Kamis, 19 April 2012

REVISI BAB III

BAB III
ANALISIS KONTRASTIF BENTUK DAN PENGGUNAAN BAHASA HORMAT BAHASA JEPANG DAN UNDAK-USUK BAHASA JAWA


3.1 Bentuk Bahasa Hormat Bahasa Jepang

Bentuk bahasa hormat (keigo) bahasa Jepang umumnya terdiri dari Futsuugo, Teineigo, Sonkeigo dan Kenjoogo. Dalam belajar bahasa Jepang umumnya para pembelajar dikenalkan bentuk teinei terlebih dulu disamping bentuk futsuu sebab ragam teinei dipakai untuk menghormati secara langsung kepada mitra wicara. Ragam teinei dipakai dalam penuturan antara mahasiswa dengan dosen, guru besar, pelayan toko dan tamu, pegawai berpangkat lebih rendah terhadap yang lebih tinggi di kantor, terhadap seseorang yang belum kenal sebelumnya, dalam surat, ditempat formal ataupun dalam rapat.

3.1.2 Bentuk Teineigo

Kata teinei berarti sopan. Karena ragam teinei, ini kalimatnya berakhir dengan kata -desu, atau –masu, maka disebut pula ragam desu atau masu.
Teineigo dinyatakan dengan cara sebagai berikut:
a. Memakai verba bantu desu dan masu seperti pada kata:
行きますIkimasu =行くiku ‘pergi’
食べますTabemasu =食べるtaberu’makan’
本ですHon desu =本だhon da ‘buku’
きれいですKirei desu =きれいだkirei da ‘cantik, bersih, indah’
b. Memakai prefiks go atau o pada kata-kata tertentu, seperti:
お金okane = 金kane ‘uang’
お酒osake = 酒sake ‘arak Jepang’
ご意見goiken = 意見iken ‘pendapat’
ご結婚gokekkon = 結婚kekkon ‘nikah’
c. Memakai kata-kata tertentu sebagai teineigo seperti
ございますGozaimasu =ござるgozaruありますarimasu =あるaru ‘ada’
Contoh kalimat:
1. ミルクを飲みます。
Miruku o nomimasu.
‘Saya minum susu’.
2. 日本料理はおいしいです。
Nihonryouri wa oishii desu.
‘Masakan Jepang enak’.
3. 半年ぐらい習いました。
Hantoshi gurai naraimashita.
‘Saya telah belajar kira-kira setengah tahun’
4. この料理はおいしくないです。
Kono ryouri wa oishikunai desu.
‘Masakan ini tidak enak.’
5. あの家は大きいです。
Ano ie wa ookii desu.
‘Rumah itu besar’.
(Sumber: Pelajaran Bahasa Jepang II: 39-41)
Contoh kosakata bentuk teinei dapat dilihat juga dalam tabel berikut ini:
No. FUTSUUGO TEINEIGO KETERANGAN
1. Kaban da Kaban desu +desu
2. Gakusei da Gakusei desu +desu
3. Iku Ikimasu +masu
4. Nomu Nomimasu +masu
5. Taberu Tabemasu +masu
6. Okiru Okimasu +masu
7. Kuru Kimasu +masu
8. Benkyou suru Benkyou shimasu +masu

Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa ada perubahan statis dalam bentuk futsuu ke dalam bentuk teinei dalam bahasa Jepang, sehingga jika dibuat rumus atau formula akan menjadi seperti berikut:
Kata benda Futsuu Teinei Arti
Gakusei +da +desu
Kata Kerja Kelompok I iku iki + masu pergi
Kata Kerja Kelompok II taberu tabe + masu makan
Kata Kerja Kelompok III suru shi + masu melakukan
Kata kerja dalam bahasa Jepang dibagi menjadi tiga kelompok, yakni kata kerja kelompok I, yaitu kata kerja yang berakhiran –u, -tsu, -ru, -mu, -nu, -bu, -ku, -gu, -su. Contohnya pada kata iku ‘pergi’, dan nomu, ‘minum’ pada tabel diatas. Selanjutnya adalah kata kerja kelompok II, yaitu kata kerja yang berakhiran –eru dan –iru, contohnya pada kata taberu ‘makan’, okiru ‘bangun’ pada tabel diatas, yang terakhir adalah kata kerja kelompok III, yaitu kata kerja khusus karena hanya ada dua kata yaitu kata kuru ‘datang’ dan suru ‘melakukan’. Perubahan bentuk futsuu ke teinei dalam kata kerja diatas sudah paten sesuai dengan formula yang sudah ditentukan.

3.1.2 Bentuk Futsuugo

Ragam Futsuugo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. berakhiran dengan ~da, atau de aru
b. berakhiran dengan verba bentuk futsuukei, seperti bentuk ~ru
c. Kata kerja kelompok I mempunyai ciri-ciri berakhiran –u, -tsu, -ru, -mu, -nu, -bu, -ku, -gu, -su, kata kerja kelompok II mempunyai ciri-ciri berakhiran –eru dan –iru dan kata kerja kelompok III terdiri dari kata kerja khusus karena hanya ada dua kata yaitu kata kuru dan suru.
Contoh kalimat:

1. 生徒達は文を作る。
Seitotachi wa bun o tsukuru.
‘Murid-murid membuat kalimat.
2. この焼き飯はとてもうまい。
Kono yakimeshi wa totemo umai.
‘Nasi goreng ini enak sekali’.
3. タオルや石鹸などを買った。
Taoru ya sekken nado o katta.
‘Saya telah membeli handuk, sabun, dan lain-lain’.
4. 石田君は怠け者ではない。
Ishida-kun wa namakemono dewa nai.
‘Ishida bukan pemalas’.
5. これは安いものだ。
Kore wa yasui mono da.
‘Ini barang yang murah’.
(Sumber: Pelajaran Bahasa Jepang I: 77-78)

3.1.3 Bentuk Sonkeigo

Ada beberapa cara untuk menyatakan sonkeigo yaitu:
a. Memakai verba khusus sebagai sonkeigo, seperti
なさるnasaru =するsuru ’melakukan’
ごらんになるgoran ni naru =見るmiru‘melihat’
召し上がる,あがるmeshiagaru, agaru=食べるteberu ‘makan’
いらっしゃるIrassharu=いるiru’ada’ 
いらっしゃる= 行くiku ‘pergi来る, kuru ’datang’
仰るossharu=言うiu’berkata’
kudasaru 下さる=くれるkureru
b. Memakai verba bantu –reru setelah verba golongan satu dan memakai verba bantu rareru setelah verba golongan dua, seperti:
書かれるkakareru =書くkaku’menulis’
受けられるukerareru = 受けるukeru ‘menerima’
c. Menyisipkan verba bentuk ren’youkei pada pola ‘o...ni naru’ seperti:
お待ちになるomachi ni naru =待つmatsu ‘menunggu’
お立ちになるotachi ni naru =立つtatsu ‘berdiri’
お座りになるosuwari ni naru=座るsuwaru ‘duduk’
お読みになるoyomi ni naru =読むyomu ‘membaca’
お書きになるokaki ni naru = 書くkaku ‘menulis’
d. Memakai nomina khusus sebagai sonkeigo untuk memanggil orang. Kata-kata tersebut bisa berdiri sendiri dan ada juga yang dapat menyertai kata lain sebagai sufiks seperti:
先生 sensei = bapak/ibu (guru, dokter)
社長 shachou = direktur
課長 kachou = kepala bagian
e. Memakai prefiks dan/atau sufiks sebagai sonkeigo seperti
田中様 Tanaka-sama = Tuan Tanaka
鈴木さんSuzuki-san = Saudara Suzuki
娘さんMusume-san = anak perempuan (orang lain)
ご意見Goiken = pendapat (orang lain)
お考えOkangae = pikiran (orang lain)
お宅 Otaku = rumah (orang lain)
弟さんOtouto-san = adik laki-laki (orang lain)
お医者さんOisha-san = dokter
f. Memakai verba asobasu, kudasaru dan irrasharu setelah verba-verba lain, seperti:
お帰りあそばすOkaeri asobasu = 帰るkaeru ‘pulang’
お許しくださるOyurushi kudasaru =許すyurusu ‘memaafkan’
見ていらっしゃるMite irassharu =見るmiru ‘melihat’
喜んでいらっしゃるYorokonde irassharu =喜ぶyorokobu ‘senang’, ‘gembira’
Contoh kalimat:
1. 部長はアメリカへ出張なさいます。
Buchou wa Amerika e shutchou nasaimasu.
‘Pak Direktur akan dinas ke Amerika’.
2. 課長はもう帰られました。
Kachou wa mou kaeraremashita .
‘Pak Manager sudah pulang’.
3. 先生はいらっしゃいますか。
Sensei wa irrashaimasu ka.
‘Pak Guru ada?’
4. お子さんのお名前は何とおっしゃいますか。
Okosan no namae wa nanto osshaimasu ka?
‘Siapa nama putra anda?
5. 先生は新しいパソコンを買いになりました。
Sensei wa atarashii pasokon wo kai ni narimashita.
‘Pak Guru telah membeli computer baru’.
(Sumber: Minna No Nihon Go II: 194-205)
Perubahan ragam futsuu ke dalam bentuk sonkeigo dapat dilihat juga dari contoh kosa kata dalam tabel berikut:
No. FUTSUUGO SONKEIGO ARTI
1. Kaeru Okaeri ni naru Pulang
2. Nomu Onomi ni naru Minum
3. Kau Okai ni naru Membeli
4. Miru Goran ni naru Melihat
5. Iku Ikareru Pergi
6. Matsu Omachi kudasai Menunggu

Dari tabel diatas pada tataran kata perubahan ragam futsuugo ke bentuk sonkeigo dapat dibuat formula seperti berikut:
1. Kata kerja kelompok I
Futsuugo Sonkeigo Arti
Kaeru kaeri +ni naru pulang
Nomu nomi + ni naru minum
Kau kai + ni naru membeli
Terlihat adanya perubahan yang dinamis dari ragam futsuu ke bentuk sonkeigo dalam bahasa Jepang, yaitu merubah suku kata terakhir pada ragam futsuu menjadi bentuk vokal –i kemudian menambahkan verba kata –ni naru. Sehingga hampir semua kata ragam futsuu dalam bahasa Jepang dapat dirubah ke dalam ragam sonkeigo.
2. Kata kerja kelompok II
Futsuugo Sonkeigo Arti
Taberu tabe + ni naru makan
Okiru oki + ni naru bangun
Miru goran + ni naru melihat
Pada kata kerja kelompok II perubahan futsuu lebih mudah karena sebagian besar hanya menghilangkan suku kata terakhir –ru kemudian menambahkan verba bantu -ni naru. Hanya beberapa kata kerja golongan ini yang mengalami perubahan kata, contoh pada kata miru (futsuu) berubah menjadi goran ( sonkeigo) dengan tetap menambahkan verba bantu -ni naru dibelakangnya. Tetapi perubahan pada kata khusus seperti ini jumlahnya terbatas.
3. Kata kerja kelompok III
Futsuugo Sonkeigo Arti
Kuru irasshai + ni naru datang
Kata kerja kelompok III dalam bahasa Jepang biasa disebut dengan kata kerja khusus, sehingga perubahannya sudah ditentukan seperti diatas. Tetapi ada juga cara lain untuk merubah kata kerja futsuu ke bentuk sonkeigo dalam bahasa Jepang, yaitu dengan cara merubah suku kata terakhir menjadi bunyi vokal –a kemudian menambahkan verba bantu –reru dibelakang kata kerja kelompok I, kelompok II dan kelompok III.
Futsuugo Sonkeigo Arti
Iku ika +reru pergi
Ada juga cara lain untuk merubah jenis ragam futsuu ke bentuk sonkeigo dalam bahasa Jepang dengan cara menambahkan verba bantu o/go kudasaru. Bentuk ini menunjukkan arti perbuatan mitra wicara atau orang ketiga dilaksanakan atas permintaan si pembicara atau demi kepentingan si pembicara. Jika kata kudasaru diganti dengan kudasai akan menjadi perintah halus. Misalnya pada contoh kata matsu ‘menunggu’ (futsuu) berubah menjadi o-machi kudasai (sonkeigo) yang berarti tolong tunggu/silakan tunggu.

3.3.4 Bentuk Kenjoogo

Kenjougo dapat diungkapkan dengan cara:
a. Memakai verba khusus sebagai kenjoogo, seperti:
参るmairu =来るkuru ‘datang’
申すmoosu =言うiu ‘mengatakan’
頂くitadaku =もらうmorau ‘menerima’
伺うukagau =聞くkiku ‘bertanya’, 質問するshitsumon suru ‘bertanya’,  訪問する hoomon suru ‘berkunjung’
お目にかかるomeni kakaru =会うau  ‘bertemu’
あげるageru =やるyaru, 差し上げるsashiageru ‘memberi’
折るoru  =いる iru ‘ada’
拝見するhaiken suru =見る miru ‘melihat’
b. Memakai pronomina persona sebagai kenjougo, seperti:
わたくしwatakushi =  saya
c. Menyisipkan verba bentuk renyoukei pada pola ‘o...suru’, seperti:
お会いするoaisuru = au ‘bertemu’
おしらせするoshirase suru =知らせるshiraseru’memberitahu’, ‘mengumumkan’
お聞きするOkiki suru = 聞くkiku ‘mendengar’
お習いするOnarai suru =習うnarau ‘belajar’
お読みするOyomi suru =読む ‘yomu membaca’
d. Memakai verba ageru, mousu, moushiageru, itasu setelah verba lain, seperti:
Oshirase itasuお知らせいたす=shiraseru知らせる ‘memberi tahu’
お知らせ申すOshirase moosu =知らせるshiraseru
知らせてあげるShirasete ageru=知らせるshiraseru
知らせて差し上げるShirasete sashiageru=知らせるshiraseru
Contoh kalimat:
1. 私はアメリカから、参りました。
Watakushi wa Amerika kara, mairimashita.
‘Saya datang dari Amerika’.
2. 会社の中をご案内します。
Kaisha no naka o goannai shimasu.
‘Saya akan memandu dalam perusahaan’
3. ニューヨークにおります。
Nyuyouku ni orimasu.
‘Berada/di New York’.
4. 今、出かけております。
Ima, dekakete orimasu.
‘Sekarang sedang keluar’.
5. きのう先生のお宅へ伺いました。
Kinou sensei no otaku e ukagaimashita.
‘Kemarin saya berkunjung ke rumah Pak Guru’.
(Sumber: Minna No Nihon Go II: 194-205)
Bentuk futsuu yang beubah menjadi bentuk kenjoogo dapat juga dilihat pada tabel contoh kosa kata berikut ini:
No. FUTSUUGO TEINEIGO KENJOOGO
1. Iku Ikimasu Mairimasu
2. Taberu Tabemasu Itadakimasu
3. Iru Imasu Orimasu
4. Miru Mimasu Haiken shimasu
5. Suru shimasu Nasaimasu

Dalam bentuk kenjoogo kata kerja golongan I, kata kerja golongan II, dan kata kerja kata kerjanya berubah jauh dari bentuk asalnya seperti pada tabel diatas. Aturan tersebut sudah paten ditentukan dalam bentuk verba khusus dalam aturan yang ada dalam bentuk kenjoogo.


3.2 Bentuk Undak-Usuk Bahasa Jawa

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Disamping kompleksitas undak-usuk, dengan adanya beberapa dialek dalam bahasa Jawa menjadikan bahasa Jawa tampak semakin variatif dan beraneka ragam. Masing-masing dialek hadir dengan keistimewaan yang membedakan antara dialek yang satu dengan yang lainnya, sehingga secara kebetulan apabila orang mendengarkan dua orang atau lebih berdialog dalam bahasanya, akan dapat mengetahui apakah mereka sedaerah asal atau tidak, meskipun untuk mengetahui secara pasti asal daerah mereka cukup sulit.

3.2.1 Bentuk Ngoko

Dalam tingkat apapun, kata ngoko digunakan apabila kata tersebut tidak mempunyai padanan pada tingkat kata yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kosakata dalam bentuk ngoko mempunyai jumlah paling besar diantara kosa kata lainnya.
Bentuk basa ngoko merupakan suatu tatanan kalimat yang terdiri dari kumpulan kata-kata ngoko yang seterusnya akan disebut tembung ngoko, termasuk juga afiks-afiks yang melekat pada tembung ngoko itu sendiri adalah kata-kata yang tidak memiliki atau mengandung suatu nilai halus atau penghormatan. Tembung ngoko itu terbagi menjadi dua bagian yaitu:
 Bentuk Tembung Ngoko Tak Bertingkat Tutur
Jenis kata ini adalah jenis kata yang tidak memiliki imbangan dalam basa krama. Jadi, ketika kata-kata ini digunakan dalam ragam basa krama, maka kata-katanya akan tetap seperti awalnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut:
No. NGOKO KRAMA ARTI
1. Buku Buku Buku
2. Kursi Kursi Kursi
3. Mbalang Mbalang Melempar
4. Kesed Kesed Malas
5. Paling Paling Mungkin
6. Jalaran Jalaran Karena
7. Pitu Pitu Tujuh
8. Wolu Wolu Delapan

Contoh kalimat:
1. Aku mangan roti.
‘Saya makan roti’
2. Gedhange murah.
‘Pisangnya murah’.
3. Dhek wingi aku mangan gedhang.
‘Kemarin saya makan pisang’
4. Kembang kae ora abang.
‘Bunga itu tidak merah’.
5. Iki enak.
‘Ini enak’.
 Bentuk Tembung Ngoko Bertingkat Tutur
Jenis kata ini adalah jenis tembung ngoko yang nantinya akan berubah sesuai dengan ragam bahasa yang digunakannya. Harjawijaya mencatat ada tiga perubahan bentuk tembung ngoko, yaitu:
1. Tembung ngoko yang hanya mempunyai padanan dalam tembung krama saja
Contoh:
No. NGOKO KRAMA ARTI
1. Banyu Toya Air
2. Putih Pethak Putih
3. Mlayu Mlajeng Berlari
4. Adoh Tebih Jauh

2. Tembung ngoko yang mempunyai padanan dalam krama inggil saja. Jenis kata ini, tembung ngokonya sama dengan tembung krama
Contoh:
No. NGOKO/KRAMA KRAMA INGGIL ARTI
1. Weteng Padharan Perut
2. Tangan Asta Tangan
3. Rambut Rikma Rambut
4. Ngombe Ngunjuk Minum

3. Tembung ngoko yang memiliki padanan dalam tembung krama dan tembung krama inggil
Contoh:
No. NGOKO KRAMA KRAMA INGGIL ARTI
1. Turu Tilem Sare Tidur
2. Sikil Suku Samparan Kaki
3. Lara Sakit Gerah Sakit
4. Omah Griya Dalem Rumah

Jika diperhatikan pada contoh-contoh tabel diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi perubahan yang cukup variatif dari bentuk ngoko dalam bahasa Jawa ke dalam bentuk krama. Pada contoh tabel yang pertama diatas terlihat tidak ada perubahan kata maupun bunyi dari bentuk ragam ngoko, ke dalam bentuk ragam krama. Jadi, kata dalam ragam ngoko dapat digunakan dalam ragam krama. Misalnya, pada kata buku (ngoko), tetap menggunakan kata buku dalam ragam krama. Tetapi pada contoh tabel kedua, ketiga dan keempat diatas, terlihat bahwa terjadi perubahan kata total dari ragam ngoko ke dalam ragam krama. Misalnya, pada tabel kedua diatas kata-kata ragam ngoko akan berubah total bentuk katanya ke dalam ragam krama, tetapi tidak akan mengalami perubahan bentuk lagi dalam ragam krama inggil. Misalnya, pada kata banyu (ngoko) berubah menjadi toya (krama). Bentuk kata maupun bunyi kata berubah total membentuk kata baru tetapi hanya memiliki padanan kata dalam krama inggil saja. Karena bentuk ngoko itu sendiri sudah mempunyai makna krama. Misalnya, pada kata tangan (ngoko/krama) akan berubah menjadi asta (krama inggil). Tetapi, pada tabel ke empat diatas terjadi perubahan yang lebih lengkap lagi, dengan kata-kata ngoko bisa berubah dalam ragam krama dan berubah lagi dalam bentuk krama inggil. Misalnya, turu (ngoko) berubah menjadi tilem (krama) dan berubah lagi menjadi sare (krama inggil)

3.2.2 Bentuk Krama

Berdasarkan bentuk fonemisnya, kata-kata krama dibagi menjadi dua jenis. Pertama, kata-kata yang mempunyai bentuk menyerupai padanan ngoko. Misalnya: kula (krama) dengan aku (ngoko) ‘saya’ dan griya (krama) dengan omah (ngoko) ‘rumah’. Kedua, kata-kata krama yang mempunyai padanan ngoko.
Dalam bahasa Jawa, perubahan ngoko ke krama lebih variatif, ada yg tidak mengalami perubahaan kata sama sekali, tetapi adapula kata dari ngoko yang berjumlah total dalam ragam krama sehingga terbentuk kata baru.
Contoh kata-kata krama yang mempunyai padanan ngoko. Misalkan:
a. Kata-kata yang berakhir pada –os
Krama Ngoko
Gantos ganti arti: ganti
b. Kata-kata yang berakhir pada –nten
Krama Ngoko
Kinten kira arti: kira
c. Kata-kata yang berakhir pada –bet
Krama Ngoko
Mlebet mlebu arti: masuk
d. Kata-kata yang berakhir pada-won
Krama Ngoko
Awon ala arti: jelek
e. Kata-kata yang berakhir pada-jeng
Krama Ngoko
Majeng maju arti: maju
f. Kata-kata yang berakhir pada-ntun
Krama Ngoko
Pantun pari arti: padi
g. Kata-kata yang berakhir pada-i
Krama Ngoko
Negari Negara arti: negara
h. Kata-kata yang berakhir pada (i+konsonan+a)
Krama Ngoko
Mila mula arti: maka
i. Kata-kata yang berakhir pada (i+konsonan+a+h)
Krama Ngoko
Sisah susah arti: susah
j. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan+a)
Krama Ngoko
Gega gugu arti: turut
k. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan +a+h)
Krama Ngoko
Berah buruh arti: buruh
l. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan+a+h)
Krama Ngoko
Ebah obah arti: berubah
Contoh kalimat:
1. Kula nedha roti.
‘Saya makan roti’.
2. Pisangipun mirah.
‘Pisangnya murah’.
3. Kala wingi kula nedha pisang.
‘Kemarin saya makan pisang’
4. Sekar punika boten abrit.
‘Bunga itu tidak merah’
5. Punika eca.
‘Ini enak.’
(Sumber: Konggres Bahasa Jawa IV: 449)

3.2.3 Bentuk Krama Inggil

Sementara itu kosakata karma inggil sebagian besar merupakan serapan yang berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa kuna, hanya kecil yang merupakan serapan dari bahasa Persia dan Arab. Contoh kata krama inggil serapan adalah sebagai berikut:
Ngoko Krama Krama Inggil Arti Sumber
tangan - asta tangan Sansekerta
picak - wuta buta Jawa kuna
batur rencang abdi pembantu Arab
iket udheng dhestar ikat pinggang Persia

Contoh kalimat:
1. Benjing-enjing kula tuwi kanca/rencang kula.
‘Besok pagi saya menjemput temanku’.
2. Pak Guru maringake apa?
‘Pak Guru memberikan apa?’
3. Badhe kepanggih sinten?
‘Hendak bertemu siapa?’
4. Sliramu diparingi apa?
‘Dirimu dikasih apa?’
5. Ibu ngendika apa?
‘Ibu berkata apa?’
(Sumber: Konggres Bahasa Jawa IV: 458-459)


3.2.4 Bentuk Krama Andhap

Poedjosoedarmo (1979:30) mengatakan bahwa kelompok krama inggil dibagi menjadi dua, yaitu pertama adalah kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan meluhurkan diri dengan yang diacu disebut sebagai kata krama inggil. Kedua, adalah kelompok kata yang menghormat orang yang diacu dengan cara merendahkan diri sendiri yang disebut sebagai krama andhap. Contoh kata krama inggil dan krama andhap adalah sebagai berikut:
Ngoko Krama Krama Inggil Krama Andhap Arti
kandha criyos ngendhika dhawuh matur berkata
takon taken paring priksa nyuwun priksa bertanya

Contoh kalimat:
1. Benjing punapa kula kapareng sowan?
‘Pada hari apa saya boleh berkunjunng?’
2. Pak Guru dipun caosi punapa?
‘Pak Guru diberi apa?’
3. Kula badhe sowan Pak Rektor.
‘Saya hendak bertemu Pak Rektor’.
4. Kula dipun paringi buku (dening) Pak Guru.
‘Saya diberi buku oleh Pak Guru’.
5. Kula boten matur punapa-punapa.
‘Saya tidak berkata apa-apa’.
(Sumber: Konggres Bahasa Jawa IV: 458-459)


3.3 Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jepang

Pada dasarnya keigo dalam bahasa Jepang dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Umumnya keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau bawahan, guru atau murid
3. Keakraban : orang dalam atau orang luar
4. Gaya bahasa : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan
5. Pribadi atau umum : rapat, upacara, atau kegiatan apa
6. Pendidikan :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo).
Bagi para pembelajar bahasa Jepang dalam situasi-situasi tertentu memang dituntut untuk menggunakan keigo (bahasa hormat) sehingga menjadi keharusan dalam mempelajarinya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit peran pemakaian keigo bagi para penuturnya. Secara singkat Hinata Shigeo (2000:15-17) menyebutkan keefektifan dan peran konkrit pemakaian keigo tersebut sebagai berikut:
1. Keigo ini dapat dikatakan merupakan dasar keefektifan berkomunikasi. Lawan bicara yang dihormati adalah atasan atau orang yang posisinya tinggi secara sosial, tetapi sudah tentu didalamnya termasuk orang-orang yang berdasarkan pada hubungan manusia yang berada dalam bidang perdagangan dan bisnis.
2. Menyatakan perasaan formal bukan di dalam hubungan atau situasi pribadi, di dalam hubungan atau situasi resmi dilakukan pemakaian bahasa yang kaku dan formal. Misalnya didalam sambutan upacara pernikahan, di dalam rapat atau ceramah yang resmi dan sebagainya dipakai bahasa halus atau bahasa hormat sebagai etika sosial. Berbicara dengan ragam akrab dalam situasi seperti ini kadang-kadang menjadi tidak sopan.
3. Menyatakan jarak diantara pembicara dan lawan bicara yang baru pertama kali bertemu atau yang perlu berbicara dengan sopan biasanya terdapat jarak secara psikologis. Dalam situasi seperti itu hubungan akan dijaga dengan menggunalkan bahasa halus atau bahasa hormat secara wajar. Pemakaian bahasa atau sikap yang terlalu ramah kadang-kadang akan menjadi kasar atau tidak sopan
4. Menjaga martabat, Keigo pada dasarnya menyatakan penghormatan terhadap lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Tetapi dengan dapat menggunakan keigo secara tepat dapat juga menyatakan pendidikan atau martabat pembicaranya.
5. Menyatakan rasa kasih sayang, Keigo yang digunakan para orang tua atau guru taman kanak-kanak kepada anak-anak dapat dikatakan sebagai bahasa yang menyatakan perasaan kasih sayang atau menyatakan kebaikan hati penuturnya
6. Ada kalanya menyatakan sindiran, celaan, atau olok-olok.


3.3.1 Penggunaan Teineigo

Teineigo adalah cara bertutur kata dengan sopan santun yang dipakai oleh pembicara dengan saling menghormati atau menghargai perasaan masing-masing. Teineigo juga biasa disebut dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara). Pemakaian teichoogo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau menurunkan derajat orang yang dibicarakan, berbeda dengan sonkeigo dan kenjoogo.
Pemakaian teineigo tidak memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun kata kekerabatan pembicara dengan mitra wicara karena inti dari pemakaian ragam bahasa ini agar apa yang dibicarakan oleh pembicara terdengar lebih enak dan lebih halus. Dalam kehidupan sehari-hari bentuk teineigo ini lebih sering digunakan dibandingkan bentuk keigo yang lainnya, yaitu sonkeigo dan kenjoogo. Seseorang yang berbicara dalam bentuk teineigo ini tidak meninggikan seseorang ataupun merendahkan seseorang tetapi hanya memperhalus bahasa yang dipakai. Secara tidak langsung dengan memperhalus bahasa yang digunakan, dapat meninggikan rasa hormat terhadap mitra wicara. Ragam bahasa ini biasa digunakan terhadap orang yang belum dikenal oleh pembicara sebelumnya atau kelompok orang yang berada diluar kelompok pembicara dalam ruang lingkup formal.
Contoh kalimat:
1. ミルクを飲みます。
Miruku o nomimasu.
‘Saya minum susu’.
2. 日本料理はおいしいです。
Nihonryouri wa oishii desu.
‘Masakan Jepang enak’.
3. 半年ぐらい習いました。
Hantoshi gurai naraimashita.
‘Saya telah belajar kira-kira setengah tahun’
4. この料理はおいしくないです。
Kono ryouri wa oishikunai desu.
‘Masakan ini tidak enak.’
5. あの家は大きいです。
Ano ie wa ookii desu.
‘Rumah itu besar’.
Berikut ini adalah tabel kosa kata penanda ragam teineigo dalam kalimat bahasa Jepang.
No. KOSA KATA KETERANGAN
1. ~desu Terutama bersambung dengan nomina dan ajektiva
2. ~de gozaimasu Lebih sopan dari desu dan arimasu
3. ~masu Terutama jika bersambung dengan verba
4. ~de arimasu Dipakai dalam makalah atau pidato


3.3.2 Penggunaan Futsuugo

Ragam futsuu biasanya digunakan dalam penuturan diantara anggota keluarga: orang tua kepada anaknya begitu juga sebaliknya, kawan-kawan yang akrab, orang yang berstatus tinggi terhadap yang berstatus rendah, dalam bahasa media massa, makalah, roman dan sebagainya.
Contoh kalimat:

1. 生徒達は文を作る。
Seitotachi wa bun o tsukuru.
‘Murid-murid membuat kalimat.
2. この焼き飯はとてもうまい。
Kono yakimeshi wa totemo umai.
‘Nasi goreng ini enak sekali’.
3. タオルや石鹸などを買った。
Taoru ya sekken nado o katta.
‘Saya telah membeli handuk, sabun, dan lain-lain’.
4. 石田君は怠け者ではない。
Ishida-kun wa namakemono dewa nai.
‘Ishida bukan pemalas’.
5. これは安いものだ。
Kore wa yasui mono da.
‘Ini barang yang murah’.

3.3.3 Penggunaan Sonkeigo

Sonkeigo adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan. Misalnya, ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya.
Sonkeigo dipakai juga bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan atasan sebagai orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya, yang berhubungan dengan lawan bicara (termasuk aktifitas dan segala sesuatu yang berkaitannya). Sonkeigo merupakan cara bertutur kata yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara.
Contoh kalimat:
1. 部長はアメリカへ出張なさいます。
Buchou wa Amerika e shutchou nasaimasu.
‘Pak Direktur akan dinas ke Amerika’.
2. 課長はもう帰られました。
Kachou wa mou kaeraremashita .
‘Pak Manager sudah pulang’.
3. 先生はいらっしゃいますか。
Sensei wa irrashaimasu ka.
‘Pak Guru ada?’
4. お子さんのお名前は何とおっしゃいますか。
Okosan no namae wa nanto osshaimasu ka?
‘Siapa nama putra anda?
5. 先生は新しいパソコンを買いになりました。
Sensei wa atarashii pasokon wo kai ni narimashita.
‘Pak Guru telah membeli computer baru’.

3.3.4 Penggunaan Kenjoogo

Kenjoogo menyatakan rasa homat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Misalnya, dalam kantor/perusahaan ketika bawahan berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri. Dalam penggunaan kenjoogo yang perlu diperhatikan adalah bahwa yang menjadi subjek/pokok kalimat adalah diri sendiri atau pihak sendiri. Hadir atau tidaknya orang yang hendak dibicarakan; Jika hadir di situ juga, dipakai lebih banyak Sonkeigo dan Kenjoogo.
1. Hubungan atas bawah; Yang berkedudukan bawah menggunakan bentuk hormat terhadap yang lebih tinggi kedudukannya. Jika seseorang yang berkedudukan lebih rendah tidak memakai bentuk hormat, ia akan dianggap tidak tahu sopan santun. Adapun yang dikelompokkan sebagai hubungan ‘’atas-bawah’’ adalah seperti berikut ini:
• Hubungan atas-bawah dalam satu organisasi.
• Hubungan atas-bawah dalam status sosial
• Umur
• Panjangnya pengalaman; misalnya, di tempat kerja atau yunior-senior di sekolah.
2. Hubungan pemberi jasa dan penerima jasa; Penerima jasa menunjukkan sikap hormat kepada pemberi jasa.
• Dokter dan Pasien
• Tamu dan Pelayan: Di Jepang terdapat pemakaian bahasa khusus di hotel, di toko-toko besar, seperti toserba. Para karyawan/pelayan dididik memakai bahasa yang sopan dan halus terhadap para tamu.
Contoh: Kata-kata dalam [ ] adalah yang biasa dipakai.
• Guru dan Orang tua murid.
3. Hubungan akrab jauh: Bentuk hormat ini dipakai terhadap orang yang jauh/tidak akrab dan tanpa bentuk hormat dengan mereka yang akrab. Sebagaimana di Jawa, di Jepang antara anggota keluarga, antara kawan yang akrab tidak dipakai bentuk hormat. Akan tetapi, sebagaimana di Jawa pula, orang Jepang memakai bentuk hormat terhadap dosennya, tetapi para murid Sekolah Dasar biasanya tidak memakai bentuk hormat. Baru di SMP, SMA, mereka memperoleh kesadaran untuk memakai bentuk hormat.
4. Formal atau tidak formal: Dalam situasi formal, misalnya berpidato dan sebagainya dipakai bentuk hormat.
5. Hubungan ‘’dalam’’ dan ‘’luar’’
Contoh kalimat:
1. 私はアメリカから、参りました。
Watakushi wa Amerika kara, mairimashita.
‘Saya datang dari Amerika’.
2. 会社の中をご案内します。
Kaisha no naka o goannai shimasu.
‘Saya akan memandu dalam perusahaan’
3. ニューヨークにおります。
Nyuyouku ni orimasu.
‘Berada/di New York’.
4. 今、出かけております。
Ima, dekakete orimasu.
‘Sekarang sedang keluar’.
5. きのう先生のお宅へ伺いました。
Kinou sensei no otaku e ukagaimashita.
‘Kemarin saya berkunjung ke rumah Pak Guru’.

3.4 Penggunaan Undak-usuk Bahasa Jawa

Sistem undhak-usuk merupakan pencerminan tenggang rasa dan pertimbangaan pembicara terhadap lawan bicara, dan merupakan sarana untuk mempererat hubungan antar manusia. Penggunaan undak-usuk dalam bahasa Jawa sudah ada sejak masa kerajaan Majapahit. Masyarakat Jawa sudah terbiasa memposisikan mereka berdasarkan tingkatan sosial di masyarakat.
Tingkatan sosial tersebut berpengaruh terhadap penggunaan bahasa Jawa dikalangan mereka sehari-hari. Tingkatan status sosial dalam bahasa Jawa membawa pengaruh pada penggunaan bahasa Jawa di masyarakat sendiri. Semakin tinggi status sosial masyarakat tersebut, maka semakin tinggi pula ragam bahasa yang digunakan, begitu pun sebaliknya.
Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal undak-usuk bahasa, karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Sunda juga mengenal hal semacam ini.
Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register. Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (kasar), madya (biasa), dan krama(halus). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan"perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada sstatus yang bersangkutan dan lawan bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisisosial, atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicaradengan varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan kramaandhap dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.


3.4.1 Penggunaan Ngoko

Bahasa ngoko umumnya dipakai berbicara orang tua kepada anak, cucu, atau pada anak mudanya, percakapan terhadap orang sederajat yang tidak memperhatikan kedudukan dan usia, atasan dan bawahannya, majikan dengan pembantunya.
Tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara O1 (orang pertama) terhadap O2 (orang kedua). Artinya O1 tidak memiliki rasa segan (jiguh pakewuh) terhadap O2, jadi buat seseorang yang ingin menyatakan keakrabannya terhadap seseorang O2, tingkat ngoko inilah seharusnya dipakai. Teman-teman akrab biasanya saling ‘’ngoko-ngoko’’-an. Orang-orang berstatus tinggi berhak pula, atau justru dianggap pantas, untuk menunjukkan rasa tak enggan terhadap orang lain yang berstatus rendah.
Contoh kalimat:
1. Aku mangan roti.
‘Saya makan roti’
2. Gedhange murah.
‘Pisangnya murah’.
3. Dhek wingi aku mangan gedhang.
‘Kemarin saya makan pisang’
4. Kembang kae ora abang.
‘Bunga itu tidak merah’.
5. Iki enak.
‘Ini enak’.

3.4.2 Penggunaan Krama

Bentuk krama (bahasa hormat) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat). Misalnya, anak kepada orangtua, bawahan kepada atasan, pembantu dengan majikannya.
Tingkat tutur Krama adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan adanya perasaan segan (pakewuh) dari O1 terhadap O2, karena O2 adalah orang yang belum dikenal, berpangkat, atau priyayi, berwibawa dan lain-lain. Murid memakai Krama terhadap gurunya, pegawai menggunakan Krama terhadap kepalanya.
Contoh kalimat:
1. Kula nedha roti.
‘Saya makan roti’.
2. Pisangipun mirah.
‘Pisangnya murah’.
3. Kala wingi kula nedha pisang.
‘Kemarin saya makan pisang’
4. Sekar punika boten abrit.
‘Bunga itu tidak merah’
5. Punika eca.
‘Ini enak.’

3.4.3 Penggunaan Krama Inggil

Kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan meluhurkan diri dengan yang diacu disebut sebagai kata krama inggil. Krama inggil menyangkut apresiasi dan status sosial yang erat sekali dengan etika dan sopan santun. Pada umumnya krama inggil digunakan oleh bawahan kepada atasan, anak kepada orang tua, dan murid kepada gurunya.
Krama inggil biasanya digunakan oleh priyayi cilik kepada priyayi gedhe, orang muda kepada orang tua, dan ketika membicarakan priyayi luhur. Dalam masyarakat basa krama inggil sudah jarang terdengar lagi kecuali di dalam lingkungan kraton. Basa krama inggil yang dipakai dalam lingkungan kraton dikenal dengan sebutan bahasa kedhaton.
Bahasa kedhaton adalah bahasa yang digunakan untuk berbicara oleh para sentana dan abdidalem pada saat menghadap Ingkang Sinuwun ‘Raja atau Pangeran Adipati Anom’,‘Pangeran calon Raja atau untuk percakapan dalam kraton. Jadi, kalau berbicara dengan raja mengenai apa saja, bahasa yang digunakan harus basa kedhaton dalam bentuk krama inggil. Wujud bahasa ini berupa kata-kata krama yang bercampur dengan bahasa krama inggil terhadap orang yang diajak berbicara. Bahasa kedhaton digunakan di kraton Surakarta, sementara bahasa kedhaton yang digunakan dalam kraton Yogyakarta disebut bahasa bagongan. Selain krama inggil ada krama desa, yang kata-katanya yaitu krama dicampur dengan krama desa yang biasa untuk menyebut nama kota atau tempat.
Contoh kalimat:
1. Benjing-enjing kula tuwi kanca/rencang kula.
‘Besok pagi saya menjemput temanku’.
2. Pak Guru maringake apa?
‘Pak Guru memberikan apa?’
3. Badhe kepanggih sinten?
‘Hendak bertemu siapa?’
4. Sliramu diparingi apa?
‘Dirimu dikasih apa?’
5. Ibu ngendika apa?
‘Ibu berkata apa?’

3.4.4 Penggunaan Krama Andhap

Krama andhap merupakan kelompok kata yang menghormat orang yang diacu dengan cara merendahkan diri sendiri. Bentuk krama andhap dipakai oleh orang tua kepada anaknya, bawahan kepada atasan. Penggunaan krama andhap sejalan dengan pemakaian krama inggil. Karena pemakai ragam bahasa ini adalah orang pertama (pembicara) dan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok pembicara. Misalnya, keluarga pembicara.
Contoh kalimat:
1. Benjing punapa kula kapareng sowan?
‘Pada hari apa saya boleh berkunjunng?’
2. Pak Guru dipun caosi punapa?
‘Pak Guru diberi apa?’
3. Kula badhe sowan Pak Rektor.
‘Saya hendak bertemu Pak Rektor’.
4. Kula dipun paringi buku (dening) Pak Guru.
‘Saya diberi buku oleh Pak Guru’.
5. Kula boten matur punapa-punapa.
‘Saya tidak berkata apa-apa’.

3.5 Analisis Kontrastif Bentuk dan Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jepang dan Undhak-usuk Bahasa Jawa

Secara umum bentuk ragam hormat bahasa Jepang dikenal dengan bentuk Keigohoo yang meliputi: Futsuu/Teinei, Sonkeigo dan Kenjoogo, yang mempunyai kadar hormat yang berbeda. Sedangkan dalam bahasa Jawa dikenal dengan adanya bentuk undak-usuk bahasa Jawa yang meliputi Ngoko, Madya, dan Krama yang terdiri dari 7 sampai 9 sub tingkatan yang masing-masing diberi nama.
Dalam bab III ini, penulis membahas pengkontrasan bentuk dan penggunaan ragam hormat bahasa Jepang yang sudah ada dengan bentuk dan penggunaan undak-usuk bahasa Jawa yang terdiri dari ragam ngoko, ragam krama dengan mengambil 2 sub tingkatan undak-usuk bahasa Jawa yakni, krama inggil dan krama andhap saja. Sebab sub tingkatan dalam bahasa Jawa lebih banyak dibanding dengan bahasa Jepang. Disamping itu, bentuk dan penggunaan ragam hormat bahasa Jepang dan bentuk dan penggunaan undak-unduk tersebut mempunyai kesejajaran yang hampir sama persis.
Jika dibuat perbandingan skema garis besar mengenai bentuk dan penggunaan bahasa hormat bahasa Jepang dan undha-usuk bahasa Jawa sebagai berikut:
No. Bahasa Jepang Bahasa Jawa
1 Keigo (Ragam Hormat)
 Ragam Futsuu tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo
 Ragam futsuu dengan sonkeigo dan kenjoogo Undak-usuk
 Basa Ngoko
 Ngoko Lugu (Ngoko)
 Ngoko Alus
2 Ragam Teinei
 Ragam teinei tanpa sonkeigo dan kenjoogo
 Ragam teinei dengan sonkeigo atau kenjoogo Basa Krama
 Krama Limrah (Krama)
 Krama Alus
 Krama Inggil
 Krama Andhap



3.5.1 Bentuk Hormat Bahasa Jepang dan Undak-Usuk Bahasa Jawa

Dalam bahasa Jepang semua kata dari ragam futsuu akan mengalami perubahan dalam ragam teinei, meskipun bukan perubahan kata secara total yang membentuk kata baru, tetapi hanya menambahkan verba bantu desu atau masu di akhir kalimat. Verba bantu desu akan menempel pada kata benda dan ajektiva, sedangkan verba bantu –masu akan menempel pada kata kerja. Sedangkan dalam bahasa Jawa, perubahan ngoko ke krama lebih variatif. Ada yang tidak mengalami perubahan kata sama sekali, tetapi ada pula kata dari ngoko yang berjumlah total dalam ragam krama sehingga terbentuk kata baru. Dalam bahasa Jepang hampir semua kata futsuu bisa diubah ke dalam bentuk teinei maupun sonkeigo, sedangkan bahasa Jawa ragam ngoko ada yang memilki padanan dalam krama saja tetapi dalam krama inggil padanan katanya tidak ada.
Kosakata kenjoogo dalam bahasa Jepang, jauh lebih banyak daripada kosakata krama andhap dalam bahasa Jawa, dan hampir semua kata kerja di ‘’Krama Andhap-kan’’ dengan menggunakan prefiks dan verba bantu. Bahasa Jawa tidak memiliki krama adhap untuk kata kerja seperti ‘’pergi/datang/ada/makan’’ dan sebagainya. Timbul pertanyaan, mengapa jumlah kata krama andhap begitu sedikit? Jawabannya, menurut tafsiran penulis, kata krama dalam bahas Jawa itu sudah mempunyai nuansa merendahkan diri sepadan dengan kenjoogo dalam bahasa Jepang.


3.5.2 Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jepang dan Undak-usuk Bahasa Jawa

Dari segi penggunaan bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa, maka dapat diketahui bahwasanya: pertama, ragam futsuu dalam bahasa Jepang dapat disetarakan dengan ragam ngoko dalam bahasa Jawa. Penggunaan ragam futsuu dalam bahasa Jepang hampir sama dengan penggunaan ragam ngoko dalam bahasa Jawa. Bedanya, kalau dalam bahasa Jepang dalam ruang lingkup keluarga menggunakan ragam futsuu sebab, kalau masih menggunakan bentuk teinei menurut aturannya dianggap masih ada jarak, tidak ada hubungan kedekatan dalam keluarga menurut budaya orang Jepang. Sedangkan dalam bahasa Jawa, dalam keluarga ragam ngoko tidak dipakai. Dalam hal ini ragam krama yang dipakai, sebab orang tua adalah orang yang paling banyak berjasa maka sudah sepantasnya orang tua untuk dihormati. Sebagai pencerminan rasa hormat kepada orang tua ragam krama wajib digunakan, khususnya berkomunikasi kepada orang tua dalam kehidupan bermasyarakat di Jawa.
Namun, akhir-akhir ini banyak ditemukan dalam masyarakat Jawa seorang anak masih menggunakan ragam ngoko dalam berkomunikasi dengan orang tuanya. Hal itu mungkin bisa dikarenakan didikan dari orang tuanya sendiri apakah para orang tua tersebut masih menanamkan aturan unggah-ungguh bahasa Jawa dalam kehidupan keluarganya atau tidak.
Kedua, ragam teinei dalam bahasa Jepang dapat disejajarkan dengan ragam krama dalam bahasa Jawa, penggunaannya pun tidak jauh beda dalam bahasa Jepang, ragam teinei dan ragam krama dipakai untuk menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara). Pemakaian ragam teineigo dan ragam krama tidak memperhatikan derajat sosial, umur, ataupun kata kekerabatan pembicara dengan mitra wicara karena inti dari pemakaian kedua ragam bahasa ini agar apa yang dibicarakan oleh pembicara terdengar lebih enak dan lebih halus. Kedua ragam bahasa tersebut biasa digunakan terhadap orang yang belum dikenal, oleh pembicara sebelumnya atau kelompok orang yang berada diluar kelompok pembicara dalam ruang lingkup formal.
Ketiga, ragam sonkeigo dalam bahasa Jepang dapat disejajarkan dengan ragam krama inggil dalam bahasa Jawa dan ragam kenjoogo dapat disejajarkan dengan ragam krama andhap. Dari segi penggunaan masing-masing tataran ragam bahasa tersebut juga hampir sama. Ragam sonkeigo dan krama inggil sama-sama berfungsi sebagai bahasa menghormat dan ragam kenjoogo dan krama andhap juga sama-sama mempunyai fungsi sebagai bahasa merendah. Bedanya dalam bahasa Jepang mengenal aturan uchi dan soto, sedangkan dalam bahasa Jawa tidak mengenal aturan hal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar