Kamis, 01 Maret 2012

BAB IV

BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Simpulan

Setelah penulis memaparkan mengenai perbandingan antara penggunaan bentuk bahasa hormat bahasa Jepang dan undak-usuk bahasa Jawa, penulis dapat menarik kesimpulan mengenai perbedaan dan persamaan antara bahasa Jepang dan bahasa Jawa antara lain sebagai berikut:
1. Dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa mengenal adanya sistem unggah-ungguh (tata krama/sopan santun) yang bertujuan untuk saling hormat-menghormati diantara si pembicara maupun lawan bicaranya
2. Bahasa Jepang tidak mengenal adanya undak-usuk sedang dalam bahasa Jawa mengenal adanya undak-usuk/tingkat tutur (speech levels)
3. Susunan kalimat bahasa Jepang menggunakan pola S-O-P (Subjek, Objek, Predikat). Sedangkan bahasa Jawa menggunakan pola S-P-O (Subjek, Predikat, Objek). Begitu juga struktur frasa bahasa Jepang berpola MD (Menerangkan-Diterangkan) dalam berbahasa Jawa berpola DM (Diterangkan-Menerangkan).
4. Bahasa Jepang mengenal huruf-huruf Jepang (Kanji, Hiragana, Katakana) dalam bahasa Jepang dan bahasa Jawa juga mengenal juga huruf-huruf Jawa yang biasa dikenal dengan aksara Jawa tetapi huruf Jawa sekarang ini jarang digunakan.
5. Tingkat tutur bahasa Jepang mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan sotoそと ‘luar’, artinya orang Jepang akan memperhatikan dengan siapa berbicara, dan siapa yang dibicarakan sedang tiingkat tutur bahasa Jawa tidak mengenal konsep うちuchi ‘dalam’ dan そとsoto ‘luar’ seperti bahasa Jepang
6. Bahasa Jepang penggunaannya dalam masing-masing daerah di Jepang dipengaruhi adanya beberapa dialek, begitu juga bahasa Jawa dimasing-masing daerah di Jawa juga dipengaruhi oleh adanya beberapa dialek.
7. Bahasa Jepang terdapat bahasa untuk pria dan wanita sedang bahasa Jawa tidak mengenal hal tersebut.
8. Dalam ragam futsuu bahasa Jepang digunakan dalam situasi sudah akrab, seperti: teman, rekan kerja, dan keluarga sendiri, sedangkan bentuk ngoko bahasa Jawa yang sejajar dengan futsuu dalam bahasa Jepang digunakan juga dalam situasi sudah akrab, seperti: teman, bedanya dalam lingkup keluarga sendiri maupun keluarga orang lain harus memakai bentuk krama/teinei.
9. Dalam bahasa Jepang hampir semua kata futsuu (ngoko) bisa diubah ke dalam teinei (krama) maupun sonkeigo (krama inggil), tetapi dalam bahasa Jawa kata ngoko ada yang hanya memiliki padanan dalam krama saja tetapi dalam krama inggil padanannya tidak ada, ada yang memiliki padanan dalam krama dan juga krama inggil.
Sesudah Perang Dunia kedua, di Jepang timbul suara bahwa karena sistem unggah-ungguh/tata krama dalam bahasa Jepang itu dikembangkan dan dipertahankan oleh sistem feodal dan sistem pembagian kelas yang kolot, maka sangat bertentangan dengan demokrasi yang menyerukan persamaan hak bagi setiap orang dalam masyarakat. Dalam suasana pro dan kontra terhadap penghapusan sistem unggah-ungguh, Komite Bahasa Nasional pada tahun 1952 mengajukan usul yang berjudul ‘’Sistem Unggah-ungguh/Bentuk Hormat Pada Masa Depan’’ kepada Menteri Pendidikan ketika itu. Haluan yang diusulkan itu antara lain berbunyi:
1. Sistem unggah-ungguh berkembang pada zaman Orde Lama, dan mempunyai ciri-ciri yang rumit dalam pemakaiannya. Sistem unggah-ungguh pada masa depan hendaknya berbentuk mudah dan jelas, dengan disederhanakan dan dibetulkan kesalahan dalam pemakaiannya.
2. Sistem unggah-ungguh Orde Lama berkembang atas dasar hierarki dalam masyarakat, akan tetapi pada masa depan harus didasarkan pada dasar hormat-menghormati dengan mematuhi hak-hak asasi manusia.
Sejalan dengan haluan tersebut, telah dianjurkan pemakaian pertuturan beragam ‘’desu/masu’’ serta pemakaian kata ganti orang pertama ‘’watashi’’ untuk standar dan ‘’watakushi’’ untuk situasi formal. Verba bantu yang diusulkan pemakaiannya sebagai Sonkeigo adalah ‘’reru/rareru’’ dan ‘’o ni naru’’.
Selama lebih dari 40th yang silam, usul tersebut telah banyak mempengaruhi kehidupan sehari-hari rakyat Jepang. Pemakaian bentuk hormat disederhanakan dan menjadi lebih praktis, namun yang disayangkan ialah kemerosotan penggunaan kata-kata Sonkeigo/Krama Inggil dan Kenjoogo/Krama Andhap. Dengan kata lain, semakin banyak dipakai ragam Teinei, tanpa Sonkeigo dan Kenjoogo, yang mempunyai padanan bahasa Jawanya Krama Lugu. Sebenarnya hal ini telah dianjurkan dalam ‘’Usul Sistem Unggah-Ungguh Pada Masa Depan’’ tadi.
Dewasa ini anak-anak muda menghindarkan diri dari pemakaian Kenjoogo/Krama Andhap. Ini mungkin karena anak-anak muda masa kini suka menonjolkan diri dan merasa tidak pantas untuk merendahkan diri kepada orang lain,. Mereka sungguh semakin kurang rendah hati, kurang tenggang rasa. Dalam bahasa Jawa, ragam bahasa hormat terdapat banyak sekali macamnya. Karena faktor tersebut sangat memungkinkan juga bagi anak muda sekarang merasa kesulitan untuk menggunakannya.
Menurut seorang pakar Jepang T. Iritani pernah memberi peringatan kepada orang Jepang: ‘’Hubungan antarmanusia yang rapat dan bulat memang diciptakan berdasarkan kesadaran akan persamaan hak dan kekeluargaan, namun sejajar dengan itu tidak boleh dilupakan rasa ‘’andhap ashor’’ dan ‘’urmat’’ antara satu sama lain. Berhubung dengan ini, sistem unggah-ungguh harus merupakan tata krama dan aturan kehidupan manusia, bahkan dalam masyarakat industri maju yang mementingkan kecepatan serta keefektifan, dalam masyarakat demokratik yang mementingkan persamaan hak, apalagi di negara yang mempunyai ciri khas sistem unggah-ungguh, dan tradisi budayanya telah lama mempertahankan sistem tersebut.
Tempat belajar tata krama bahasa sebagai dasar untuk menciptakan aturan hubungan manusia, adalah hak lain daripada keluarga. Begitu pula sekolah, patut berperan sebagai tempat mencegah kemerosotan dan penyimpangan sistem unggah-ungguh. (Iritani: 196-197).
Sesudah perang, bentuk hormat cenderung tidak dipakai dalam lingkungan keluarga dan sekolah-sekolah. Memang hal ini sangat bermanfaat untuk menciptakan suasana akrab lagi rapat antara orang tua anak dan guru murid. Akan tetapi, sungguh ironis usaha ini malah mengakibatkan kemerosotan pemakaian bentuk horrmat oleh anak-anak muda.

4.2 Saran

Penulis berharap pemakaian bentuk hormat dalam bahasa Jepang maupun bahasa Jawa dalam aplikasinya masih dipakai dalam penggunaanya. Penulis juga berharap agar bahasa Jawa dan unggah-ungguhing basa tidak akan hilang, dan akan terus lestari sepanjang masa. Penulis juga sangat mendukung sekali dengan diadakannya pengajaran lagi tentang bahasa Jawa di tingkat SD-SMA yang dulu penulis sudah tidak mendapatkannya lagi sejak duduk di bangku SMA dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar