Kegagalan pragmatik
(Thomas 1983:91) adalah kegagalan peserta komunikasi untuk memahami apa yang dimaksud
dengan yang dikatakan. Penyebab kegagalan pragmatik dalam mengalihkan pesan
dalam berkomunikasi, termasuk dalam terjemahan, dapat dijelaskan mulai dari
aspek pragmalinguistik sampai ke aspek sosiopragmatik (Thomas 1983:99) yang
merupakan dua ujung kontinuum dari kemampuan pragmatik seseorang. Kemampuan
pragmalinguistik mencakupi kemampuan penutur dan petutur untuk menggunakan
bentuk-bentuk bahasa yang terkait dengan fungsi pragmatik sebuah tuturan atau
daya ilokusionernya, seperti tindak tutur dan percakapan rutin.
Kegagalan pragmatik terkait dengan identitas dalam satu dan
lain cara, identifikasi akan terletak dalam inti masalah. Di lain situasi, dan
faktor komunikatif akan jauh lebih penting dalam menentukan sifat dari masalah.
Kegagalan pragmatik dapat terjadi pada interaksi antara setiap pasangan
individu, termasuk penutur asli yang menggunakan bahasa yang sama.
Kegagalan pragmatik
menurut Thomas (1983:91)
adalah kegagalan peserta
komunikasi untuk
memahami
apayang dimaksud dengan yang dikatakan
(what is meant by what is said). Thomas (1999:176) menyatakan kegagalan
pragmatik dapat dianalisis dengan menggunakan sembilan tilikan pragmatik mulai
dari tilikan yang dekat dengan ranah pragmalinguistik hingga yang terdekat
dengan ranah sosiopragmatik, yaitu: (1) disambiguation, (2) interpretive
bias, (3) polisemi, (4) assign complete meaning, (5) metonimi, (6)
tindak tutur, (7) prinsip kerjasama, (8) bidal interpersonal, dan (9) indirectness,
dan (10) prinsip kesantunan.
Penyebab
kegagalan
pragmatik
dalam mengalihkan
pesan dalam berkomunikasi,
termasuk
dalam terjemahan,
dapat dijelaskan
mulai
dariaspek pragmalinguistik
sampai
ke aspek sosiopragmatik
(Thomas1983:99) yang
merupakan dua
ujung
kontinum dari kemampuan
pragmatik seseorang. Kemampuan
pragmalinguistik mencakup kemampuan
penutur dan petutur
untuk menggunakan bentuk-bentuk bahasa
yang terkait dengan
fungsi pragmatik sebuah
tuturan
atau daya ilokusionernya, seperti
tindak tutur dan percakapan rutin. Di sisi lain,
kemampuan sosiopragmatik
mencakupi
kemampuan peserta komunikasi untuk
memilih
dan menggunakan
bentuk-bentuk
bahasa
berdasarkan
pengetahuan sosial budaya yang terkait dengan hubungan
antar peserta tutur
yang
mencakupi kuasa,jarak
sosial, dan berat atau tidaknya isi
pesan, serta kaidah-kaidah interaksional yang lazim digunakan,seperti
strategi giliran bicara dan strategi kesantunan.
Contoh kegagalan
pragmalinguistik diambil dari Richards y Sukwiwat
(1983:116), yang menggambarkan situasi ketika orang Jepang mengungkapkan terima
kasih dalam bahasa Inggris.
1.
E: Look what I’ve got
for you! (maybe a gift)
JE: Oh!, I’m sorry. (in Japanese, ‘thank you’ may not sound
sincere enough)
E:
Why sorry?
2.
Complimenter:
You've lost a lot of weight. What have you been doing?
Recipient: Thank you.
I've started jogging regularly and it seems to work.
Complimenter:
You shouldn't overdo it. You are looking quite thin. (Holmes dan Brown: 526)
Contoh kegagalan sosiopragmatik:
Complimenter:
What a big family you have!
Recipient: Yes, but it
has its advantages, too. (Holmes
dan Brown: 528)
Menurut Thomas (1983: 99) didefinisikan dan
dibedakan menjadi pragmalinguistik dan sosiolinguistik. TSa (teks sasaran) setara
dengan derajat
respons sidang pembaca, sedangkan TSu (teks sumber) dengan memperhatikan
situasi komunikasi
teks
tersebut, peserta
tutur (penutur
dan petutur),dan
konteks budaya.
-
Hasil kegagalan pragmalinguistik dari kegagalan untuk
mengidentifikasi atau mengungkapkan makna dengan benar.
Contoh:
Whichwayisit? Ini jalan
kearah
mana? Kearah mana
sekarang?
Tsu mengandung implikasi
bahwa didepan
penutur terdapat
banyak
jalan dan
dia ingin tahu
jalan mana yang
seharusnya ditempuh,
sedangkan Tsa mengandung implikasi bahwa
didepan
penutur hanya ada satu jalan dan dia ingin tahu jalan itu menuju kemana.
-
Hasil kegagalan sosiopragmatik dari kegagalan untuk
mengidentifikasi beberapa efek dari situasi dengan benar.
-
Kegagalan pragmalinguistik mengacu pada disfungsi dalam
pengolahan wacana dan produksi
-
Kegagalan sosiopragmatik mengacu pada kegagalan untuk memahami,
mengkategorikan dan mengevaluasi realitas sosial sesuai dengan set norma
tertentu
Contoh:
Thankyou, Father Terima kasih Bapak Terima kasih Romo
Didalam
konteks
situasi,father
digunakan untuk mengacu
seorang pastur Katolik. Di
dalam konteks tersebut seorang pastur. Katolik biasanya sering disapa
dengan romo (atau Bapa).
Ada dua jenis
kesalahan mutlak yang dikemukakan
Newmark(1988:189),yaitu kesalahan
referensial dan
kesalahan
bahasa. Kesalahan referensial
adalah kesalahan
pemberian makna acuan
untuk TSu yang mengacu
kepada fakta(nama
tempat,
nama
benda, peristiwa
sejarah) dan isi proposisi (pernyataan
yang kebenarannya secara
logika
sebenarnya dapat dinilai
secara langsung,seperti Indonesia dipimpin
oleh
seorang rajaatau
Bogor
ada
di sebelah utara
Jakarta).
Kesalahan referensial
juga
mencakupi ketidak tahuan penerjemah akan bidang-bidang tertentu di dalam teks terjemahan.
Kesalahan mutlak jenis kedua,
kesalahan bahasa, meliputi
kesalahan
mengartikan kata,
frasa,
atau klausa,
kesalahan mengalihkan bentuk- bentuk idiom
dan kolokasi, serta
kesalahan mengalihkan pronomina.
Kesalahan
mutlak melihat TSa sebagai kata,
frasa,
atau kalimat yang
harus
benar secara gramatikal atau referensial dan kesalahan
di dalam ranah ini
menjadikan
Tsa dikategorikan salah (kegagalan pragmalinguistik mengakibatkan
ada bagian pesan Tsu
yang bisa dikategorikan
meleset
(misfire) ketika dialihkan ke TSa.
Di sisi lain, kemampuan sosiopragmatik
mencakupi kemampuan peserta komunikasi untuk memilih dan menggunakan
bentuk-bentuk bahasa berdasarkan pengetahuan sosial budaya yang terkait dengan
hubungan antarpeserta tutur yang mencakupi kuasa, jarak sosial, dan
berat atau tidaknya isi pesan, serta kaidah-kaidah interaksional yang lazim
digunakan, seperti strategi giliran bicara dan strategi kesantunan.
Kesantunan dalam bahasa
Indonesia sangat dipengaruhi oleh strategi interaktif ketika bertindak tutur
karena bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang memiliki tingkat tutur secara
ketat dengan menerapkan subsistem honorifiks pada tataran leksikal, morfologis,
dan sintaktis seperti dalam bahasa Jepang. Sementara itu, Sachiko Ide (1989)
menamai jenis kesantunan yang memungkinkan penutur aktif memilih strategi
interaktif itu sebagai volition (kemauan), yang merupakan ancangan
individualistik. Hal itu dipertentangkan dengan discerment, yang dalam
bahasa Jepang disebut wakimae. Wakimae bukanlah kemauan karena
hal tersebut tidak bergantung pada kebebasan penutur, tetapi merupakan pilihan
(bentuk gramatikal) verbal yang wajib secara sosial. Bertindak menurut wakimae
berarti menunjukkan makna tempat atau peran seseorang secara verbal (dan
nonverbal) dalam situasi tertentu menurut konvensi sosial.
Perbedaan antara discerment
atau wakimae dengan volition (kemauan) dapat dijelaskan
sebagai berikut. Discerment direalisasikan terutama melalui berbagai
bentuk kebahasaan formal, yang merupakan pilihan wajib, yang mengimplisitkan
pesan tentang pemahaman penutur atas situasi sosial. Hal itu melibatkan
berbagai bentuk formal seperti honorifik, pronomina, bentuk sapaan, tingkat tutur,
formula tuturan, dan sebagainya. Karena itu, dalam bahasa Jepang tidak ada
bentuk netral secara sosial. Penutur harus selalu memilih antara bentuk
honorifiks atau nonhonorifiks dan hal itu selalu menyampaikan informasi tentang
hubungan penutur-petutur. Pemakaian bentuk honorifiks menjadi hal yang absolut
karena pemakaian honorifiks atau tidak bukanlah kebebasan pribadi yang sesuai
dengan keinginan penutur.
Pemakaian honorifiks
secara langsung menunjukkan karakteristik sosiostruktural penutur-petutur. Keabsolutan
pemakaian honorifiks ini kemudian bergandengan dengan wakimae. Bertindak
menurut wakimae berarti bertindak dengan menunjukkan arti seseorang
secara verbal tentang tempat atau peran dalam situasi tertentu menurut konvensi
sosial dan bukan kehendak pribadi. Sementara itu, volition dilakukan
dengan cara pemilihan strategi interaktif verbal, seperti mencari persetujuan,
membuat humor, menunjukkan rasa pesimistis, meminimalisasi tekanan, dan
sebagainya. Dalam hal ini, bahasa Indonesia menerapkan konsep volition dan
bahasa Jepang menerapkan konsep discerment.
Kesantunan dalam
penggunaan bahasa Jepang itu adalah pilihan bahasa otomatis dan wajib karena
konsep kesantunan ditempatkan sebagai bentuk pengacuan sosial. Wakimae
merupakan keharmonisan sosiopragmatik, yaitu perilaku kesantunan kebahasaan
seseorang didikte oleh posisi sosialnya dan hubungan sosialnya dengan petutur.
Dalam bahasa Indonesia, tidak ada sistem tata bahasa Indonesia yang secara
tetap digunakan untuk menunjukkan kesantunan seperti yang ada dalam sistem
bahasa Jepang, yang secara tegas membagi tingkat (undak usuk) bahasa mereka ke
dalam dua tingkat, yaitu tuturan santun (polite speech) dan tuturan
akrab (familiar speech). Perbedaan kedua tingkatan itu tampak pada akhir
kalimat dan pilihan kosakata. Dalam bahasa Jepang, tuturan santun biasanya
berakhir dalam bentuk santun, yaitu desu dan masu. Dalam tuturan
akrab, tuturan diakhiri dengan bentuk biasa, yaitu bentuk adjektiva dan verba
seperti dalam kamus dan bentuk da. Perbedaan bentuk santun dan biasa
dalam bahasa Jepang tampak pada penggunaan verba, adjektiva, adjektiva semu,
nomina, dan perbedaan lain seperti penggunaan partikel. Karena itulah, penutur
bahasa Jepang dalam mewujudkan kesantunan verbal tidak bergantung pada
pemilihan modifikasi internal seperti dalam bahasa Indonesia
Contoh:
1. Kegagalan
mengalihkan frasa dan klausa dalam bahasa Inggris yang berpotensi menyampaikan
ilokusi A yang berbeda dengan ilokusi B, misalnya:
A:
He can t know you ve found it
‘Dia tak tahu Anda telah
menemukannya’.
B: He can t know you ve found it.
‘Dia
tidak boleh tahu Anda telah menemukannya.’
A, memiliki
ilokusi melarang sedangkan B memiliki ilokusi pernyataan.
2. Kegagalan mengalihkan ungkapan rutin dalam bahasa
Inggris, misalnya:
A: I beg your pardon? ‘Maaf’ B: I beg
your pardon? ‘Maksud Anda?’
Di dalam pernyataan diatas, ungkapan-ungkapan
seperti I beg your pardon?, Pardon? I’m sorry, dan Sir?
berfungsi sebagai permintaan agar penutur mengulang kembali ucapannya
yang mungkin tidak dapat ditangkap dengan jelas, atau karena penutur merasa
terkejut dengan ucapan petutur. Begitu pula di dalam konteks situasi ujaran,
misalkan: Of course yang serupa
dengan Sure dan Certainly yang mengisyaratkan bahwa ungkapan itu berfungsi sebagai
ungkapan santun penutur terhadap atasannya yang meminta melakukan sesuatu.
3. Dalam
bahasa Jepang, ungkapan setuju atau menerima lebih cenderung diungkapkan secara
langsung yang memiliki perbedaan usia yang cukup jauh dijadikan sebagai bintang
tamu dalam sebuah acara Reality Show yang berjudul Open 24 Hours berikut ini:
A:
今日本にちょうかっこいいと思っている。絶対思っている。。。
Ima
nihon ni chou kakko ii to omotteiru. Zettai omotteiru...
‘Sekarang kamu menganggap dirimu paling
keren di Jepang.
Pasti menganggap begitu....’
B: いや、思ってないんですよ。
Iya,
omottenain desu yo.
‘Tidak. Saya tidak menganggap begitu.’
Dalam percakapan
tersebut, si B mengungkapkan penolakan secara langsung atas sebuah proposisi,
meskipun itu terhadap seniornya sendiri. Proposisi yang menyatakan bahwa A
menganggap dirinya paling keren di Jepang disangkal oleh B dengan mengatakan
yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘tidak.’ Di sini diasumsikan bahwa ada
faktor lain yang mempengaruhi pemilihan tindak tutur penolakan secara langsung,
selain kelas sosial, jenis kelamin, etnisitas, dan umur.
Tindak tutur merupakan
salah satu hal yang dikaji dalam pragmatik. Pragmatik adalah cabang linguistik
yang mempelajari proses komunikasi dengan fokus pada bagaimana makna atau pesan
komunikasi diproduksi penutur dan persepsi penanggap tutur. Ini menarik karena
apa yang diniati penutur seringkali disalahtafsiri oleh penanggap tutur. Salah
tafsir ini bergantung pada banyak variabel, seperti suasana fisik, psikis, atau
sosiologis. Mungkin juga karena variabel bahasa-bahasa. (Alwasilah 1993).
DAFTAR
PUSTAKA
Alwasilah,
Chaedar A. 1993. Pengantar Sosiologi
Bahasa. Bandung: Penerbit Angkasa
Al
Wasilah, A. Chaedar. 1997. Politik Bahasa
dan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Riley,Philip. 2007. Language, Culture and Identity: An Ethnolinguistic Perspective (Advances in Sociolinguistics). London:Continuum.Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
http://www.
youtube.com