Rabu, 18 Januari 2012

Proposal Skripsi Saya


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakat alat komunikasi antar bangsa, antar suku, dan daerah. Dengan bahasa kita bisa berkomunikasi dengan baik. Manusia dalam hidup bermasyarakat sangat memerlukan komunikasi dengan orang lain untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Manusia tidak dapat hidup tanpa komunikasi, karena dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya diperlukan bantuan orang lain. Untuk itu diperlukan alat penghubung komunikasi. Alat komunikasi yang dimaksud adalah bahasa. Menurut Gorys Keraf dijelaskan bahwa:
‘’Dalam komunikasi kita memerlukan bahasa. Karena bahasa dapat dipergunakan untuk menyampaikan pikiran, perasaan keinginan, serta pengalaman dan sebagainya. Semua orang menyadari bahwa interaksi dalam segala macam kegiatan dalam masyarakat akan lumpuh tanpa bahasa. Komunikasi lewat bahasa ini memungkinkan tiap orang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sosialnya, juga memungkinkan tiap orang untuk mempelajari kebiasaan, adat istiadat, kebudayaan serta latar belakang masing-masing’’. (Gorys Keraf, 1977:11)

Diantara sekian banyak bahasa yang ada di dunia, bahasa Jepang sejajar dengan bahasa Jawa, bahasa Korea, dll yang terkenal sekali dengan sistem ungah-ungguh atau tata krama yang teratur dan maju. Sistem tata krama (unggah-ungguh) merupakan pencerminan rasa tenggang rasa dan pertimbangan pembicara terhadap lawan bicara dan merupakan sarana untuk mengeratkan hubungan manusia. Di Jawa jika seseorang belum menguasai “unggah-ungguhing basa’’, menurut kata orang Jawa pasti akan di cap ‘’durung jawa’’. Di jepang tidak ada ungkapan seperti itu, namun, jika seseorang tidak menguasai “unggah-ungguhing basa”, ia akan diasingkan karakter ataupun budi pekertinya, dan ada kalanya menimbulkan amarah bagi lawan bicaranya.
Pada zaman purba dan pertengahan di Jepang, sistem keigo dititikberatkan pada hierarki dalam masyarakat. Sikap pembicarara terhadap status sosial, pangkat, asal usul seseorang yang diacu, menentukan memakai atau tidaknya bentuk hormat dan kadar hormat yang hendak dipakai dalam penuturannya. Dalam bahasa Jepang, kelompok kata yang dipakai untuk menunjukkan sikap hormat ialah Sonkeigo dan Kenjoogo.
Keigo yang dipakai untuk menghormat kepada lawan bicara baru muncul sesudah zaman Kamakura, abad ke-12. Pada waktu itu kaum kesatria mulai memegang kekuasaan menggantikan kaum bangsawan, dan lahirlah susunan status sosial yang baru. Pada pertengahan abad ke-15, Jepang memasuki apa yang disebut ‘’Zaman perang saudara’’. Tuan-tuan tanah di seluruh Jepang berebutan memperluas wilayah kekuasaannya, dengan saling menyerang antara satu sama yang lain. Pada waktu itu keadaan sosialnya tidak menentu dan tidak stabil. Kadangkala pengikut rendahan membunuh tuan tanah atau panglima dan mengambil alih kekuasaannya. Sementara itu, kaum pedagang yang berstatus sosial rendah mulai meningkatkan kekayaan sosial seperti itu, diperlukan sekali perhatian dan kewaspadaan terhadap hubungan antarmanusia, dan ini mendorong timbulnya keigo, yang dipakai untuk membentuk ragam bahasa hormat.
Keadaan di Jawa pada abad ke 15-17 mirip dengan keadaan di Jepang sebagaimana tersebut diatas. Di Jawa negara-negara Islam bermunculan di Pesisir dan Kerajaan Majapahit runtuh sesudah diserang Demak. Karena keadaan politik yang bergolak, masyarakat mengalami ketidakstabilan dan ketidaktentuan. Ada kalanya yang berkedudukan rendah mengambil alih kekuasaan. Tulisan Tome Pires dalam buku Suma Oriental (Toohoo Shokokuki hlm.341-342) menunjukkan adanya patih di daerah pesisir yang hanya tiga hari sebelumnya berkedudukan sebagai budak atau pedagang. Dan tempat lain dalam buku tersebut Tome Pires mencatat adanya dua tingkat bahasa yang berlainan, yang menunjukkan keberadaan dua tingkat tutur Ngoko dan Krama.
Dalam bahasa Jepang ragam bahasa hormat meliputi ragam普通Futsu ‘biasa’ dan 丁寧Teinei ‘hormat’ (警護keigo). Secara singkat Terada Takanao menyebut keigo sebagai bahasa yang mengungkapkan rasa hormat terhadap lawan bicara atau orang ketiga (Terada, 1984:238). Hampir sama dengan pendapat itu, ada juga yang mengatakan bahwa keigo adalah istilah yang merupakan ungkapan kebahasaan yang menaikkan pendengar atau orang yang menjadi pokok pembicaraan (Nomura, 1992:54). Pada dasarnya keigo dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis) untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan).
Berdasarkan hasil analisis penulis, diketahui bahwa antara tingkat tutur bahasa Jepang dan tingkat tutur bahasa Jawa memiliki persamaan dan perbedaan. Perbedaan tingkat tutur bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah, dalam tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Tingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan そとsoto ‘luar’ seperti bahasa Jepang.
Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa ini menunjukkan adanya adap sopan santun berbahasa Jawa bagi masyarakat tuturnya. Adab sopan santun berbahasa akan mencerminkan perilaku kebahasaan penuturnya yang sebenarnya merupakan cerminan kemasyarakatannya (cf. Anton M. Moeliono, 1985:4). Adap sopan santun berbahasa ini disamping ditandai adanya wujud tuturan juga ditandai perbedaan tingkah laku atau sikap penutur sewaktu berbahasa Jawa. Dengan demikian, adab sopan santun berbahasa Jawa mencakup dua faktor, yaitu faktor lingual (linguistik) dan faktor non lingual (non linguistik). Kedua faktor tersebut dalam tindak tutur atau speech act dapat dipilahkan, akan tetapi tidak dapat dipisahkan (cf. Ungkapan dalam bahasa Jawa: Suruh beda lumah lan kurepe yen ginigit padha rasane ‘Sirih berbeda bagian atas dengan bagian bawahnya apabila dikunyah sama rasanya’). Persamaannya adalah kedua bahasa tersebut memiliki ragam biasa dan ragam hormat, baik bahasa Jepang maupun bahasa Jawa sama-sama mempunyai ragam hormat yang digunakan untuk menghormati mitra tutur atau orang yang dituturkan. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam bertutur akan selalu dipengaruhi oleh situasi dan kondisi di sekitarnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan yang akan diteliti penulis sebagai berikut:
1. Bagaimanakah penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan bahasa hormat dalam bahasa Jawa
2. Bagaimanakah perbedaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dengan bahasa hormat dalam bahasa Jawa
3. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian mengenai penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa
2. Mendiskripsikan perbedaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa

1.4 Tinjauan Pustaka

Unggah-ungguh basa adalah sopan santun dalam berbahasa Jawa. Unggah-ungguh basa berujud tingkatan-tingkatan dalam tutur bahasa. Masing-masing tingkatan dibentuk oleh penutur, semata-mata hanya dimaksudkan terhadap siapa penutur itu berbicara, bukannya terhadap orang lain di luar lawan bicara. (Sudaryanto, 1993:273).
Keigo dalam bahasa Indonesia disebut bahasa hormat. Bahasa hormat sepadan dengan basa alus atau basa lemes sebagai istilah yang dipungut dari bahasa daerah. Basa alus ialah ragam bahasa yang ditujukan kepada yang dihormati. (Kridalaksana, 1983:21), dan basa lemes ialah ragam bahasa yang dipakai kepada orang yang lebih tinggi tentang orang yang lebih tinggi pula. (Kridalaksana, 1983:22). Keigo adalah bahasa/kata-kata khusus dipergunakan untuk menunjukkan kerendahan hati pembicara dan untuk menyatakan rasa hormat pembicara terhadap teman berbicara atau orang yang dibicarakan (Minoru, 1986: 321).

1.5 Ruang Lingkup Pembahasan

Latar belakang hidup dalam bermasyarakat Jepang dan Jawa memang masih menjunjung tinggi nilai unggah-ungguh, adab dalam tata krama atau sopan santun. Dalam bahasa Jawa kadar sikap hormat mempunyai tingkat tutur Ngoko, Krama dan Madya dan masing masing terbagi lagi ke dalam beberapa sub tingkat, dan seluruhnya berjumlah 7 atau 9 tingkat. Tiap-tiap tingkat diberi nama masing-masing seperti Muda Krama, Basa Antya dan sebagainya. Sedang dalam bahasa Jepang terdapat dua tingkat tutur, yaitu ragam 普通Futsuu ‘biasa’ dan ragam 丁寧Teinei ‘hormat’, yang meliputi kenjoogo dan sonkeigo. Walaupun kedua ragam itu masing-masing mempunyai kadar hormat yang berbeda-beda, tetapi tidak diberi nama.


1.6 Metode dan Teknik Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan kemudian memaparkannya secara deskriptif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode distribusional dalam tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap penganalisisan data dan tahap penyajian data (Sudaryanto, 1993: 5-7).
Metode kajian distribungsional menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribungsional memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti. Metode ini berhubungan erat dengan paham strukturalisme de Saussure (1916), bahwa setiap unsur bahasa berhubungan satu sama lain, membentuk satu kesatuan padu (the whole unified). Metode distribungsional ini sejalan dengan penelitian deskriptif dalam membentuk perilaku data penelitian. (Fatimah, 2006:69).

1.7 Sistematika Penelitian

BAB I Pendahuluan. Isinya meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, landasan teori, sumber data, ruang lingkup penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II Menguraikan teori-teori yang akan penulis gunakan untuk menganalisis pemakaian bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa..
BAB III Bentuk-bentuk penggunaan ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa. Bab ini merupakan inti dari penelitian yang penulis lakukan, karena dalam bab ini akan penulis utarakan tentang analisis terhadap deskripsi ragam bahasa hormat dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa.
BAB IV Merupakan penutup yang berisi penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang berkaitan dengan penelitian ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar