Sabtu, 02 Maret 2013

BAB I


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah

Di antara sekian banyak bahasa yang ada di dunia, tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang memiliki kesamaan dengan undak-usuk basa (speech level) dalam bahasa Jawa. Sistem tata krama (unggah-ungguh) dan undak-usuk merupakan pencerminan rasa tenggang rasa dan pertimbangan pembicara terhadap lawan bicara dan merupakan sarana untuk mengeratkan hubungan manusia. Di Jawa jika seseorang belum menguasai unggah-ungguhing basa, menurut orang Jawa, orang tersebut dicap ‘‘durung jawa’’.  Di Jepang tidak ada ungkapan seperti itu, namun, jika seseorang tidak menguasai bahasa hormat, ia akan diasingkan oleh masyarakat sekitarnya.
Pada zaman dahulu di Jepang, penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dititikberatkan pada hierarki dalam masyarakat. Sikap pembicara terhadap status sosial, pangkat, asal usul lawan bicara, menentukan pemakaian bentuk hormat dan kadar hormat yang hendak dipakai dalam penuturannya. Dalam bahasa Jepang, kelompok kata yang dipakai untuk menunjukkan sikap hormat terhadap lawan bicara  ialah Sonkeigo dan Kenjoogo.
Keigo yang dipakai untuk menghormat kepada lawan bicara baru muncul sesudah zaman Kamakura, abad ke-12. Pada waktu itu kaum kesatria mulai memegang kekuasaan menggantikan kaum bangsawan, dan lahirlah susunan status sosial yang baru. Pada pertengahan abad ke-15, Jepang memasuki apa yang disebut ‘‘Zaman perang saudara’’. Tuan-tuan tanah di seluruh Jepang berebut memperluas wilayah kekuasaannya, dengan saling menyerang antara satu sama lain. Pada waktu itu keadaan sosial tidak menentu dan tidak stabil. Kadangkala pengikut rendahan membunuh tuan tanah atau panglima dan mengambil alih kekuasaannya.
Sementara itu, keadaan  di Jawa pada abad ke 15 hingga 17 mirip dengan keadaan di Jepang sebagaimana tersebut di atas. Di Jawa, negara-negara Islam bermunculan di pesisir dan kerajaan Majapahit runtuh sesudah diserang Demak. Karena keadaan politik yang bergolak, masyarakat mengalami ketidakstabilan dan ketidaktentuan. Ada kalanya yang berkedudukan rendah mengambil alih kekuasaan. Tome Pires (dalam Sudaryanto, 1991: 461) menunjukkan adanya patih di daerah pesisir yang hanya tiga hari sebelumnya berkedudukan sebagai budak atau pedagang. Dalam buku tersebut Tome Pires mencatat adanya dua tingkat bahasa yang berlainan, yang menunjukkan keberadaan dua tingkat tutur Ngoko dan Krama.
Dalam bahasa Jepang tingkatan bahasa meliputi ragam bentuk biasa (Futsu) dan bentuk sopan (Teinei) bentuk hormat (Keigo). Secara singkat Terada Takano menyebut keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga Terada (dalam Sudjianto, 2004:189). Hampir sama dengan pendapat tersebut, ada pula yang mengatakan bahwa keigo adalah istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang menaikkan pendengar atau orang yang menjadi pokok pembicaraan dalam Nomura (dalam Sudjianto, 2004:189). Pada dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan).
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa antara tingkat tutur bahasa Jepang dan tingkat tutur bahasa Jawa memiliki persamaan dan perbedaan.  Tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep uchi ‘dalam’ dan soto ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat (sonkeigo) dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam merendah (kenjoogo), sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep seperti itu.
Tingkat tutur dalam bahasa Jawa ini menunjukkan adanya adab sopan santun berbahasa Jawa bagi masyarakat tuturnya. Adab sopan santun berbahasa akan mencerminkan perilaku kebahasaan penuturnya yang sebenarnya merupakan cerminan kemasyarakatannya (Moeliono, 1985:4). Adab sopan santun berbahasa ini  ditandai adanya wujud tuturan juga ditandai perbedaan tingkah laku atau sikap penutur sewaktu berbahasa Jawa. Dengan demikian, adab sopan santun berbahasa Jawa mencakup dua faktor, yaitu faktor lingual (linguistik) dan faktor nonlingual (nonlinguistik). Kedua faktor tersebut dalam tindak tutur atau speech act dapat dipilahkan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan.
Adapun persamaan kedua bahasa tersebut adalah baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa sama-sama mempunyai ragam hormat yang digunakan untuk menghormati mitra tutur atau orang yang dituturkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya. 

1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan diteliti penulis sebagai berikut:
  1. Bagaimanakah perbedaan bentuk tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak usuk bahasa Jawa?
  2. Bagaimanakah perbedaan penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa?

1.3       Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan perbedaan bentuk tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa.
2.      Mendiskripsikan perbedaan penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa.
Manfaat penelitian ini bagi penulis dan pembaca adalah untuk mengetahui persamaan dan perbedaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dan undak-unduk bahasa Jawa secara umum dan penggunaannya dalam kalimat sehari-hari secara khusus.


1.4       Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah mengenai bagaimana perbedaan bentuk dan penggunaan bahasa hormat bahasa Jepang dengan undak-usuk bahasa Jawa. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh mengenai perbedaan kedua bahasa tersebut, penelitian dilakukan dengan analisis kontrastif, yaitu suatu analisis bahasa yang memiliki tujuan untuk menunjukkan perbedaan dan persamaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).

1.5       Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan 3 macam metode penelitian, diantaranya:
1.      Metode Pengumpulan Data
Data merupakan bagian yang sangat menentukan hasil akhir dari sebuah penelitian. Data dalam sebuah bahasa adalah bahasa itu sendiri yang dapat berbentuk bunyi, tulisan atau tanda. Dalam penelitian ini penulis menggunakan data pustaka yaitu berupa buku-buku yang memuat tentang kaidah-kaidah yang telah baku tentang tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang yang kemudian dibandingkan dengan undak-usuk bahasa Jawa.  Jadi, data adalah bahan penelitian itu dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi. Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian dapat dijelaskan, karena di dalam bahan itulah terdapatnya objek bahan penelitian yang dimaksud. (Sudaryanto, 1981:22).
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan metode simak yang dilanjutkan dengan teknik catat yaitu dengan cara mendata sejumlah buku-buku tentang penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa. Sebagai teknik lanjutannya digunakan teknik catat, baik terhadap pemakaian kategori tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang sendiri maupun undak-usuk bahasa Jawa untuk kemudian dibandingkan dalam hal penggunaannya.
Sumber data tertulis bahasa Jepang selain kamus bahasa Jepang yang digunakan sebagai pelengkap, penulis juga menggunakan buku-buku pelajaran sebagai sumber data lainnya yang terdiri atas buku Pelajaran Bahasa Jepang 1, Pelajaran Bahasa Jepang 2, Minna no Nihongo 2, Nihongo no Chukyu 1 serta buku-buku pendukung lainnya, dengan alasan selain buku-buku tersebut terdapat penggunaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang, buku-buku tersebut juga digunakan sebagai bahan ajar resmi dari Japan Foundation untuk seluruh siswa asing yang mempelajari bahasa Jepang, sebagai bahasa lisan maupun bahasa tulis. 
Sedangkan data bahasa Jawa berupa Kamus Unggah-ungguh Basa Jawa serta buku-buku sumber data pendukung lainnya seperti buku Pinter Basa Jawa 1,  Pelajaran Bahasa Jawa 3, Marsudi Basa lan Sastra Jawa Anyar 1 dan Marsudi Basa lan Sastra Jawa Anyar 3 serta buku-buku pendukung lainnya.
2.      Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul yang dalam hal ini, sebagaimana telah dinyatakan diatas, berupa kaidah-kaidah yang mengatur sistem undak-usuk atau speech level baik dalam bahasa Jepang maupun bahasa Jawa maka selanjutnya data-data tersebut dibandingkan atau lebih tepat lagi dikontraskan tentu saja sesuai dengan nilai keterbandingan yang ada.
Penandaan atau pemarkaan undak-usuk atau speech level yang meliputi tataran bunyi (fonologi), morfem (morfologi), dan kosakata (semantik) dikontraskan antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Termasuk dalam hal ini tentu saja dimungkinkan untuk didapatkan kenyataan bahwa pemarkaan dalam bahasa Jawa tidak terdapat pada level morfologi sementara itu di dalam bahasa Jepang didapatkan pemarkaan dalam level morfologi atau sebaliknya. Oleh karena dalam kenyataan baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa membedakan tingkat-tingkat bahasa dengan memanfaatkan kosakata maka di dalam skripsi ini metode kontras sebagai metode analisis dilakukan terutama pada persamaan dan perbedaan di dalam tataran semantik (kosakata). Berikut ini adalah contoh kontras yang dilakukan:
 
N0.
BAHASA JEPANG
BAHASA JAWA
1.
Contoh Bentuk Futsuugo
a.       生徒達
           Seitotachi wa bun o tsukuru.
        Murid-murid membuat kalimat.

b.      これはいものだ
             Kore wa yasui mono da.
             Ini barang yang murah.



Contoh Bentuk Ngoko
Aku wis mangan. Bapak wis dhahar durung?
Saya sudah makan. Bapak sudah makan belum?
2.
Contoh Bentuk Teineigo
a.       ミルクをみます
            Miruku o nomimasu.
            Saya minum susu.
b.      あのきいです
           Ano ie wa ookii desu.
           Rumah itu besar’.

Contoh Bentuk Madya
Kula mpun nedha. Agus mpun nedha dereng?
Saya sudah makan. Agus sudah makan belum?
Contoh Bentuk Krama
Kulo sampun nedha. Bapak sampun dhahar dereng?
Saya sudah makan. Bapak sudah makan belum?
3.
Contoh Bentuk Sonkeigo
a.       部長はアメリカへ出張
なさいます。
Buchou wa Amerika e shutchou nasaimasu.

Pak Direktur akan dinas ke Amerika.

b.      お子さんのお名前は
何とおっしゃいますか。
Okosan no namae wa nanto osshaimasu ka?
Siapa nama putra anda?


Contoh Bentuk Krama inggil
Benjing-enjing kula tuwi rencang kula.
Besok pagi saya menjemput temanku.

4.
Contoh Bentuk Kenjoogo
a.       私はアメリカから、
参りました。
Watakushi wa Amerika kara, mairimashita.
Saya datang dari Amerika.

b.      会社の中をご案内します。
Kaisha no naka o goannai shimasu.
Saya akan memandu dalam perusahaan.

Contoh Bentuk Krama Andhap
Benjing punapa kula kapareng sowan?
Pada hari apa saya boleh berkunjunng?


Dalam bahasa Jepang, bentuk verba dalam tingkatan futsuugo seringkali ditandai dengan akhiran-ru sedang nomina dan adjektivanya ditandai dengan kopula –da atau de aru kemudian  tingkatan teineigo berakhiran dengan kopula -desu, atau verba bantu–masu. Sedangkan  tingkatan sonkeigo  mempunyai ciri-ciri mendapat imbuhan verba bantu -o...ni naru, -rareru, serta mempunyai bentuk verba khusus dalam sonkeigo dan nominanya berimbuhan prefiks go/o. Dan tingkatan kenjoogo mempunyai ciri-ciri verbanya terdiri dari verba khusus kenjoogo, verba bantu go/o...suru dan nominanya juga ditambahkan dengan prefiks o/go didepannya.
Dalam bahasa Jawa, bentuk basa ngoko merupakan suatu tatanan kalimat yang terdiri dari kumpulan kata-kata ngoko yang seterusnya akan disebut tembung ngoko, termasuk juga afiks-afiks yang melekat pada tembung ngoko itu sendiri adalah kata-kata yang tidak memiliki atau mengandung suatu nilai halus atau penghormatan, kosakata dalam bentuk ngoko mempunyai jumlah paling besar diantara kosa kata lainnya. Kosakata dalam verba, nomina maupun adjectiva dalam madya maupun krama terbentuk dari bentuk ngoko yang lebih variatif, ada yang tidak mengalami perubahaan kata sama sekali, tetapi adapula kata dari ngoko yang berjumlah total dalam ragam krama sehingga terbentuk kata baru. Sementara itu kosakata krama inggil sebagian besar merupakan serapan yang berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa kuna, hanya kecil yang merupakan serapan dari bahasa Persia dan Arab dan krama andhap mempunyai kosakata yang lebih sedikit karena hampir tataran kosa-kata dalam bentuk krama sudah mengandung maksud  merendah.
3.      Metode Perumusan Hasil Analisis Data
Terdapat dua atau tiga kemungkinan perumusan hasiil analisis data, yaitu:
a.       Perumusan hasil secara formal, yakni perumusan hasil dengan menggunakan simbol-simbol matematis baik yang menggunakan huruf atau angka
b.      Perumusan hasil secara informal, yakni metode perumusan hasil analisis dengan menggunakan kata-kata biasa
c.       Adapun kemungkinan ketiga adalah menggunakan baik metode formal maupun metode informal
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penyajian informal berupa pendeskripsian tentang tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa. Penyajian hasil penelitian berupa hasil analisis, penafsiran dan penyimpulan sesuai penelitian yang telah dilakukan. Pemaparan hasil analisis data disajikan dalam bentuk penjabaran, perbandingan analisis data, dan penyimpulan sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan. Penyajian hasil analisis data dituangkan dalam bentuk deskripsi verbal tentang persamaan dan perbedaan tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa, serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penentuan pilihan varian tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang maupun undak-usuk bahasa Jawa.

1.6       Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penyusunan dan pemahaman dalam penelitian skripsi, maka penulis akan meneliti dengan sistematika penelitian sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian berisi batasan masalah dalam penelitian, sedangkan sub yang terakhir adalah sistematika penelitian. 
Bab II memuat tinjauan pustaka, metode penelitian dan kerangka teoritis.
Bab III memaparkan seluruh analisis permasalahan berikut teknik pengumpulan data serta hasil penelitian.
Bab IV memuat simpulan dari semua pembahasan hasil penelitian yang telah dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar