Selasa, 28 Februari 2012

BAB II REVISI III

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini memanfaatkan hasil karya peneliti-peneliti terdahulu yang berupa: Kaidah-Kaidah Penggunaan Undak-Usuk Bahasa Jawa, Kajian Undak-Usuk Bahasa Jawa Abdidalem Kraton Surakarta Hadiningrat, dan Undak-Usuk Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa: Sebuah Perbandingan, untuk kemudian dijadikan acuan dalam penelitian ini.
Topik penelitian ini bisa menjadi sangat luas apabila membahas tentang undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa beserta aplikasinya. Dalam hal ini peneliti hanya akan memanfaatkan penelitian yang sudah ada, tentunya sudah berupa kaidah-kaidah yang perspektif penelitian yang sudah ada kemudian dijadikan sebagai tolak ukur data dalam penulisan skripsi ini. Sudah barang tentu penulis akan bersifat kritis terhadap kaidah-kaidah tersebut, artinya bahwa kaidah-kaidah atau data-data tersebut akan ditambah atau dikurangi sesuai dengan tema yang diambil penulis dalam penelitian ini.
Sebenarnya, meskipun dalam bahasa Jepang undak-usuk bahasa tidak ada, dari uraian para peneliti sebelumnya banyak menjelaskan dan memaparkan tentang undak-usuk bahasa Jepang tersebut ada. Mungkin hal tersebut dilatarbelakangi karena setelah menganalisis mengenai undak-usuk bahasa Jawa kemudian menurut para peneliti sebelumnya undak-usuk bahasa Jepang sebenarnya dianggap ada meskipun orang Jepang sendiri kurang mengerti dan tidak menyadari kalau bahasa Jepang sebenarnya mempunyai juga sistem undak-unduk bahasanya.
Hal tersebut seringkali dipaparkan oleh para peneliti sebelumnya bahwa undak-usuk bahasa Jawa yang berupa unggah-ungguh basa yang meliputi: Ngoko, Madya dan Krama yang terbagi atas 7/9 sub tingkatan yang diberi nama masing-masing tersebut dapat disejajarkan kedalam undak-usuk bahasa Jepang dengan bentuk Keigohoo yang meliputi: Futsuu/Teinei, Sonkeigo dan Kenjoogo, yang mempunyai kadar hormat yang berbeda tetapi bedanya dalam bahasa Jepang tidak diberi nama. Umumnya para peneliti sebelumnya membuat gambaran pengkontrasan nama mengenai pengelompokannya seperti dalam bahasa Jawa, antara lain:
a. Ragam Futsuu tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo = Ngoko Lugu
b. Ragam Futsuu dengan Sonkeigo/Kenjoogo = Ngoko Alus
c. Ragam Teinei tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo = Krama Lugu
d. Ragam Teinei dengan Sonkeigo dan Kenjoogo =Krama Alus
Dalam hal ini, peneliti akan lebih membatasi dalam hal mengkaji tentang bagaimana penggunaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa. Penulis perlu membatasi objek penelitian ini, agar permasalahan yang akan dibahas nanti tidak terlalu luas.

2.2 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan kemudian memaparkannya secara deskriptif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode distribusional dalam tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap penganalisisan data dan tahap penyajian data (Sudaryanto, 1993: 5-7).
Metode kajian distribungsional menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribungsional memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti. Metode ini berhubungan erat dengan paham strukturalisme de Saussure (1916), bahwa setiap unsur bahasa berhubungan satu sama lain, membentuk satu kesatuan padu (the whole unified). Metode distribungsional ini sejalan dengan penelitian deskriptif dalam membentuk perilaku data penelitian. (Fatimah, 2006:69).
Dalam suatu penelitian pasti akan membicararakan suatu metode atau teknik tertentu. Metode atau teknik digunakan untuk menunjukkan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung dengan satu dengan yang lain. Kata metode dan teknik sama-sama memiliki arti ‘’cara’’ dalam suatu upaya. Kata metode berasal dari bahasa Sansekerta metodos yang berarti ‘’cara’’. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode. (Sudaryanto, 1993:9).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kontrastif yang meliputi pengumpulan data, analisis data dan perbandingan hasil analisis data atau juga dikenal dengan sebutan analisis kontrastif, yaitu metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).
Penelitian ini bersifat kontrastif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan kemudian memaparkannya secara deskriptif. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis kontrastif terdiri dari atas dua tahap yaitu penjabaran dan perbandingan yang meliputi pengumpulan data, dan perbandingan hasil analisis data. Analisis dilakukan secara terpisah dimana bahasa Jepang dan bahasa Jawa diamati dari sudut pandang pendekatan masing-masing bahasa lalu diperbandingkan untuk menemukan perbedaan bentuk bahasa dan makna bahasa yang menjadi ciri khas bahasa yang bersangkutan. Dengan metode analisis kontrastif secara khusus dilakukan perbandingan antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa yang menghasilkan sejumlah fakta berupa persamaan dan perbedaan antara undak-usuk bahasa Jepang dan bahasa Jawa.

2.3 Kerangka Teori

Teori merupakan suatu prinsip dasar yang terwujud di dalam bentuk dan berlaku secara umum yang akan mempermudah seorang penulis dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Teori yang digunakan untuk membimbing dan memberi arahan dapat menjadi penuntun kerja bagi penulis. Teori merupakan seperangkat hipotesis yang dipergunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik yang bersifat lahiriah seperti bunyi bahasa, maupun yang bersifat batin seperti makna (Kridalaksana, 2000:23). Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami, menjelaskan, dan menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan memberi arah dalam penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan landasan teori struktural. Teori struktural merupakan pendekatan bahasa yang mula-mula dikembangkan oleh Bloomfield. Teori ini membahas bahasa dari segi strukturnya. Aliran strukturalisme sangat mementingkan keobjektifan dalam bahasa. Karena bahasa merupakan sebuah sistem, maka dengan sejumlah data dapat diketahui strukturnya.
Pengertian struktural berkaitan dengan atau memiliki struktur, menggunakan teori atau pendekatan, ataupun dipandang dari segi struktur. Strukturalisme dapat pula diartikan sebagai pendekatan analisis bahasa secara eksplisit kepada berbagai unsur bahasa sebagai struktur dan sistem (Kridalaksana, 2000:203).
Teori struktural dalam linguistik berhubungan dengan bentuk-bentuk, fungsi-fungsi struktural, dan hubungan antar komponen tutur yang dapat diamati pula dengan kata lain dalam analisis gramatik haruslah bersifat formal berdasarkan perilaku yang dapat diamati dalam bahasa (Ramlan, 1979: 79). Karena dalam penelitian ini penulis membandingkan undak-usuk dua bahasa yang tidak serumpun antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa, penulis wajib menggunakan metode kontrastif dalam penelitian ini.
Kata ‘’kontrastif’’ dan ‘’komparatif’’ mempunyai komponen makna yang sama ataupun mirip yakni perbandingan. Dua kata yang bersinonim itu setelah menjadi istilah-istilah khusus, mengandung pengertian yang secara tegas berbeda. Kata kontrastif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang tidak serumpun sedangkan komparatif mengandung pengertian pembandingan bahasa-bahasa yang serumpun. Linguistik komparatif bersifat diakronik, sedangkan analisis kontrastif cenderung bersifat deskriptif yakni sinkronik.

2.3.1 Pengertian Linguistik Kontrastif

Kata kontrastif berasal dari perkataan Contrastive yaitu keadaan yang diturunkan dari kata kerja to contras artinya berbeda atau bertentangan. Dalam The American Collage Dictionary terdapat penjelasan sebagai berikut, ‘’Contras: to set in opposition in order to show unlikeness, compare by observing differences. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan istilah linguistik kontrastif adalah ilmu bahasa yang meneliti perbedaan-perbedaan, ketidaksamaan-ketidaksamaan yang terdapat pada dua bahasa atau lebih yang tidak serumpun.
Linguistik kontrastif (対照言語学taishou-gengogaku) yang disebut linguistik bandingan merupakan kajian linguistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang berbeda. Pendeskripsian persamaan dan perbedaan tersebut, akan bermanfaat untuk pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke-2 (bahasa asing). Misalnya: dengan dideskripsikannya persamaan dan perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara jelas dan lengkap, akan membantu dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang Jepang, atau pengajaran bahasa Jepang untuk orang Indonesia. Karena, sekurang-kurangnya kesalahan berbahasa (誤用goyou) akibat pengaruh bahasa ibu (母語干渉bogo-kanshou) pada pembelajar kedua bahasa tersebut akan dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan (Dedi Sutedi, 2003:190).

2.3.2 Karakteristik Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa

Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun, meskipun sama-sama memiliki sistem unggah-ungguh, tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Hal-hal yang menjadi perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa tersebut selain masalah huruf (Kanji, Hiragana, Katakana dalam bahasa Jepang) dan huruf-huruf Jawa yang dikenal dengan aksara Jawa juga masalah pada hukum/aturan dan susunan kalimat. Misalnya: susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat). Sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam berbahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).
Dalam bahasa Jepang hampir semua kata futsuu (ngoko) bisa diubah ke dalam teinei (krama) maupun krama inggil, tetapi dalam bahasa Jawa kata ngoko ada yang hanya memiliki padanan dalam krama saja tetapi dalam krama inggil padanannya tidak ada, ada yang memiliki padanan dalam krama dan juga krama inggil. Hal inilah yang kemudian memunculkan perbedaan yang cukup signifikan dari bahasa Jepang dan bahasa Jawa dalam hal perubahan kata dari bentuk ngoko ke bentuk krama.

2.3.2.1 Bahasa Jepang

Bahasa Jepang dapat dikatakan sebagai bahasa yang dipakai oleh bangsa Jepang yaitu sekelompok masyarakat yang lahir dan hidup di negara Jepang. Berdasarkan hasil survey The Japan Foundation terhadap lembaga pendidikan bahasa Jepang pada tahun 2009, pembelajar bahasa Jepang dari 125 negara di dunia yang berhasil didata berjumlah 3,651,761 orang. Dari jumlah tersebut, pembelajar bahasa Jepang di Indonesia menduduki peringkat ke-3 setelah Korea dan Cina, yaitu sebanyak 716,353 orang.
Peringkat ini mengalami peningkatan dibanding hasil survei tahun 2006, di mana pembelajar bahasa Jepang di Indonesia di kala itu menduduki peringkat ke-4. (http://japan05.multiply.com/?&show_interstitial=1&u). Karakteristik bahasa Jepang yang berkaitan dengan kosakatanya dapat dilihat dari jenis-jenisnya. Berdasarkan asal-usulnya, kosakata bahasa Jepang dibagi menjadi tiga macam yaitu wago, kango,gairaigo. Kata-kata yang berasal dari Jepang kuno disebut 和語wago, 漢語kango kata-kata yang berasal dari Cina. Sedangkan 外来語gairaigo merupakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing dan kemudian dipakai sebagai bahasa nasional (各語kakugo).
Diantara jenis-jenis kosakata tersebut ada yang dapat digabungkan antara yang satu dengan yang lainnya (wago dengan kango, wago dengan gairaigo, atau kango dengan gairaigo) sehingga membentuk konshugo yang menjadi jenis kosakata tersendiri. Masing-masing kosakata tersebut memiliki karakteristik tertentu yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Namun secara gramatikal kosakata bahasa Jepang dapat diklasifikasikan ke dalam 10 kelompok kelas kata yakni dooshi ‘verba’, i-keiyooshi ‘ajektiva-i’, na-keiyooshi ‘ajektiva-na’ atau ada yang menyebutnya keiyoodoshi, meishi ‘nomina’, fukushi ‘adverbia’, rentaishi ‘prenomina’, setsuzokushi ‘konjugasi’, kandooshi ‘interjeksi’, jodooshi ‘verba bantu’ dan joshi ‘partikel’.
Bahasa Jepang juga mengenal adanya dialek. Hoogen dalam bahasa Indonesia berarti dialek. Ada pula yang menyebut hoogen dengan istilah chihoogo atau chi’ikigo (bahasa daerah). Namun perlu diperhatikan bahwa yang dimaksud hoogen (dialek) dalam hal ini adalah dialek regional (Sudjianto, 2004:19). Dialek regional yaitu dialek yang ciri-cirinya dibatasi oleh tempat (Kridalaksana, (1983:34), misalnya dialek Tokyo, dialek Osaka, dialek Nagoya, dialek Hiroshima dan sebagainya. Dialek sosial yaitu dialek yang dipakai kelompok sosial tertentu (Kridalaksana, 1983:34), misalnya ragam bahasa perempuan (onna no kotoba) dan ragam bahasa laki-laki (otoko no kotoba) dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam dialek sosial. Sedangkan dialek temporal ialah dialek dari bahasa-bahasa yang berbeda-beda dari waktu ke waktu (Kridalaksana, 1983:34), misalnya bahasa yang dipakai jaman Nara, bahasa jaman Heian, bahasa jaman Kamakura, bahasa jaman Muromachi, bahasa jaman Edo, dan sebagainya ialah dialek-dialek temporal bahasa klasik.
Kekayaan kosakata bahasa Jepang terlihat juga pada keberadaan onomatope (giseigo dan gitaigo). Kosakata bahasa Jepang ditandai juga dengan adanya ragam hormat (keigo). (Sudjianto, 2004:14-15) Keigo dalam bahasa Indonesia disebut bahasa hormat. Bahasa hormat sepadan dengan basa alus atau basa lemes sebagai istilah yang dipungut dari bahasa daerah. Basa alus ialah ragam bahasa yang ditujukan kepada yang dihormati. (Kridalaksana, 1983:21), dan basa lemes ialah ragam bahasa yang dipakai kepada orang yang lebih tinggi tentang orang yang lebih tinggi pula. (Kridalaksana, 1983:22). Keigo adalah bahasa/kata-kata khusus dipergunakan untuk menunjukkan kerendahan hati pembicara dan untuk menyatakan rasa hormat pembicara terhadap teman berbicara atau orang yang dibicarakan (Minoru, 1986: 321).
Bahasa hormat bahasa Jepang dipakai dengan cara mempertimbangkan hubungan antara pembicara, teman berbicara, dan orang yang dibicarakan. Tentu saja yang dipertimbangkan disini ialah siapakah teman berbicara atau orang yang dibicarakan. Apakah mereka termasuk bawahan (orang yang lebih rendah derajat/kedudukannya atau lebih muda umurnya), atasan (orang yang lebih tinggi derajat/kedudukannya atau lebih tua umurnya), atau sederajat dengan pembicara, sehingga dapat menentukan jenis bahasa hormat apa yang akan dipakai terhadap mereka (Sudjianto, 2004:139). Untuk lebih jelasnya mengenai bahasa hormat dalam bahasa Jepang akan dibahas dalam BAB III.

2.3.2.2 Bahasa Jawa

Bahasa Jawa di samping merupakan bahasa daerah yang banyak dipergunakan didaerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata juga mempunyai penutur di daerah Caledonia Baru, Suriname. (Kunardi, 1983:7). Tentang jumlah penutur bahasa Jawa, dewasa ini tidak kurang dari 60 juta orang (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979:1), dengan jumlah penutur yang melebihi 60 juta orang tersebut bahasa Jawa menduduki peringkat ke 16 apabila dibandingkan dengan bahasa-bahasa di seluruh dunia (Gloria, 1979:1).
Dari sekian besar jumlah penutur bahasa Jawa hanya sebagian kecil saja yang mampu berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Dalam hal ini, untuk berbahasa Jawa dengan baik dan benar, terkendala oleh tingkat tutur atau undak-usuk kebahasaan yang sangat kompleks, ialah variasi-variasi bahasa yang perbedaan antara satu dengan yang lainnya ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara (O1) terhadap lawan bicara (O2) (Soepomo Poedjosoedarmo: 1979:3).
Disamping kompleksitas undak-usuk, dengan adanya beberapa dialek dalam bahasa Jawa menjadikan bahasa Jawa tampak semakin variatif dan beraneka ragam. Masing-masing dialek hadir dengan keistimewaan yang membedakan antara dialek yang satu dengan yang lainnya, sehingga secara kebetulan apabila orang mendengarkan dua orang atau lebih berdialog dalam bahasanya, akan dapat mengetahui apakah mereka sedaerah asal atau tidak, meskipun untuk mengetahui secara pasti asal daerah mereka terlalu sulit bagi mereka.
Perbedaan yang sangat menyolok diantara dialek-dialek tersebut pada umumnya disamping unsur kosakata juga unsur supra segmental (intonasi, stress, dan sebagainya). Sehingga, mungkin dengan tujuan ungkapan yang sama, tetapi dilatarbelakangi dialek yang berbeda, maka baik intonasi maupun tempo pelafalan akan berbeda pula. Sementara tentang dialek-dialek bahasa Jawa, kita dikenal adanya dialek-dialek: Banyumas, Tegal, Yogya-Solo, Surabaya, Osing dan Samin. (Soepomo Poedjosoedarmo, 1979:3).
Dalam bahasa Jawa, penggolongan kata didasarkan pada segi semantis sosiolinguistik (Soenardji, 1993:19) yaitu adanya nilai santun dengan kadar yang berbeda-beda pada masing-masing penanda ragam itu. Kemampuan pembicara bahasa Jawa secara garis besarnya merangkum uraian tentang kalimat-kalimat dasar, kalimat-kalimat transformasi tunggal, kalimat-kalimat transformasi umum yang terdiri atas kalimat sematan, kalimat rapatan dan transformasi tataran. (Sudaryanto, 1991:93).
Pada wacana objektif pembicara bahasa Jawa tidak membicarakan orang ketiga, sehingga dia tidak perlu memperhatikan hubungannya dengan orang ketiga. Dalam hal ini pembicara hanya menghadapi dua pilihan tataran tuturan, yaitu ngoko dan krama. Pemilihan tataran ngoko atau krama ditentukan oleh hubungannya dengan pendengar. Jika kedudukan sosialnya sama atau lebih tinggi dari pendengar, pembicara bahasa Jawa mesti memilih tataran ngoko, sedangkan jika pendengar lebih tinggi kedudukan sosialnya daripada pembicara atau pembicara baru kenal pertama kali dengan pendengar, ia mesti memilih tataran krama.
Pada wacana subjektif, yaitu jika orang ketiga yang dibicarakan, pembicara dihadapkan pada pemilihan tataran yang empat macamnya, yaitu ngoko, krama, ngoko alus, atau krama alus. Perbedaan ngoko dan krama serta ngoko alus dan krama alus ialah seperti yang diuraikan di atas mengenai tataran ngoko dan krama (Sudaryanto, 1991:91).
Dalam bahasa Jawa, dampak perkembangan teknologi tidak hanya terdapat pada sistem fonologi dan morfologi bahasa Jawa, tetapi juga aspek kebahasaan yang luas yaitu stratifikasi sosial. Misalnya dalam majalah-majalah berbahasa Jawa seperti: Penyebar Semangat, Jaya Baya, dan Mekar Sari. Sekarang ini laporan mengenai perkembangan ilmu dan teknologi serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari bentuk tulis tidak disajikan dengan memakai bahasa krama melainkan bahasa ngoko.
Salah satu alasan mengapa krama tidak digunakan sebagai bahasa dalam ilmu teknologi adalah adanya ciri-ciri krama itu tidak sesuai dengan teknologi. Misalnya: krama itu sangat diwarnai oleh konteks sosial, dalam arti strata bahasa ini menunjukkan adanya perbedaan sosial antara penutur dengan pendengarnya atau antara penulis dengan pembacanya. Sedangkan bahasa yang digunakan dalam ilmu dan teknologi itu bebas dari ikatan sosial. Selain itu mengapa krama tidak digunakan dalam komunikasi ilmu dan teknologi ialah adanya kenyataan bahwa stratifikasi bahasa ini banyak diwarnai oleh penggunaan bahasa yang tidak langsung dan kata-kata yang panjang lebar. (A. Wahab: 1991:60).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar