BAB
III
BENTUK DAN PENGGUNAAN TINGKATAN BAHASA DALAM BAHASA JEPANG DAN UNDAK-USUK BAHASA JAWA
3.1 Bentuk Tingkatan
Bahasa dalam
Bahasa Jepang
Pada awalnya, pembelajar bahasa
Jepang dikenalkan dengan tingkatan teineigo
terlebih dulu disamping itu tingkatan bahasa hormat yang lain seperti sonkeigo dan kenjoogo, sebab tingkatan teineigo
dipakai secara luas untuk menghormati kepada mitra wicara.
3.1.1 Tingkatan
Teineigo
Kata teinei berarti sopan, sehingga bentuk teineigo biasa diartikan dengan bentuk sopan. Karena tingkatan teineigo ini kalimatnya berakhiran
dengan kopula -desu, atau verba bantu–masu, maka disebut pula ragam desu atau masu. Tingkatan teineigo merupakan salah satu bagian
dari keigo (bahasa hormat) bahasa
Jepang. Pembicara menggunakan tingkatan ini untuk menyatakan rasa hormat dan
biasanya memperindah suatu pokok pembicara secara langsung terhadap mitra
wicaranya. Umumnya bentuk tingkatan ini mempunyai ciri-ciri:
kalimat akhirnya berakhiran dengan kopula –desu
dan verba bantu –masu.
Contoh kalimat:
1.
ミルクを飲みます。
Miruku o nomimasu.
Saya minum susu.
2.
日本料理はおいしいです。
Nihonryouri wa oishii desu.
Masakan Jepang enak.
3.
半年ぐらい習いました。
Hantoshi gurai naraimashita.
Saya
telah belajar kira-kira setengah tahun.
4.
この料理はおいしくないです。
Kono
ryouri wa oishikunai desu.
Masakan ini tidak enak.
5.
あの家は大きいです。
Ano ie wa ookii desu.
‘Rumah itu
besar’.
Contoh verba nomimasu ‘minum’ merupakan contoh
tingkatan teineigo yang berasal dari
perubahan verba nomu dan verba naraimashita ‘belajar’(lampau) berasal
dari verba narau (futsuu’biasa’).
Untuk mengubah verba dalam tingkatan futsuugo
menjadi tingkatan teineigo caranya
dengan menambahkan verba bantu ~masu
dan ~mashita (lampau). Dalam kamus
bahasa Jepang, verba-verba dalam bahasa Jepang umumnya hanya dapat dijumpai
dalam bentuk futsuugo. Sedangkan oishii ‘enak’ dan ooki ‘’besar’merupakan contoh kata sifat yang berakhiran ~i (ikeyoushi).
Untuk mengubah kata sifat, dan kata benda dalam bahasa Jepang yang masih
berbentuk tingkatan futsuugo agar
menjadi tingkatan teineigo, maka
tinggal menambahkan kopula desu
dibelakang kata sifat dan kata benda tersebut.
3.1.2 Tingkatan Futsuugo
Tingkatan futsuugo dalam bahasa Jepang merupakan
tingkatan yang paling dasar, maksudnya tingkatan ini dipakai oleh pembicara
kepada lawan bicaranya yang sudah akrab. Tingkatan futsuugo mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
a.
berakhiran dengan ~da, atau de aru
b. berakhiran
dengan verba bentuk futsuukei,
seperti bentuk ~ru
Contoh kalimat:
1.
生徒達は文を作る。
Seitotachi wa bun o tsukuru.
Murid-murid membuat kalimat.
2.
この焼き飯はとてもうまい。
Kono yakimeshi wa totemo umai.
Nasi goreng ini enak sekali.
3.
タオルや石鹸などを買った。
Taoru ya sekken nado o katta.
Saya telah membeli handuk, sabun, dan lain-lain.
4. 石田君は怠け者ではない。
Ishida-kun
wa namakemono dewa nai.
Ishida bukan
pemalas.
5. これは安いものだ。
Kore
wa yasui mono da.
Ini barang yang
murah.
Pada contoh-contoh kalimat,
tingkatan futsuugo, verba futsuugo tidak mengalami perubahan.
Sedangkan dalam bentuk lampau mengalami perubahan, seperti: tsukuru ‘membuat’ dan katta (bentuk lampau) dari kau ‘membeli’. Pada contoh kalimat yang
memakai kata sifat ikeyoushi tidak
mengalami perubahan, hanya saja jika kata sifatnya berubah menjadi bentuk
negatif maka cukup menambahkan ~nai atau
~dewa nai (kata sifat berakhiran~
na/kata benda) dibelakangnya, sedangkan pada kata benda tinggal menambahkan
kopula da.
3.1.3 Tingkatan Sonkeigo
Tingkatan sonkeigo adalah bagian tingkatan keigo (bahasa hormat) bahasa Jepang yang dipakai untuk menghormat
kepada lawan bicaranya. Umumnya tingkatan ini verbanya mempunyai ciri-ciri
mendapat imbuhan verba bantu -o...ni naru,
-rareru, serta mempunyai bentuk verba khusus dalam sonkeigo dan nominanya berimbuhan prefiks go/o.
Contoh kalimat:
1.
部長はアメリカへ出張なさいます。
Buchou wa Amerika e shutchou nasaimasu.
Pak Direktur
akan dinas ke Amerika.
2. 課長はもう帰られました。
Kachou
wa mou kaeraremashita .
Pak Manager
sudah pulang.
3. 先生はいらっしゃいますか。
Sensei
wa irrashaimasu ka.
Pak Guru ada?
4. お子さんのお名前は何とおっしゃいますか。
Okosan no namae wa nanto osshaimasu ka?
Siapa
nama putra anda?
5. 先生は新しいパソコンを買いになりました。
Sensei wa atarashii pasokon wo kai ni narimashita.
‘Pak Guru telah membeli computer baru’.
Pada contoh kalimat, verba nasaimasu ‘melakukan’ berasal dari verba
shimasu (teineigo) kemudian verba
suru (futsuugo) dan osshaimasu ‘berkata’ berasal dari verba iimasu (teineigo) kemudian verba iu (futsuugo).
Contoh perubahan verba songkeigo dari
teineigo dan verba teineigo dari futsuugo mengalami perubahan yang cukup dinamis. Aturan tersebut
sudah paten ditentukan dalam verba khusus dalam aturan yang ada dalam tingkatan
sonkeigo. Kemudian ada juga verba futsuugo yang diubah menjadi tingkatan sonkeigo dengan menambahkan verba bantu ~ni naru dan verba bantu ~reru, contoh: kai ni narimasu berasal dari kau
(futsuugo) ‘membeli’ dan kaeraremasu berasal dari verba kaeru (futsuugo) ‘pulang’.
3.1.4 Tingkatan
Kenjoogo
Tingkatan kenjougo merupakan salah satu bagian dari keigo ((bahasa hormat) bahasa Jepang yang dipakai terhadap lawan
bicara atau terhadap orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan diri. Umumnya
bentuk tingkatan kenjoogo mempunyai
ciri-ciri verbanya terdiri dari verba khusus kenjoogo, verba bantu go/o...suru
dan nominanya juga ditambahkan dengan prefiks o/go didepannya.
Contoh
kalimat:
1. 私はアメリカから、参りました。
Watakushi wa Amerika kara, mairimashita.
Saya datang dari Amerika.
2. 会社の中をご案内します。
Kaisha no naka o goannai shimasu.
Saya akan memandu dalam perusahaan.
3. ニューヨークにおります。
Nyuyouku ni orimasu.
Berada/di New York.
4. 今、出かけております。
Ima, dekakete orimasu.
Sekarang sedang keluar.
5. きのう先生のお宅へ伺いました。
Kinou sensei no otaku e ukagaimashita.
Kemarin saya berkunjung ke rumah Pak Guru.
Dalam tingkatan kenjoogo kata kerja golongan I, kata
kerja golongan II, dan perubahan verba dari bentuk futsuu ke teinei dan
verba dari teinei ke kenjoogo juga mengalami perubahan bentuk
yang cukup dinamis. Misalnya verba mairimasu
(kenjoogo) berasal dari verba kimasu (teineigo), kemudian dari verba kuru
‘datang’ (futsuugo), dan verba ukagaimasu
(kenjoogo) berasal dari kata uchi e
ikimasu (teineigo) kemudian dari
verba uchi e iku (futsuugo) . Aturan tersebut sudah paten ditentukan dalam bentuk verba khusus
dalam aturan yang ada dalam bentuk kenjoogo.
3.2 Undak-Usuk Bahasa Jawa
Bahasa
Jawa mengenal juga adanya tingkat tutur (speech
levels) atau undak-usuk yang cukup rapi, yaitu: ngoko lugu, ngoko andhap,
antya basa, basa antya, wredha krama,
mudha krama, kramantara, madya ngoko, madya krama, madyantara, krama inggil,
krama andhap, dan krama desa. Selain itu masih ada bahasa kedhaton dan bahasa bagongan yang dipakai dalam ruang lingkup kraton.
3.2.1 Ngoko
Dalam tingkat apapun, kata ngoko digunakan apabila kata tersebut
tidak mempunyai padanan pada tingkat kata yang lebih tinggi. Dengan kata lain,
kosakata dalam bentuk ngoko mempunyai
jumlah paling besar diantara kosa kata lainnya.
Bentuk basa ngoko merupakan suatu tatanan kalimat yang terdiri dari
kumpulan kata-kata ngoko yang seterusnya akan disebut tembung ngoko, termasuk juga afiks-afiks yang melekat pada tembung ngoko itu sendiri adalah kata-kata yang tidak memiliki atau mengandung
suatu nilai halus atau penghormatan.
Contoh kalimat:
1. Aku mangan roti.
Saya
makan roti
2. Gedhange murah.
Pisangnya
murah.
3. Dhek wingi aku mangan gedhang.
Kemarin
saya makan pisang.
4.
Kembang
kae ora abang.
Bunga itu tidak
merah.
5. Iki enak.
Ini enak.
Pada contoh kalimat diatas verba ngoko pada kata mangan ‘makan’ mempunyai bentuk madya
yaitu madhang dan dhahar merupakan bentuk krama/krama inggil-nya. Sedangkan kata
sifat abang ‘merah’ mempunyai bentuk krama
dan krama inggil-nya abrit, murah ‘murah’ bentuk krama dan krama inggil-nya mirah dan enak ‘enak’
mempunyai bentuk krama dan krama inggil-nya eca. Untuk mengetahui kosakata dalam undak-usuk bahasa Jawa dalam ngoko
berubah menjadi madya kemudian krama inggil kuncinya adalah menghapal
atau mengingatnya.
Adapun subtingkatan dalam ngoko terdiri dari:
ü Basa
Antya: terdapat kata-kata krama inggil, krama, ngoko, imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adik arep dipundhutake menda.
ü Antya
Basa: terdapat kata-kata krama inggil disamping kosakata ngoko.
Contoh kalimat: Adhik arep dipundutake
wedhus.
ü Ngoko
Alus: terdapat kata-kata campuran antara ngoko
dan krama. Contoh
kalimat: Adhik badhe ditukokke wedhus.
ü Ngoko Lugu:
terdapat kata-kata dan imbuhan ngoko.
Contoh kalimat: Adhik arep ditukokake
wedhus. ‘Adik akan dibelikan kambing.’
Adapun para ahli bahasa Jawa ada
yang menggolongkan subtingkatan dalam ngoko
hanya meliputi 2 subtingkatan saja, yakni basa
antya dan antya basa saja,
sedangkan ngoko lugu dan ngoko andhap bukan sebuah tingkat tutur,
melainkan hanya sekelompok kata yang mewarnai tingkat tutur yang ada, yaitu ngoko, madya dan krama.
3.2.2
Madya
Madya
merupakan bagian tengah-tengah dalam undak-usuk
bahasa Jawa. Digunakan
dalam bertutur kata dengan orang yang tingkat sosialnya rendah, tetapi usianya
lebih tua dari penuturnya. Bentuk madya
paling sering dipakai oleh orang-orang yang bermukim di pedesaan ataupun di
daerah pegunungan, terutama pada saat kegiatan jual-beli di pasar. Adapun sub
tingkatan dalam madya meliputi:
ü Madya
Krama: kata-kata tugas madya,
afiksasi ngoko, kata-kata lainnya
berbentuk krama dan krama inggil. Contoh kalimat:
Njenengan napa mpun mundhutake rasukan Warti dhek
wingi sonten?
ü Madyantara: kata-kata tugas
madya afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan krama inggil.
Contoh kalimat:
Samang napa pun numbasake rasukan Warti dhek wingi
sore?
ü Madya
Ngoko: kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko,
kata-kata lainnya berbentuk ngoko.
Contoh kalimat:
Samang napa pun nukokke klambi Warti dhik wingi
Kamu apa sudah membelikan
baju Warti kemarin sore?.
3.2.3 Krama
Berdasarkan bentuk fonemisnya,
kata-kata krama dibagi menjadi dua
jenis. Pertama, kata-kata yang mempunyai bentuk menyerupai padanan ngoko.
Misalnya: kula (krama) dengan aku (ngoko) ‘saya’ dan griya (krama) dengan omah
(ngoko) ‘rumah’. Kedua, kata-kata krama yang mempunyai padanan ngoko.
Dalam bahasa Jawa, perubahan ngoko ke krama lebih variatif, ada yg tidak mengalami perubahaan kata sama
sekali, tetapi adapula kata dari ngoko
yang berjumlah total dalam ragam krama sehingga terbentuk kata baru.
Contoh kalimat:
1. Kula nedha roti.
Saya makan roti.
2. Pisangipun mirah.
Pisangnya murah.
3. Kala wingi kula nedha pisang.
Kemarin saya
makan pisang.
4. Sekar punika boten abrit.
Bunga itu tidak
merah.
5. Punika eca.
Ini enak.
Dari contoh kalimat diatas dapat diketahui
bahwa verba nedha (krama) ‘makan’
berasal dari verba mangan (ngoko) ‘makan’. Kata sifat mirah (krama) ‘murah’ berasal dari kata murah (ngoko) kemudian abrit
(krama) dari kata abang (ngoko) dan eca
(krama) berasal dari kata enak (ngoko). Kata ganti orang pertama kula (krama) berasal dari kata aku (ngoko) ‘saya’. Kata keterangan
waktu kala wingi (krama) berasal dari
kata dhek wingi (ngoko). Selanjutnya kata tunjuk punika (krama) berasal
dari kata iki (ngoko).
3.2.3.1 Krama Inggil
Sementara itu kosakata krama inggil sebagian besar merupakan
serapan yang berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa kuna, hanya kecil
yang merupakan serapan dari bahasa Persia dan Arab. Contoh kosa kata krama inggil serapan adalah sebagai
berikut:
Ngoko
|
Krama
|
Krama
Inggil
|
Arti
|
Sumber
|
tangan
|
-
|
asta
|
tangan
|
Sansekerta
|
picak
|
-
|
wuta
|
buta
|
Jawa kuna
|
batur
|
rencang
|
abdi
|
pembantu
|
Arab
|
iket
|
udheng
|
dhestar
|
ikat pinggang
|
Persia
|
Contoh kalimat:
1.
Benjing-enjing
kula tuwi rencang kula.
Besok pagi saya menjemput temanku.
2. Pak Guru maringake apa?
Pak Guru
memberikan apa?
3. Badhe kepanggih sinten?
Hendak bertemu
siapa?
4. Sliramu diparingi apa?
Dirimu dikasih
apa?
5. Ibu ngendika apa?
Ibu berkata apa?
Dari contoh
kalimat diatas dapat diketahui bahwa verba tuwi
(krama inggil) ‘menjemput’ berasal
dari kata mapak (madya), methuk (ngoko), kemudian maringake (krama inggil) ‘memberikan’ berasal dari kata wenehake (ngoko) kemudian verba
intransitif diparingi (krama inggil) berasal dari kata diwenehi (ngoko) dan verba ngendika (krama inggil) ‘berkata’
berasal dari kata ngucap (ngoko). Seanjutnya kata ganti orang kedua sliramu (krama inggil) ‘kamu/dirimu’
berasal dari kata kowe (ngoko).
3.2.3.2 Krama Andhap
Dalam undak-usuk bahasa Jawa, kelompok
krama inggil dibagi menjadi dua,
yaitu pertama adalah kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan
meluhurkan diri dengan yang diacu disebut sebagai kata krama inggil. Kedua,
adalah kelompok kata yang menghormat orang yang diacu dengan cara merendahkan
diri sendiri yang disebut sebagai krama
andhap. Contoh kata krama inggil
dan krama andhap adalah sebagai
berikut:
Ngoko
|
Krama
|
Krama Inggil
|
Krama Andhap
|
Arti
|
kandha
|
criyos
|
ngendhika dhawuh
|
matur
|
berkata
|
takon
|
taken
|
paring priksa
|
nyuwun priksa
|
bertanya
|
Contoh kalimat:
1.
Benjing punapa
kula kapareng sowan?
Pada hari apa
saya boleh berkunjunng?
2. Pak Guru dipun caosi punapa?
Pak Guru diberi
apa?
3. Kula badhe sowan Pak Rektor.
Saya hendak
bertemu Pak Rektor.
4. Kula dipun paringi buku (dening)
Pak Guru.
Saya diberi buku
oleh Pak Guru.
5. Kula boten matur punapa-punapa.
Saya tidak
berkata apa-apa.
Dari
contoh kalimat dapat diketahui bahwa verba sowan
(krama andhap) ‘berkunjung’ berasal
dari kata dolan (ngoko), sedang sowan (krama andhap)
‘bertemu’ berasal dari kata nemoni
(ngoko) kemudian verba caosi dan paringi (krama andhap)
‘diberi ’berasal dari kata diwenehi
(ngoko) kemudian verba matur (krama andhap) berasal dari kata kandha (ngoko).
3.3
Penggunaan Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jepang
Pada
dasarnya tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang terletak pada bentuk keigo (bahasa hormat) yang dipakai untuk
menghaluskan bahasa, umumnya dipakai oleh orang pertama (pembicara atau
penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang
ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk
orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Umumnya keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau
muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau
bawahan, guru atau murid
3. Keakraban : orang dalam atau
orang luar
4. Gaya
bahasa : bahasa
sehari-hari, ceramah, perkuliahan
5. Pribadi
atau umum : rapat, upacara,
atau kegiatan apa
6. Pendidikan :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak
menggunakan keigo).
3.3.1 Penggunaan
Tingkatan Teineigo
Tingkatan teineigo adalah cara bertutur kata dengan sopan santun yang dipakai
oleh pembicara dengan saling menghormati atau menghargai perasaan masing-masing.
Tingkatan teineigo juga biasa disebut
dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan
rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap
lawan bicara). Pemakaian tingkatan teichoogo
sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau menurunkan derajat
orang yang dibicarakan, berbeda dengan sonkeigo
dan kenjoogo.
Pemakaian tingkatan teineigo tidak memperhatikan derajat
sosial, umur, ataupun kata kekerabatan pembicara dengan mitra wicara karena
inti dari pemakaian ragam bahasa ini agar apa yang dibicarakan oleh pembicara
terdengar lebih enak dan lebih halus. Dalam kehidupan sehari-hari tingkatan teineigo ini lebih sering digunakan
dibandingkan tingkatan keigo yang
lainnya, yaitu sonkeigo dan kenjoogo. Seseorang yang berbicara dalam
tingkatan teineigo ini tidak
meninggikan seseorang ataupun merendahkan seseorang tetapi hanya memperhalus
bahasa yang dipakai. Secara tidak langsung dengan memperhalus bahasa yang
digunakan, dapat meninggikan rasa hormat terhadap mitra wicara. Ragam bahasa
ini biasa digunakan terhadap orang yang belum dikenal oleh pembicara sebelumnya
atau kelompok orang yang berada diluar kelompok pembicara dalam ruang lingkup
formal.
Contoh penggunaan tingkatan teineigo dalam percakapan:
Yuki :すみません、ちょっと教えてください。
Sumimasen,
chotto oshiete kudasai.
Maaf, mohon informasi sebentar.
Polisi
:いいですよ。何ですか。
Ii desu
yo. Nan desu ka?
Iya, ada apa?
Yuki
:ビストロというレストランにはどう行けばいいのですか。
Bisutoro
to iu resutoran ni wa dou ikeba ii no desu ka.
Jalan ke Restoran Bistro lewat mana?
Polisi
:ビストロですね。信号のところまでまっすぐ行って、右に曲がってださい。そして、2~3分歩くと右側に見えます。
Bisutoran desu ne. Shingo no tokoro made massugu
itte, migi ni magatte kudasai. Soshite,
ni-sanpun aruku to, migi ni miemasu.
(Restoran)
Bistro ya.’ ‘Jalan lurus saja sampai di lampu merah, terus belok kanan.’
‘Setelah itu jalan lurus selama 2-3 menit, restorannya ada di sebelah kanan.
Yuki
:ありがとうございました。
Arigatou
gozaimashita.
‘Terima kasih.’
Pada contoh percakapan diatas, Yuki
bertanya kepada seorang polisi dengan menggunakan tingkatan teineigo dalam berkomunikasi. Orang
kedua (lawan bicara) si Yuki merupakan orang yang baru dikenal/belum akrab
(polisi). Untuk berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal/belum akrab
tingkatan teineigo sudah dapat
digunakan dalam tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang, sebab sudah mengandung unsur saling menghormati
antara pembicara maupun lawan bicara.
3.3.2 Penggunaan
Tingkatan Futsuugo
Tingkatan futsuugo biasanya digunakan dalam penuturan diantara anggota
keluarga: orang tua kepada anaknya begitu juga sebaliknya, kawan-kawan yang
akrab, orang yang berstatus tinggi terhadap yang berstatus rendah, dalam bahasa
media massa, makalah, roman dan sebagainya.
Contoh penggunaannya dalam percakapan:
Satoru
:今日、赤を着すぎじゃない?
Kyou,
aka wo kisugi janai?
Kamu nggak kebanyakan pakai merah
hari ini?
Mira :別に、いいじゃん!赤が好きだから。
Betsu
ni, ii jan! Aka ga suki dakara.
Emangnya kenapa? Aku, kan, suka
merah.
Satoru :ジャケットもイヤリングも靴も全部赤だよ。
Jaketto
mo iyaringu mo kutsu mo
zenbu aka da yo.
Dari jaket, anting-anting, sampai sepatu merah semua.
Mira :バッグも赤だよ。
Baggu mo aka da yo.
‘Tasku
juga merah.’
Satoru :そうだ。バッグも!
Sou da. Baggu mo!
Oh,
ya. Tasnya juga!
Mira :なによ?文句ある?
Nani yo?
Monku aru?
Kenapa,
sih?’ ‘Ada masalah?
Satoru :俺、赤きらいんだよな。
Ore, aka
kirain da yo na.
Aku
benci warna merah.
Mira :へ?うそ!赤きらいの?
He? Uso! Aka kirai no?
Hah?
Yang bener?’ ‘Kamu benci merah?
Satoru :彼女は赤がこんなに好きじゃ、困るな。
Kanojo wa aka konna ni suki ja, komaru na.
Kalau
pacarku sesuka ini sama merah, gawat juga.
Mira :じゃあ、どうする?別れたほうがいいっていうの?
Jaa, dou
suru? Wakareta hou ga iitte iu no?
Terus
mau bagaimana? Maksud kamu, lebih baik kita putus?
Satoru :そうは言ってないだろう~。
Sou wa itte nai darou...
‘Aku kan, nggak bilang begitu…’
Pada
contoh percakapan diatas Mira dan Satoru adalah sepasang kekasih. Dalam hal
ini, hubungan mereka sudah pasti akrab. Tingkatan futsuugo digunakan dalam kondisi yang sudah akrab (sesama teman, pacar, keluarga, dan
lainnya) seperti yang ada pada contoh percakapan diatas.
3.3.3 Penggunaan
Tingkatan Sonkeigo
Tingkatan sonkeigo adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat
terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau
hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang
yang dibicarakan. Misalnya, ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan
dan atasan tingkatan yang akan digunakan bawahan adalah tingkatan menghormat sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam
rangka menghormati atasannya.
Tingkatan sonkeigo dipakai juga bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan
atasan sebagai orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya,
yang berhubungan dengan lawan bicara (termasuk aktifitas dan segala sesuatu
yang berkaitannya). Tingkatan sonkeigo
merupakan cara bertutur kata yang secara langsung menyatakan rasa hormat
terhadap lawan bicara.
Contoh penggunaannya dalam percakapan:
Sudirno :もしもし、そちらは「ビストロ」ですか。
Moshi-moshi, sochira wa ‘Bisutoro’ desu ka.
Halo,
disitu restoran Bistro?
CS :はい、「ビストロ」でございます。
Hai, ‘Bisutoro’ de gozaimasu.
Benar’. ‘Disini ‘Bistro.
Sudirno :7:30に2名予約したいのですが。。。
Shichijihan ni 2
mei yoyaku shitai no desu ga…
Saya
ingin reservasi untuk 2 orang di pukul 19.30.
CS :申し訳ございません。電話回線の状態が悪いようです。もう一度おっしゃってくださいませんか。
Moushiwake gozaimasen. Denwa kaisen no
joutai ga warui you desu. Mou ichido osshatte kudasaimasen ka.
Maaf’. ‘Sepertinya koneksi telpon sedang agak
buruk’. ‘Bisa tolong ulangi sekali lagi?
Sudirno
:はい、今週金曜日の7:30に2人分の席が取れますか。
Hai. Konshuu kinyoubi no shichijihan ni futari-bun no seki ga toremasu
ka?
‘Baik.’ ‘Apakah saya bias res rvasi untuk 2 orang di
hari Jum’at pukul 19.30?’
CS :お調べします。申し訳ございません。金曜日は混んでおりまして、お席にご案内できるのは一番早くて8:30となっておりますが。。。
Oshaberi shimasu. Moushiwake gozaimasen.
Kinyoubi wa konde orimashite, oseki ni go annai dekiru no wa ichiban hayakute
hachijihan to natte orimasu ga…
Saya
cek dulu.’ ‘Maaf, Pak.’ ‘Hari Jum’at penuh, saya bisa antar Bapak ke kursi
paling cepat pukul 20.30…’
Sudirno :そうですか。。。
Sou desu ka…
Begitu,
ya…
CS :もし早めにお出でになるのでしたら、テーブルが空くまでバーでお飲み物でもいかがでしょうか。
Moshi hayame ni oide ni naru no deshitara,
teeburu ga aku made baa de onomimono demo ikaga deshou ka.
Kalau
Bapak bisa datang lebih cepat, bagaimana kalau sambil menunggu kursi kosong,
minum dulu di bar?
Sudirno :ああ、それはいいですね。ありがとう。。。
Aa, sore wa ii desu ne. Arigatou…
Ah,
boleh juga. Terima kasih…
CS :ではお二人ですね。お名前は。。。?
Dewa, o-futari desu ne. Onamae wa…?
Jadi,
dua orang ya. Namanya…?
Sudirno :スデイルノ、S-U-D-I-R-N-O…それと窓側禁煙席でお願いしますか。
Sudirno, S-U-D-I-R-N-O…, sore to madogawa wa
kin’en seki de onegai dekimasu ka.
Sudirno,
S-U-D-I-R-N-O…, dan bisa minta kursi non-smoking di sebelah jendela?
CS :もちろんです。問題ありません。では、スデイルノ様、金曜日8:30でご予約賜りました。
Mochiron desu.
Mondai arimasen. Dewa Sudirno-sama, kinyoubi hachijihan de go yoyaku
tamawarimashita.
Tentu bias.’ ‘Tidak ada masalah.’ ‘Baik, Bapak
Sudirno, reservasi untuk jum’at pukul 20.30 ya.
Sudirno :はい、どうもありがとう。
Hai, doumo arigatou.
‘Baik,
terima kasih.’
Pada
contoh dialog diatas Sudirno dan CS (Customer Service) restoran Bistro
kedudukannya merupakan orang yang memakai jasa (Sudirno) dan memberikan jasa
(CS). Dalam hal ini tingkatan sonkeigo
berperan penting bagi orang yang memberikan jasa yang status kedudukannya wajib
menggunakan ragam menghormat karena melayani orang yang memakai jasa. Dalam
tingkatan bahasa dalam bahasa Jepang orang yang memberikan jasa kepada orang
yang memakai jasa tertentu merupakan salah satu contoh dari penggunaan tingkatan sonkeigo atau ragam menghormat
selain di luar lingkup uchi dan soto.
3.3.4
Penggunaan
Tingkatan Kenjoogo
Tingkatan kenjoogo digunakan untuk menyatakan rasa
homat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan
cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan,
aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Misalnya, dalam kantor
atau perusahaan ketika bawahan berbicara dengan orang lain dari kantor yang
berbeda tingkatan yang digunakan adalah tingkatan kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah
atasannya sendiri. Dalam penggunaan tingkatan kenjoogo yang perlu
diperhatikan adalah bahwa yang menjadi subjek/pokok kalimat adalah diri sendiri
atau pihak sendiri. Hadir atau tidaknya orang yang hendak dibicarakan; Jika
hadir di situ juga, dipakai lebih banyak tingkatan Sonkeigo dan Kenjoogo.
Contoh percakapan dalam kenjoogo:
司会者 :優勝おめでとうございます。
すばらしいスピーチでした。
Shikaisha : Yuushou omedetou gozaimasu. Subarashii
supiichi deshita.
Selamat menjadi juara. Pidato anda bagus
sekali.
ミラー :ありがとうございます。
Mira :
Arigatou gozaimasu.
Terima kasih.
司会者 :緊張なさいましたか。
Shikaisha :
Kinchou nasaimashita ka.
Apakah anda grogi?
ミラー :はい、とても緊張いたしました。
Mira : Hai,
totemo kinchou itashimashita.
Ya, saya groggi sekali.
司会者 :テレビで放送されることはご存知でしたか。
Shikaisha
: Terebi de housou sareru koto wa gozonji
deshita ka.
Apakah anda tahu bahwa lomba
pidato disiarkan di televise?
ミラー :はい。ビデオにとって、アメリカの両親にも見せたいと
思っております。
Mira : Hai. Bideo ni
totte, Amerika no ryoushin ni mo misetai to omotte orimasu.
Ya, saya tahu. Saya ingin merekam di video dan
memperlihatkannya kepada orang tua saya di
Amerika.
司会者 :賞金は何にお使いになりますか。
Shikaisha : Shoukin wa nani ni otsukai ni narimasu ka.
Hadiah uangnya mau anda gunakan untuk apa?
ミラー :そうですね。私は動物が好きで、子供のときからアフリカ へ行くのが夢でした。
Mira : Sou desu ne. Watashi wa doubutsu ga suki de,
kodomo no toki kara
Afurika e iku no ga yume deshita.
Apa ya? Saya suka binatang sejak kecil, dan
pergi ke Afrika adalah impian saya.
司会者 :じゃ、アメリカへ行かれますか。
Shikaisha : Ja, Amerika e ikaremasu ka.
Kalau begitu, apakah anda akan pergi ke
Afrika?
ミラー :はい。アフリカの自然の中できりんや像を見たいと
思います。
Mira : Hai. Afurika no shizen no naka de kirin ya
zoo o mitai to omotte imasu.
Ya. Saya
ingin melihat jerapah dan gajah di
alam Afrika.
司会者 :子供のころの夢がかなうんですね。
Shikaisha : Kodomo
no koro no yume ga kanaun desu ne.
Impian anda sejak kecil menjadi kenyataan.
ミラー :はい。あのう、最後にひとことよろしいでしょうか。
Mira : Hai. Anou, saigo ni hito koto yoroshii
deshou ka.
Ya. Eh, terahir, bolehkah saya menyampaikan sesuatu?
司会者 :どうぞ。
Shikaisha : douzo.
Silakan.
ミラー :このスピーチ大会に出るために、いろいろご協力
くださった皆様に心から感謝いたします。
Mira : Kono supiichi taikai ni deru tame ni, iro
iro gokyouryoku kudasatta minasama ni kokoro kara kansha itashimasu.
Saya setulusnya mengucapkan terima kasih
kepada anda sekalian atas bantuan dan kerjasama untuk ikut lomba pidato ini.
Pada
percakapan diatas Mira sebagai salah satu kontestan pidato dalam berbicara
dengan shikaisha (pembawa acara) menggunakan tingkatan kenjoogo karena menunjukkan rasa
hormat pembicara kepada lawan bicara maupun orang yang menjadi topik
pembicaraan dengan cara merendahkan perilakunya sendiri. Sedangkan pembawa acara (shikaisha) dalam kontes pidato diatas menggunakan bentuk tingkatan sonkeigo untuk menghormat kepada lawan bicaranya.
3.4
Penggunaan
Undak-usuk Bahasa Jawa
Bahasa Jawa mengenal undak-usuk basa dan menjadi bagian
integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek
Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan
satu-satunya bahasa yang mengenal undak-usuk
bahasa, karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur
seperti bahasa Korea dan bahasa Sunda juga mengenal hal semacam ini.
3.4.1 Penggunaan
Ngoko
Bahasa ngoko umumnya dipakai berbicara orang tua kepada anak, cucu, atau
pada anak mudanya, percakapan terhadap orang sederajat yang tidak memperhatikan
kedudukan dan usia, atasan dan bawahannya, majikan dengan pembantunya, dan
lain-lain.
Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 (orang pertama)
terhadap O2 (orang kedua). Artinya O1 tidak memiliki rasa segan (jiguh pakewuh) terhadap O2, jadi buat
seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap seseorang O2, tingkat ngoko inilah seharusnya dipakai.
Teman-teman akrab biasanya saling menggunakan ngoko. Orang-orang berstatus
tinggi berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak
enggan terhadap orang lain yang berstatus rendah.
Contoh percakapan dalam basa ngoko :
Tono : Aku ora
kulina olah raga kaya Aris. Kasenenganku ngrungokake radhio, nggambar, lan
maca.
Aku tidak terbiasa berolahraga
seperti Aris. Kegemaranku mendengarkan radio, menggambar, dan
membaca.
Aris : Apa
entuk-entukane wong sing seneng ngrungokake radhio?
Apa yang didapatkan dari orang yang
suka mendengarkan radio?
Tono : Wah,
kowe kuwi kepancal sepur, Ris! Akeh banget guna paedahe seneng ngrungokake
radhio. Bisa tambah kawruh, bisa nglipur, bisa tambah kanca, bisa ngerti kaanan
sing lagi dumadi tanpa maca koran. Malah kadhang kala entuk rejeki, utawa
hadiah.
Wah, kamu tuh kayak nggak tahu saja,
Ris. Banyak banget manfaatnya bagi yang suka mendengarkan radio. (Misalkan)
Bisa menambah pengetahuan, bisa terhibur, bisa tambah teman, bisa tahu keadaan
yang terjadi tanpa membaca koran. Bahkan kadang
kala mendapat rejeki atau hadiah.
Aris : Iya.
Yen ngono kasenengane manungsa iku duweni guna sing maneka warna. Sing seneng
olah raga ya bakal ngundhuh uwohing olah raga, samono uga sing seneng maca ya
bakal ngundhuh uwohing maca.
Ya. Kalau begitu
kegemaran orang itu mempunyai manfaat yang beraneka ragam. Bagi
yang gemar berolahraga akan mengambil manfaatnya dalam olah raga. Bagi
yang gemar membaca pun akan mengambil manfaatnya dalam membaca.
Pada contoh dialog diatas merupakan
contoh pemakaian ngoko dalam
kehidupan sehari-hari antara teman yang sudah akrab. Karena Aris dan Tono dalam
dialog diatas bisa jadi hubungannya adalah teman sebaya atau teman sekelas di
sekolahnya sehingga tidak perlu lagi menggunakan bentuk krama.
3.4.2 Penggunaan Madya
Pada dasarnya bahasa Jawa mempunyai
tiga stratifikasi pokok. Pertama, ialah ngoko
yang dipakai oleh setiap penutur bahasa Jawa mulai dari anak-anak sampai orang
tua, dari yang miskin sampai yang kaya, dan yang berpendidikan rendah sampai
yang berpendidikan tinggi, dari rakyat biasa sampai para bangsawan. Ngoko
sendiri terdiri dari ngoko lugu dan ngoko alus. Ngoko lugu biasanya dipakai untuk membahasakan diri sendiri,
berbicara dengan sahabat dekat yang umur dan status sosialnya sama, atau jika
bertutur kata dengan pendengar yang usia, status dan pendidikannya lebih
rendah. Ngoko alus pada dasarnya adalah campuran antara ngoko dan krama. Stratifikasi ini biasanya dipakai diantara penutur dan
pendengar yang bersahabat dengan tingkat pendidikan yang tinggi dan antara anak
dengan orang tua. Stratifikasi yang kedua adalah karma madya atau biasa dikenal dengan madya (stratifikasi tengah) saja. Madya ini biasanya digunakan dalam bertutur kata dengan orang yang
tingkat sosialnya rendah, tetapi usianya lebih tua dari penuturnya.
Stratifikasi yang ketiga adalah krama (tingkat tutur halus). Stratifikasi ini
biasanya dipergunakan untuk menunjukkan rasa hormat terhadap pandangan yang
menurut perasaan penutur memiliki tingkat social yang lebih tinggi.
Contoh percakapan dalam bentuk madya:
A : Pundi
wohwohane sing becik-becik niku?
Yang mana buah-buahan yang segar
nih?
B : Niku
napa kirang becik?
Apa ini kurang segar?
A
: Dadi ajeng dienggo pista niku wowohane kaya mekaten.
Jadi buah-buahan yang dipakai buat
pesta seperti ini?
B
: Mboten, lha dika suntak saka senik kabeh mangke kula pilihane.
Bukan. Ya kalau mau
silahkan nanti saya pilihkan dari semua yang ada.
A
: La ajeng tuku satus niku mboten kena milih?
Ya, hendak membeli seratus atau
boleh memilih.
B
: E, kejaba ta nek ajeng tuku akeh, daweg dika pilihi sing njlimet.
Ya, kecuali
kalau mau beli yang banyak, saya persilahkan memilih dengan teliti.
A : Pundi
pintone.
Mana bijinya.
B : Nek
salak enak lan gedhe-gedhe mboten onten pintone, nek kedadean penganyange mawon
dika mecah siji, nek mboten enak bali.
Kalau salak yang segar dan
besar-besar tidak ada bijinya, kalau memang jadi menawar silakan dicicipi satu,
kalau tidak enak tidak jadi nggak apa.
A
: Niki sejinah pinten?
Ini sepuluh berapa?
B
: Patang wang.
Empat ribu.
A
: Tobat, tobat napa siji cucuke ngrong gobang?
Tobat, tobat apa satu seharga dua
ratus?
B
: Niki mangsa murah salak, napa empun larang?
Ini musim buah salak ko’ sudah
mahal?
A : Bener
empun larang, anua niki mangsa ngantia rego ngrong gobang siji.
Ya, sudah mahal, memang ini
musimnya sampai dua ratus dapat satu.
B
: Enggih dika enyang, empun maoni wong tawa mawon.
Silakan ditawar, seperti pada
umumnya orang yang beli aja.
Pada contoh
dialog diatas menggunakan madya ngoko
dan madya krama. Penggunaan bentuk madya ngoko paling sering dijumpai oleh
para pedagang yang berjualan di pasar yang menawarkan dagangannya seperti
contoh diatas, selain itu penggunaan madya
juga dipakai oleh orang-orang yang bertempat tinggal di daerah pedesaan atau
pegunungan. Kemungkinan si A dan si B merupakan orang daerah pegunungan ataupun
pedesaan, sebab bentuk percakapan diatas menggunakan tembung madya + ngoko + krama dan krama + krama inggil.
3.4.3 Penggunaan
Krama
Bentuk krama (bahasa hormat) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis
hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud
ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si
pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si
pembicara memakai konstruksi ngoko
(bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat).
Misalnya, anak kepada orangtua, bawahan kepada atasan, pembantu dengan
majikannya.
Tingkat tutur Krama adalah tingkat
yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya
perasaan segan (pakewuh) dari O1
terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, berpangkat, atau
priyayi, berwibawa dan lain-lain. Murid memakai krama terhadap gurunya, pegawai menggunakan krama terhadap kepalanya.
Contoh percakapan bentuk krama:
Sulis : Nuwun sewu, Pak. Punapa Bapak kagungan bausastra?
Permisi, Pak, Apakah Bapak punya kamus bahasa
Jawa?
Pak
Sulih : O, duwe, duwe! Aku pancen duwe kamus basa Jawa.
Óh, punya, punya! Aku
memang punya kamus bahasa Jawa.
Sulis : Anggitanipun sinten, Pak?
Pengarangnya siapa, Pak?
Pak
Sulih : Kamus kuwi karangane Pak Poerwadarminta.
Kamus itu pengarangnya adalah Pak
Poerwadarminta.
Sulis : Punapa kinten-kinten kapareng kula ngampil, Pak?
Apakah sewaktu-waktu
boleh saya pinjam, Pak?
Pak
Sulih : Wong mung nyilih bae kok ora oleh. Kapan kanggone?
Masa pinjam
aja kok nggak boleh...Kapan dipakai?
Sulis
: Kanggenipun benjing enjing, Pak.
Mau dipakai besok pagi, Pak.
Pak
Sulih : Yen sesuk aku arep lunga.
Kalau besok aku mau pergi.
Sulis
: Bapak badhe tindak dateng pundi?
Bapak hendak pergi kemana?
Pak
Sulih : Aku arep lunga menyang Madiun.
Aku mau pergi ke Madiun.
Sulis : Punapa ngantos nyipeng, Pak?
Apakah sampai menginap, Pak?
Pak
Sulih : Iya, aku bakal nginep ana kana.
Iya, aku akan menginap disana.
Sulis
: Menawi mekaten, kados pundi manawi dinten sapunika, Pak?
Kalau begitu, bagaimana saat hari
itu, Pak?
Pak
Sulih : Ora apa-apa. Malah kebeneran, iki mau lagi bae dakwaca.
Tidak apa. Kebetulan,
tadi baru saja aku baca.
Sulis : Bapak ugi asring maos bausastra?
Bapak juga sering membaca kamus
bahasa Jawa?
Pak
Sulih: : Iya..., menawa kepingin nenulis kang endi endah.
Iya...Kalau kepingin membuat
karangan yang indah.
Sulis
: Bapak remen nyenyerat punapa kemawon?
Bapak suka menulis apa saja?
Pak
Sulih : Aku seneng ngarang geguritan.
Aku suka mengarang
cerita bacaan.
Sulis
: Wah, kapareng kula bekta sakpunika, Pak?
Wah, kalau begitu boleh saya bawa
(kamusnya), Pak?
Pak
Sulih : Enya, enya, gawanen!
Nih, silakan bawa aja!
Sulis
: Matur nuwun, Pak. Nyuwun pamit.
Terima kasih, Pak, Saya mohon pamit.
Pada contoh dialog Sulis mempunyai
kedudukan sebagai murid sedangkan Pak Sulih kedudukannya sebagai gurunya Sulis.
Dalam hal ini penggunaan bentuk krama
digunakan dalam berbicara murid kepada gurunya (orang tua). Sedangkan bentuk ngoko digunakan oleh guru (orang tua)
terhadap muridnya. Dalam unggah-ungguh
basa Jawa sudah semestinya orang yang lebih muda menghormati orang yang
lebih tua. Orang yang lebih tua disini bisa saja meliputi: Bapak/Ibu guru,
orang tua sendiri maupun orang tua orang lain.
3.4.3.1
Penggunaan Krama Inggil
Kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan meluhurkan diri dengan
yang diacu disebut sebagai kata krama
inggil.
Krama inggil menyangkut apresiasi dan status sosial yang erat sekali dengan
etika dan sopan santun. Pada umumnya krama
inggil digunakan oleh bawahan kepada atasan, anak kepada orang tua, dan
murid kepada gurunya, dipakai saat pranata
cara (pidato serah terima pengantin dalam adat Jawa), undangan, selain itu krama inggil dipakai juga dalam dunia
hiburan seperti pedhalangan (wayang).
Krama
inggil biasanya digunakan oleh priyayi cilik kepada priyayi
gedhe, orang muda kepada orang tua, dan
ketika membicarakan priyayi luhur.
Dalam masyarakat basa krama inggil
sudah jarang terdengar lagi kecuali di dalam lingkungan kraton. Basa krama inggil yang dipakai dalam
lingkungan kraton dikenal dengan sebutan bahasa kedhaton.
Bahasa kedhaton adalah bahasa yang digunakan untuk berbicara oleh para sentana dan abdidalem pada saat menghadap Ingkang
Sinuwun ‘Raja atau Pangeran Adipati Anom’, Pangeran calon Raja atau untuk
percakapan dalam kraton. Jadi, kalau berbicara dengan raja mengenai apa saja,
bahasa yang digunakan harus basa kedhaton
dalam bentuk krama inggil. Wujud
bahasa ini berupa kata-kata krama
yang bercampur dengan bahasa krama inggil
terhadap orang yang diajak berbicara. Bahasa kedhaton digunakan di kraton
Surakarta, sementara bahasa kedhaton
yang digunakan dalam kraton Yogyakarta disebut bahasa bagongan. Selain krama inggil ada krama desa, yang kata-katanya yaitu krama dicampur dengan krama
desa yang biasa untuk menyebut nama kota atau tempat.
Contoh penggunaan krama inggil dalam percakapan:
Caraka : Saben enjing Bapak wungu pukul pinten?
Setiap pagi Bapak bangun
jam berapa?
Pak
Hana : Aku kulina tangi jam setengah lima.
Saya biasa bangun jam
setengah lima.
Caraka : Kalawau enjing tindak-tindak dumugi pundi?
Tadi pagi jalan-jalan
sampai mana?
Pak
Hana : Aku mlaku-mlaku tekan setadhiyon Pringgadani.
Saya jalan-jalan sampai
stadion Pringgadani.
Caraka : Menawi kula nderek punapa kapareng?
Kalau saya ikut boleh nggak?
Pak
Hana : Kena melu. Lah kowe kulina tangi jam pira?
Ikut boleh. Kalau
kamu biasa bangun jam berapa?
Caraka : Kula kulina tangi pukul setengah gangsal.
Saya biasa bangun jam setengah
lima.
Pak
Hana :Yen mengkono malah kebeneran. Kowe teka ing ngarepanku sadurunge jam
lima, aku mesthi wis siyap!
Kalau begitu kebetulan. Kamu
datang aja di depan rumahku sebelum jam lima, saya pasti dah siap!.
Caraka : Inggih, kula badhe dumugi ngrika saderengipun pukul
gangsal. Sapunika Bapak badhe tindak dhateng pundi?
Baiklah, saya akan
datang kesana sebelum jam lima. Setelah itu
Bapak hendak pergi kemana?
Pak
Hana : Aku arep lunga menyang Semarang.
Saya mau pergi ke
Semarang.
Caraka : Nitih punapa saking ngriki?
Dari sini mau naik apa?
Pak
Hana : Numpak bis bae.
Naik bus aja.
Caraka : Lajeng, kunduripun benjing punapa?
Lalu, pulangnya hari apa?
Pak
Hana : Sesuk aku wis mulih, mung sadina kok.
Besuk saya udah pulang, cuma
sehari aja.
Caraka : Mangke ndalu nyare wonten ing pundi?
Nanti malam menginap dimana?
Pak
Hana : Bab nginep gampang. Aku duwe tepungan akeh.
Masalah nginap itu mudah.’ ‘Saya
punya banyak kenalan.
Caraka
: Sarawuhipun mangke, punapa inggih badhe tindak kantor?
Kalau sudah datang nanti, apa
hendak berangkat ke kantor?
Pak
Hana : Iya..., kudu! Nadyan teka esuk ya kudu mangkat.
Iya...harus!’ ‘Walaupun datangnya
pagi ya harus berangkat.
Caraka :Wah, Bapak punika sanyata abdi nagari ingkang dhisiplin. Kaparenga kula
nyuwun resepipun, Pak?
Wah, Bapak orangnya
ternyata taat dengan aturan negara yang disiplin. Kalau boleh saya minta
resepnya, Pak?
Pak
Hana : Ah, gampang! Ora njaluk, yen kowe gelem melu mlaku mlaku aku, mesthi
dakwenehi.
Ah, mudah!’Tidak minta,
kalau kamu mau ikut saya jalan-jalan pasti tak kasih.
Caraka
: Estu nggih, Pak, kula dipun paringi.
Benar ya, Pak, saya diberi.
Pak
Hana : Iya..., iya...! Wis ya, kae bise!
‘Ya...ya...! Údah
dulu ya, itu busnya!
Pada contoh dialog kedudukan Caraka
merupakan orang yang mempunyai status di bawah Pak Hana. Bisa jadi Pak Hana
merupakan orang yang berpangkat lebih tinggi dibanding dengan Caraka. Maka dari
itu, sudah seharusnya Caraka dalam berbicara dengan Pak Hana mengggunakan
bentuk krama inggil, bentuk
menghormat untuk berbicara kepada lawan bicaranya yang memiliki kedudukan yang
lebih tinggi, seperti bawahan kepada atasan, priyayi cilik dengan priyayi
gedhe, dan lain-lain.
3.4.3.2 Penggunaan
Krama Andhap
Krama
andhap merupakan kelompok kata yang menghormat orang yang
diacu dengan cara merendahkan diri
sendiri.
Bentuk krama andhap dipakai oleh
orang tua kepada anaknya, bawahan kepada atasan. Penggunaan krama andhap
sejalan dengan pemakaian krama inggil. Karena pemakai ragam bahasa ini adalah orang
pertama (pembicara) dan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok pembicara.
Misalnya, keluarga pembicara.
Berikut contoh percakapan dalam krama andhap:
Bu
Broto : Hallo.
Halo.
Rifki : Sugeng sonten, Bu, menapa punika dalemipun Pak Broto?
Selamat sore, Bu, apakah benar
ini rumah Pak Broto?
Bu Broto :
Inggih leres. Kula Bu Broto.
Iya benar.’
‘Saya Bu Broto.
Rifki
: Nuwun Bu, kula Rifki muridipun Pak Broto. Menawi kapareng kula
badhe matur kaliyan Pak Broto.
Maaf Bu, saya Rifki
muridnya Pak Broto. Kalau boleh saya mau berbicara dengan Pak Broto.
Bu
Broto : Oh, mbak Rifki ta...inggih wonten. (Pak iki ana telpon saka Rifki,
murid panjenengan)
Oh, mbak Rifki ya...Iya,
ada. (Pak, ini ada telpon dari Rifki, murid kamu).
Pak
Broto : Halo Rifki, piye kabare?
Halo, Rifki, bagaimana
kabarnya?
Rifki : Pangestunipun Bapak, sae. Kaparenga matur Pak, menawi boten wonten
pambengan kula suwun bapak rawuh ing griya kula, ingkang saperlu ngrawuhi
syukuran dinten ulang taun kula ingkang kaping 16. Dene wancinipun jam 09.00
enjing.
Berkat doanya Bapak,
baik-baik saja. Saya mau menyampaikan, Pak, kalau tidak ada halangan
saya mohon bapak datang ke rumah saya dalam rangka menghadiri pesta ulang tahun
saya yang ke 16. Waktunya jam
09.00 pagi.
Pak
Broto : Lha sing nekani sapa bae?
La, yang datang siapa aja?
Rifki : Kanca-kanca setunggal kelas, Pak!
Teman-teman sekelas, Pak!
Pak
Broto : Iya, kebeneran sesuk ora ana acara liya, mula dak usahaake bisa teka.
Iya, kebetulan besok saya tidak ada acara lain, maka tak usahakan
datang.
Rifki : Inggih, Pak, matur nuwun sanget.
Iya, Pak, terima kasih banyak.
Pada contoh dialog diatas Rifki
menggunakan krama andhap dalam
mengundang Pak Broto untuk datang dalam acara pesta ulang tahunnya. Karena Pak Broto kedudukannya lebih tinggi
(guru) dari Rifki (murid), sudah selayaknya Rifki memakai ragam bahasa ini
dalam bahasa mengajak atau mengundang.
Dalam undak-usuk bahasa Jawa,
bahasa yang bertujuan mempersilahkan seseorang yang kedudukannya lebih tinggi,
mengundang dalam suatu acara (yang diundang kedudukannya lebih tinggi dari yang
mengundang) umumnya menggunakan bentuk krama andhap.
3.5 Perbedaan Bentuk
Tingkatan
Bahasa Jepang dan Undak-Usuk Bahasa
Jawa
Dalam bahasa Jepang semua kata dari
ragam futsuu akan mengalami perubahan
dalam ragam teinei, meskipun bukan
perubahan kata secara total yang membentuk kata baru, tetapi hanya menambahkan
kopula desu atau verba bantu masu di akhir kalimat. Kopula desu akan menempel pada kata benda dan
ajektiva, sedangkan verba bantu –masu
akan menempel pada kata kerja. Sedangkan dalam bahasa Jawa, perubahan ngoko ke krama lebih variatif. Ada yang tidak mengalami perubahan kata sama
sekali, tetapi ada pula kata dari ngoko
yang berjumlah total dalam ragam krama
sehingga terbentuk kata baru. Dalam bahasa Jepang hampir semua kata futsuu bisa diubah ke dalam bentuk teinei maupun sonkeigo, sedangkan bahasa Jawa ragam ngoko ada yang memilki padanan dalam krama saja tetapi dalam krama
inggil padanan katanya tidak ada. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh
tabel leksikon berikut ini:
NO.
|
LEKSIKON
FUTSUUGO
|
LEKSIKON
TEINEIGO
|
LEKSIKON
NGOKO
|
LEKSIKON
KRAMA
|
ARTI
|
1.
|
Kau
|
Kaimasu
|
Tuku
|
Tumbas
|
Membeli
|
2.
|
Miru
|
Mimasu
|
Nonton
|
Mirsani
|
Melihat
|
3.
|
Iru
|
Imasu
|
Ono
|
Wonten
|
Ada
|
4.
|
Kuru
|
Kimasu
|
Teka
|
Dugi
|
Datang
|
5.
|
Iu
|
Iimasu
|
Kandha
|
Matur
|
Berkata
|
No.
|
LEKSIKON
FUTSUUGO
|
LEKSIKON
SONKEIGO
|
LEKSIKON
NGOKO
|
LEKSIKON
KRAMA INGGIL
|
ARTI
|
1.
|
Kaeru
|
Okaeri ni naru
|
Mulih
|
Kondur
|
Pulang
|
2.
|
Nomu
|
Onomi ni naru
|
Ngombe
|
Ngunjuk
|
Minum
|
3.
|
Taberu
|
Meshi agaru
|
Mangan
|
Dhahar
|
Makan
|
4.
|
Miru
|
Goran ni naru
|
Nonton
|
Mirsani
|
Melihat
|
5.
|
Matsu
|
Omachi kudasai
|
Ngenteni
|
Ngentosi
|
Menunggu
|
6.
|
Iu
|
Ossharu
|
Kandha
|
Ngendika
|
Berkata
|
7.
|
Iku
|
Ikareru
|
Lunga
|
Tindak
|
Pergi
|
Selain verba dalam tingkatan sonkeigo, nomina dalam tingkatan sonkeigo juga memiliki kesamaan dalam leksikon krama inggil, diantaranya seperti dalam tabel dibawah ini:
NO.
|
SONKEIGO
|
KRAMA
INGGIL
|
ARTI
|
1.
|
Otaku
|
Dalem
|
Rumah
|
2.
|
Okarada
|
Slira
|
Badan
|
3.
|
Otoosan
|
Rama
|
Bapak
|
4.
|
Onomimono
|
Unjukan
|
Minuman
|
5.
|
Ohaka
|
Pasarehan
|
Makam
|
Kosakata tingkatan kenjoogo dalam bahasa Jepang, jauh lebih
banyak daripada kosakata krama andhap
dalam bahasa Jawa, dan hampir semua kata kerja di ‘’Krama Andhap-kan’’ dengan
menggunakan prefiks dan verba bantu. Bahasa Jawa tidak memiliki krama adhap untuk kata kerja seperti
‘’pergi/datang/ada/makan’’ dan sebagainya. Timbul pertanyaan, mengapa jumlah
kata krama andhap begitu sedikit?
Jawabannya, menurut tafsiran penulis, kata krama
dalam bahasa Jawa itu sudah mempunyai nuansa merendahkan diri yang sepadan
dengan tingkatan kenjoogo dalam
bahasa Jepang. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh sekelompok kata/leksikon
berikut ini:
No.
|
LEKSIKON
KENJOOGO
|
ARTI
|
LEKSIKON
KRAMA
ANDHAP
|
ARTI
|
1
|
onegai shimasu
|
minta
|
nyuwun
|
minta
|
2
|
sashi agemasu
|
memberi
|
nyaosi
|
memberi
|
3
|
mooshimasu, mooshiagemasu
|
berkata
|
matur
|
berkata
|
4
|
ukagaimasu
|
bertanya
|
nyuwun priksa
|
bertanya
|
5
|
ukagaimasu
|
berkunjung
|
sowan
|
berkunjung, menghadap
|
6
|
okari shimasu
|
pinjam
|
ampil
|
pinjam
|
3.6 Perbedaan Bentuk dan Penggunaan Tingkatan
Bahasa Jepang dan
Undak-usuk Bahasa Jawa
Dari segi penggunaannya, bahasa
Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa
mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya:
1. Penggunaan
tingkatan futsuugo dalam bahasa Jepang hampir sama
dengan penggunaan ngoko dalam bahasa
Jawa. Bedanya, kalau dalam bahasa Jepang apabila berkomunikasi dalam ruang
lingkup keluarga umumnya menggunakan ragam futsuu,
sebab kalau masih menggunakan bentuk teinei
menurut aturannya dianggap masih ada jarak, tidak ada hubungan kedekatan dalam
keluarga. Sedangkan dalam bahasa Jawa, dalam berkomunikasi dengan keluarga
terutama kepada orang tua umumnya ragam ngoko
tidak dipakai. Dalam hal ini ragam krama
yang seharusnya dipakai, sebab orang tua adalah orang yang paling banyak
berjasa maka sudah sepantasnya orang tua untuk dihormati. Namun, akhir-akhir
ini banyak ditemukan dalam masyarakat Jawa seorang anak masih menggunakan ragam
ngoko dalam berkomunikasi dengan
orang tuanya. Hal itu bisa dikarenakan didikan dari orang tuanya sendiri apakah
para orang tua tersebut masih menanamkan aturan unggah-ungguh bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari atau tidak.
2. Tingkatan
sonkeigo dan krama inggil sama-sama berfungsi sebagai bahasa menghormat,
sedangkan tingkatan kenjoogo dan krama andhap juga sama-sama mempunyai
fungsi sebagai bahasa merendah. Bedanya, dalam bahasa Jepang mengenal aturan uchi dan soto, sedangkan dalam bahasa Jawa tidak mengenal aturan hal
tersebut. Dalam bahasa Jepang, jika seseorang dalam perusahaan A membicarakan
orang lain yang berada dalam perusahaan B tidak memandang yang dibicarakan itu
mempunyai kedudukan sederajat, lebih rendah ataupun lebih tinggi, maka bahasa
yang dipakai adalah tingkatan sonkeigo.
Kemudian, apabila seseorang dalam perusahaan A membicarakan orang dalam
perusahaan A sendiri yang mempunyai kedudukan lebih tinggi (sebagai atasan)
maka bahasa yang dipakai adalah tingkatan kenjoogo. Sebaliknya dalam bahasa Jawa, baik hendak
membicarakan seseorang dalam perusahaan sendiri maupun orang lain di luar
perusahaan lain jika kedudukannya lebih rendah ataupun lebih tinggi dengan
orang yang dibicarakan maka menggunakan bentuk ragam krama inggil.
3. Tingkatan
bahasa dalam bahasa Jepang terdiri atas empat tingkatan sedangkan undak-usuk bahasa Jawa terdiri atas
tujuh/sembilan tingkatan. Tingkatan bahasa dalam Jepang terdiri atas; (1) Sonkeigo, (2) Kenjoogo, (3) Teineigo (4) Futsuugo. Sedangkan undak-usuk bahasa
Jawa terdiri atas: (1) Ngoko lugu, (2) Antya basa, (3) Basa antya, (4) Wredha krama, (5) Mudha
krama, (6) Kramantara, (7) Madya
ngoko, (8) Madya krama, (9)
Madyantara.
4. Verba dalam bahasa Jepang mengalami konjugasi, begitu
pula verba dalam bentuk tingkatan bahasanya. Sedangkan dalam bahasa Jawa, verbanya tidak mengalami perubahan, hanya saja kalau
verbanya ngoko menjadi krama mengalami perubahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar