Kamis, 02 Februari 2012

GAMBARAN BAB II revisi

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Gambaran Umum

Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun, meskipun sama-sama memiliki undak-usuk tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Hal-hal yang menjadi perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa tersebut selain masalah huruf (Kanji, Hiragana, Katakana dalam bahasa Jepang) juga masalah pada hukum/aturan dan susunan kalimat. Misalnya: susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat). Sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam berbahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).
Undak-usuk merupakan variasi bahasa yang perbedaan-perbedaanya ditentukan oleh anggapan penutur tentang relasinya dengan mitra tutur. Tingkat tutur (undak-usuk) merupakan variasi bahasa yang pemakaiannya didasarkan pada tingkat-tingkat kelas atau status sosial interlokutornya (Suwito, 1983:25). Dengan undak-usuk semacam itu, maka sebelum seseorang mengungkapkan bahasanya ia harus menyadari lebih dulu posisi sosialnya terhadap mitra wicara. Sosiolinguistik memandang wujud bahasa dalam hubungan dengan pemakaian bahasa di dalam masyarakat, karena dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu saja, akan tetapi sebagai bagian masyarakat sosial. Misalnya:dalam sosiolinguistik bahasa Jawa seseorang yang memiliki status sosial lebih rendah akan memberikan laras tutur (speech level) yang tinggi (krama) kepada mitra wicaranya yang memiliki status sosial yang tinggi. Sementara itu, sang mitra wicara yang memiliki status sosial tinggi akan memberikan laras tutur yang rendah (ngoko).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem undak-usuk dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa berbeda. Misalnya: Teineigo/ragam sopan dalam bahasa Jepang dipakai untuk menyatakan rasa hormat dan memperindah suatu pook pembicaraan agar terdengar lebih enak dan halus, tanpa memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun tingkat kekerabatan pembicara terhadap mitra wicara, umumnya ragam ini banyak dipakai oleh kaum perempuan. Padanan teineigo ini dalam bahasa Jawa adalah ragam krama, padahal krama dalam bahasa Jawa sangat dipengaruhi oleh derajat sosial, umur atau tingkat kekerabatan, hal inilah terkadang yang membuat bingung para pembelajar, bahkan sering terjadi kesalahan dalam pemilihan padanan dalam bahasa sasaran. Selain itu, dalam bahasa Jawa tidak ada perbedaan antara bahasa laki-laki dan perempuan. Dari perbedaan undak-usuk tersebut penelitian secara kontrastif perlu dilakukan.

2.2 Hubungan Linguistik Kontrastif dan Komparatif

Kata ‘’kontrastif dan komparatif mempunyai komponen makna yang sama ataupun mirip yakni perbandingan. Dua kata yang bersinonim itu setelah menjadi istilah-istilah khusus, mengandung pengertian yang secara tegas berbeda. Kata kontrastif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang tidak serumpun sedangkan komparatif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang serumpun. Linguistik komparatif bersifat diakronik, sedangkan analisis kontrastif cenderung bersifat deskriptif yakni sinkronik.

2.2.1 Pengertian Linguistik Kontrastif

Kata kontrastif berasal dari perkataan Contrastive yaitu keadaan yang dituturkan dari kata kerja to contras artinya berbeda atau bertentangan. Dalam The American Collage Dictionary terdapat penjelasan sebagai berikut, ‘’Contras: to set in opposittion in order to show unlikeness, compare by observing differences. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan istilah linguistik kontrastif adalah ilmu bahasa yang meneliti perbedaan-perbedaan, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang terdapat pada dua bahasa atau lebih yang tidak serumpun.
Linguistik kontrastif (対照言語学taishou-gengogaku) yang disebut linguistik bandingan merupakan kajian linguistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang berbeda. Pendeskripsian persamaan dan perbedaan tersebut, akan bermanfaat untuk pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke-2 (bahasa asing). Misalnya: dengan dideskripsikannya persamaan dan perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara jelas dan lengkap, akan membantu dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang Jepang, atau pengajaran bahasa Jepang untuk orang Indonesia. Karena, sekurang-kurangnya kesalahan berbahasa (誤用goyou) akibat pengaruh bahasa ibu (母語干渉bogo-kanshou) pada pembelajar kedua bahasa tersebut akan dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan (Dedi Sutedi, 2003:190).

2.2.2 Pengertian Linguistik Komparatif

Linguistik historis komparatif merupakan cabang ilmu dari ilmu bahasa yang mempersoalkan bahasa dalam bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam bidang waktu tersebut, serta lebih menekankan teknik penelusuran ke dalam pra sejarah bahasa.

2.3 Peran Keigo (Bahasa Hormat) Dalam Bahasa Jepang

Bagi para pembelajar bahasa Jepang dalam situasi-situasi tertentu memang dituntut untuk menggunakan keigo (bahasa hormat) sehingga walau bagaimanapun kita harus menguasainya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit peran pemakaian keigo bagi para penuturnya. Secara singkat Hinata Shigeo (2000:15-17) menyebutkan keefektifan dan peran konkrit pemakaian keigo tersebut sebagai berikut:
1. Menyatakan penghormatan mengenai hal ini tidak perlu dijelaskan lagi, karena peran keigo ini dapat dikatakan merupakan dasar keefektifan keigo. Lawan bicara yang dihormati adalah atasan atau orang yang posisinya tinggi secara sosial, tetapi sudah tentu didalamnya termasuk orang-orang yang berdasarkan pada hubungan manusia yang berada dalam bidang perdagangan dan bisnis.
2. Menyatakan perasaan formal bukan di dalam hubungan atau situasi pribadi, di dalam hubungan atau situasi resmi dilakukan pemakaian bahasa yang kaku dan formal. Misalnya didalam sambutan upacara pernikahan, di dalam rapat atau ceramah yang resmi dan sebagainya dipakai bahasa halus atau bahasa hormat sebagai etika sosial. Berbicara dengan ragam akrab dalam situasi seperti ini kadang-kadang menjadi tidak sopan.
3. Menyatakan jarak diantara pembicara dan lawan bicara yang baru pertama kali bertemu atau yang perlu berbicara dengan sopan biasanya terdapat jarak secara psikologis. Dalam situasi seperti itu hubungan akan dijaga dengan menggunalkan bahasa halus atau bahasa hormat secara wajar. Pemakaian bahasa atau sikap yang terlalu ramah kadang-kadang akan menjadi kasar atau tidak sopan
4. Menjaga martabat keigo pada dasarnya menyatakan penghormatan terhadap lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Tetapi dengan dapat menggunakan keigo secara tepat dapat juga menyatakan pendidikan atau martabat pembicaranya.
5. Menyatakan rasa kasih sayang keigo yang digunakan para orang tua atau guru taman kanak-kanak kepada anak-anak dapat dikatakan sebagai bahasa yang menyatakan perasaan kasih sayang atau menyatakan kebaikan hati penuturnya
6. Ada kalanya menyatakan sindiran, celaan, atau olok-olok. Hal ini merupakan ungkapan yang mengambil keefektifan keigo yang sebaliknya, misalnya mengucapkan: Hontou ni gorippa na otaku desu koto ‘Rumah yang benar-benar bagus’bagi sebuah apartemen yang murah, atau mengucapkan kalimat Aitsu mo zuibun goseichou asobimashita mono da’ ‘Dia juga orang yang benar-benar sudah dewasa’. Kalimat-kalimat itu secara efektif dapat mengungkapkan sindiran, celaan atau olok-olok.

2.3.1 Jenis-jenis Keigo Dalam Bahasa Jepang

Dalam menggunakan ‘’KEIGOHOO’’ atau Kaidah Bentuk Hormat adalah istilah yang sepadan dengan ‘’unggah-ungguhing basa’’ dalam bahasa Jawa pada umumnya keigo dibagi menjadi tiga kelompok. Sebagai contoh, Nomura Masaaki dan Koike Seiji dalam Nihongo Jiten (1992:54) membagi keigo menjadi sonkeigo, kenjougo, dan teineigo. Lalu Hirai Masao dalam Shinkokugo Handobukku (1982: 131-132) membagi keigo menjadi teineigo, sonkeigo dan kensongo/kenjougo. Begitu juga Ogawa Yoshio (1989: 228) dalam Nihongo Kyouiku Jiten membagi keigo menjadi sonkeigo, kensongo dan teineigo.
Sedang menurut Kamus Reikai Shinkokugo Jiten (1987:279) keigo adalah
話してや聞き手が読み手や、また話題に上がっている人や、物事に対して、敬意を表したり、丁寧に表現したりするために使う言葉。
Hanashiteya, kikite ga yomite ya, mata wadai ni agatte iru hito ya, monogoto ni taishite, keii o arawashitari, teinei ni hyougen shitari suru tame ni tsukau kotoba.
‘Ungkapan yang dipakai oleh pembicara ataupun penulis untuk menyatakan perasaan hormat dan sopan santun terhadap lawan bicara, pembaca dan orang yang dibicarakan’. Dijelaskan juga dalam Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar, keigo adalah ‘’Ungkapan yang menunjukkan tingkat kehormatan yang dibedakan menurut hubungan tinggi dan rendahnya kedudukan atau tingkat keakraban diantara pembicara dan pendengar atau orang yang sedang dibicarakan (terutama yang menunjukkan rasa hormat terhadap pendengar atau orang yang dibicarakan) (1988:524).
Pada dasarnya bahasa hormat (keigo) dalam bahasa Jepang dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Nakano Toshio (dalam Sudjianto, 1999:149) menjelaskan bahwa keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau bawahan, guru atau murid
3. Jenis kelamin :pria atau wanita (wanita lebih banyak menggunakan keigo)
4. Keakraban : orang dalam atau orang luar (terhadap luar memakai keigo)
5. Gaya bahasa : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan
6. Pribadi atau umum : rapat, upacara, atau kegiatan apa
7. Pendidikan :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo).

2.3.2  Sonkeigo

Sonkeigo dipakai bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan atasan sebagai orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya, yang berhubungan dengan lawan bicara (termasuk aktifitas dan segala sesuatu yang berkaitannya). Sonkeigo merupakan cara bertutur kata yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (Hirai, 1985: 132)
Sementara itu Oishi Shotaro (1985:25) menjelaskan bahwa sonkeigo adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan. Dengan cara menyebut sensei kepada orang yang dibicarakandan dengan mengucapkan kata irassharu bagi aktifitasnya seperti pada kalimat Sensei ga ryokou ni irashaimasu先生が旅行にいらっしゃいます’ Pak guru akan pergi berdarmawisata’ merupakan cara untuk menyatakan rasa hormat pembicara terhadap orang yang dibicarakan dengan cara menaikkan derajatnya. Begitu juga oleh karena lawan bicara pada kalimat Anata mo irasshaimasu ka あなたもいらっしゃいますか ‘Apakah anda juga akan pergi’ menjadi orang yang dibicarakan, maka pemakaian kata anata dan irrasharu pada kalimat itu pun dipakai untuk menghormati lawan bicara dengan cara menaikkan derajatnya.
Menurut Buku Pengantar Linguistik Bahasa Jepang (Sudjianto dan Ahmad Dahidi: 190-192), ada beberapa cara untuk menyatakan sonkeigo yaitu:
a. Memakai verba khusus sebagai sonkeigo, seperti
Nasaru なさる = suru する ’melakukan’
Goran ni naru ごらんになる =miru ‘melihat’
Meshiagaru, agaru 召し上がる,あがる =teberuたべる ‘makan’
Irassharu いらっしゃる =iru いる’ada’, iku 行く ‘pergi, kuru 来る’datang’
Ossharu 仰る’ =iu 言う’berkata’
Kudasaru 下さる =kureru くれる
b. Memakai verba bantu –reru setelah verba golongan satu dan memakai verba bantu rareru setelah verba golongan dua, seperti:
Kakareru 書かれる = kaku書く’menulis’
Ukerareru 受けられる = ukeru 受ける ‘menerima’
Taberareru 食べられる = taberu食べる ‘makan’
c. Menyisipkan verba bentuk ren’youkei pada pola ‘o...ni naru’ seperti:
Omachi ni naru お待ちになる = matsu待つ ‘menunggu’
Otachi ni naru お立ちになる =tatsu 立つ‘berdiri’
Osuwari ni naruお座りになる =suwaru座る ‘duduk’
Oyomi ni naru お読みになる =yomu読む ‘membaca’
Okaki ni naruお書きになる =kaku 書く‘menulis’
d. Memakai nomina khusus sebagai sonkeigo untuk memanggil orang. Kata-kata tersebut bisa berdiri sendiri dan ada juga yang dapat menyertai kata lain sebagai sufiks seperti:
Sensei 先生 = bapak/ibu (guru, dokter)
Shachou 社長 = direktur
Kachou 課長 = kepala bagian
あなた = Anda
e. Memakai prefiks dan/atau sufiks sebagai sonkeigo seperti
Tanaka-sama田中様 = Tn. Tanaka
Suzuki-san鈴木さん = Sdr. Suzuki
Musume-san 娘さん = anak perempuan
Goiken ご意見 = pendapat
Okangae お考え = pikiran
Otaku お宅 = rumah
Otouto-san 弟さん = adik laki-laki
Oisha-san お医者さん = dokter
f. Memakai verba asobasu, kudasaru dan irrasharu setelah verba-verba lain, seperti:
Okaeri asobasuお帰りあそばす = kaeru 帰る‘pulang’
Oyurushi kudasaruお許しくださる = yurusu 許す‘memaafkan’
Mite irassharu 見ていらっしゃる = miru 見る‘melihat’
Yorokonde irassharu喜んでいらっしゃる = yorokobu喜ぶ ‘senang’, ‘gembira’

2.3.3 Kenjoogo

Ada yang menyebut nama kenjougo dengan istilah kensongo. Hirai Masao menyebut kensongo sebagai cara bertutur kata yang menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri (Hirai, 1985:132). Di pihak lain Oishi Shotaro (1985:27) mengartikan kensongo sebagai keigo yang menyatakan rasa homat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Kata oaisuru pada kalimat Haha ga sensei ni oaisuru 母が先生にお会いする ‘Ibu saya akan menemui bapak guru’ dipakai untuk merendahkan aktifitas haha sebagai orang yang dibicarakan. Lalu kata mousu pada kalimat Otouto no mousu toori desu 弟の申すとうりです‘Sebagaimana yang dikatakan adik saya’ dipakai untuk merendahkan aktifitas otooto sebagai orang yang dibicarakan untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara. Begitu juga menunjukkan diri sendiri (sebagai orang yang dibicarakan) dengan kata watakushi dan mengungkapkan aktifitas diri sendiri dengan kata mairu pada kalimat Watakushi wa raigetsu Doitsu e mairu yotei desu ‘Saya minggu depan berencana pergi ke Jerman’ pun merupakan contoh pemakaian kenjougo untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara. Kenjougo dapat diungkapkan dengan cara:
a. Memakai verba khusus sebagai kenjougo, seperti:
Mairu 参る=kuru 来る‘datang’
Moosu申す=iu 言う‘mengatakan’
Itadaku頂く=morau もらう‘menerima’
Ukagau伺う= kiku 聞く‘bertanya’, shitsumon suru 質問する‘bertanya’, hoomon suru訪問する ‘berkunjung’
Omeni kakaru お目にかかる= au 会う ‘bertemu’
Ageru あげる,sashiageru差し上げる=yaruやる‘memberi’
Oru 折る= iruいる ‘ada’
Haiken suru拝見する= miru見る ‘melihat’
b. Memakai pronomina persona sebagai kenjougo, seperti:
Watakushiわたくし =  saya
Watashiわたし = saya
c. Menyisipkan verba bentuk renyoukei pada pola ‘o...suru, seperti:
Oaisuruお会いする = au ‘bertemu’
Oshirase suruおしらせする=shiraseru知らせる’memberitahu’, ‘mengumumkan’
Okiki suruお聞きする = kiku 聞く‘mendengar’
Onarai suruお習いする = narau習う ‘belajar’
Oyomi suruお読みする = yomu読む ‘membaca’
d. Memakai verba ageru, mousu, moushiageru, itasu setelah verba lain, seperti:
Oshirase itasuお知らせいたす=shiraseru知らせる ‘memberi tahu’, mengumumkan’
Oshirase moosuお知らせ申す=shiraseru知らせる
Shirasete ageru知らせてあげる=shiraseru知らせる
Shirasete sashiageru知らせ手差し上げる=shiraseru知らせる

2.3.4 Teineigo

Teineigo adalah cara bertutur kata dengan sopan santun yang diapakai oleh pembicara dengan saling menghormati atau menghargai perasaan masing-masing (Hirai, 1985: 131). Oishi shotaroo (dalam Bunkachoo, 1985:28) menyebut teineigo dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara).
Pemakaian teichoogo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau menurunkan derajat orang yang dibicarakan. Ani pada kalimat Ani wa asu kaerimasu兄は明日帰ります ‘Kakak laki-laki saya besok akan pulang’ adalah orang yang dibicarakan, tetapi teichoogo ‘masu’ pada kalimat itu dipakai bukan untuk menaikkan derajat ani melainkan dikarenakan adanya pertimbangan terhadap lawan bicara. Walaupun pada kaliamat Sensei ga okaeri ni narimasu. ‘Pak guru akan pulang’ memakai sonkeigo untuk menaikkan derajat sensei sebagai orang yang dibicarakan, namun kalimat itu tidak memakai teichoogo bagi lawan bicara. Berbeda dengan sonkeigo dan kenjoogo, teineigo dinyatakan dengan cara sebagai berikut:
a. Memakai verba bantu desu dan masu seperti pada kata:
Ikimasu行きます =iku行く ‘pergi’
Tabemasu食べます = taberu食べる’makan’
Hon desu本です =hon da本だ ‘buku’
Kirei desuきれいです =kirei daきれいだ ‘cantik, bersih, indah’
b. Memakai prefiks go atau o pada kata-kata tertentu, seperti:
c. Memakai kata-kata tertentu sebagai teineigo seperti
Gozaimasuございます =gozaruござる arimasuあります=aruある ‘ada’

2.3.5 Futsuugo

Menurut Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar (1988:207), futsuu adalah ‘’Hal tidak adanya kelainan atau kekhasan dibandingkan dengan yang lain’’. Sedang menurut Kodansha Kokugo Jiten (1966:903), futsuu adalah:
広く一般に通じること変わっていないこと。当たり前。
Hiroku ippan ni tsuujiru koto kawatte inai koto. Atari mae.
‘Sesuatu yang berhubungan dengan hal umum yang luas, sesuatu hal yang sangat biasa dan tidak ada yang berubah atau berbeda’.
Ragam Futsuugo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. berakhiran dengan ~da, atau de aru
Contoh:
1. これは本だ。
Kore wa hon da.
Ini part buku kopula
‘’Ini buku’’.
2. 初めての外国生活である。
Hajimete no gaikokusekatsu dearu.
Pertama kali part luar negeri kehidupan kopula
‘’Kehidupan luar negeri yang pertama kali.
(日本語の中級1:23) 
b. berakhiran dengan verba bentuk futsuukei, seperti bentuk ~ru (bentuk biasa atau bentuk kamus)
Contoh:
1. 僕は食べる。
Boku wa taberu.
Saya part makan.
‘’Saya makan’’.
2. 私は六時に起きる。
Watashi wa roku ji ni okiru.
Saya part enam pukul (pada) bangun.
‘’Saya bangun jam enam’’.
Ragam futsuu biasanya digunakan dalam penuturan diantara anggota keluarga, kawan-kawan yang akrab, orang yang berstatus tinggi terhadap yang berstatus rendah, dalam bahasa media massa, makalah, roman dan sebagainya.

2.4. Penggunaan Krama (Bahasa Hormat) Dalam Bahasa Jawa

Dalam bahasa Jawa penggunaaan bentuk bahasa hormat (krama) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat). Berikut ini gambaran mengenai hubungannya yang berkaitan dengan status sosial:
1. Hubungan simetris:
a. antara orang muda: ngoko, madya
b. antara orang tua: ngoko, krama
c. antara priyayi dan tukang sayur :madya
d. antara orang yang belum saling kenal: krama, madya
2. Hubungan asimetris:
a. anak kepada orang tua: krama, dan orang tua kepada anak : ngoko
b. pembantu rumah tangga (tukang sayur) kepada tuan rumah: madya, dan tuan rumah kepada pembantu rumah tangga (tukang sayur): ngoko.
Untuk menyusun kalimat di dalam bahasa Jawa, sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan ( secara pragmatik). Pertimbangan pertama berkenaan dengan pertanyaan bagaimana jenis hubungan antara si pembicara dan lawan bicara. Ini untuk menetapkan apakah digunakan konstruksi ngoko, madya, atau krama. Pada pertimbangan kedua, berdasarkan jenis hubungan antarasi pembicara dan lawan bicara itu ditentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak. Selain itu untuk menentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak, juga dipertimbangkan jenis hubungan si pembicara atau lawan bicara dengan orang lain yang sedang dibicarakan.
Contoh:
1. Saya sudah makan. Bapak sudah makan atau belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Bapak wis dhahar durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Bapak mpun dhahar dereng?
c. Krama: Kulo sampun nedha. Bapak sampun dhahar dereng?
2. Saya sudah makan. Agus sudah makan belum?
a. Ngoko: Aku wis mangan. Agus wis mangan durung?
b. Madya: Kula mpun nedha. Agus mpun nedha dereng?
c. Krama: Kula sampun nedha. Agus sampun nedha dereng?
Selain terdapat bentuk honorifik (sopan santun/unggah-ungguh) untuk ‘’meninggikan’’ orang lain yang dihormati (yang disebut Krama Inggil), terdapat pula bentuk honorifik untuk ‘’merendahkan diri si pembicara. Bentuk seperti ini disebut ‘’krama andhap’’. Bentuk krama inggil harus dipakai pada waktu berbahasa dengan atau mengenai orang yang dihormati.

2.5 Peran Krama ( Bahasa Hormat) Dalam Tingkat Tutur Bahasa Jawa

Sopan santun bebahasa disebut juga dengan istilah etiket tutur. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari istilah Clifford Geertz yaitu linguistic etiquette yang dimuat di dalam bukunya The Relegion of Java (1967). Kemudian di dalam Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (1981) sebagai terjemahan buku Clifford Geertz tersebut disebut sopan santun berbahasa.
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam sopan santun berbahasa Jawa yaitu pilihan bentuk linguistik atau bentuk lingual dan sikap andhap asor. Andhap asor berarti merendahkan diri sendiri dengan kepada setiap orang yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi. (Clifford Geertz, 1981:326). Pernyataan Clifford Geerts tersebut telah memperhitungkan tingkat tutur (faktor lingual) dan faktor non-lingual dalam berbahasa Jawa. Pilihan bentuk linguistik mengarah kepada relasi atau hubungan penutur dengan lawan tutur (faktor non-lingual).
Khusus mengenai faktor lingual akan tercermin di dalam perbedaan bentuk tingkat tutur (ngoko, krama, madya). Sebagai contoh: misalnya seseorang akan menyapa orang lain: Hendak pergi ke mana?, maka bentuk tuturannya sebagai berikut:
a. Arep menyang ngendi?
b. Ajeng teng pundi?
c. Badhe tindak dhateng pundi?
Adanya ketiga bentuk tuturan diatas menunjukkan adanya perbedaan relasi antara penutur dengan lawan tutur. Perbedaan relasi tersebut akan dapat mengakibatkan perbedaan sopan santun antara penutur dengan lawan tuturnya. Tuturan (a) dapat menyatakan rasa sopan santun yang rendah (low honorifics), tuturan (b) menyatakan rasa sopan santun yang sedang, sedangkan tuturan (c) menyatakan rasa sopan santun yang tinggi (high honorifics). Hal yang demikian itu jelaslah bahwa penutur bahasa Jawa dalam berbahasa Jawa lebih menekankan orang atau siapa yang diajak bicara, dan bukannya waktu berbicara maupun hal yang dibicarakan.
Sehubungan dengan pemilihan suatu tingkat tutur Soeroso (1990:6-7) menyatakan bahwa ada empat langkah yang harus selalu diingat dandilakukan bagi seorang penutur yang akan berbahasa Jawa. Keempat langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mawas diri
Penutur menempatkan dirinya terhadap lawan tuturnya, dan ada tiga kemungkinan:
a. penutur lebih rendah daripada lawan tutur
b. penutur sederajat dengan lawan tutur
c. penutur lebih tinggi kedudukannya dengan lawan tutur
2. Memilih bahasa
b. apabila penutur lebih rendah daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa krama;
c. apabila penutur sederajat dengan lawan tutur, penutur menggunakan bahasa madya, ngoko;
d. apabila penutur lebih tinggi daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa ngoko.
3. Memilih kata
Dalam menggunakan bahasa seperti tersebut pada langkah yang kedua perlu dipilih kata yang tepat.
4. Menetapkan sikap
Sikap berbicara disesuikan dengan sikap diri misalnya sikap hormat, sikap santai, dan sebagainya.
Keempat langkah diatas berdasarkan analisis secara psikologis, yang tentu saja langkah-langkahnya berlangsung secara ‘’otomatis’’ pada jiwa penutur. Pada langkah pertama (mawas diri) dan langkah keempat (menetapkan sikap) berkaitan dengan faktor non-lingual dalam berbahasa yang menyangkut relasi penutur dengan lawan tutur. Langkah kedua (memilih bahasa) dan langkah langkah ketiga (memilih kata) berkaitan dengan pemilihan tingkat tutur.
Didalam hal pemilihan tingkat tutur penutur dihadapkan adanya berbagai kemungkinan pilihan tingkat tutur. Oleh karena itu, penutur harus memilihkan jenis-jenis tingkat tutur yang ada di dalam masyarakat tutur Jawa. Pemilihan dan sekaligus pemilahan tingkat tutur ini memperhatikan manusia sebagai peserta tutur, yang dapat berarti manusia ditempatkan pada posisi utama. Pernyataan yang demikian itu dapat dikaitkan dengan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Jawa misalnya: rumangsa ora diwongake ‘merasa tidak diperhatikan/tidak dihormati’, katimbang kalah uwong aluwung kalah uwang ‘daripada kalah orang (tidak diperhatikan) lebih baik kalah uang’. Kedua ungkapan tersebut hanyalah untuk memberikan gambaran atau perbandingan tentang peranan manusia (dalam hal ini penutur) dalam berbahasa Jawa yang berkaitan dengan pemilihan dan pemilahan tingkat tutur.
Adanya bentuk tuturan yang dapat mencerminkan rasa sopan santun berarti pula tingkat tutur berkaitan erat dengan sopan santun berbahasa. Sopan santun berbahasa itu sendiri merupakan ajaran yang patut untuk dilaksanakan dalam masyarakat tutur jawa. Sehubungan dengan hal itu Suwadji (1985:14-15) menyatakan sebagai berikut:
a. Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang,
b. Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa,
c. Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur Jawa menghormati lawan tuturnya,
d. Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.
Keempat pernyataan diatas menunjukkan adanya prinsip pokok dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Dalam hal inipemilihan tingkat tutur (sebagai faktor lingual dalam berbahasa) mengiringi sopan santun berbahasa yang dapat diamatai dalam suatu peristiwa tutur. Prinsip pokok dan fungsi tersebut apabila dipahami secara benar dapat menumbuhkan rasa kebanggaan orang Jawa memiliki bahasa Jawa.
Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian dari sopan santun atau tatakrama Jawa. Berdasarkan tulisan Mas Sastrodiwiryo (dalam Sunarto Poerbosuharjo, 1989:5) dalam bukunya yang berjudul Tatakrama Jawi (1928) di jelaskannya bahwa tatakrama memiliki enam hal sebagai berikut:
1. Tuwuhipun tatakrama saking sesrawungan
‘Tumbuhnya tatakrama dari pergaulan’,
2. Landhesanipun wonten ing tatacara
‘Dasarnya di dalam tatacara’,
3. Ingkang dados dhasar kurban dhiri
‘Yang menjadi dasar korban diri’
4. Pangukuripun mawi dugi prayogi
‘Pengukurnya dengan perkiraan yang baik’,
5. Penindakipun mawi patrap, pangucap, busana’
‘Prakteknya dengan tindakan, ucapan, busana’
6. Pangesthinipun hanjagi murih rahayuning pasrawungan.
‘Tujuannya menjaga agar terjadi keselamatan dalam pergaulan’.
Keenam hal tersebut apabiala dihubungkan dengan sopan santun berbahasa terdapat pada hal yang kelima yaitu praktek tatakrama. Tatakrama dalam praktek diperhatikan adanya tiga hal yaitu: patrap, pangucap, dan busana. Khusus di dalam pangucap salah satu hal yang patut diperhatikan yaitu adanya pemilihan tingkat tutur yang tepat. Dengan pemilihan tingkat tutur yang tepat merupakan satu hal yang dapat menciptakan suasana harmonis di dalam pergaulan khususnya dalam peristiwa tutur. Bentuk tuturan krama yang disertai patrap yang kasar tidaklah menciptakan suasana harmonis didalam pergaulan.
2.6 Rincian Tingkat Tutur Undak-Usuk Dalam Bahasa Jawa
Sehubungan dengan adanya bentuk tingkat tutur dalam bahasa Jawa telah banyak ahli bahasa yang membuat perincian atau pembagian tingkat tutur. Sudaryanto (1987:2) menyatakan bahwa sejak terbitnya karya Ki Padmasoesastra tahun 1899 telah membuat unggah-ungguhing basa. Konsep pembagiannya hampir-hampir diikuti secara sangat patuh oleh para ahli bahasa. Adapun konsep pembagiannya itu secara skematis dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Basa ngoko
a. Ngoko lugu
Basa Ngoko Lugu disusun dari kata-kata ngoko semua, adapun kata: aku, kowe, dan ater-ater:dak-, ko-, di-, juga panambang:-ku, -mu, -e, -ake, tidak berubah. Adapun penggunaan Ngoko Lugu dalam bercakap-cakap atau berbicara meliputi:
1. Orang tua kepada anak, cucu, atau pada anak muda lainnya.
2. Percakapan orang-orang sederajat, tidak memperhatikan kedudukan dan usia, seperti anak-anak dengan temannya. Pada awal revolusi basa ngoko seringkali dipakai dalam pertemuan atau rapat. Mereka menyebut bahasa ini Basa Jawa Dipa. Namun, saat ini dalam pertemuan atau rapat, yang sering dipakai adalah Bahasa Indonesia, dan jika terpaksa menggunakan Bahasa Jawa mereka kembali menerapkan unggah-ungguhing basa dalam pertemuan seperti dahulu, yaitu meggunakan basa krama. Sebab orang yang diajak berbicara dalam pertemuan itu dianggap orang yang harus dihormati.
3. Atasan pada bawahannya juga menggunakan basa ngoko. Namun sekarang ini kebanyakan menggunakan basa krama, meskipun tidak lengkap. Sebab disini terkandung maksud menghormati bawahannya, dianggap sederajat, sebagai rekan kerja.
4. Dipakai saat ngunandika, sebab yang diajak bicara adalah diri sendiri tentu saja tidak perlu penghormatan.
Contoh:
Percakapan orang tua dengan anaknya: A: Bapa B:Anak.
A : Lho, kowe Dul. Wayah apa tekamu? Rak ya padha slamet ta?
B : Pangestunipun Bapak, wilujeng. Kalawau enjing jam 9, anggen kula dumugi ing ngriki.
b. Ngoko andhap
Basa Ngoko Andhap dipakai oleh siapa saja yang telah akrab dengan lawan bicaranya, sudah ngoko-ngokoan, tetapi masih saling menghormati. Ngoko Andhap terdiri dari:
1. antya-basa
Antya-basa dibentuk dari ngoko dicampur dengan kata-kata krama inggil untuk orang yang diajak berbicara, untuk menyatakan hormat.
2. basa antya
Basa-antya dibentuk dari ngoko dicampur dengan kata-kata krama dan krama inggil.
2. Basa krama
a. Wredha krama
Basa wredha krama hampir sama dengan Kramantara, sama-sama tidak dicampur dengan kata-kata Krama Inggil. Biasanya dipakai oleh orang tua kepada orang muda yang derajatnya lebih tinggi. Bahasa ini juga sudah jarang dipakai, pada umumnya lebih memilih Mudha Krama.
b. Mudha krama
Mudha Krama adalah bahasa yang luwes sekali, untuk semua orang tidak ada jeleknya. Orang yang diajak berbicara dihormati adapun dirinya sendiri yaitu orang yang mengajak bicara merendahkan diri. Biasanya menjadi bahasanya orang muda kepada orang tua. Bentuk Mudha Krama ini bahasanya krama semua dicampur dengan Krama Inggil untuk orang yang diajak bicara.
Contoh:
Aku diubah menjadi kula
Kowe diubah menjadi panjenengan sampeyan, atau panjenengan saja sudah cukup. Kadang-kadang juga disambung dengan kata peprenahan-nya, seperti:panjenenganipun kangmas, panjenenganipun ibu, panjenenganipun bapak, dan sebagainya.
c. Kramantara
Basa Kramantara kata-katanya krama semua tidak dicampur dengan krama inggil. Biasanya menjadi bahasanya orang tua kepada orang yang lebih muda, karena merasa lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya. Tetapi saat ini bahasa tersebut sudah tidak dipakai, meskipun kepada orang yang lebih muda dan lebih tinggi kedudukannya, meskipun demikian tidak keberatan memakai basa mudha krama. Contoh: aku diubah menjadi kula. Kowe diubah menjadi sampeyan.
3. Basa madya
a. Madya ngoko
b. Madya krama
c. Madya
4. Krama desa
5. Krama inggil
Tembung krama inggil ialah kata-kata yang digunakan paling hormat. Tembung krama inggil dapat ditempatkan bersama-sama dengan rangkaian tembung-tembung ngoko, madya, maupun krama.
Misalnya:
a. Tembung-tembung ngoko+krama inggil (terhadap orang kedua), menjadi ngoko andhap
b. Tembung-tembung madya+krama inggil (terhadap orang kedua) menjadi madya krama
c. Tembung-tembung krama+krama inggil (terhadap orang kedua), menjadi mudha krama
Dulunya basa krama inggil tidak digunakan di masyarakat umum, tetapi hanya digunakan di dalam lingkungan kraton. Di luar kraton hanya digunakan terhadap luhur (kerabat dekat raja). Bagi angkatan muda yang tidak berdekatan dengan lingkungan tersebut tidak perlu diajarkan basa krama inggil, kiranya cukup diperkenalkan saja.
Yang perlu dipahami oleh angkatan muda adalah mengenai fungsi dan makna tembung krama inggil, yaitu:
1. Diterapkan terhadap orang yang dihormat, tidak boleh terhadap diri-sendiri kecuali raja
2. Tembung krama inggil ada yang bermakna ke bawah: maringi (Dari yang layak dihormat terhadap yang layak hormat)
Pada umumnya krama inggil digunakan oleh bawahan kepada atasan, anak kepada orang tua, dan murid kepada gurunya. Dalam percakapan sehari-hari, krama inggil terbukti bisa membuat suasana harmonis. Dengan berbahasa Jawa halus, berarti sudah memulai hubungan yang penuh tata krama. Masing-masing pihak terjaga perasaannya dan emosipun akan mudah terkendali.
Penggunaan bahasa secara tepat akan mendatangkan sikap hormat. Pilihan kata yang benar menyebabkan urusan menjadi lancar. Terlebih-lebih krama inggil yang merupakan bahasa Jawa halus, penerapannya memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Karena bahasa krama inggil menyangkut apresiasi dan status sosial yang erat sekali dengan etika dan sopan santun. Oleh karena itu, komunikasi orang Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unggah-ungguhing basa. Kepribadian seseorang bisa dicitrakan dalam bentuk kemampuan berbahasa apalagi dengan unggah-ungguh bahasanya.
Berikut ini beberapa contoh kaliamat dengan unggah-ungguh basa:
a. Ayo dhimas tak aturi tindak saiki bae mumpung esuk, yen kersa arep tak dherekake (Basa ngoko andhap:tembung ngoko+tembung krama inggil terhadap orang kedua).
b. Titenana bae, yen tindakmu nasar terus arep tak aturake gurumu, ben kowe didukani pisan. (Basa ngoko lugu: meskipun bercanpur tembung ngoko bukan terhadap orang kedua).
c. Pak, mang terke teng pasar Bulu limang atus gelem boten? (Basa madya ngoko:tembung madya +tembung ngoko terhadap orang kedua).
d. Ngga mundhut peleme Bu, niki lo sae-sae, mengke kula caosi mirah. (Basa madya krama:tembung madya +tembung krama inggil terhadap orang kedua)
e. Menawi panjenengan boten, tindak kula mangke badhe sowan. (Basa mudha krama: tembung krama+tembung krama inggil terhadap orang kedua).
Contoh-contoh diatas merupakan bahasa tutur yang benar-benar masih hidup dan berlaku di dalam pergaulan masyarakat Jawa sampai sekarang. Ahli bahasa maupun perorangan mana pun tidak bisa mencegah dan melarangnya terhadap tutur bahasa tersebut.
Didalam masyarakat Jawa, klasifikasi dalam unggah-ungguh basa itu telah ada sebelum ada orang yang mempelajarinya. Pemberian nama oleh perorangan terhadap masing-masing klasifikasi yang kemudian menjadi kaidah itu baru menyusul kemudian. Sama sekali bukan sebaliknya.
Berbicara mengenai unggah-ungguh basa sering dijumpai bahwa pembicara menunjukkan sikap kurang mantap mengenai unggah-ungguh basa itu. Sebagaimana wajarnya.
Kejanggalan-kejanggalan itu terjadi akibat pola pikir untuk masalah tersebut bertolak belakang dari unggah-ungguh basa itu sendiri secara langsung. Padahal untuk lebih tepat hendaknya berpangkal pada unggah-ungguh tembang lebih dahulu. Sehingga sasaran objeknya bisa kena secara tepat, dan permasalahan yang dikehendaki menjadi jelas.
Tiada mustahil bila unggah-ungguh basa ini lama-kelamaan menuju ke arah yang lebih sederhana, menjadi tiga atau dua tingkatan saja, tetapi proses itu masih lama sekali. Sampai saat ini sistem klasifikasi unggah-ungguh secara tradisional sebagai tersebut diatas ternyata masih besar relevansinya didalam tutur bahasa masyarakat dewasa ini, dan masih berdasar atas unggah ungguh tembung yang masih berlaku.
Dengan demikian tiada alternatif lain bahwa sistem unggah-ungguh tradisional tersebut masih perlu dilestarikan. Hanya dengan sedikit revisi, basa madyantara dan wredha krama bisa ditinggalkan karena keduanya ternyata tidak lazim digunakan.
6. Basa kadhaton
Dalam kraton terdapat masyarakat khusus yang dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa pada waktu dan keadaan tertentu menggunakan kata-kata yang khusus yang disebut bahasa Kedhaton. Bahasa Kedhaton merupakan bahasa yang sudah lama digunakan, terutama dalam kraton Surakarta Hadiningrat. Hal ini tertuang dalam manuskrip yang berangka tahun 1910, yang ditulis oleh pujangga besar Kraton Surakarta Hadiningrat yang bernama R. Ng. Ranggawarsito dengan judul Serat Waduaji Tuwin Serat Tatakrami Tembung Kedhaton. Sementara itu, didalam Karti Basa (1976:79-80), dijelaskan bahwa basa Bagongan dan basa Kedhaton sebagai berikut:‘’Bahasa kedhaton adalah bahasa yang digunakan untuk berbicara oleh para sentana dan abdidalem pada saat menghadap Ingkang Sinuwun ‘Raja atau Pangeran Adipati Anom’,‘Pangeran calon Raja atau untuk percakapan dalam kraton. Jadi, kalau berbicara dengan raja mengenai apa saja, bahasa yang digunakan harus dalam bentuk Krama Inggil, yang tidak menggunakan bahasa kedhaton. Wujud bahasa ini berupa kata-kata krama yang bercampur dengan bahasa kedhaton tanpa krama inggil terhadap orang yang diajak berbicara. Bahasa kedhaton digunakan di kraton digunakan digunakan di kraton Surakarta, sementara bahasa kedhaton yang digunakan dalam kraton Yogyakarta disebut bahasa bagongan. Menurut Maryono Dwiraharjo (2001:36) bahasa bagongan merupakan salah satu bentuk ‘akrolek’ yaitu variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau bergengsi daripada variasi sosial lainnya. Selanjutnya, menurut Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka (2007:14) bahasa kedhaton di Yogyakarta disebut bahasa bagongan yang digunakan oleh keluarga raja dan atau digunakan oleh para karyawan (abdhi) yang bekerja di dalam istana. Jadi, bahasa kedhaton merupakan bahasa yang khusus (exlusive) yang digunakan di dalam kraton atau istana dan merupakan salah satu ciri khas budaya yang dimiliki kraton.
7. Basa kasar
Pembagian tersebut diatas secara teoretis (lebih-lebih secara praktis) kurang menguntungkan, sebab terlalu banyak jenis tingkat tutur yang ditampilkan. Disamping itu, dasar pembagiannya menyangkut banyak segi yaitu segi hubungan penutur, segi daerah, dan segi nilai rasa. Dengan adanya beberapa jenis tingkat tutur yang sekarang sulit dijumpai maka konsep pembagian tadi mengalami penyederhanaan. Sehubungan itu, Soepomo Poedjosoedarmo (1979:13 membagi tingkat tutur bahasa Jawa menjadi tiga jenis, dengan perincian tiap jenisnya sebagai berikut:
1. Ngoko
a. Ngoko lugu
b. Antya basa
c. Basa antya
2. Madya
a. Madya krama
b. Madyantara
c. Madya ngoko
3. Krama
a. Mudha krama
b. Kramantara (jarang terdengar)
c. Wredha krama (jarang terdengar)
Pembagian yang dilakukan oleh Soepomo Poedjosoedarmo tidak terdapat adanya krama inggil yang tentunya termasuk ke dalam jenis krama. Sesuai dengan namanya, krama inggil termasuk ke dalam jenis krama yang dipandang paling halus. Dilihat dari bentuk kosa katanya memang ada bentuk kosakata yang tergolong krama inggil, namun jumlahnya relatif kecil.
Pemakaian tingkat tutur kramantara dan wredhakrama untuk kesehariannya jarang terdengar, para penutur bahasa Jawa suka memperhatikan mudha kramanya. Krama desa/krama dhusun paling dominan digunakan. Sedang Krama inggil, basa kedhaton maupun basa kasar jarang dipakai, karena tergantung sesuai pada tempatnya.
Kemudian disini perlu ditampilkan pembagian tingkat tutur bahasa Jawa yang diusulkan oleh Sudaryanto (1987). Pembagian yang diusulkan hanya ada empat jenis tingkat tutur sebagai berikut:
1. Ngoko
2. Ngoko alus
3. Krama
4. Krama alus
Pembagian tersebut ternyata lebih sederhana yang tentunya lebih praktis dan mengisyaratkan bahwa tingkat tutur dalam bahasa Jawa itu tidaklah rumit dan menyulitkan.
Dalam unggah-ungguh bahasa Jawa terdapat tururan (tingkat tutur) yang jelas pada hal-hal kesopanan. Tingkatan itu pada kesopanan yang rendah yang berbentuk ngoko, kesopanan menengah disebut madya, dan kesopanan tinggi disebut krama. Misalkan:
Ngoko Madya Krama
‘Anda, Engkau, Kamu’ Kowe Sampeyan Panjenengan
‘Rumah’ Omah Griya Dalem
‘Sakit’ Lara Sakit Gerah
‘Pergi’ Lunga Kesah Tindak

Apabila diperhatikan pembagian tingkat tutur yang perbedaanya dapat terlihat pada bentuk kosakatanya (kosakata ngoko dan kosakata krama) maka dikotomis ada dua jenis tingkat tutur ngoko dan tingkat tutur krama. Mengenai jenis tingkat tutur yang telah ada, hal ini tentunya kita tidak boleh melupakan faktor-faktor non-lingual yang menyertai hadirnya bentuk tingkat tutur di dalam peristiwa tutur.
Singkatnya, undak-usuk bahasa Jawa dan bahasa Jepang terdiri unggah-ungguh basa yang meliputi: ngoko, madya, dan krama dengan bentuk keigohou dalam bahasa Jepang yang terdiri dari Futsuu/Teinei, Sonkeigo, dan Kenjougo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar