaraan agar terdengar lebih enak dan halus, tanpa memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun tingkat kekerabatan pembicara terhadap mitra wicara, umumnya ragam ini banyak dipakai oleh kaum perempuan. Padanan teineigo ini dalam bahasa Jawa adalah ragam krama, padahal krama dalam bahasa Jawa sangat dipengaruhi oleh derajat sosial, umur atau tingkat kekerabatan, hal inilah terkadang yang membuat bingung para pembelajar, bahkan sering terjadi kesalahan dalam pemilihan padanan dalam bahasa sasaran. Selain itu, dalam bahasa Jawa tidak ada perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan. Dari perbedaan undak-usuk tersebut penelitian secara kontrastif perlu dilakukan.

2.2 Metode

Dalam suatu penelitian pasti akan membicararakan suatu metode atau teknik tertentu. Metode atau teknik digunakan untuk menunjukkan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung dengan satu dengan yang lain. Kata metode dan teknik sama-sama memiliki arti ‘’cara’’ dalam suatu upaya. Kata metode berasal dari bahasa Sansekerta metodos yang berarti ‘’cara’’. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode. (Sudaryanto, 1993:9).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kontrastif yang meliputi pengumpulan data, analisis data dan perbandingan hasil analisis data atau juga dikenal dengan sebutan analisis kontrastif, yaitu metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode distribusional dalam tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap penganalisisan data dan tahap penyajian data (Sudaryanto,1993:5-7). Metode kajian distribungsional menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribungsional memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti. Metode ini berhubungan erat dengan paham strukturalisme de Saussure (1916), bahwa setiap unsur bahasa berhubungan satu sama lain, membentuk satu kesatuan padu (the whole unified). Metode distribungsional ini sejalan dengan penelitian deskriptif dalam membentuk perilaku data penelitian. (Fatimah, 2006:69).
Penelitian ini bersifat kontrastif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan kemudian memaparkannya secara deskriptif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis kontrastif terdiri dari atas dua tahap yaitu penjabaran dan perbandingan yang meliputi pengumpulan data, dan perbandingan hasil analisis data. Analisis dilakukan secara terpisah dimana bahasa Jepang dan bahasa Jawa diamati dari sudut pandang pendekatan masing-masing bahasa lalu diperbandingkan untuk menemukan perbedaan bentuk bahasa dan makna bahasa yang menjadi ciri khas bahasa yang bersangkutan. Dengan metode analisis kontrastif secara khusus dilakukan perbandingan antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa yang menghasilkan sejumlah fakta berupa persamaan dan perbedaan antara undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa.

2.3 Kerangka Teori

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang digunakan untuk membimbing dan memberi arahan dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis. Teori merupakan seperangkat hipotesis yang dipergunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik yang bersifat lahiriah seperti bunyi bahasa, maupun yang bersifat batin seperti makna (Kridalaksana, 2000:23). Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami, menjelaskan, dan menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan memberi arah dalam penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan landasan teori struktural. Teori struktural merupakan pendekatan bahasa yang mula-mula dikembangkan oleh Bloomfield. Teori ini membahas bahasa dari segi strukturnya. Aliran strukturalisme sangat mementingkan keobjektifan dalam bahasa. Karena bahasa merupakan sebuah sistem, maka dengan sejumlah data dapat diketahui strukturnya.
Pengertian struktural berkaitan dengan atau memiliki struktur, menggunakan teori atau pendekatan, ataupun dipandang dari segi struktur. Strukturalisme dapat pula diartikan sebagai pendekatan analisis bahasa secara eksplisit kepada berbagai unsur bahasa sebagai struktur dan sistem (Kridalaksana, 2000:203).
Teori struktural dalam linguistik berhubungan dengan bentuk-bentuk, fungsi-fungsi struktural, dan hubungan antar komponen tutur yang dapat diamati pula dengan kata lain dalam analisis gramatik haruslah bersifat formal berdasarkan perilaku yang dapat diamati dalam bahasa (Ramlan, 1979: 79). Karena dalam penelitian ini penulis membandingkan undak-usuk dua bahasa yang tidak serumpun antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa, penulis wajib menggunakan metode kontrastif dalam penelitian ini.
Kata ‘’kontrastif’’ dan ‘’komparatif’’ mempunyai komponen makna yang sama ataupun mirip yakni perbandingan. Dua kata yang bersinonim itu setelah menjadi istilah-istilah khusus, mengandung pengertian yang secara tegas berbeda. Kata kontrastif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang tidak serumpun sedangkan komparatif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang serumpun. Linguistik komparatif bersifat diakronik, sedangkan analisis kontrastif cenderung bersifat deskriptif yakni sinkronik.

2.3.1 Pengertian Linguistik Kontrastif

Kata kontrastif berasal dari perkataan Contrastive yaitu keadaan yang diturunkan dari kata kerja to contras artinya berbeda atau bertentangan. Dalam The American Collage Dictionary terdapat penjelasan sebagai berikut, ‘’Contras: to set in opposition in order to show unlikeness, compare by observing differences. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan istilah linguistik kontrastif adalah ilmu bahasa yang meneliti perbedaan-perbedaan, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang terdapat pada dua bahasa atau lebih yang tidak serumpun.
Linguistik kontrastif (対照言語学taishou-gengogaku) yang disebut linguistik bandingan merupakan kajian linguistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang berbeda. Pendeskripsian persamaan dan perbedaan tersebut, akan bermanfaat untuk pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke-2 (bahasa asing). Misalnya: dengan dideskripsikannya persamaan dan perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara jelas dan lengkap, akan membantu dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang Jepang, atau pengajaran bahasa Jepang untuk orang Indonesia. Karena, sekurang-kurangnya kesalahan berbahasa (誤用goyou) akibat pengaruh bahasa ibu (母語干渉bogo-kanshou) pada pembelajar kedua bahasa tersebut akan dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan (Dedi Sutedi, 2003:190).

2.3.2 Pengertian Linguistik Komparatif

Linguistik historis komparatif merupakan cabang ilmu dari ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tersebut, serta lebih menekankan teknik penelusuran ke dalam pra sejarah bahasa.
Linguistik komparatif atau linguistik bandingan, merupakan suatu cabang dari ilmu bahasa (linguistik) yang berusaha untuk meletakkan dasar-dasar pengertian tentang perkembangan dan kekerabatan antara bahasa-bahasa di dunia dan mencoba menemukan unsur-unsur pengaruh timbal balik dalam sejarah. Dalam kaitannya membandingkan dua bahasa diperlukan juga adanya linguistik bandingan tripolis, yakni cabang linguistik bandingan yang secara sistematis mempelajari hubungan antara bahasa-bahasa melalui salah satu ciri yang utama dalam bentuk atau struktur yang sama-sama dimilikinya. (Keraf, 1990:2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar