Senin, 09 April 2012

Hasil REVISI BAB II

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai Undak-usuk bahasa Jawa maupun ragam hormat bahasa Jepang telah diteliti sebelumnya dalam: Kaidah-Kaidah Penggunaan Undak-Usuk Bahasa Jawa, Kajian Undak-Usuk Bahasa Jawa Abdidalem Kraton Surakarta Hadiningrat, dan Undak-Usuk Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa: Sebuah Perbandingan, dan Sistem Unggah-Ungguh bahasa Jepang dan bahasa Jawa.
Dalam hal ini penulis akan memanfaatkan penelitian terdahulu, berupa kaidah-kaidah yang sudah ada, yang dijadikan sebagai tolak ukur teori dalam penulisan skripsi ini. Hal tersebut seringkali dipaparkan oleh para peneliti sebelumnya bahwa undak-usuk bahasa Jawa yang berupa unggah-ungguh basa yang meliputi: Ngoko, Madya dan Krama yang terbagi atas 7/9 sub tingkatan yang diberi nama masing-masing tersebut dapat disejajarkan kedalam ragam hormat bahasa Jepang dengan bentuk Keigohoo yang meliputi: Futsuu/Teinei, Sonkeigo dan Kenjoogo, yang mempunyai kadar hormat yang berbeda tetapi bedanya dalam bahasa Jepang tidak diberi nama. Umumnya para peneliti sebelumnya membuat gambaran pengkontrasan nama mengenai pengelompokannya seperti dalam bahasa Jawa, antara lain:
a. Ragam Futsuu tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo = Ngoko Lugu
b. Ragam Futsuu dengan Sonkeigo/Kenjoogo = Ngoko Alus
c. Ragam Teinei tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo = Krama Lugu
d. Ragam Teinei dengan Sonkeigo dan Kenjoogo =Krama Alus

2.2 Metode Penelitian

Metode atau teknik digunakan untuk menunjukkan dua konsep yang berbeda tetapi berhubungan langsung dengan satu dengan yang lain. Kata metode dan teknik sama-sama memiliki arti ‘’cara’’ dalam suatu upaya. Kata metode berasal dari bahasa Sansekerta metodos yang berarti ‘’cara’’. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode. (Sudaryanto, 1993:9).
Penelitian ini mengkaji dan menganalisis data secara objektif berdasarkan fakta nyata yang ditemukan dan kemudian dipaparkan secara deskriptif. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode distribusional dalam tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, tahap penganalisisan data dan tahap penyajian data (Sudaryanto, 1993: 5-7).
Metode kajian distribusional menggunakan alat penentu unsur bahasa itu sendiri. Metode distribusional memakai alat penentu di dalam bahasa yang diteliti. Metode ini berhubungan erat dengan paham strukturalisme de Saussure (1916), bahwa setiap unsur bahasa berhubungan satu sama lain, membentuk satu kesatuan padu (the whole unified). Metode distribusional ini sejalan dengan penelitian deskriptif dalam membentuk perilaku data penelitian. (Djajasudarma, 2006:69).
Sementara itu, data dalam penelitian ini dianalisis dengan analisis kontrastif, yaitu metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dijabarkan dalam masalah praktis (Kridalaksana, 1982:11).

2.3 Kerangka Teori

Teori merupakan seperangkat hipotesis yang dipergunakan untuk menjelaskan data bahasa, baik yang bersifat lahiriah seperti bunyi bahasa, maupun yang bersifat batin seperti makna (Kridalaksana, 2000:23). Teori dipergunakan sebagai landasan berpikir untuk memahami, menjelaskan, dan menilai suatu objek atau data yang dikumpulkan, sekaligus sebagai pembimbing yang menuntun dan memberi arah dalam penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan landasan teori struktural. Teori struktural merupakan pendekatan bahasa yang mula-mula dikembangkan oleh Bloomfield. Teori ini membahas bahasa dari segi strukturnya. Aliran strukturalisme sangat mementingkan keobjektifan dalam bahasa. Karena bahasa merupakan sebuah sistem, maka dengan sejumlah data dapat diketahui strukturnya.
Pengertian struktural berkaitan dengan atau memiliki struktur, menggunakan teori atau pendekatan, ataupun dipandang dari segi struktur. Strukturalisme dapat pula diartikan sebagai pendekatan analisis bahasa secara eksplisit kepada berbagai unsur bahasa sebagai struktur dan sistem (Kridalaksana, 2000:203).
Teori struktural dalam linguistik berhubungan dengan bentuk-bentuk, fungsi-fungsi struktural, dan hubungan antar komponen tutur yang dapat diamati pula dengan kata lain dalam analisis gramatik haruslah bersifat formal berdasarkan perilaku yang dapat diamati dalam bahasa (Ramlan, 1979: 79).

2.3.1 Linguistik Kontrastif

Kata kontrastif berasal dari perkataan contrastive yaitu keadaan yang diturunkan dari kata kerja to contras artinya berbeda atau bertentangan. Dalam The American Collage Dictionary terdapat penjelasan sebagai berikut, ‘’Contras: to set in opposition in order to show unlikeness, compare by observing differences. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik simpulan bahwa istilah kontrastif adalah mengemukakan perbedaan dan ketidaksamaan dalam sebuah komposisi.
Linguistik kontrastif (対照言語学taishou-gengogaku) merupakan kajian linguistik yang bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dua bahasa yang berbeda. Pendeskripsian persamaan dan perbedaan tersebut akan bermanfaat untuk pengajaran kedua bahasa, sebagai bahasa ke-2 (bahasa asing). Misalnya, dengan dideskripsikannya persamaan dan perbedaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang secara jelas dan lengkap, akan membantu dalam pengajaran bahasa Indonesia untuk orang Jepang, atau pengajaran bahasa Jepang untuk orang Indonesia. Karena, sekurang-kurangnya kesalahan berbahasa (誤用goyou) akibat pengaruh bahasa ibu (母語干渉bogo-kanshou) pada pembelajar kedua bahasa tersebut akan dapat dikurangi, bahkan bisa dihilangkan (Dedi Sutedi, 2003:190).

2.3.2 Karakteristik Bahasa Jepang dan Bahasa Jawa

Bahasa Jepang dan bahasa Jawa merupakan dua bahasa yang tidak serumpun, meskipun sama-sama memiliki ragam hormat, tetapi secara tipologi bahasa berbeda. Hal-hal yang menjadi perbedaan yang mendasar dari kedua bahasa tersebut selain masalah huruf (Kanji, Hiragana, Katakana dalam bahasa Jepang) dan huruf-huruf Jawa yang dikenal dengan aksara Jawa juga pada susunan kata dalam kalimat (word order). Misalnya, susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat), sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam bahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).

2.3.3 Bahasa Hormat Bahasa Jepang

Karakteristik bahasa Jepang yang berkaitan dengan kosakatanya dapat dilihat berdasarkan asal-usulnya. Kosakata bahasa Jepang dibagi menjadi tiga macam yaitu wago, kango,gairaigo. Kata-kata yang berasal dari Jepang kuno disebut 和語wago, kata-kata yang berasal dari Cina disebut漢語kango, sedangkan 外来語gairaigo merupakan kata-kata yang berasal dari bahasa asing, seperti bahasa Inggris, bahasa Perancis dan sejenisnya.
Bahasa Jepang mengenal bahasa hormat yang disebut Keigo. Keigo adalah bahasa atau kata-kata khusus yang dipergunakan untuk menunjukkan kerendahan hati pembicara dan untuk menyatakan rasa hormat pembicara terhadap teman berbicara atau orang yang dibicarakan (Minoru, 1986: 321).
Bahasa hormat bahasa Jepang dipakai dengan cara mempertimbangkan hubungan antara pembicara, teman berbicara, dan orang yang dibicarakan. Tentu saja yang dipertimbangkan disini ialah siapakah teman berbicara atau orang yang dibicarakan. Apakah mereka termasuk bawahan (orang yang lebih rendah derajat/kedudukannya atau lebih muda umurnya), atasan (orang yang lebih tinggi derajat/kedudukannya atau lebih tua umurnya), atau sederajat dengan pembicara, sehingga dapat menentukan jenis bahasa hormat apa yang akan dipakai terhadap mereka (Sudjianto, 2004:139).

2.3.3.1 Bentuk-Bentuk Bahasa Hormat Bahasa Jepang

Berdasarkan cara pemakaiannya, bentuk-bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dibagi menjadi tiga jenis yakni sonkeigo, kenjoogo, dan teineigo (Danasasmita, 1983:79). Jika dilihat dari bentuk tingkat hormatnya, bentuk-bentuk bahasa hormat bahasa Jepang meliputi:

尊敬語Sonkeigo

Sonkeigo dipakai bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan atasan sebagai orang yang lebih tua usianya atau lebih tinggi kedudukannya, yang berhubungan dengan lawan bicara (termasuk aktifitas dan segala sesuatu yang berkaitannya). Sonkeigo merupakan cara bertutur kata yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara. (Hirai, 1985: 132).
Sementara itu Oishi (1985:25) menjelaskan bahwa sonkeigo adalah ragam bahasa hormat untuk menyatakan rasa hormat terhadap orang yang dibicarakan (termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya) dengan cara menaikkan derajat orang yang dibicarakan. Menurut Buku Pengantar Linguistik Bahasa Jepang (Sudjianto dan Ahmad Dahidi: 190-192), ada beberapa cara untuk menyatakan sonkeigo yaitu:
a. Memakai verba khusus sebagai sonkeigo, seperti
なさるnasaru =するsuru ’melakukan’
ごらんになるgoran ni naru =見るmiru‘melihat’
召し上がる,あがるmeshiagaru, agaru=食べるteberu ‘makan’
いらっしゃるIrassharu=いるiru’ada’ 
いらっしゃる= 行くiku ‘pergi来る, kuru ’datang’
仰るossharu=言うiu’berkata’
kudasaru 下さる=くれるkureru
b. Memakai verba bantu –reru setelah verba golongan satu dan memakai verba bantu rareru setelah verba golongan dua, seperti:
書かれるkakareru =書くkaku’menulis’
受けられるukerareru = 受けるukeru ‘menerima’
c. Menyisipkan verba bentuk ren’youkei pada pola ‘o...ni naru’ seperti:
お待ちになるomachi ni naru =待つmatsu ‘menunggu’
お立ちになるotachi ni naru =立つtatsu ‘berdiri’
お座りになるosuwari ni naru=座るsuwaru ‘duduk’
お読みになるoyomi ni naru =読むyomu ‘membaca’
お書きになるokaki ni naru = 書くkaku ‘menulis’
d. Memakai nomina khusus sebagai sonkeigo untuk memanggil orang. Kata-kata tersebut bisa berdiri sendiri dan ada juga yang dapat menyertai kata lain sebagai sufiks seperti:
先生 sensei = bapak/ibu (guru, dokter)
社長 shachou = direktur
課長 kachou = kepala bagian
e. Memakai prefiks dan/atau sufiks sebagai sonkeigo seperti
田中様 Tanaka-sama = Tuan Tanaka
鈴木さんSuzuki-san = Saudara Suzuki
娘さんMusume-san = anak perempuan (orang lain)
ご意見Goiken = pendapat (orang lain)
お考えOkangae = pikiran (orang lain)
お宅 Otaku = rumah (orang lain)
弟さんOtouto-san = adik laki-laki (orang lain)
お医者さんOisha-san = dokter
f. Memakai verba asobasu, kudasaru dan irrasharu setelah verba-verba lain, seperti:
お帰りあそばすOkaeri asobasu = 帰るkaeru ‘pulang’
お許しくださるOyurushi kudasaru =許すyurusu ‘memaafkan’
見ていらっしゃるMite irassharu =見るmiru ‘melihat’
喜んでいらっしゃるYorokonde irassharu =喜ぶyorokobu ‘senang’, ‘gembira’

謙譲語Kenjoogo

Ada yang menyebut nama kenjougo dengan istilah kensongo. Hirai menyebut kensongo sebagai cara bertutur kata yang menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara dengan cara merendahkan diri sendiri (1985:132). Di pihak lain Oishi (1985:27) mengartikan kensongo sebagai keigo yang menyatakan rasa homat terhadap lawan bicara atau terhadap teman orang yang dibicarakan dengan cara merendahkan orang yang dibicarakan termasuk benda-benda, keadaan, aktifitas, atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya. Kenjougo dapat diungkapkan dengan cara:

a. Memakai verba khusus sebagai kenjoogo, seperti:
参るmairu =来るkuru ‘datang’
申すmoosu =言うiu ‘mengatakan’
頂くitadaku =もらうmorau ‘menerima’
伺うukagau =聞くkiku ‘bertanya’, 質問するshitsumon suru ‘bertanya’,  訪問する hoomon suru ‘berkunjung’
お目にかかるomeni kakaru =会うau  ‘bertemu’
あげるageru =やるyaru, 差し上げるsashiageru ‘memberi’
折るoru  =いる iru ‘ada’
拝見するhaiken suru =見る miru ‘melihat’
b. Memakai pronomina persona sebagai kenjougo, seperti:
わたくしwatakushi =  saya
c. Menyisipkan verba bentuk renyoukei pada pola ‘o...suru’, seperti:
お会いするoaisuru = au ‘bertemu’
おしらせするoshirase suru =知らせるshiraseru’memberitahu’, ‘mengumumkan’
お聞きするOkiki suru = 聞くkiku ‘mendengar’
お習いするOnarai suru =習うnarau ‘belajar’
お読みするOyomi suru =読む ‘yomu membaca’
d. Memakai verba ageru, mousu, moushiageru, itasu setelah verba lain, seperti:
Oshirase itasuお知らせいたす=shiraseru知らせる ‘memberi tahu’
お知らせ申すOshirase moosu =知らせるshiraseru
知らせてあげるShirasete ageru=知らせるshiraseru
知らせて差し上げるShirasete sashiageru=知らせるshiraseru

丁寧語Teineigo

Teineigo adalah cara bertutur kata dengan sopan santun yang dipakai oleh pembicara dengan saling menghormati atau menghargai perasaan masing-masing (Hirai, 1985: 131). Oishi dalam Bunkachoo (1985:28) menyebut teineigo dengan istilah teichoogo yaitu keigo yang secara langsung menyatakan rasa hormat terhadap lawan bicara (dengan pertimbangan yang khusus terhadap lawan bicara).
Pemakaian teichoogo sama sekali tidak ada hubungannya dengan menaikkan atau menurunkan derajat orang yang dibicarakan. Berbeda dengan sonkeigo dan kenjoogo, teineigo dinyatakan dengan cara sebagai berikut:
a. Memakai verba bantu desu dan masu seperti pada kata:
行きますIkimasu =行くiku ‘pergi’
食べますTabemasu =食べるtaberu’makan’
本ですHon desu =本だhon da ‘buku’
きれいですKirei desu =きれいだkirei da ‘cantik, bersih, indah’
b. Memakai prefiks go atau o pada kata-kata tertentu, seperti:
お金okane = 金kane ‘uang’
お酒osake = 酒sake ‘arak Jepang’
ご意見goiken = 意見iken ‘pendapat’
ご結婚gokekkon = 結婚kekkon ‘nikah’
c. Memakai kata-kata tertentu sebagai teineigo seperti
ございますGozaimasu =ござるgozaruありますarimasu =あるaru ‘ada’

普通語Futsuugo

Menurut Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar (1988:207), futsuu adalah ‘’Hal tidak adanya kelainan atau kekhasan dibandingkan dengan yang lain’’. Sedang menurut Kodansha Kokugo Jiten (1966:903), futsuu adalah:
‘Sesuatu yang berhubungan dengan hal umum yang luas, sesuatu hal yang sangat biasa dan tidak ada yang berubah atau berbeda’.
Ragam Futsuugo mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. berakhiran dengan ~da, atau de aru
Contoh:
1. これは本だ。
Kore wa hon da.
‘’Ini buku’’.
2. 初めての外国生活である。
Hajimete no gaikokusekatsu dearu.
‘’Kehidupan luar negeri yang pertama kali.
(日本語の中級1:23) 
b. berakhiran dengan verba bentuk futsuukei, seperti bentuk ~ru
Contoh:

1. 僕は食べる。
Boku wa taberu.
‘’Saya makan’’.
2. 私は六時に起きる。
Watashi wa roku ji ni okiru.
‘’Saya bangun jam enam’’.
Ragam futsuu biasanya digunakan dalam penuturan diantara anggota keluarga, kawan-kawan yang akrab, orang yang berstatus tinggi terhadap yang berstatus rendah, dalam bahasa media massa, makalah, roman dan sebagainya.

23.3.2 Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jepang

Pada sub bab ini akan diuraikan bagaimana penggunaan bahasa hormat bahasa Jepang (keigo). Pada dasarnya keigo dalam bahasa Jepang dipakai untuk menghaluskan bahasa yang dipakai orang pertama (pembicara atau penulis), untuk menghormati orang kedua (pendengar atau pembaca) dan orang ketiga (yang dibicarakan). Jadi yang dipertimbangkan pada waktu menggunakan keigo adalah konteks tuturan termasuk orang pertama, orang kedua, dan orang ketiga. Nakano Toshio (dalam Sudjianto, 1999:149) menjelaskan bahwa keigo ditentukan dengan parameter sebagai berikut:
1. Usia : tua atau muda, senior atau yunior
2. Status : atasan atau bawahan, guru atau murid
3. Keakraban : orang dalam atau orang luar
4. Gaya bahasa : bahasa sehari-hari, ceramah, perkuliahan
5. Pribadi atau umum : rapat, upacara, atau kegiatan apa
6. Pendidikan :berpendidikan atau tidak (yang berpendidikan lebih banyak menggunakan keigo).
Bagi para pembelajar bahasa Jepang dalam situasi-situasi tertentu memang dituntut untuk menggunakan keigo (bahasa hormat) sehingga menjadi keharusan dalam mempelajarinya. Hal ini dikarenakan tidak sedikit peran pemakaian keigo bagi para penuturnya. Secara singkat Hinata Shigeo (2000:15-17) menyebutkan keefektifan dan peran konkrit pemakaian keigo tersebut sebagai berikut:
1. Keigo ini dapat dikatakan merupakan dasar keefektifan berkomunikasi. Lawan bicara yang dihormati adalah atasan atau orang yang posisinya tinggi secara sosial, tetapi sudah tentu didalamnya termasuk orang-orang yang berdasarkan pada hubungan manusia yang berada dalam bidang perdagangan dan bisnis.
2. Menyatakan perasaan formal bukan di dalam hubungan atau situasi pribadi, di dalam hubungan atau situasi resmi dilakukan pemakaian bahasa yang kaku dan formal. Misalnya didalam sambutan upacara pernikahan, di dalam rapat atau ceramah yang resmi dan sebagainya dipakai bahasa halus atau bahasa hormat sebagai etika sosial. Berbicara dengan ragam akrab dalam situasi seperti ini kadang-kadang menjadi tidak sopan.
3. Menyatakan jarak diantara pembicara dan lawan bicara yang baru pertama kali bertemu atau yang perlu berbicara dengan sopan biasanya terdapat jarak secara psikologis. Dalam situasi seperti itu hubungan akan dijaga dengan menggunalkan bahasa halus atau bahasa hormat secara wajar. Pemakaian bahasa atau sikap yang terlalu ramah kadang-kadang akan menjadi kasar atau tidak sopan
4. Menjaga martabat, Keigo pada dasarnya menyatakan penghormatan terhadap lawan bicara atau orang yang dibicarakan. Tetapi dengan dapat menggunakan keigo secara tepat dapat juga menyatakan pendidikan atau martabat pembicaranya.
5. Menyatakan rasa kasih sayang, Keigo yang digunakan para orang tua atau guru taman kanak-kanak kepada anak-anak dapat dikatakan sebagai bahasa yang menyatakan perasaan kasih sayang atau menyatakan kebaikan hati penuturnya
6. Ada kalanya menyatakan sindiran, celaan, atau olok-olok. Hal ini merupakan ungkapan yang mengambil keefektifan keigo yang sebaliknya, misalnya mengucapkan: Hontou ni gorippa na otaku desu koto ‘Rumah yang benar-benar bagus’bagi sebuah apartemen yang murah, atau mengucapkan kalimat Aitsu mo zuibun goseichou asobimashita mono da. ‘Dia juga orang yang benar-benar sudah dewasa’. Kalimat-kalimat itu secara efektif dapat mengungkapkan sindiran, celaan atau olok-olok.
Dalam tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan. Misalnya ketika berbicara di kantor sendiri antara bawahan dan atasan ragam yang akan digunakan bawahan adalah ragam menghormat 尊敬語sonkeigo ‘bahasa menghormat’ dalam rangka menghormati atasannya, akan tetapi ketika bawahan itu berbicara dengan orang lain dari kantor yang berbeda ragam yang digunakan adalah ragam 謙譲語kenjoogo ‘bahasa merendah’, sekalipun yang dibicarakan adalah atasannya sendiri.
Uchi adalah kelompok orang yang ada dilingkungan sendiri, seperti orang-orang di lingkungan keluarga, kantor pembicara, sekolah, klub sekolah atau kelompok masyarakat. Soto adalah kelompok orang yang diluar lingkungan keluarga, kantor pembicara, sekolah, klub sekolah atau kelompok masyarakat.
Pengelompokan uchi dan soto dikonseptualisasikan sebagai rangkaian lingkaran yang tumpang tindih. Posisi seseorang dalam kelompok relatif terhadap kelompok lain tergantung pada konteks situasi dan umur. Sebagai contoh, seseorang biasanya memiliki keluarga, pekerjaan, dan kelompok lain atau organisasi yang mereka miliki. Posisi mereka dalam berbagai kelompok dan dalam hubungan dengan kelompok lain, berubah sesuai dengan keadaan pada saat tertentu. Misalnya: seorang pegawai kantor yang menduduki jabatan manager personalia. Orang-orang yang ada dibagian personalia adalah kelompok uchi-nya sedangkan direktur perusahaan, pegawai dan bagian lain adalah kelompok soto-nya. Akan tetapi dia dalam berbicara dengan pelanggan/karyawan dari perusahaan lain, keseluruhan dari perusahaan tempat dia bekerja menjadi kelompok uchi-nya. Sedangkan orang-orang diluar perusahaannya adalah soto.
Dewasa ini faktor-faktor berikut ini dianggap sebagai penentu pilihan bentuk hormat di Jepang (Nishida, 1987: 34-36). Yang dimaksudkan bentuk hormat disini ialah ragam Teinei (Krama) dengan/tanpa Sonkeigo (Krama Inggil) dan Kenjoogo (Krama Andhap).
1. Hadir atau tidaknya orang yang hendak dibicarakan; Jika hadir di situ juga, dipakai lebih banyak Sonkeigo dan Kenjoogo.
2. Hubungan atas bawah; Yang berkedudukan bawah menggunakan bentuk hormat terhadap yang lebih tinggi kedudukannya. Jika seseorang yang berkedudukan lebih rendah tidak memakai bentuk hormat, ia akan dianggap tidak tahu sopan santun. Adapun yang dikelompokkan sebagai hubungan ‘’atas-bawah’’ adalah seperti berikut ini:
• Hubungan atas-bawah dalam satu organisasi.
• Hubungan atas-bawah dalam status sosial
• Umur
• Panjangnya pengalaman; misalnya, di tempat kerja atau yunior-senior di sekolah.
3. Hubungan pemberi jasa dan penerima jasa; Penerima jasa menunjukkan sikap hormat kepada pemberi jasa.
• Dokter dan Pasien
• Tamu dan Pelayan: Di Jepang terdapat pemakaian bahasa khusus di hotel, di toko-toko besar, seperti toserba. Para karyawan/pelayan dididik memakai bahasa yang sopan dan halus terhadap para tamu.
Contoh: Kata-kata dalam [ ] adalah yang biasa dipakai.
• Guru dan Orang tua murid.
4. Hubungan akrab jauh: Bentuk hormat ini dipakai terhadap orang yang jauh/tidak akrab dan tanpa bentuk hormat dengan mereka yang akrab. Sebagaimana di Jawa, di Jepang antara anggota keluarga, antara kawan yang akrab tidak dipakai bentuk hormat. Akan tetapi, sebagaimana di Jawa pula, orang Jepang memakai bentuk hormat terhadap dosennya, tetapi para murid Sekolah Dasar biasanya tidak memakai bentuk hormat. Baru di SMP, SMA, mereka memperoleh kesadaran untuk memakai bentuk hormat.
5. Formal atau tidak formal: Dalam situasi formal, misalnya berpidato dan sebagainya dipakai bentuk hormat.
6. Hubungan ‘’dalam’’ dan ‘’luar’’

2.3.4 Undak-usuk Bahasa Jawa

Bahasa Jawa disamping merupakan bahasa daerah yang banyak dipergunakan di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta, ternyata juga mempunyai penutur di daerah Caledonia Baru, Suriname. (Kunardi, 1983:7). Tentang jumlah penutur bahasa Jawa, dewasa ini tidak kurang dari 60 juta orang (Poedjosoedarmo, 1979:1). Dengan jumlah penutur yang melebihi 60 juta orang tersebut bahasa Jawa menduduki peringkat ke 16 apabila dibandingkan dengan bahasa-bahasa di seluruh dunia (Gloria, 1979:1).
Dari sekian besar jumlah penutur bahasa Jawa hanya sebagian kecil saja yang mampu berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Dalam hal ini, untuk berbahasa Jawa dengan baik dan benar, terkendala oleh tindak tutur atau undak-usuk kebahasaan yang sangat kompleks, ialah variasi-variasi bahasa yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan ditentukan oleh perbedaan sikap santun yang ada pada diri pembicara (O1) terhadap lawan bicara (O2) (Poedjosoedarmo: 1979:3).
Disamping kompleksitas undak-usuk, dengan adanya beberapa dialek dalam bahasa Jawa menjadikan bahasa Jawa tampak semakin variatif dan beraneka ragam. Masing-masing dialek hadir dengan keistimewaan yang membedakan antara dialek yang satu dengan yang lainnya, sehingga secara kebetulan apabila orang mendengarkan dua orang atau lebih berdialog dalam bahasanya, akan dapat mengetahui apakah mereka sedaerah asal atau tidak, meskipun untuk mengetahui secara pasti asal daerah mereka cukup sulit.
Perbedaan yang sangat mencolok diantara dialek-dialek tersebut pada umumnya disamping unsur kosakata juga unsur supra segmental (intonasi, stres, dan sebagainya). Sehingga, mungkin dengan tujuan ungkapan yang sama, tetapi dilatarbelakangi dialek yang berbeda, maka baik intonasi maupun tempo pelafalan akan berbeda pula. Sementara tentang dialek-dialek bahasa Jawa, kita dikenal adanya dialek-dialek: Banyumas, Tegal, Yogya-Solo, Surabaya, Osing dan Samin. ( Poedjosoedarmo, 1979:3).
Dalam bahasa Jawa, penggolongan kata didasarkan pada segi semantis sosiolinguistik (Soenardji, 1993:19), yaitu adanya nilai santun dengan kadar yang berbeda-beda pada masing-masing penanda ragam itu. Kemampuan pembicara bahasa Jawa secara garis besarnya merangkum uraian tentang kalimat-kalimat dasar, kalimat-kalimat transformasi tunggal, kalimat-kalimat transformasi umum yang terdiri atas kalimat sematan, kalimat rapatan dan transformasi tataran. (Sudaryanto, 1991:93).
Pada wacana objektif pembicara bahasa Jawa tidak membicarakan orang ketiga, sehingga dia tidak perlu memperhatikan hubungannya dengan orang ketiga. Dalam hal ini pembicara hanya menghadapi dua pilihan tataran tuturan, yaitu ngoko dan krama. Pemilihan tataran ngoko atau krama ditentukan oleh hubungannya dengan pendengar. Jika kedudukan sosialnya sama atau lebih tinggi dari pendengar, pembicara bahasa Jawa mesti memilih tataran ngoko, sedangkan jika pendengar lebih tinggi kedudukan sosialnya daripada pembicara atau pembicara baru kenal pertama kali dengan pendengar, ia mesti memilih tataran krama.
Bahasa Jawa mengenal adanya tingkat tutur (speech levels) atau undak-usuk yang cukup rapi, yaitu: ngoko lugu, ngoko andhap, antya basa, basa antya, wredha krama, mudha krama, kramantara, madya ngoko, madya krama, madyantara, krama inggil, dan krama desa. Selain itu masih ada bahasa kedhaton dan bahasa bagongan yang dipakai dalam ruang lingkup kraton. Pendapat mengenai undak-usuk tingkat tutur tersebut dikemukakan oleh Poejosoedarmo (1973:13). Undak-usuk tingkat tutur bahasa Jawa terbagi atas tiga jenis yaitu: Krama, Madya, Ngoko dengan masing-masing sub tingkat. Berikut ini penjelasan mengenai undak-usuk tingkat tutur tersebut:

Krama
a. Mudha Krama: kata-kata dan imbuhan krama inggil dan krama andhap. Contoh kalimat:
Bapak, panjenengan mangke dipun aturi mundhutaken buku kangge Mas Kris.
b. Kramantara: hanya mengandung bentuk krama. Contoh kalimat:
Pak, sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas Kris.
c. Wredha Krama: bentuk-bentuk afiks ngoko –e dan –ake. Contoh kalimat:
Nak, sampeyan mangke dipun purih numbasaken buku kangge Mas Kris.
‘Bapak/Nak, kamu nanti disuruh membelikan buku untuk Mas Kris’.

Madya
d. Madya Krama: kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan krama inggil. Contoh kalimat:
Njenengan napa mpun mundhutake rasukan Warti dhek wingi sonten?
e. Madyantara: kata-kata tugas madya afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk krama dan krama inggil. Contoh kalimat:
Samang napa pun numbasake rasukan Warti dhek wingi sore?
f. Madya Ngoko: kata-kata tugas madya, afiksasi ngoko, kata-kata lainnya berbentuk ngoko. Contoh kalimat:
Samang napa pun nukokke klambi Warti dhik wingi sore?
‘Kamu apa sudah membelikan baju Warti kemarin sore?.’

Ngoko
g. Basa Antya: terdapat kata-kata krama inggil, krama, ngoko, imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adik arep dipundhutake menda.
h. Antya Basa: terdapat kata-kata krama inggil disamping kosakata ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep dipundutake wedhus.
i. Ngoko Lugu: terdapat kata-kata dan imbuhan ngoko. Contoh kalimat: Adhik arep ditukokake wedhus. ‘Adik akan dibelikan kambing.’

2.3.4.1 Bentuk- Bentuk Undak-usuk Bahasa Jawa

Undak-usuk Bahasa Jawa dapat diketahui dalam pemilihan kosakata dalam jenis tingkat tuturnya. Poejosoedarmo, (1979:13) membagi undak-usuk tersebut menjadi:
1. Ngoko
2. Krama
3. Madya
4. Krama Inggil
5. Krama Andhap
Dalam tingkat apapun, kata ngoko digunakan apabila kata tersebut tidak mempunyai padanan pada tingkat kata yang lebih tinggi. Dengan kata lain, kosakata dalam bentuk ngoko mempunyai jumlah paling besar diantara kosa kata lainnya. Kosa kata lainnya adalah krama. Berdasarkan bentuk fonemis, kata-kata krama dibagi menjadi dua jenis (Pudjosoedarmo, 1979:25). Pertama, kata-kata yang mempunyai bentuk menyerupai padanan ngoko. Misalnya: kula (krama) dengan aku (ngoko) ‘saya’ dan griya (krama) dengan omah (ngoko) ‘rumah’. Kedua, kata-kata krama yang mempunyai padanan ngoko. Misalkan:
a. Kata-kata yang berakhir pada –os
Krama Ngoko
Gantos ganti arti: ganti
b. Kata-kata yang berakhir pada –nten
Krama Ngoko
Kinten kira arti: kira
c. Kata-kata yang berakhir pada –bet
Krama Ngoko
Mlebet mlebu arti: masuk
d. Kata-kata yang berakhir pada-won
Krama Ngoko
Awon ala arti: jelek
e. Kata-kata yang berakhir pada-jeng
Krama Ngoko
Majeng maju arti: maju
f. Kata-kata yang berakhir pada-ntun
Krama Ngoko
Pantun pari arti: padi
g. Kata-kata yang berakhir pada-i
Krama Ngoko
Negari Negara arti: negara
h. Kata-kata yang berakhir pada (i+konsonan+a)
Krama Ngoko
Mila mula arti: maka
i. Kata-kata yang berakhir pada (i+konsonan+a+h)
Krama Ngoko
Sisah susah arti: susah
j. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan+a)
Krama Ngoko
Gega gugu arti: turut
k. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan +a+h)
Krama Ngoko
Berah buruh arti: buruh
l. Kata-kata yang berakhir pada (e+konsonan+a+h)
Krama Ngoko
Ebah obah arti: berubah
Poedjosoedarmo (1979:28) juga menjelaskan bahwa kata-kata madya sebagian besar mengambil bentuk dari kata-kata karma sehingga hampir menyerupai padanan karma seperti yang terdapat dalam contoh berikut ini:
Ngoko Madya Krama Arti
aja ampun sampun jangan
iya nggih inggih ya

Sebagian kata-kata madya yang lain dibentuk dengan cara meng-krama-kan kata-kata ngoko dengan mengganti suku akhir dengan –jeng, -pun dan akhiran dalam aturan pembentukan kata karma (Poedjosoedarmo, 1979:28). Contoh kata madya melalui pembentukan karma adalah sebagai berikut:
Ngoko Madya Krama Arti
arep ajeng badhe akan
kepriye kepripun kadosipun bagaimana

Poejosoedarmo (1979:28) mengatakan bahwa beberapa kata madya yang lain berasal dari kata-kata arkais (kawi). Contoh kata madya yang berasal dari kata arkais adalah sebagai berikut:
Ngoko Madya Arkais Karma Arti
iki niki puniki menika ini
iku niku puniku menika itu

Sementara itu kosakata karma inggil sebagian besar merupakan serapan yang berasal dari bahasa Sansekerta atau bahasa Jawa kuna, hanya kecil yang merupakan serapan dari bahasa Persia dan Arab (Poedjosoedarmo, 1979:29). Contoh kata krama inggil serapan adalah sebagai berikut:

Ngoko Krama Krama Inggil Arti Sumber
tangan - asta tangan Sansekerta
picak - wuta buta Jawa kuna
batur rencang abdi pembantu Arab
iket udheng dhestar ikat pinggang Persia

Poedjosoedarmo (1979:30) mengatakan bahwa kelompok krama inggil dibagi menjadi dua, yaitu pertama adalah kelompok kata yang secara langsung meninggikan dan meluhurkan diri dengan yang diacu disebut sebagai kata krama inggil. Kedua, adalah kelompok kata yang menghormat orang yang diacu dengan cara merendahkan diri sendiri yang disebut sebagai krama andhap. Contoh kata krama inggil dan krama andhap adalah sebagai berikut:
Ngoko Krama Krama Inggil Krama Andhap Arti
kandha criyos ngendhika dhawuh matur berkata
takon taken paring priksa nyuwun priksa bertanya

Dalam penggunaan bahasa Jawa tingkat tutur yang ada berkisar antara ngoko, madya dan krama. Hal ini disebabkan penggunaan kata tugas yang merupakan leksikon ngoko, madya dan krama memiliki kekerapan yang tinggi. Sementara itu kosakata krama inggil dan krama andhap tidak berfungsi membentuk tingkat tutur karena lingkup kosa kata krama inggil dan krama andhap berkisar pada kata benda, kata sifat dan kata kerja.

2.3.4.2 Penggunaan Bahasa Hormat Bahasa Jawa

Dalam bahasa Jawa penggunaaan bentuk krama (bahasa hormat) dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hubungan antara si pembicara dan si lawan bicara. Jenis hubungan yang dimaksud ada dua, yaitu hubungan simetris dan asimetris. Pada hubungan simetris, si pembicara dan si lawan bicara menggunakan konstruksi yang sama (misalnya, si pembicara memakai konstruksi ngoko (bahasa biasa), dan si lawan bicara memakai konstruksi krama (bahasa hormat). Berikut ini gambaran mengenai hubungannya yang berkaitan dengan status sosial:
1. Hubungan simetris:
a. antara orang muda: ngoko, madya
b. antara orang tua: ngoko, krama
c. antara priyayi dan tukang sayur :madya
d. antara orang yang belum saling kenal: krama, madya
2. Hubungan asimetris:
a. anak kepada orang tua: krama, dan orang tua kepada anak : ngoko
b. pembantu rumah tangga (tukang sayur) kepada tuan rumah: madya, dan tuan rumah kepada pembantu rumah tangga (tukang sayur): ngoko.
Untuk menyusun kalimat di dalam bahasa Jawa, sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertimbangan pertama berkenaan dengan pertanyaan bagaimana jenis hubungan antara si pembicara dan lawan bicara. Ini untuk menetapkan apakah digunakan konstruksi ngoko, madya, atau krama. Pada pertimbangan kedua, berdasarkan jenis hubungan antara si pembicara dan lawan bicara itu ditentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak. Selain itu untuk menentukan apakah digunakan bentuk honorifik atau tidak, juga dipertimbangkan jenis hubungan si pembicara atau lawan bicara dengan orang lain yang sedang dibicarakan.
Contoh:
1. Saya sudah makan. Bapak sudah makan atau belum?
• Ngoko: Aku wis mangan. Bapak wis dhahar durung?
• Madya: Kula mpun nedha. Bapak mpun dhahar dereng?
• Krama: Kulo sampun nedha. Bapak sampun dhahar dereng?
2. Saya sudah makan. Agus sudah makan belum?
• Ngoko: Aku wis mangan. Agus wis mangan durung?
• Madya: Kula mpun nedha. Agus mpun nedha dereng?
• Krama: Kula sampun nedha. Agus sampun nedha dereng?
(KBJ III: 153-154).
Selain terdapat bentuk honorifik (sopan santun/unggah-ungguh) untuk meninggikan orang lain yang dihormati (Krama Inggil), terdapat pula bentuk honorifik untuk merendahkan diri si pembicara (Krama Andhap).
Dua hal yang perlu diperhatikan dalam sopan santun berbahasa Jawa yaitu pilihan bentuk linguistik atau bentuk lingual dan sikap andhap asor. Andhap asor berarti merendahkan diri sendiri dengan kepada setiap orang yang kira-kira sederajat atau lebih tinggi. (Geertz, 1981:326). Pernyataan Geertz tersebut telah memperhitungkan tingkat tutur (faktor lingual) dan faktor non-lingual dalam berbahasa Jawa. Pilihan bentuk linguistik mengarah kepada relasi atau hubungan penutur dengan lawan tutur (faktor non-lingual).
Khusus mengenai faktor lingual akan tercermin di dalam perbedaan bentuk tingkat tutur (ngoko, krama, madya). Sebagai contoh: misalnya seseorang akan menyapa orang lain: Hendak pergi ke mana?, maka bentuk tuturannya sebagai berikut:
 Arep menyang ngendi?
 Ajeng teng pundi?
 Badhe tindak dhateng pundi?
Sehubungan dengan pemilihan suatu tingkat tuturan Soeroso (1990:6-7) menyatakan bahwa ada empat langkah yang harus selalu diingat dandilakukan bagi seorang penutur yang akan berbahasa Jawa. Keempat langkah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Mawas diri
Penutur menempatkan dirinya terhadap lawan tuturnya, dan ada tiga kemungkinan:
• penutur lebih rendah daripada lawan tutur
• penutur sederajat dengan lawan tutur
• penutur lebih tinggi kedudukannya dengan lawan tutur
 Memilih bahasa
• apabila penutur lebih rendah daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa krama;
• apabila penutur sederajat dengan lawan tutur, penutur menggunakan bahasa madya, ngoko;
• apabila penutur lebih tinggi daripada lawan tutur, penutur menggunakan bahasa ngoko.
 Memilih kata
Dalam menggunakan bahasa seperti tersebut pada langkah yang kedua perlu dipilih kata yang tepat.
 Menetapkan sikap
Sikap berbicara disesuikan dengan sikap diri misalnya sikap hormat, sikap santai, dan sebagainya.
Keempat langkah diatas berdasarkan analisis secara psikologis, yang tentu saja langkah-langkahnya berlangsung secara ‘’otomatis’’ pada jiwa penutur. Pada langkah pertama (mawas diri) dan langkah keempat (menetapkan sikap) berkaitan dengan faktor non-lingual dalam berbahasa yang menyangkut relasi penutur dengan lawan tutur. Langkah kedua (memilih bahasa) dan langkah langkah ketiga (memilih kata) berkaitan dengan pemilihan tingkat tutur.
Adanya bentuk tuturan yang dapat mencerminkan rasa sopan santun berarti pula tingkat tutur berkaitan erat dengan sopan santun berbahasa. Sopan santun berbahasa itu sendiri merupakan ajaran yang patut untuk dilaksanakan dalam masyarakat tutur jawa. Sehubungan dengan hal itu Suwadji (1985:14-15) menyatakan sebagai berikut:
1. Ajaran sopan santun berbahasa Jawa merupakan salah satu budaya Jawa yang masih hidup dan bertahan sampai sekarang,
2. Sopan santun berbahasa Jawa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa,
3. Sopan santun berbahasa Jawa mengajarkan supaya penutur Jawa menghormati lawan tuturnya,
4. Sopan santun berbahasa Jawa lebih menjamin kelancaran komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa.
Keempat pernyataan diatas menunjukkan adanya prinsip pokok dan fungsi sopan santun berbahasa dalam masyarakat tutur Jawa. Dalam hal inipemilihan tingkat tutur (sebagai faktor lingual dalam berbahasa) mengiringi sopan santun berbahasa yang dapat diamatai dalam suatu peristiwa tutur. Prinsip pokok dan fungsi tersebut apabila dipahami secara benar dapat menumbuhkan rasa kebanggaan orang Jawa memiliki bahasa Jawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar